Oleh: Join Kristian Zendrato
Berikut ini adalah kutipan langsung dari tulisan
Herman Bavinck yang berisikan tentang gambaran betapa buruk dan tidak
Alkitabiahnya pandangan penebusan universal yang dipercayai oleh Arminianisme.
Perlu saya tambahkan bahwa dalam keseluruhan kutipan di bawah ini, jika Bavinck
menggunakan kata-kata “kaum universalis,” atau “universalisme,” maka yang dia
maksudkan adalah pandangan Arminianisme (yang mengatakan bahwa Yesus mati untuk
semua orang tanpa terkecuali), bukan untuk merujuk kepada paham yang mengajarkan
bahwa pada akhirnya semua orang akan diselamatkan. Saya harap hal ini bisa
dimengerti dengan baik.
Herman Bavinck menulis:
“Ada suatu kaitan yang tidak terpisahkan yang serupa
antara pemerolehan dan penerapan keselamatan. Semua manfaat kovenan anugerah
adalah terkait (Rm. 8:28-34) dan mengapatkan dasar di dalam kematian Kristus
(Rm. 5:8-11). Pendamaian di dalam Kristus membawa serta keselamatan dan
keterberkatan. … Penerapan keselamatan harus terekstensi sama luasnya dengan
pemerolehannya. Penerapan tercakup di dalamnya dan merupakan perkembangannya
yang niscaya.
Hal ini memang benar adanya sesuai natur kasusnya.
Jika Yesus adalah benar-benar Juruselamat, Ia harus pula sungguh-sungguh menyelamatkan umat-Nya, bukan secara potensial
tetapi secara riil dan dalam kenyataan, seutuhnya dan secara kekal. Hal inilah
yang sebenarnya membentuk perbedaan inti antara para pendukung dan penentang
pemuasan (pendamaian) partikuler. Perbedaan ini didefinisikan secara tidak
tepat atau setidaknya jauh dari lengkap ketika orang merumuskannya secara
eksklusif dalam pertanyaan apakah Kristus mati dan melakukan pemuasan tuntutan
keadilan Allah bagi semua manusia atau hanya bagi kaum pilihan. … Isu yang
sebenarnya terkait dengan nilai dan kuasa persembahan korban Kristus, natur
karya keselamatan. Menyelamatkan, kata kaum Reformed, berarti menyelamatkan
dengan sungguh-sungguh, sepenuhnya, untuk kekekalan. Hal ini secara logis
muncul dari kasih Bapa dan anugerah Anak. Orang-orang yang Allah kasihi dan
yang baginya Kristus melakukan pemuasan diselamatkan tanpa gagal. Kita harus
membuat pilihan: entah Allah mengasihi semua orang dan Kristus melakukan
pemuasan bagi semua orang – dan kemudian mereka semua, tanpa gagal, akan
diselamatkan – atau Kitab Suci dan pengalaman membuktikan bahwa bukan hal ini
kenyataannya. …
Maka, mereka mengambil pendirian yang teguh untuk
melawan kaum universalis, pertama-tama bukan karena kaum universalis membuat
pendamaian bisa berlaku bagi semua, tetapi terutama karena, dengan berbicara
seperti yang mereka lakukan, mereka mulai mengembangkan suatu pandangan yang
sangat berbeda tentang karya keselamatan dan bersikap kurang adil terhadap nama
Yesus. Di dalam logika ada aturan: “Semakin besar ekstensinya, semakin lemah
genggamannya” (quo maior extensio, minor
comprehensio), dan aturan ini, yang berlaku di dalam berbagai bidang, juga
berlaku di sini. Dengan pura-pura menghormati karya Kristus, para pendukung
pendamaian universal mulai melemahkan, memperkecil, dan melimitasi pendamaian
tersebut. Karena jika Kristus melakukan pemuasan bagi semua orang, maka
pemerolehan keselamatan tidak secara niscaya mengimplikasikan penerapannya,
kecuali kita memegang gagasan Origen bahwa suatu hari semua manusia akan
sungguh-sungguh diselamatkan. Tetapi bukan ini yang dikatakan oleh para
pendukung pendamaian universal. Seperti kaum Reformed, mereka berasumsi bahwa
banyak orang, di dalam dan di luar lingkaran di mana Injil diberitakan baik
dulu maupun sekarang, adalah terhilang. Maka, penerapan keselamatan dilepaskan
dari pemerolehannya; hal itu adalah suatu tambahan aksidental, bukan implikasi
logis dan natural. Oleh karena itu, Allah telah menetapkan Anak-Nya untuk mati
di salib tanpa rencana yang definit untuk menyelamatkan siapa pun tanpa gagal.
Kristus, dengan kematian-Nya tidak
mendapatkan keselamatan seorang pun secara pasti. Dalam analisis terakhir,
penerapan keselamatan bergantung sepenuhnya pada kehendak bebas
pribadi-pribadi. Kehendak bebas ini harus menyempurnakan karya Kristus,
menjadikannya berbuah, dan membiarkannya menjadi realitas. Dengan kata lain,
apa yang tersisa untuk dicapai bukanlah realitas, tetapi kemungkinan
keselamatan; bukan rekonsiliasi aktual, tetapi kemungkinan rekonsiliasi yang
potensial, “keadaan dapat-diselamatkan.” Kristus hanya mendapatkan bagi Allah
kemungkinan untuk masuk ke dalam suatu kovenan anugerah, yaitu memberi kita
pengampunan dosa dan hidup kekal, jika kita percaya. Bagian paling signifikan
dari keselamatan, yang benar-benar memberikan keselamatan, tetap diserahkan
kepada kita untuk kita kerjakan. Kristus tidak menetapkan kovenan itu sendiri
di dalam darah-Nya, Ia tidak secara aktual mengampuni dosa umat-Nya, tetapi
hanya memberitahukan bahwa di pihak Allah tidak ada keberatan untuk membuat
suatu kovenan dengan kita dan untuk mengampuni dosa-dosa kita jika dan hanya sesudah kita, di pihak kita, percaya. Maka, sesungguhnya
Kristus tidak mendapatkan apa pun bagi kita; Ia hanya mendapatkan bagi Allah
kemungkinan untuk mengampuni kita ketika kita memenuhi perintah-perintah Injil.
Oleh karena itu, kaum universalis cenderung
mengurangi nilai dan kuasa dari karya Kristus. Apa yang mereka dapatkan dalam
kuantitas – dan itu pun hanya kelihatannya demikian – mereka kehilangan dalam
kualitas. … Titik beratnya telah digeser dari Kristus dan ditempatkan di dalam
diri orang Kristen. Iman adalah rekonsiliasi yang sejati dengan Allah. …
Universalisme menyebabkan separasi antara ketiga
pribadi dari keberadaan Ilahi, karena Bapa menghendaki keselamatan semua orang,
Kristus melakukan pemuasan bagi semua orang, tetapi Roh Kudus membatasi karunia
iman dan keselamatan hanya bagi sebagian orang. Universalisme menyebabkan
konflik antara tujuan Allah, yang menghendaki keselamatan semua orang, dan
kehendak atau kuasa Allah, yang sebenarnya tidak ingin atau tidak dapat
mengaruniakan keselamatan kepada semua orang. …Universalisme merendahkan
keadilan Allah dengan berkata bahwa Ia menyebabkan pengampunan dan kehidupan
diperoleh bagi semua orang tetapi kemudian gagal membagikan pengampunan dan
kehidupan itu [kepada semua orang]. Universalisme meninggikan kehendak bebas
sampai pada titik di mana kehendak itu memiliki kuasa untuk mempercayai, untuk
membatalkan atau tidak membatalkan karya Kristus, dan untuk memutuskan – bahkan
kuasa untuk menetapkan hasil sejarah dunia ada di dalam tangannya.
Universalisme membawa kepada doktrin, seperti yang dengan tepat diamati oleh
kaum Quaker, bahwa jika Kristus mati bagi semua orang, maka semua orang pasti
diberi kesempatan, entah di dalam dunia ini atau di dunia berikutnya, untuk
menerima atau menolak Dia, karena akan sangat tidak adil untuk mengutuk dan
menghukum mereka yang dosa-dosanya semua telah didamaikan hanya karena mereka
tidak berkesempatan untuk menerima Kristus dengan iman. Universalisme
selanjutnya sampai kepada posisi, yang jelas berkonflik dengan seluruh Kitab
Suci, bahwa satu-satunya dosa yang menyebabkan keterhilangan seseorang adalah
dosa ketidakpercayaan. Bagaimanapun, semua dosa lain telah didamaikan, termasuk
bahkan dosa-dosa “manusia durjana” itu, yaitu Antikristus.”[1]
[1]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Dosa dan Keselamatan di
Dalam Kristus, jld. 3, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ichwei G.
Indra dan Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2016), hal. 583-587.
Diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Inggris oleh John Vriend; ed:
John Bolt, dengan judul Reformed
Dogmatics, Volume 3: Sin and Salvation in Christ (Grand Rapids, Michigan:
Baker Academic, 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar