Hubungan Kedaulatan Allah dan Penetapan Allah Atas Segala Sesuatu
Arthur W. Pink pernah bertanya, “Siapakah yang
mengontrol kehidupan di atas bumi sekarang ini – Allah ataukah iblis?”[1] Pertanyaan
ini merupakan pertanyaan yang sangat signifikan dalam kehidupan Kristen, dan jawaban dari pertanyaan di
atas akan menggiring kita pada konklusi akhir yaitu Allah berdaulat atau Allah
tidak berdaulat. Saya percaya bahwa Tuhanlah yang mengontrol kehidupan di atas
bumi dan bukan Iblis.
Allah berdaulat di bumi
dan di sorga.
Mungkin ada yang
berkata bahwa “Anda tidak melihat betapa jahatnya dunia ini? Bagaimana mungkin
Allah adalah pengontrol dunia ini?” Pertanyaan seperti ini menunjukkan sikap
kita yang pesimis akan Allah, seperti yang diamati oleh James Montgomery Boice:
Mintalah orang Kristen rata-rata untuk berbicara tentang Allah. Setelah melewati jawaban-jawaban yang bisa diperkirakan, Anda akan menemukan bahwa allahnya adalah satu allah yang kecil yang perasaan-perasaannya terombang-ambing. Ia ingin mengendalikan kejahatan, tetapi ia mendapati kejahatan itu melampaui kekuatannya. Maka ia menarik diri kedalam keadaan pensiun dini, bersedia memberikan nasihat yang baik seperti seorang kakek, tetapi lebih banyak ia membiarkan anak-anaknya untuk menjaga diri mereka sendiri dalam lingkungan yang berbahaya.[2]
Tetapi saya
tidak percaya kepada Allah yang lemah seperti itu. Maka respons Boice terhadap
Allah yang serba lemah di atas adalah benar. Boice menulis:
Allah semacam itu bukanlah Allah Alkitab. Mereka yang mengenal Allah mereka bisa mencermati kesalahan dalam jenis pikiran dan tindakan seperti itu. Allah Alkitab tidak lemah; Ia kuat. Ia mahakuasa. Tidak ada satu hal pun yang terjadi tanpa izin-Nya atau terpisah dari tujuan-tujuan-Nya – tidak pula kejahatan. Tidak ada yang mengganggu atau membingungkan Dia. Tujuan-tujuan-Nya selalu digenapi. Karena itu mereka yang mengenal Dia dengan benar akan bertindak dengan keberanian, berkeyakinan bahwa Allah menyertai mereka untuk menggenapi tujuan-tujuan yang diinginkan-Nya sendiri dalam hidup mereka.[3]
Ini berarti
bahkan kejahatan yang mungkin begitu mengerikan dimanapun dan kapanpun tidak
terjadi tanpa kendali Tuhan. Jika kita mengakui bahwa Allah berdaulat, maka
segala sesuatu yang ada didunia ini harus ada dalam kontrol Allah Tritunggal,
sebab seperti yang dinyatakan oleh Arthur W. Pink:
Kedaulatan Allah itu bermakna supremasi Allah, keberkuasaan Allah, serta keilahian Allah. Menyebut Allah berdaulat sama halnya dengan menyebut-Nya sebagai yang mahatinggi, yang berbuat menurut kehendak-Nya terhadap bala tentara langit dan penduduk bumi; dan tidak ada seorang pun yang dapat menolak tangan-Nya dengan berkata kepada-Nya, “Apa yang Kau buat?” (Dan. 4:35). Menyebut Allah berdaulat sama halnya dengan mengumumkan bahwa Ia adalah Yang Mahakuasa, yang empunya segala kuasa di sorga dan dibumi, sehingga tak seorang pun dapat menggagalkan keputusan-keputusan nasihat-Nya, menghalangi tujuan-tujuan-Nya, ataupun menentang kehendak-kehendak-Nya (Mzm. 115:3). Menyebut Allah berdaulat sama halnya dengan menyebut-Nya sebagai yang “memerintah atas bangsa-bangsa” (Mzm. 22:29), yang menegakkan kerajaan-kerajaan dunia dan menggariskan jalan kehidupan dinasti-dinasti sesuai dengan perkenan-Nya. Menyebut Allah berdaulat sama halnya dengan menyatakan bahwa Dia adalah “Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja, Tuan di atas segala tuan” (1 Tim. 6:15).”[4]
Penjelasan Pink
di atas mengungkapkan fakta bahwa tidak ada satu hal pun yang melampaui
kepentingan, kendali, dan otoritas Allah yang ultimat. Tetapi saya mau
berargumen bahwa jika kita setuju dengan penjelasan Pink di atas, maka seluruh
penjelasan Pink hanya bisa terwujud jika Allah
telah menetapkan segala sesuatu yang terjadi. Jika
ada satu hal saja yang terjadi, dan itu terjadi di luar ketetapan Allah, maka
itu sama saja dengan menyatakan Allah tidak mahakuasa, keputusan-Nya bisa tidak
terlaksana, tujuan-Nya tidak tercapai, dan pada akhirnya Ia bukan Allah yang
patut disembah. Sesungguhnya Ia patut dikasihani. Jelas bahwa konsep seperti
ini bertentangan terhadap makna kedaulatan Allah, sebagaimana telah dijelaskan
oleh Pink. Louis Berkhof
menandaskan dengan tegas hubungan yang tak terpisahkan antara kedaulatan Allah
dan penetapan Allah akan segala sesuatu dalam kata-katanya berikut ini:
Teologi Reformed menekankan kedaulatan Allah dalam arti bahwa Ia telah dengan penuh kedaulatan sejak dari kekekalan menetapkan apa saja yang akan terjadi dan melakukan karya kedaulatan-Nya dalam kehendak-Nya atas semua ciptaan, baik yang alamiah maupun yang rohaniah, sesuai dengan rencana yang telah Ia tetapkan sejak semula. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Paulus ketika ia berkata bahwa Allah ‘di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya (Ef. 1:1).[5]
Karena itu kalau kita
percaya bahwa Allah itu berdaulat, maka kita juga harus percaya bahwa Ia
menetapkan segala sesuatu, dan bahwa Ia melaksanakan ketetapan-Nya itu tanpa
tergantung pada siapapun dan apapun di luar diri-Nya! Jelas adalah omong kosong
kalau seorang berbicara tentang kedaulatan Allah atau mengakui kedaulatan
Allah, tetapi tidak mempercayai bahwa Allahlah yang telah menetapkan apapun yang terjadi secara
mutlak.
Alkitab jelas mengajarkan
bahwa Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi. Bukankah Alkitab berkata
bahwa Tuhan menahan hujan di kota yang
satu dan menurunkan hujan di kota atau tempat yang lain (Amos 4:7), Ia juga
mengatur derasnya hujan yang akan
turun tersebut (Ayub 37:6), Ia menetapkan kekuatan
angin, mengatur banyaknya air dan
mengatur jalan bagi kilat guruh (Ayub
28:25-26), Ia yang menetapkan dan mengatur jawaban
yang akan keluar dari mulut kita (Amsal 16:1), Dia mengatur langkah kita (Amsal 16:9; bdk. Yer. 10:23),
Dia mengatur dan menguasai hati setiap
orang dan mengalirkannya kemana Ia
mau (Kel. 12:36; Amsal 19:21; 21:1)[6],
Ia membuat orang kaya dan miskin (1 Sam 2:7; Amsal 22:2); Ia membuat hari
malang, hari mujur, nasib mujur dan nasib malang (Pengkhotbah 7:14; Yesaya 45:6-7; bdk. Ratapan 3:37-38). Jadi jelaslah
bahwa Allah menetapkan segala sesuatu tanpa terkecuali, seperti yang dikatakan
oleh Pemazmur bahwa, “TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya, di langit dan
di bumi, di laut dan di segenap samudera raya (Mazmur 135:6).”[7]
Pada bagian
berikut ini, saya
akan menguraikan secara khusus beberapa cakupan ketetapan Tuhan mulai dari hal-hal kecil atau remeh, hal-hal
yang sering dianggap kebetulan, dan juga tentang dosa.
Ketetapan Allah mencakup hal-hal yang remeh
Mari kita perhatikan Matius
10:29-30.
“Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak
Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung
semuanya.” Ayat 29nya menunjukkan bahwa jatuhnya burung pipit, yang
merupakan sesuatu yang remeh, tidak mungkin terjadi di luar kehendak Tuhan. dan
ayat 30nya harus diartikan searah dengan ayat 29nya. Jadi tidak mungkin ada
satu rambut yang jatuh kalau bukan karena kehendak Tuhan. Hal-hal remeh, kecil
atau tidak berarti seperti jatuhnya burung pipit yang tidak berharga, atau
rontoknya rambut kita, ternyata hanya bisa terjadi kalau hal itu dikehendaki oleh Allah.
Ketetapan Allah mencakup hal-hal yang
bersifat kebetulan
Perhatikan
Keluaran 21:13, “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan
tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan menunjukkan bagimu
suatu tempat, kemana ia dapat lari.”
Yang
dimaksud dengan ‘pembunuhan yang tidak disengaja’ itu dijelaskan dalam Ulangan
19:4-5, yaitu orang yang pada waktu mengayunkan kapak, lalu mata kapaknya
terlepas dan mengenai orang lain sehingga mati. Hal seperti ini kelihatannya
‘kebetulan’, tetapi toh dalam
Keluaran 21:13 di atas dinyatakan
bahwa hal itu bisa terjadi karena ‘tangannya ditentukan Allah melakukan itu.’
Jadi, jelas bahwa hal-hal yang kelihatannya kebetulan sekalipun hanya bisa
terjadi kalau itu sesuai kehendak atau rencana Allah.
Perhatikan lagi
Amsal 16:33, “Undi dibuang dipangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari
pada Tuhan.” Kita sering mengklaim bahwa hasil sebuah undian adalah kebetulan
semata. Tetapi Alkitab berkata lain. Alkitab berkata bahwa hasil undian pun
adalah keputusan Tuhan.
Untuk mengetahui
karena siapa mereka ditimpa badai yang dahsyat, Yunus dan orang – orang yang
ada di dalam kapal membuang undi
untuk mengetahuinya (Yunus 1:7). Lalu apa yang terjadi, Yunuslah yang kena undi
(Yunus 1:7). Apakah ini terjadi diluar rencana Tuhan? Jika anda pernah membaca
cerita Yunus, anda akan berkesimpulan bahwa hal itu terjadi karena kehendak
Tuhan.
Contoh lain dari
hal-hal yang bersifat kebetulan adalah kematian Ahab. Karena takut pada nubuat
Mikha (baca nubuat Mikha dalam 1 Raja-Raja 22:19-23, 28 tentang Ahab), Ahab
menyamar dalam medan pertempuran, agar tidak dikenal sebagai raja israel (1
Raja-Raja 22:30). Tetapi hal itu tidak membuatnya lolos dari rencana Tuhan.
Seseorang dari barisan lawan ‘menarik busurnya secara sembarangan’ dan anak panah itu, terbang dengan ketentuan ilahi,
mengenai sang raja di antara sambungan baju zirahnya, dan ia pun terbunuh (1
Raja-Raja 22:34).
Anda pasti tahu
bagaimana situasi dalam peperangan. Terlalu banyak orang dalam sebuah
peperangan, tetapi kenapa anak panah itu tidak mengenai prajurit yang lain?
Bukankah pemanahan itu dilakukan dengan sembarangan?
Coba bayangkan bagaimana jika anak panah itu tidak mengenai Ahab. Pasti rencana
Tuhan gagal total. Oleh karena itu kebetulan tidak bisa dijadikan dasar sebagai
penentu suatu peristiwa. Kebetulan bukan apa-apa dan ia tidak dapat berbuat
apa-apa. Titik.
Ketetapan Allah mencakup dosa
Jika Allah telah menetapkan apa pun yang terjadi, maka
itu berarti dosa juga termasuk dalam ketetapan Allah. Inilah
topik yang sering diperdebatkan dalam doktrin ketetapan Allah. Doktrin ini
seakan-akan membuat Tuhan bertanggung jawab atas dosa yang dilakukan oleh
setiap orang. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Cornelius Van Til, “Allah
memang tidak bertanggungjawab atas
dosa, tetapi kita juga harus menyangkal ‘bahwa ada hal yang bukan oleh Allah
dan yang berada di luar kehendak-Nya.’”[8]
Jika kita memang mengakui bahwa Alkitab adalah Firman
Allah sebagai hakim terakhir dari ajaran kita, maka saya yakin bahwa dosa
termasuk dalam ketetapan Allah. Misalnya saja, rencana Allah
tentang penebusan manusia dari dosa oleh Kristus (1 Petrus 1:19-20; Kis 2:23;
4:27-28) menunjukkan adanya rencana atau penentuan terjadinya dosa, dan karena
penebusan dosa sudah ditentukan, itu jelas menunjukkan: (a) Dosa manusia yang
akan ditebus oleh Kristus itupun harus juga sudah ditentukan! Karena kalau
tidak, bisa-bisa penebusan itu tidak terjadi. (b) Penyaliban yang dilakukan
terhadap Kristus, yang jelas merupakan suatu dosa yang sangat hebat, bahkan
mungkin paling hebat, jelas juga sudah ada dalam rencana Allah.
Dalam Kisah Rasul 2:23 dinyatakan bahwa “Dia yang diserahkan
Allah menurut maksud dan rencana-Nya,
telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.” Perhatikan juga Kis 4:27-28 yang mengatakan bahwa “Sebab
sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus
beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang
kudus, yang Engkau urapi, untuk
melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa
dan kehendakMu.” Jadi,
dari kedua ayat di atas, terlihat dengan jelas bahwa penyaliban Kristus (yang
merupakan dosa yang sangat serius) adalah ketetapan Allah sendiri. Dengan
demikian bahwa doktrin Reformed yang mengajarkan bahwa segala sesuatu termasuk
dosa adalah hasil dari ketetapan Allah merupakan doktrin yang mengalir dari
Alkitab sendiri.
Kemudian, dalam Lukas 22:22, kita juga menemukan bahwa
bahkan penghianatan Yudas adalah ketetapan Allah, “Sebab Anak Manusia memang
akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang
olehnya Ia diserahkan!”
Contoh lain adalah Daniel 11:36. “Raja
itu akan berbuat sekehendak hati; ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya
terhadap segala allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan
mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh sama sekali, dan ia beruntung sampai
akhir murka itu; sebab apa yang telah
ditetapkan akan terjadi.” Ini menunjukkan bahwa dosa dari raja ini, dimana
ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah, dan mengucapklan
kata-kata tak senonoh terhadap Allah, sudah ditetapkan, dan karena itu pasti
terjadi.
Saya yakin bahwa semua data di atas menunjukkan dengan
pasti, bahwa bahkan dosa sekalipun tercakup dalam ketetapan Allah.
Bagaimana jika dosa berada di luar ketetapan Allah?
Jika dosa berada diluar ketentuan Tuhan, maka banyak
hal yang berada di luar kendali Tuhan, Allah akan menjadi tidak mahakuasa. Edwin
H. Palmer menjelaskan hal ini dengan baik. Ia mengatakan,
Bahkan dengan tidak melawan prinsip Alkitab, kita dapat menyatakan bahwa Allah juga telah menetapkan adanya dosa. Bila dosa berada di luar rencana Allah, maka ini berarti tidak ada satu pun peristiwa penting dalam kehidupan ini yang berada di dalam pemerintahan Allah. Karena tindakan manakah dari manusia yang benar – benar baik? Dengan demikian, seluruh sejarah: kejatuhan Adam, penyaliban Kristus, penaklukkan Kekaisaran Romawi, pertempuran Hastings, Reformasi, Revolusi Perancis, Waterloo, Revolusi Amerika, perang saudara di Amerika, Perang Dunia I dan II, pembunuhan-pembunuhan presiden, kekejaman rasial, serta bangkit dan jatuhnya bangsa-bangsa di dunia manusia, berada di luar apa yang telah Allah tetapkan sejak semula.[9]
Jika dosa berada di luar dekrit Allah, maka hanya sedikit sekali hal yang termasuk di dalam dekrit Allah. Semua kerajaan-kerajaan besar pasti berada di luar dekrit Allah yang kekal yang menentukan, karena kerajaan-kerajaan ini didirikan atas dasar keserakahan, kebencian, ketamakan, dan bukan demi kemuliaan Allah Trinitas. Tentulah para penguasa di bawah ini yang mempengaruhi sejarah dunia dan menentukan hidup sekian banyak orang, tidak memperluas kerajaan mereka untuk kemuliaan Allah, yaitu: Firaun, Nebukadnezar, Koresh, Aleksander Agung, Jenghis Khan, Julius Caesar, Nero, Charles V, Henry VIII, Napoleon, Otto van Bismarck, Hitler, Stalin, Hirohito. Jika dosa melampaui ketetapan Allah sejak semula, maka bukan saja kerajaan-kerajaan yang kejam dan perlakuan mereka berada di luar rencana Allah, tetapi juga setiap kelakukan sehari-hari orang-orang non-Kristen juga berada di luar kuasa Allah. Karena apa pun yang mereka lakukan pasti bukan untuk kemuliaan Allah orang Kristen dan berada di luar iman di dalam Kristus Yesus, yang berarti berdosa. … Tindakan orang Kristen sendiri tidaklah sempurna – bahkan juga setelah ia dilahirkan kembali dan Kristus hidup di dalam dia. Dosa tetap terkait dengan dia. Ia tidak akan menjadi sempurna sampai ia nanti berada di sorga. Misalnya, ia tidak mengasihi Allah dengan segenap hatinya, segenap akal budinya, dan segenap jiwanya, atau juga ia tidak sungguh-sungguh mengasihi sesamanya manusia seperti dirinya sendiri. Bahkan tindakan-tindakannya yang paling terpuji sekalipun sering kali masih tercemar dosa. … jika dosa berada di luar dekrit Allah, maka sebagian besar tindakan-tindakan manusia – baik yang sia-sia maupun yang penting – berada di luar rencana Allah. Kuasa Allah hanya dibatasi sampai wilayah alam saja, seperti memutar galaksi atau menjalankan hukum gravitasi dan entropi. Sebagian besar sejarah berada di luar kontrol-Nya. Tentara-tentara saling menjajah, para penguasa dibunuh, kerajaan bangkit dan runtuh. Tetapi Allah tidak bisa berbuat banyak jika dosa berada di luar dekrit kekal-Nya. Agama yang lain menyapu Afrika dan Timur Tengah dan mempengaruhi sejarah, tetapi hal ini bukanlah seturut kehendak Allah – jika dosa berada di luar rencana Allah.[10]
Sekadar Izin?
Ada satu hal yang sering diperdebatkan pada bagian
ini yaitu tentang penggunaan kata ‘izin.’ Apakah Tuhan hanya sekedar memberi
izin atas terjadinya dosa? Jawabannya tidak. Karena jika Tuhan hanya
mengizinkan dosa terjadi tanpa menentukannya, maka Tuhan hanyalah seorang yang bertugas
mengawasi dan itu sama saja mengatakan bahwa Dia bergantung dengan manusia. Ini
sangat bertentangan dengan natur Allah yang tidak bergantung kepada siapapun di
luar diri-Nya sendiri.[11]
Tetapi satu hal yang perlu dicamkan, yaitu walaupun
Allah menentukan dosa yang dilakukan oleh manusia, Allah sama sekali tidak
bertanggung jawab atas dosa tersebut. Manusialah yang bertanggung jawab akan
dosanya. Jadi, jangan berpikir bahwa karena Tuhan telah menetapkan dosa, maka anda dapat berbuat dosa seenaknya. Hal
ini akan saya bahas lebih mendetail pada tulisan selanjutnya!
bersambung...
[1]Arthur W. Pink, Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum,
2005), 1.
[3]Boice, Dasar-Dasar Iman Kristen,
13.
[5]Louis
Berkhof, Teologi Sistematika:
Doktrin Allah, volume I (Surabaya:
Momentum, 2005), 179.
[6]Tentang Amsal 21:1, Arthur W.
Pink berkomentar, “Adakah yang lebih gamblang daripada ini? dari dalam hatilah
“terpancar kehidupan” (Ams. 4:23), karena sebagaimana seorang manusia “membuat
perhitungan dalam dirinya sendiri, demikianlah ia” (Ams. 23:7). Bila ternyata
hati manusia ada di dalam tangan Allah, dan bila memang “dialirkan-Nya ke mana
Ia ingini,” bukankah jelas bahwa manusia, termasuk juga para penguasa dan
pemerintah, serta semua manusia lainnya, benar-benar berada di bawah kendali
pemerintahan Allah Yang Mahakuasa?” (Kedaulatan
Allah, hal. 42).
[7]Herman
Bavinck menyatakan bahwa ketetapan Allah adalah “’rahim’ dari semua realitas.” Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jilid 2 (Surabaya:
Momentum, 2012), 468. Bavinck adalah seorang teolog Reformed yang juga
sangat mempertahankan doktrin yang mengatakan bahwa Allah menetapkan segala
sesuatu yang terjadi secara mutlak. Lihat pembahasannya dalam karya besarnya, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jilid
II, 421-509.
[8]Cornelius Van Til, An Introduction to Systematic Theology, 274, dikutip oleh John M. Frame
dalam, Cornelius Van Til: Suatu Analisis
Terhadap Pemikirannya (Surabaya: Momentum, 2002), 87.
[9]Edwin H. Palmer, Lima Pokok Calvinisme (Surabaya:
Momentum, 2013), 123.
[10]Palmer,
Lima Pokok Calvinisme, 149-151.
[11]Beberapa
Teolog Reformed seperti Louis Berkhof menggunakan istilah ‘izin’ dalam kaitan
dengan dosa. Tetapi ‘izin’ yang dimaksudkan adalah bukan ‘izin’ yang bersifat
‘pasif’ tetapi yang ‘mutlak pasti.’ Perhatikan penjelasan Berkhof mengenai hal
ini dalam kata-katanya berikut ini, “Kita biasa menyebut ketetapan Allah yang
berkaitan dengan kejahatan moral sebagai ketetapan yang mengizinkan atau
memperbolehkan. Melalui ketetapan-Nya Allah mengizinkan tindakan atau perbuatan
dosa manusia tanpa adanya maksud menyebabkan perbuatan dosa itu dengan cara
bertindak langsung dan dalam kehendak yang terbatas. Hal ini berarti bahwa
Allah tidaklah secara positif bertindak dalam diri manusia “baik untuk
menghendaki maupun melakukan” pada saat manusia melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kehendak-Nya yang telah dinyatakan. Akan tetapi harus
senantiasa kita perhatikan bahwa ketetapan yang mengizinkan ini tidaklah
mengandung maksud adanya satu izin pasif akan sesuatu yang tidak berada di
bawah pengturan kehendak Allah. Ketetapan ini adalah ketetapan yang melihat
tindakan berdosa di masa datang sebagai sesuatu yang mutlak pasti, tetapi di
dalamnya Allah menentukan: (a) tidak untuk menghalangi penentuan sendiri yang
berdosa dan kehendak manusia yang terbatas, dan (b) mengatur dan mengawasi
hasil dari keputusan sendiri yang berdosa dari manusia ini.” (Berkhof, Teologi Sistematika:
Doktrin Allah, volume 1, 190). Lihat
juga Palmer, Lima Pokok Calvinisme, 151-152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar