PENDAHULUAN
Saya sering membaca dan mendengar banyak orang yang
tidak mempercayai keilahian Yesus atau pun belum tahu bahwa Yesus adalah Allah
sendiri. Untuk itu saya terbeban untuk menulis mengenai topik ini dalam blog
saya. Tulisan ini terdiri dari beberapa seri. Seri kedua dan seterusnya akan
saya posting pada hari-hari berikutnya. Untuk seri pertama ini, saya akan fokus
pada pembahasan mengenai ayat-ayat yang secara eksplisit menyatakan keilahian
Yesus Kristus.
A. AYAT-AYAT
YANG MENYATAKAN SECARA EKSPLISIT BAHWA
YESUS ADALAH ALLAH
Doktrin mengenai keilahian Yesus Kristus dibangun
diatas dasar Kitab Suci, bukan di tempat lain. Singkatnya, orang yang
mempercayai Alkitab sebagai Firman Allah, tidak bisa tidak, harus mempercayai
doktrin ini. Louis Berkhof, seorang ahli teologia Reformed pernah menyatakan
“Berkenaan dengan penyangkalan keilahian Kristus yang sudah sedemikian
menyebar, sangatlah penting bagi kita untuk berpegang pada bukti-bukti Alkitab
tentang keilahian Kristus ini. Bukti-bukti itu sedemikian banyak, sehingga tak
satupun orang yang mengakui Alkitab sebagai Firman Allah yang tidak bersalah,
dapat meragukan hal ini.”[1] Maka
untuk itu, berikut ini saya akan menguraikan beberapa ayat yang menyatakan
dengan eksplisit mengenai doktrin keilahian Yesus ini.
Dalam Yesaya 9:5, Yesaya menulis “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah
diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya
disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah
yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” Bagian ini merupakan nubuat
tentang Yesus Kristus yang secara tegas dan jelas menyebut Kristus sebagai
“Allah yang perkasa.”
Menariknya, dalam Yesaya 10:21 Allah disebut dengan sebutan yang sama.
Dengan demikian, ayat ini menegaskan dengan pasti bahwa Yesus setara dengan
Allah.
Kemudian, dalam Yohanes 20:28,
“Tomas menjawab Dia: ‘Ya Tuhanku dan Allahku!’” Seluruh cerita
meneguhkan bahwa Yesus tidak menolak sebutan Tomas kepada-Nya ataupun menegur
Tomas karena ucapannya yang mungkin keliru, dan karena hal itu tidak ditegur
ataupun dimarahi oleh Kristus, maka itu sama dengan suatu penegasan dari
diri-Nya tentang klaim-Nya atas
ke-Allahan-Nya. Juga, perlu diperhatikan bahwa Tomas adalah orang
Yahudi, dan kebiasaan seperti itu tidak ada dalam kalangan Yahudi, karena
adanya larangan untuk menggunakan nama Allah dengan sembarangan atau sia-sia,
dan dengan demikian, pengakuan Tomas adalah sungguh-sungguh.
Di Roma 9:5, Paulus menulis, “Mereka
adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya
sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!” Kata “Ia” jelas menunjuk
kepada “Mesias” (Yesus). Jadi
ayat ini menunjukkan Yesus sebagai Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya.
Juga, jika Paulus sekedar membicarakan bahwa Mesias itu diturunkan dari bangsa
Yahudi, dan ia tidak berkeinginan untuk membicarakan keilahian Mesias itu, maka
untuk apa ia menambahkan kata-kata “dalam
keadaan-Nya sebagai manusia”? Adanya kata-kata tersebut menuntut kontrasnya, yaitu penggambaran tentang Mesias
itu menurut hakikat-Nya yang lebih tinggi, yaitu sebagai Allah. William
Hendriksen menyatakan, “The fact that in the preceding clause
Paul has commented on Christ’s human nature
makes it reasonable to believe that he would now say something about his divine nature.”[2] Jadi, dalam ayat ini, baik kemanusiaan Yesus maupun keilahian-Nya terlihat
dengan jelas. John Calvin menulis,
We have here a notable passage. Paul distinguishes the two natures in Christ in such a way as to unite the at the same time in His very person. By saying that Christ had descended from the Jews, Paul declares his true humanity. The words which are added, as concerning the flesh, denote that Christ possessed something superior flesh. Paul seems to be making here a clear distinction between humanity and divinity, but he finally connects both together when he says that Christ Himself, who was born of the Jews according to the flesh, is God blessed for ever.[3]
Dalam Filipi 2:5b-7, Paulus menulis, “... Kristus Yesus, yang walaupun
dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan
dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah
mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi
sama dengan manusia.” Kata-kata “dalam rupa Allah,” dan “kesetaraan dengan
Allah” sebenarnya telah menunjukkan secara mutlak bahwa Yesus adalah Allah,
seperti dinyatakan oleh Leon Morris, “Kedua ungkapan ini jelas menunjukkan
keilahian Kristus. Tidak mudah melihat keadaan ‘dalam rupa Allah’ itu bukan
sebagai berarti setara dengan Allah.”[4] Tetapi
disini akan dijelaskan hal-hal lain sehingga ayat ini menjadi dasar yang lebih
kuat lagi bagi keilahian Kristus.
Kata-kata
“walaupun dalam rupa Allah” (2:6) merupakan terjemahan yang kurang tepat. King
James Version menterjemahkannya, “being
in the form of God” (berada dalam rupa Allah). Jadi ada tambahan kata being
(keberadaan). William Barclay menunjukkan bahwa kata being ini dalam
bahasa Yunaninya adalah huparchein.[5] Kemudian
Barclay menyatakan bahwa kata huparchein ini menggambarkan
seseorang sebagaimana adanya secara hakiki dan hal itu tidak bisa berubah (It
describes that which a man is in his very essence and which cannot be changed).[6]
Robert Letham juga menyatakan bahwa kata itu, “menunjukkan kesinambungan,
sehingga ke-ada-an (being) Kristus
dalam rupa Allah tidak berakhir ataupun dikurangi oleh inkarnasi-Nya, tetapi
berlanjut.”[7]
Karena itu, kalau dinyatakan bahwa Yesus itu “being in the form of God,” maka itu berarti bahwa Yesus adalah
Allah dan hal ini tidak bisa berubah.
Masih dalam
Filipi 2:6, kata “rupa” (form) dalam
bahasa Yunaninya adalah morphe. Barclay
menyatakan bahwa sebenarnya ada kata lain yang bisa digunakan untuk
menterjemahkan kata “rupa,” yakni schema,
tetapi keduanya berbeda. Barclay menjelaskan
Morphe is the essential form which never alters; schema is the outward form which changes from time to time and from circumstance to circumstance. For instance, the morphe of any human being is humanity and this never changes; but his schema is continually changing. A baby, a child, aboy, a youth, a man of middle age, an old man always have the morphe of humanity, but the outward schema changes all the time. Roses, daffodils, tulips, chrysanthemums, primroses, dahlias, lupins all have the one morphe of flowers; but their schema is different. Aspirin, penicillin, cascara, magnesia all have the one morphe of drugs; but their schema is different. The morphe never alters; the schema continually does. The word Paul uses for Jesus being in the form of God is morphe; that is to say, his unchangeable being is divine. However his outward schema might alter, he remained in essence divine.[8] (Terjemahan: Morphe adalah hakikat rupa yang tidak pernah berubah; schema adalah rupa lahiriah yang berubah dari waktu ke waktu dan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Seperti, morphe dari keberadaan manusia adalah kemanusiaan dan ini tidak pernah berubah; tetapi schemanya terus menerus berubah. Seorang bayi, seorang anak, seorang remaja, seorang paruh baya, seorang tua selalu memiliki morphe kemanusiaan, tetapi schema lahiriah berubah sepanjang waktu. Mawar, bakung, tulip, chrysanthemums, primroses, dahlia, lupins, semuanya mempunyai satu morphe bunga; tetapi schema mereka berbeda. Aspirin, penicillin, cascara, magnesia, semuanya mempunyai satu morphe obat-obatan; tetapi schema mereka berbeda. Morphe tidak pernah berubah; schema terus menerus berubah. Kata yang digunakan Paulus untuk keberadaan Yesus dalam rupa Allah adalah morphe; hal ini menyatakan keberadaan-Nya yang tidak berubah yaitu ilahi. Bagaimanapun schema lahiriah-Nya dapat berubah, Ia tetap dalam hakikat ilahi-Nya).
Jadi
ketika Paulus menyatakan bahwa Yesus “dalam rupa (morphe) Allah,” maka ia memaksudkan bawa Yesus bukan semata-mata
memiliki suatu kemiripan lahiriah atau luar dengan Allah, tetapi terdapat suatu
persesuaian atau kecocokan yang sungguh-sungguh antara Allah dan Yesus.
J.
Ed. Komoszewski, M. James Sawyer, dan Daniel B. Wallace menambahkan bahwa kata
“rupa” dalam ayat 6 dan kata “rupa” dalam ayat 7 adalah kata yang sama (Yunani:
morphe).[9]
Maka seperti yang dinyatakan oleh Robert M. Bowman Jr. dan J. Ed Komoszewski, “Kontras yang ada harus dipahami
dalam konteks kontras yang dibuat oleh Paulus antara eksistensi Kristus “dalam
rupa Allah” dengan tindakan-Nya selanjutnya menjadi seorang manusia ketika Ia “mengambil rupa seorang hamba (ay. 7).”[10]
Jadi
maksudnya, jika ayat 7 yang menyatakan “mengambil rupa seorang hamba” diartikan
bahwa Yesus betul-betul menjadi manusia, maka konsekwensinya, ayat 6 yang
menyatakan bahwa Yesus ada “dalam rupa Allah” haruslah diartikan bahwa Yesus
betul-betul adalah Allah.
Ayat lain yang menunjukkan keilahian Yesus Kristus Ibrani 1:8. Di sana
kita membaca, “Tetapi tentang Anak Ia
berkata: ‘Takhta-Mu, ya Allah, tetap
untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaan-Mu adalah tongkat
kebenaran.” Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa Bapa sendiri yang menyebut Anak (Yesus) sebagai Allah. Maka
seperti yang dinyatakan oleh Arthur W. Pink, “This supplies us with one of the
most emphatic and unequivocal proofs of the Deity of Christ to be found in the
Scriptures. It is the Father Himself testifying to the Godhead of Him who was
despised and rejected of men.”[11]
Dalam 2 Petrus 1:1 tertulis, “Dari
Simon Petrus, hamba dan rasul Yesus Kristus, kepada mereka yang bersama-sama
dengan kami memperoleh iman oleh karena keadilan Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Kemudian, dalam 1Yohanes 5:20, sang rasul menulis “Akan tetapi kita tahu, bahwa Anak Allah
telah datang dan telah mengaruniakan pengertian kepada kita, supaya kita
mengenal Yang Benar; dan kita ada di dalam Yang Benar, di dalam AnakNya Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang benar
dan hidup yang kekal.” Dalam Wahyu 1:8, Yohanes menulis, “‘Aku (Yesus) adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang
Mahakuasa.’” Semua ayat-ayat ini sangat jelas menyebut Yesus sebagai Allah!
[1]Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Kristus
(Surabaya: Momentum, 2013), 33.
[2]William Hendriksen, New Testament Commentary: Romans Chapter
9-16 (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1981), 315. Cetak miring sesuai dengan aslinya.
[3]John Calvin, Calvin’s Commentaries: The Epistle of Paul the Apostle to the Romans
and to the Thessalonians, trans. Ross Mackenzie, ed. David W. Torrance
& Thomas F. Torrance (Edinburgh: Oliver and Boyd, 1961), 196. Cetak miring sesuai dengan aslinya. Dalam hal
ini perlu diperhatikan bahwa, ketika Yesus dinyatakan lapar (bdk. Mat. 4:2),
haus (bdk. Yoh. 19:28), tidur (bdk. Mat. 8:24), menangis, dan sebagainya, semua
hal itu menunjukkan kemanusiaan Yesus, dan informasi seperti itu tidak boleh
digunakan untuk membuktikan bahwa Yesus bukan Allah. Yesus memang seorang
manusia sejati, tetapi juga adalah Allah sejati. Baik kemanusiaan dan keilahian
Yesus Kristus, dibicarakan oleh Alkitab dengan sangat gamblang, bahkan sering
dibicarakan secara berdampingan, seperti dalam Roma 9:5 di atas, dan juga dalam
ayat-ayat lain seperti: Matius 9:6; 1 Korintus 2:8, dan sebagainya. Dalam
Matius 9:6, Kristus diberi gelar sebagai “Anak Manusia” yang menunjukkan
kemanusiaan-Nya, tetapi kemudian disusul dengan predikat “mengampuni dosa,”
yang jelas menunjuk pada keilahian-Nya. Dalam 1 Korintus 2:8, Kristus diberi
gelar Ilahi yakni “Tuhan kemuliaan” (The
Lord of Glory), tetapi gelar Ilahi tersebut diawali dengan predikat
“menyalibkan” yang menunjuk pada kemanusiaan Yesus. Hal ini menunjukkan bahwa
doktrin tentang dua natur Kristus – kemanusian dan keilahian-Nya – diajarkan
dengan sangat gamblang dalam Kitab Suci.
[4]Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996), 55.
[5]William Barclay, The Letters to the Philippians, Colossians,
and Thessalonians (Edinburgh, Scotland: The Saint Andrew Press, 1975),
35.
[6]William Barclay, The Letters to the Philippians, Colossians,
and Thessalonians, 35.
[7]Robert Letham, Allah Trinitas: Dalam Alkitab, Sejarah, Theologi, dan Penyembahan (Surabaya:
Momentum, 2011), 43.
[8]Barclay, The Letters to the Philippians, Colossians, and Thessalonians, 35-36.
Cetak miring sesuai dengan aslinya.
[9]J. Ed. Komoszewski, M. James
Sawyer, dan Daniel B. Wallace, Reinventing
Jesus: Bagaimana Para Pemikir Skeptis Keliru Memahami Yesus dan Menyesatkan
Budaya Populer (Jakarta: Literatur Perkantas, 2011), 226.
[10]Robert M. Bowman Jr. dan J. Ed
Komoszewski, Menempatkan Yesus di
Takhta-Nya (Putting Jesus in His Place): Pembuktian Atas Keilahian Yesus (Malang:
Literatur SAAT, 2015), 92.
[11]Arthur Walkington Pink, An Exposition of Hebrews (Grand Rapids,
Michigan: Baker Book House, 2003), 58-59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar