Oleh: Join Kristian Zendrato
Pada tulisan sebelumnya, saya telah mempertahankan
bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah secara mutlak (untuk membaca tulisan saya sebelumnya, klik di sini). Nah, mungkin
Anda bertanya-tanya bagaimana doktrin itu bisa diselaraskan dengan kebebasan
dan tanggung jawab manusia. Untuk itu dalam tulisan kali ini, saya akan
membahas masalah tersebut.
Ketetapan Allah dan
Kebebasan Manusia
Langsung saja, meskipun Allah telah menetapkan segala
sesuatu secara mutlak, hal itu tidak membuat manusia menjadi robot. Allah
memang menetapkan segala sesuatu, tetapi manusia bebas melakukannya tanpa
bertentangan dengan ketetapan Allah.
Bagi sebagian orang, hal ini seperti omong kosong yang
tak berarti. Tetapi saya memilih untuk tunduk di bawah firman Tuhan. Dua
kebenaran ini diajarkan tanpa pemisahan oleh Alkitab. Kita tidak boleh membuang
yang satu demi mempertahankan yang satu.
Dalam Keluaran 7:3 misalnya dinyatakan bahwa Tuhan akan
mengeraskan hati Firaun, tetapi pada waktu ketetapan Allah itu terlaksana,
ternyata Firaun mengeraskan hatinya sendiri (Kel 7:13,22; 8:15,19,32;
9:7,34-35). Kemudian dalam
Ayub 1:21 Ayub berkata, “Tuhan yang mengambil.” Tetapi dalam Ayub 1:15,17
orang-orang Syeba dan Kasdim melakukan perampokkan itu dengan kemauan mereka
sendiri. Lebih lanjut,
dalam Yesaya 10:5-7 tertulis sebagai berikut:
“Celakalah Asyur, yang menjadi cambuk
murka-Ku dan yang menjadi tongkat amarah-Ku! Aku akan menyuruhnya
terhadap bangsa yang murtad, dan Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran
murka-Ku, untuk melakukan perampasan dan penjarahan, dan
untuk menginjak-injak mereka seperti lumpur di jalan. Tetapi dia sendiri tidak demikian maksudnya dan tidak demikian
rancangan hatinya, melainkan niat hatinya ialah hendak memunahkan dan hendak
melenyapkan tidak sedikit bangsa-bangsa.” Asyur
adalah alat Tuhan untuk menghukum Israel, tetapi Asyur melakukan sendiri dengan
motivasi yang lain.
Dalam Daniel 11:36 yang telah kita singgung
sebelumnya kita membaca, “Raja itu akan
berbuatsekehendak hati; ia akan meninggikan danmembesarkan dirinya terhadap
setiap allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan
mengucapkan kata-kata yang tak senonoh sama sekali, dan ia akan beruntung
sampai akhir murka itu; sebab apa yang telah ditetapkan akan terjadi.” Ini menunjukkan bahwa dosa dari raja ini, dimana ia
akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah, dan akan
mengucapkan kata-kata tak senonoh terhadap Allah, sudah ditetapkan, dan karena
itu pasti akan terjadi. Walaupun begitu, “Raja itu akan berbuat
sekehendak hatinya.”
Kemudian,
dalam kasus Yudas, yang juga telah kita singgung sebelumnya, kita melihat bahwa
Yudas mengkhianati (menyerahkan) Yesus sesuai dengan ketetapan Allah (Luk 22:22),
tetapi pada waktu Yudas melakukan hal itu, ia betul-betul melakukannya dengan
kehendaknya sendiri. Kita tidak melihat bahwa Allah memaksa dia untuk
mengkhianati Yesus.
Dari
semua data Alkitab di atas, maka jika kita adalah orang Kristen yang menerima
Alkitab sebagai Firman Allah, maka kita harus mempercayai bahwa Allah memang
menetapkan segala sesuatu termasuk dosa, tetapi di sisi lain, kita juga harus
mempercayai bahwa manusia tetap bebas.
Manusia tetap bertanggung jawab
atas tindakannya
Adanya penetapan
Allah juga tidak
membuang tanggung jawab manusia. Manusia tetap bertanggungjawab atau mempunyai
kewajiban untuk melakukan hal yang terbaik sesuai dengan Firman Tuhan. Kita tidak boleh memakai topeng doktrin ketetapan
Allah ini untuk hidup ‘semau gue.’
Jadi, kita harus tetap hidup sesuai dengan kehendak Allah
yang dinyatakan kepada kita (yaitu Firman Tuhan), bukan berdasarkan kehendak rencana atau ketetapan Allah yang tersembunyi
atau yang tidak kita ketahui. Dalam Ulangan 29:29 dikatakan bahwa, “Hal-hal
yang tersembunyi ialah bagi Tuhan Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan
ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selma-lamanya, supaya kita
melakukan segala perkataan hukum Taurat ini.”
Perhatikan bahwa
ayat ini berkata bahwa: ‘hal-hal yang tersembunyi’ itu ialah ‘bagi Tuhan.’ Jadi,
rencana Allah yang tidak kita ketahui itu bukan untuk kita, dan karenanya itu
bukan pedoman hidup kita.
Juga perhatikan kata-kata ‘hal-hal yang dinyatakan’ ialah
‘bagi kita.’ Jadi, ‘hal-hal yang dinyatakan’ ini ialah
hukum taurat, atau Firman Tuhan. Ini dikatakan ‘bagi kita’, dan karenanya
inilah pedoman hidup kita.
Jadi, misalnya, dalam persoalan
keselamatan, Tuhan
sudah memilih orang-orang tertentu untuk selamat (Ef 1:4,5,11) dan orang-orang
tertentu untuk binasa (Yoh 17:22, Roma 9:22), tetapi kita tidak tahu siapa yang
dipilih untuk selamat dan siapa yang dipilih untuk binasa. Jadi itu adalah
kehendak Allah yang tersembunyi dan tidak boleh kita jadikan dasar atau pedoman hidup kita, misalnya dengan
berpikir atau bersikap seperti ini: “mungkin orang itu bukan orang pilihan, sehingga
hanya membuang-buang waktu dan tenaga untuk menginjili dia. Biarkan saja dia,
kalau ternyata dia orang pilihan, toh
nanti dia akan percaya dengan sendirinya.” Sebaliknya, Matius 28:19-20
merupakan perintah untuk memberitakan Injil kepada semua orang. Jadi pada waktu
kita
bertemu dengan seseorang, bukanlah urusan kita apakah orang itu dipilih untuk
selamat atau binasa. Itu tidak kita
ketahui dan karenanya bukan pedoman hidup kita. Urusan kita adalah melakukan perintah Firman
Tuhan dalam Mat 28:19-10, yaitu memberitakan Injil.
Contoh lainnya adalah dalam persoalan
kematian atau kesehatan.
Jika
saya
terkena suatu penyakit dan saya
mungkin berpikir: “Mungkin saya sudah ditetapkan untuk mati, jadi percuma saya
berusaha untuk sembuh.” Ini sikap yang salah! Memang Tuhan sudah menentukan
saat kematian saya
(1 Sam 2:6; Maz 39:5-6), dan juga apakah saya sembuh atau tidak, dan kalau
Tuhan menentukan saya
sembuh maka saat kesembuhannya juga sudah ditentukan, dan semua ketentuan Allah
itu pasti terjadi. Tetapi persoalannya adalah: saya tidak tahu akan ketetapan Allah
itu! Itu merupakan ‘hal yang tersembunyi’ bagi Saya dan karena itu maka hal itu
bukan pedoman hidup saya.
Pedoman hidup saya
adalah Kitab Suci, dan Kitab Suci menyuruh saya untuk mengasihi diri saya sendiri (Mat 22:39; Ef
5:28-29). Karena itu saya harus berusaha untuk sembuh, selama saya tidak
mencari kesembuhan itu dengan jalan yang salah, misalnya dengan pergi ke dukun.
Contoh lain adalah dalam persoalan melakukan dosa. Kalau ada orang yang berbuat jahat
kepada anda, dan anda digoda setan untuk membalasnya, maka anda tidak boleh
berpikir: ‘Barangkali saya ditentukan untuk membalas’. Faktanya adalah anda
tidak mengetahui ketentuan Allah dalam persoalan itu, lalu mengapa
menebak-nebak apa yang tidak anda ketahui? Dan kalau menebak, mengapa tidak
menebak sebaliknya? Karena hal itu tidak diketahui, maka itu bukan pedoman
hidup anda. Pedoman hidup anda adalah apa yang dinyatakan kepada anda dalam
Kitab Suci, yaitu “Kasihilah musuhmu” (Matius 5:44).
Kalau
anda mencari pasangan hidup, dan lalu jatuh cinta kepada seseorang yang belum
percaya kepada Kristus, maka jangan berpikir: “Barangkali saya ditentukan untuk menikah
dengan orang kafir.”
Pedoman hidup anda adalah Kitab Suci yang berkata: “Janganlah kamu merupakan
pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya” (2 Kor
6:14a). Atau kalau
anda sudah menikah dan lalu tergoda oleh seorang wanita lain, jangan berpikir: “Mungkin saya ditentukan untuk
berzinah.”
Pedoman anda
adalah Kitab Suci yang berkata: “Jangan berzinah” (Kel 20:14).
Dengan demikian, maka baik ketetapan
Allah atas segala sesuatu, maupun kebebasan, dan tanggung jawab manusia harus
diterima dengan kerendahan hati. G.K Chesterton menyimpulkan hal ini
dalam kata-katanya yang indah berikut ini, “...Kekristenan mengatasi kesulitan
dalam mengkombinasikan hal-hal yang sedemikian berlawanan dengan jalan memelihara
kedua-duanya, dan memelihara kedua-duanya dengan sedemikian bersungguh-sungguh.”[1]
Jika
kita menerima Alkitab sebagai penentu benar tidaknya
sebuah ajaran, kita harus menerima konsep paradoks ini, dan mempercayai bahwa apa
yang tidak dapat kita selaraskan dalam otak kita yang terbatas ini mendapatkan
keselarasan dalam pikiran Allah.[2]
Kita harus menundukkan keingintahuan kita yang berlebihan tentang misteri ini
dibawah otoritas Alkitab. Keingintahuan yang berlebihan akan misteri ini
merupakan keingintahuan yang sia-sia. Calvin menyebut keingintahuan seperti ini
sebagai sebuah kegilaan![3]
Sekali
lagi saya tekankan bahwa sebagai orang percaya, kita harus senantiasa
menundukkan rasio kita di bawah otoritas firman Tuhan. Rasio yang berusaha
untuk berada di atas firman Tuhan dan dengan demikian menghakimi firman Tuhan,
tidak pantas dijadikan sebagai acuan untuk menemukan kebenaran. Sekali lagi,
marilah kita bersikap bijaksana dalam hal ini dengan menerapkan prinsip John Calvin
yang diungkapkan oleh Richard D. Philips berikut ini: “Dimana Alkitab
mengakhiri satu pengajaran, marilah kita mengakhiri pembelajaran itu.”[4]
Allah Tidak Berhutang “Penjelasan”
Dari
penjelasan dan juga dari banyak ayat-ayat yang sudah kita lihat di atas, kita
mungkin bertanya-tanya, “Kenapa Tuhan tidak memberikan penjelasan yang
komprehensif mengenai hal ini?” Jawabannya adalah Allah tidak pernah berhutang
kepada kita suatu penjelasan tentang apa yang Dia lakukan.[5]
Sebagai
contoh, kita sering berharap bahwa Allah bercerita panjang lebar dalam Kejadian 3, cerita tentang masuknya
kejahatan ke dalam dunia. Darimana asalnya Ular (Setan)? Jika ia memang pada
mulanya baik bersama dengan ciptaan yang lainnya (Kej. 1:31), bagaimana ia bisa
menjadi jahat? Mengapa ia diizinkan masuk ke dalam Taman Eden untuk mencobai
Hawa? Mengapa Allah yang baik malah menetapkan sebelumnya keseluruhan peristiwa
ini? Jika Ia menetapkan sebelumnya respon Adam dan Hawa, dengan hak apa Ia
menghukum mereka? Semua pertanyaan ini secara alami muncul di dalam konteks,
tetapi bagian Alkitab tersebut tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Juga,
ketika Adam memunculkan problem kejahatan dengan mempersalahkan Allah karena
memberinya isteri yang mencobai Dia (ay. 12), Allah tidak memberikan dasar
pemikiran apapun atas apa yang telah Ia lakukan. Malah Ia menunjukkan kejahatan
Adam sendiri, menjatuhkan hukuman terhadapnya, dan lalu meninggalkan tempat
tersebut.[6]
Contoh
lain yang menarik dalam kaitannya dengan hal ini adalah Matius 20:1-16,
perumpaan Yesus tentang para pekerja di kebun anggur. Sebagian dari mereka
hanya bekerja satu jam, yang lain sepanjang hari, tetapi mereka semua
memperoleh upah yang sama.[7]
Beberapa orang protes tentang ketidakadilan. Tetapi tuan itu (Allah) menjawab,
“Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah
sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan
kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas
mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau irikah engkau, karena aku
murah hati?” (ay. 13-15).
Dari
perumpamaan di atas, John M. Frame menyimpulkan: (1) Tuduhan dibalikkan: penuduh dituduh iri hati. (2)
Kedaulatan Allah ditekankan (“Tidakkah Aku berhak...?”). (3) Alasan pembagian
yang tidak rata tidak diberikan; sang tuan merasa tidak wajib memberikan
alasannya. Kepada hal-hal ini kita dapat
menambahkan tentang (4) dapat dipercayanya perkataan si tuan (Tidak
setujukah...?). Sang tuan memberikan sedinar, dan itulah memang yang ia
berikan. Pernyataannya dapat dipercaya; Ia bukan pembohong. Karena itu, problem
apapun yang mungkin terkait dengan distribusi Allah atas kebaikan dan
kejahatan, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa firman-Nya, dimana Ia
menjanjikan berkat-berkat bagi umat-Nya, tidak dapat dipercaya. Dan perhatikan
juga bahwa (5) interpretasi yang benar tentang faktanya sesungguhnya
menkonfirmasi karakter sang tuan.
Sebagaimana sang tuan melihat permasalahan itu (dan ia, tentu saja, benar!),
perbedaan dalam pembayaran bukan menunjukkan ketidakadilan terhadap mereka yang
bekerja sepanjang hari, tetapi kemurahan terhadap mereka yang bekerja hanya
satu jam.[8]
Pola
yang sama juga hadir dalam Roma 9. Pertanyaan ayat 14, “Apakah Allah tidak
adil?” (dalam membenci Esau sebelum kelahirannya), mendapatkan jawaban Paulus:
“Mustahil!” Tetapi mengapa harus kita katakan bahwa Allah adil dalam kaitannya
dengan ini? Karena Allah “menaruh belas
kasihan kepada siapa Dia mau menaruh belaas kasihan dan bermurah hati kepada
siapa Dia mau bermurah hati” (ay. 15). Dengan kata lain, Allah memiliki hak
berdaulat untuk melakukan apa saja yang Ia inginkan, dan tidak perlu ada
penjelasan lebih jauh. Orang yang terus menerus menyalahkan Allah (seperti
dalam ay. 19) berarti dirinya sendiri menjadi sasaran kesalahan yang ia tujukan
kepada Allah, seperti halnya sebuah periuk tanah liat yang menanyakan tujuan si
tukang periuk yang membuatnya (ay. 20-21). Si tukang periuk berdaulat atas
tanah liat tersebut baik dalam hal kontrol maupun otoritasnya.[9]
Ada
beberapa hal yang perlu kita perhatikan dari contoh di atas: (1) Kita tidak
berhak untuk memprotes Allah….
(2) Allah tidak berada di bawah kewajiban apa pun untuk memberi kita suatu
jawaban yang secara intelektual memuaskan atas problem kejahatan. Meskipun
demikian Ia mengharapkan kita untuk percaya kepada-Nya. (3) Kedaulatan Allah
tidak boleh dipertanyakan sehubungan dengan problem kejahatan; malah harus
digaris bawahi. (4) Firman Allah, kebenaran-Nya, sama-sama dapat dipercaya. (5)
sesungguhnya, Allah bukan tidak adil. Ia kudus, adil dan baik.[10]
Dengan
demikian, apakah kita masih bertanya mengapa Allah yang baik menetapkan adanya
penyesatan (Mat. 18:7)? Jika Ia menetapkan sebelumnya bahwa penyesat harus ada,
dengan hak apa Ia menghukum mereka? Sekali lagi, kita tidak mempunyai hak
sedikit pun untuk meminta penjelasan yang komprehensif dari Tuhan dan
sebaliknya Tuhan tidak pernah berhutang untuk memberikan suatu penjelasan
tentang tindakan-Nya kepada kita!
Untuk
menyimpulkannya: Allah, sebagai Tuhan yang berdaulat, adalah standar bagi
tindakan-Nya sendiri. Ia tidak tunduk pada penilaian manusia; sebaliknya,
penilaian kita harus tunduk pada firman-Nya.[11]
Kita tidak mungkin mengerti semua pikiran Tuhan (Roma 11:33), maka setelah kita
melihat misteri tersebut, bersama dengan pemazmur kita hendaknya menyatakan,
“Aku kelu, tidak kubuka mulutku, sebab Engkau sendirilah yang bertindak” (Mzm.
39:10).
Kesimpulan
Jika kita memakai logika kita yang
terbatas dan tidak menerima konsep paradoks ini, maka hanya ada dua pilihan
yang sedang menanti Anda, yakni Arminianisme dan Hyper–Calvinis. Keduanya
menganggap bahwa kedaulatan Allah bertentangan dengan tanggung jawab manusia.
Karena itu, mereka beranggapan bahwa salah satu harus dibuang. Bedanya,
Arminian membuang kedaulatan Allah, sedangkan Hyper-Calvinis membuang tanggung
jawab manusia, sehingga mereka (Arminian dan Hyper-Calvinis) tidak mempunyai
kesulitan untuk memahami secara rasionil kedua fakta ini (kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia).
Tetapi
tindakan membuang salah satu dari kelompok ayat-ayat di atas merupakan tindakan
yang tidak bertanggung jawab terhadap kesaksian Alkitab. Calvinisme tetap
dengan teguh memegang kedua-duanya, baik ketetapan Allah yang mencakup segala
sesuatu, maupun kebebasan dan tanggung jawab manusia. Seperti yang ditegaskan
oleh Dr. Edwin Palmer:
Dengan melawan semua logika
manusia, kaum Calvinis menyatakan bahwa bila manusia melakukan sesuatu
kebaikan, maka Allahlah yang harus dipuji; dan bila manusia melakukan suatu
kejahatan, manusia itu yang harus dipersalahkan. Manusia tidak dapat membantah.
Dengan kepercayaan yang teguh akan hal tersebut serta kerelaan untuk
mempercayai semua yang tertulis di dalam Alkitab, kaum Calvinis menerima
paradoks antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Mereka tidak dapat
menyelaraskan kedua fakta ini, tetapi karena Alkitab mengajarkan tentang kedua
fakta tersebut, mereka menerima keduanya.[12]
Itulah
Calvinisme yang sejati!
Soli Deo Gloria!
[1]G.K
Chesterton, Orthodoxy (Garden City:
Doubleday, 1959), 95. Dikutip oleh Anthony Hoekema, Diselamatkan Oleh Anugerah (Surabaya: Momentum, 2001), 19.
James Innel Packer juga mengatakan bahwa dua kebenaran ini diajarkan oleh Kitab
Suci. Ia menulis, “Alkitab mengajarkan kedaulatan Allah dan tanggung jawab
manusia secara berdampingan; terkadang bahkan dalam bagian Alkitab yang sama.”
Lalu ia merujuk Lukas 22:22 dan Kisah Rasul 2:23 sebagai contoh. Lihat J. I
Packer, Penginjilan dan Kedaulatan Allah (Surabaya:
Momentum, 2014), 13-dst.
[3]Calvin
misalnya menulis, “Dalam
hal-hal yang tidak diizinkan untuk diketahui manusia, maka kebodohan merupakan
pengetahuan, sedangkan keingintahuan merupakan suatu kegilaan,” Institutes, 3.23.8. Dikutip oleh Edwin
Palmer, Lima pokok Calvinisme, 131,(footnote). Calvin juga menulis, “Orang-orang yang ingin mengetahui
lebih dari yang telah dinyatakan Allah bagaikan orang-orang gila. Lebih baik
kita berada dalam kebodohan yang bijaksana daripada berada dalam perasaan yang
membius karena ingin mengetahui lebih dari yang Allah izinkan,”
dalam “The Eternal
Predestination of God,” dalam Calvin’s
Calvinism, 127. Dikutip oleh Palmer, Lima Pokok Calvinisme, 131, (footnote).
[7]Ini
jangan ditafsirkan sebagai suatu model biblikal tentang relasi manajemen dengan
pekerja! Dalam konteks Injil Matius, tampaknya Injil ini berfokus pada suatu
kenyataan bahwa orang non-Yahudi berbagi berkat Allah dengan orang-orang
Yahudi, dan bahwa kedua kelompok tersebut akan menerima berkat-berkat yang
sama, meskipun orang-orang Yahudi telah menjadi umat Allah sejak lama.
Perhatikan poin yang sama dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk.
15:11-32), di mana anak durhaka yang pulang menerima berkat jauh lebih besar
daripada yang dipikirkan oleh kakaknya (ay. 28-32).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar