Oleh: Join Kristian Zendrato
Ini merupakan seri terakhir dari seri tulisan saya
mengenai keilahian Yesus Kristus. Untuk teman-teman yang belum membaca seri
sebelumnya, silahkan klik link berikut ini:
- Untuk Seri #Pertama http://join-christian-faith.blogspot.com/2018/09/studi-doktrinal-keilahian-yesus-seri.html
- Untuk Seri #Kedua http://join-christian-faith.blogspot.com/2018/09/studi-doktrinal-keilahian-yesus-seri_19.html
- Untuk Seri #Ketiga http://join-christian-faith.blogspot.com/2018/09/studi-doktrinal-keilahian-yesus-seri_20.html
- Untuk Seri #Keempat http://join-christian-faith.blogspot.com/2018/09/studi-doktrinal-keilahian-yesus-seri_21.html
Pada seri terakhir
ini saya akan mempertahankan argumentasi ini: Jika Yesus bukan Allah, maka Yesus
tidak bisa menjadi seorang nabi, guru moral atau teladan yang baik. Jika Yesus
bukan Allah, maka Ia hanyalah seorang gila atau penipu brengsek.
Tidak diragukan, seperti yang dinyatakan
oleh Millard J. Erickson bahwa Yesus, “tidak pernah menyatakan secara langsung, “Aku ini Allah.””[1] Fakta
seperti ini, sering digunakan oleh banyak orang untuk menunjukkan bahwa Yesus
bukan Allah. Bagi
saya, ini adalah argumentasi paling cetek dan tolol. Perlu dipertanyakan atas
otoritas apa dan siapa orang-orang ini memunculkan klaim seperti ini bahwa
satu-satunya dasar untuk membuktikan keilahian Yesus adalah dengan menunjukkan
kata-kata Yesus yang menyatakan, “Aku adalah Allah?” Pembuktian keilahian Yesus
tidak hanya didasarkan pada kata-kata Yesus saja, tetapi pada seluruh Alkitab,
yang diyakini oleh orang Kristen sebagai firman Allah yang tidak bisa salah.
Juga, meskipun Yesus tidak pernah menyatakan secara langsung, “Aku adalah
Allah,” tetapi dari klaim-klaim-Nya dan tindakan-tindakan yang dilakukan-Nya,
kita bisa yakin bahwa Yesus adalah Allah. Faktanya, ada banyak klaim-klaim Yesus
dalam Alkitab “yang tidak pantas
diucapkan seandainya itu diucapkan oleh seorang yang bukan Allah.”[2] Saya akan menunjukkan beberapa
contoh mengenai hal ini.
Dalam Matius 9:2, Yesus menyatakan
bahwa, “Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni.” Ahli-ahli Taurat yang
ada ada di situ menganggap bahwa kata-kata Yesus merupakan penghujatan kepada
Allah (ay. 3), karena dengan pernyataan seperti itu, Yesus mengklaim diri-Nya
sebagai seseorang yang bisa melakukan apa yang hanya bisa dilakukan oleh Allah sendiri. Reaksi Yesus tidak
menunjukkan tanda-tanda penyesalan. Dia justru semakin menekankan bahwa Ia
mempunyai hak tersebut dengan berkata, “Anak Manusia (Yesus) berkuasa
mengampuni dosa” (ay. 6). Jadi, bagian ini sangat jelas menunjukkan bahwa Yesus
adalah Allah. C.S. Lewis, sebagaimana dikutip oleh Charles Swindoll,
menyimpulkan hal ini dengan sangat baik dalam kata-katanya berikut ini:
Jika bukan Allah sendiri yang berbicara, tindakan (mengampuni dosa) ini benar-benar mustahil dilakukan dan menggelikan. Kita semua bisa mengerti bagaimana seseorang mengampuni serangan-serangan yang ditujukan kepadanya. Jika Anda menginjak kaki saya, saya maafkan Anda; jika Anda mencuri uang saya, saya maafkan Anda. Namun, apa yang harus kita lakukan pada seseorang yang tidak dirampok dan tidak diinjak kakinya, tetapi mengatakan bahwa ia mengampuni Anda karena menginjak kaki orang lain dan mencuri uang orang lain? Kebodohan yang konyol adalah ungkapan yang paling tepat yang bisa kita berikan pada tindakan seperti itu. Tetapi, itulah yang dilakukan Yesus. Ia berkata kepada orang-orang bahwa dosa mereka diampuni, dan tidak pernah menunggu untuk bertanya kepada orang lain yang merasa tersinggung karena dosa-dosanya. Tanpa ragu Ia bersikap seolah-olah Ia adalah orang yang bertanggung jawab atas hal itu, orang yang paling tersinggung dari semua serangan. Hal ini masuk akal hanya jika Ia adalah Allah yang hukum-hukum-Nya telah dilanggar dan yang kasih-Nya telah dilukai oleh setiap dosa. Jika kata-kata seperti ini keluar dari mulut seseorang yang bukan Tuhan, maka kata-kata ini hanya akan menyiratkan apa yang bisa saya katakan sebagai suatu kekonyolan dan saya anggap tidak ada tandingannya dari tokoh mana pun di dalam sejarah.[3]
Kemudian di Yohanes 3:13, Yesus
mengklaim bahwa Ia turun dari Sorga. Dalam pasal yang sama ayat 16, Yesus berkata bahwa setiap orang yang percaya
kepada-Nya akan beroleh hidup yang kekal. Di Yohanes 8:58, Yesus berkata bahwa,
“sebelum Abraham jadi, Aku telah ada,” padahal Abraham sudah mati sebelum Yesus
lahir. Di Yohanes 14:13-14, Yesus mengklaim bahwa Ia bisa mengabulkan doa. Lebih
hebat lagi, Yesus menyatakan bahwa pada akhir zaman, Ia akan datang sebagai
hakim (bdk. Mat. 25:31-32; Yoh. 5:22,27). Menjadi hakim pada akhir zaman
menuntut Yesus harus mahatahu, maha kuasa dan maha bijaksana, karena tanpa
hal-hal itu, Ia tak mungkin bisa menghakimi dengan adil dan benar. Yesus juga
mengklaim bahwa Ia “menyuruh malaikat-malaikat-Nya” (Mat. 13:41). Dalam Matius
10:37-39, Yesus meminta para pengikut-Nya untuk memberi kepada-Nya kasih yang
utama, dan menambahkan jika mereka lebih mengasihi siapapun – bahkan
orang-orang terdekat sekalipun – daripada diri-Nya, mereka tidak layak untuk
mengikut Dia. Di Yohanes 5:39 Ia mengklaim bahwa Kitab Suci memberi kesaksian
tentang Dia. Hal yang sama dinyatakan-Nya dalam Lukas 24:27, 44, “bahwa harus
digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab
nabi-nabi dan kitab Mazmur.” Kemudian dalam Matius 28:19, Yesus berkata bahwa,
“Kepada-Ku telah diberikan kuasa di sorga dan di bumi.” Akhirnya, dalam Matius
28:20, Yesus menegaskan: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir
zaman.”
Semua pernyataan-pernyataan Yesus di
atas bernuansa ipsissima vox (menyuarakan
diri-Nya sendiri), dan hal ini menunjukkan bahwa Yesus berbeda dari semua tokoh
manapun, seperti dinyatakan oleh John Stott:
Penggunaan kata dengan sebutan orang pertama tunggal (‘aku – aku – aku’) akan sangat mengganggu, terutama bagi orang yang menyatakan kerendahan hati sebagai standar moral yang terutama. Hal itu juga memisahkan Yesus dari semua pemimpin agama di seluruh dunia. Mereka menghilangkan kesan terhadap diri mereka sendiri, menunjuk bukan pada diri mereka atas kebenaran yang mereka ajarkan; Yesus meninggikan diri-Nya sendiri kepada murid-murid-Nya sebagai tujuan iman, kasih dan ketaatan mereka.[4]
Norman Geisler dan Frank Turek mengajak
pembacanya untuk merenungkan klaim-klaim Yesus yang luar biasa ini. Dalam buku
mereka I Don’t Have Enough Faith To Be an
Atheist, mereka menulis:
Bayangkan saja, tetangga Anda membuat pernyataan ini: “Akulah yang awal dan yang akhir – satu Pribadi yang ada dengan sendirinya[5]. Apakah engkau ingin dosa-dosamu diampuni? Aku dapat melakukannya.[6] Apakah kamu ingin tahu bagaimana kamu harus hidup? Akulah terang dunia – siapa pun yang mengikut aku tidak akan pernah berjalan dalam kegelapan, tetapi akan memiliki terang kehidupan.[7] Apakah kamu ingin tahu siapa yang dapat kamu percaya? Segala kekuasaan di surga dan di bumi telah diberikan kepadaku.[8] Apakah kamu memiliki kekhawatiran atau permintaan? Berdoalah dalam namaku. Jika engkau tetap berada di dalam aku dan firmanku ada di dalam dirimu, mintalah hal apa pun yang engkau inginkan, dan semua itu akan diberikan kepadamu.[9] Apakah engkau ingin memiliki hubungan dengan Allah Bapa? Tidak ada yang dapat datang kepada bapa kecuali melalui aku.[10] Bapa dan aku adalah satu.”[11] Apa yang akan Anda pikirkan mengenai tetangga Anda jika ia benar-benar mengucapkan kata-kata itu? pasti anda tidak akan berkata, “Wah, tampaknya dia benar-benar seorang guru moral yang hebat!” Tidak, pasti Anda akan mengatakan orang itu gila, karena ia mengaku diri sebagai Tuhan.[12]
Dengan demikian, tidak dapat disangkal
bahwa Yesus tidak bisa dipahami hanya sebatas manusia saja, sebagai guru moral
yang agung, sebagai teladan yang baik atau sebagai nabi sebagaimana dipahami oleh orang-orang tertentu. Meskipun orang-orang tertentu menempatkan Yesus pada jajaran tokoh teladan paling
agung, tetapi jika mereka menolak
keilahian-Nya maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Jika Yesus bukan Allah maka
Ia juga tidak bisa dijadikan teladan yang baik, karena banyak klaim-klaim-Nya
yang bersifat menghujat dan tidak pantas jika Ia hanya manusia biasa. C. S. Lewis telah menunjukkan
hal ini dengan sangat memikat dalam kata-katanya berikut ini:
Disini saya berusaha mencegah siapapun yang mengatakan hal konyol seperti yang sering kali dikatakan orang mengenai Dia: “Saya siap menerima Yesus sebagai guru moral yang hebat, tetapi saya tidak mengakui klaim-Nya sebagai Tuhan.” Itu adalah hal yang tidak boleh diucapkan. Seorang yang hanya manusia biasa dan kemudian mengatakan hal-hal yang Yesus katakan bukanlah guru moral yang hebat. Justru ia adalah orang gila, sama dengan orang yang mengatakan bahwa ia adalah telur rebus, atau mungkin ia adalah iblis Neraka. Anda harus membuat pilihan, siapapun dia-Anak Allah, orang gila, atau lebih buruk lagi. Anda bisa menganggap Dia orang gila, Anda bisa meludahi-Nya dan menganggap-Nya Setan kemudian membunuh-Nya; atau Anda tersungkur di kaki-Nya dan menyebut-Nya Allah dan Tuhan. Pokoknya jangan membual tentang keberadaan-Nya sebagai guru manusia yang hebat. Bukan itu yang ditunjukkan-Nya pada kita. Bukan itu maksudnya.[13]
Kemudian, dalam bukunya God in the Dock: Essays on Theology and Ethics, C.S. Lewis dengan
cermat menjelaskan:
Tak ada bangunan yang setengah jadi dan tak ada kesejajarannya di dalam agama-agama lain. Jika kamu pergi kepada Buddha dan bertanya “Apakah Anda putra Brahma?” ia akan berkata, “Anakku, kamu masih dikuasai oleh ilusi.” Jika kamu pergi kepada Sokrates dan menanyakan, “Apakah Anda Zeus?” ia akan menertawakanmu. Jika kamu pergi kepada Muhammad dan bertanya, “Apakah Anda ‘Allah’?” ia pertama-tama akan merobek bajunya dan kemudian memancung kepalamu. Jika kamu menanyakan kepada Kong Fu Cu, “Apakah Anda Sorga [Thien – ed]?”, saya pikir ia mungkin akan menjawab, “Ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan alam merupakan selera yang buruk.” Ide mengenai seorang guru moral yang hebat, yang mengatakan apa yang Kristus katakan merupakan ide yang mustahil. Dalam opini saya, satu-satunya pribadi yang bisa mengatakan hal seperti itu hanya mungkin adalah Allah atau seorang tidak waras yang seluruh pikirannya dikuasai oleh khayalan.[14]
Jadi, seseorang tidak bisa menerima Yesus
sebagai teladan yang agung tetapi pada saat yang sama menolak keilahian-Nya.
Jika Yesus bukan Allah maka Ia bukanlah seorang teladan atau guru moral yang
hebat tetapi seorang gila atau penipu. Lalu bagaimana? Siapakah Yesus? Mari kita menguji
secara singkat beberapa kemungkinan ini. Kemungkinan (1) Yesus adalah orang gila, kemungkinan (2) Yesus adalah pembohong, atau kemungkinan (3) Yesus adalah Allah sendiri. Alternatif pertama pasti tidak mungkin
karena bahkan musuh-musuh-Nya menyatakan bahwa Yesus itu berintegritas dan
mengajarkan kebenaran (bdk. Mrk. 12:4). Alternatif kedua juga tidak mungkin
karena Yesus hidup dan mengajarkan etika yang luar biasa tinggi standarnya.
Juga, tidak mungkin ia mengorbankan hidup-Nya demi mempertahankan
kebohongan-kebohongan-Nya. Murid-murid-Nya kemudian juga rela menderita bahkan
mati demi Yesus, dan itu mereka lakukan pasti karena mereka yakin bahwa Yesus
mengajarkan kebenaran bukan kebohongan. Jadi, satu-satunya alternatif yang
benar adalah alternatif ketiga, yaitu Yesus adalah Allah, karena Allah
memang layak menyatakan atau melakukan apa yang dikatakan
atau dilakukan oleh Yesus.
Soli Deo Gloria!
[3]Dalam Charles
Swindoll, Tokoh Terbesar: Yesus (Jakarta:
Nafiri Gabriel, 2008), 4-5.
[4]John R.W. Stott, Why I Am a Christian (Bandung: Pionir
Jaya, 2009), 30.
[5]Bandingkan Why. 1:8,
17; 22:13.
[6]Bandingkan Mat. 9:6.
[7]Bandingkan Yoh. 8:12.
[8]Bandingkan Mat.
28:19.
[9]Bandingkan Yoh.
14:13-14; 15:7.
[10]Bandingkan Yoh.
14:6.
[11]Bandingkan Yoh.
10:30.
[12]Norman Geisler dan
Frank Turek, I Don’t Have Enough Faith To
Be an Atheist (Malang: Literatur SAAT, 2014), 388.
[13]C.S. Lewis, Mere Christianity (New York: Macmillan,
1952), 54-55, dikutip Norman Geisler dan Frank Turek, I Don’t Have Enough Faith To Be an Atheist, 388-389.
[14]C.S. Lewis, God in the Dock: Essays on Theology and
Ethics, diedit oleh Walter Hooper (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1970),
157-158, dikutip Douglas Groothuis, Pudarnya
Kebenaran: Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Postmodernisme (Surabaya:
Momentum, 2003), 163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar