Oleh: Join Kristian Zendrato
Beberapa waktu yang lalu, saya telah menulis sebuah
artikel mengenai penetapan Allah atas segala sesuatu (untuk membaca artikel
saya tersebut klik di sini dan di sini). Dalam artikel tersebut saya mempertahankan bahwa
segala sesuatu yang terjadi, termasuk dosa adalah ketetapan kehendak Allah.
Tidak ada satu pun yang terjadi di luar kehendak Allah.
Nah, sekarang saya akan menguraikan satu dasar lagi
bagi doktrin tersebut, yakni dengan menelusuri hubungan antara kemahatahuan
Allah dengan penetapan-Nya atas segala sesuatu. Saya berargumen bahwa doktrin
kemahatahuan Allah adalah salah satu dasar yang sangat kuat untuk mendukung
doktrin penetapan Allah atas segala sesuatu. Saya akan memaparkan argumen
tersebut secara ringkas berikut ini.
Pertama. Saya percaya bahwa sebelum segala ciptaan
ada, maka yang ada hanya Allah sendiri. Ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Allah
adalah Pencipta segala sesuatu (bdk. Kej. 1:1; Nehemia 9:6; Yoh. 1:3).
Kedua. Dalam
kekekalan itu, ketika semua ciptaan belum ada, saya percaya bahwa Allah telah
mengetahui segala sesuatu secara mutlak. Saya percaya bahwa atribut-atribut
Allah, seperti kemahatahuan-Nya tidak pernah terpisah dengan hakikat Allah
sendiri. Tidak ada suatu waktu dimana Ia tidak mahatahu. Ia senantiasa
mahatahu. Herman Bavinck menegaskan, “Pengetahuan [Allah] tersebut meliputi segala sesuatu dan karenanya mahatahu
dalam arti yang ketat” (penekanan dari saya).[1] Dalam
hemat saya, doktrin kemahatahuan Allah ini harus diterima secara mutlak oleh
orang-orang yang mempercayai Alkitab sebagai Firman Allah, sebab Alkitab memang
dengan jelas mengajarkan bahwa Allah mahatahu. Sebagaimana diungkapkan oleh
Bavinck, “Tidak ada satu bagian pun dari Kitab Suci yang menunjukkan bahwa
adanya satu hal yang tidak diketahui oleh Dia”[2] (bdk.
1 Samuel 2:3; Ayub 37:16; Ibrani 4:13).[3]
Daud mengakui kemahatahuan Allah ini ketika ia berkata:
TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;
Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri,
Engkau mengerti pikiranku dari jauh.
Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan
berbaring,
segala jalanku Kaumaklumi.
Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan,
sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.
Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku,
dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku.
Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu
tinggi,
tidak sanggup aku mencapainya.
(Mazmur 139:1-6)
Ketiga. Jika Allah itu telah mengetahui segala
sesuatu secara mutlak dalam kekekalan, sebelum segala ciptaan ada, maka saya
percaya bahwa segala sesuatu pasti terjadi persis seperti apa yang diketahui
Allah dalam kekekalan. Jadi, kalau misalnya dalam kekekalan Ia tahu akan
terjadi A, maka dalam waktu, ketika itu terjadi, yang terjadi pasti A, tidak bisa terjadi B atau C. Tidak
ada ruang bagi kemungkinan-kemungkinan kosong. Jika hari ini, saya memakai baju
warna hijau, maka dalam kekekalan, Allah tahu bahwa saya memang akan memakai
baju warna hijau hari ini. Jika dalam kekekalan, Allah mengetahui bahwa saya
akan memakai baju berwarna hijau hari ini tetapi hari ini saya tau-taunya
memakai baju merah, maka pengetahuan Allah itu salah. Jelas ini tidak mungkin.
Jadi, ada keselarasan antara apa yang
diketahui oleh Allah, dan terjadinya
yang diketahui itu.
Keempat. Jika Allah memang mengetahui dengan pasti
apa yang akan terjadi secara mutlak, maka tidak bisa tidak segala sesuatu sudah
tertentu. Pengetahuan-Nya tidak bisa
bertentangan dengan apa yang terjadi dalam sejarah. Jika ada satu saja yang
terjadi yang tidak sesuai dengan apa yang Dia ketahui, maka Dia tidak mahatahu.
Singkatnya, jika Allah mengetahui segala sesuatu secara mutlak dan pasti, maka
segala sesuatu pasti sudah tertentu dalam kekekalan.
Kelima. Sekarang, saya akan mengajukan pertanyaan
ini: jika segala sesuatu sudah tertentu dalam kekekalan, siapakah yang
menentukkannya? Tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri, karena
hal-hal itu belum ada! Maka saya yakin bahwa satu-satunya alternatif untuk
menjawab pertanyaan di atas adalah bahwa Allah lah yang menentukannya, sebab
dalam kekekalan hanya Dia sendri yang ada (lihat bagian nomor satu di atas).
Menurut saya, ini adalah implikasi yang sangat logis, seperti ditegaskan oleh
Loraine Boettner, “jika Allah mengetahui terlebih dahulu suatu kejadian di masa
mendatang, berarti kejadian tersebut sudah tetap dan pasti seoah-olah sudah
ditetapkan terlebih dahulu, karena pra-pengetahuan implikasinya adalah
kepastian, dan kepastian implikasinya adalah penetapan terlebih dahulu.”[4]
[1]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jilid
II (Surabaya: Momentum, 2012), 235.
[2]Bavinck, Dogmatika Reformed, jilid II, 235.
[3]Lihat Bavinck, Dogmatika Reformed, jilid II, 235-241;
Louis Berkhof, Teologi Sistematika:
Doktrin Allah, volume I (Surabaya: Momentum, 2005), 110.
[4]Loraine Boettner, Iman Reformed (Surabaya: Momentum,
2000), 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar