A.
PENDAHULUAN
Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas
doktrin predestinasi yang merupakan salah satu doktrin khas Reformed atau
Calvinisme. Tujuan saya menulis mengenai topik ini tidak lain yakni supaya
pembaca yang belum pernah mempelajari doktrin ini dapat mempelajarinya melalui
tulisan ini. Tulisan ini juga ditujukan kepada mereka yang tidak setuju atau
telah salah paham mengenai doktrin ini, supaya mereka bisa memahami secara
benar doktrin ini, melihat argumentasi dan dasar-dasar Alkitabnya. Satu-satunya
ujian terakhir dari sebuah ajaran adalah Alkitab, yang saya yakini dengan
sepenuh hati sebagai firman Allah. Jadi, saya siap dikritik oleh siapa pun,
saya juga bersedia melakukan debat dengan siapapun yang merasa doktrin ini
salah dan tidak Alkitabiah.
B.
PENGERTIAN PREDESTINASI
Predestinasi secara sederhana dapat didefenisikan
sebagai tindakan Allah dalam kekekalan di mana Dia dengan kehendak-Nya yang
kudus telah menetapkan sebagian manusia untuk diselamatkan (masuk surga) dan
sebagian lainnya ditetapkan-Nya untuk binasa (masuk neraka). Yang pertama
biasanya disebut sebagai election, sedangkan
yang terakhir biasanya disebut reprobation.
Herman Bavinck menyebut predestinasi sebagai “pendeterminasian keadaan kekal
semua ciptaan rasional.”[1]
C.
PERNYATAAN DOKTRIN INI DAN DASAR-DASAR ALKITABNYA
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai doktrin
ini, yakni: pertama, tindakan penetapan Allah ini terjadi dalam kekekalan
sebelum segala sesuatu ada. Kedua, penetapan ini semata-mata di dasarkan pada
kehendak Allah sendiri, bukan pada pra-pengetahuan Allah mengenai iman atau
pertobatan manusia. Jadi, penetapan ini sepenuhnya unconditional (tidak bersyarat). Ketiga, Predestinasi tidak bisa
gagal, artinya orang pilihan akan percaya kepada Kristus dengan
sungguh-sungguh, sedangkan orang bukan pilihan tidak pernah akan percaya kepada
Kristus dengan sungguh-sungguh sampai Ia mati. Keempat, dalam penentuan ini,
Allah tidak bersikap tidak adil. Saya akan menunjukkan dasar Alkitab mengenai
keempat hal di atas.
1.
Penetapan
Allah Terjadi Dalam Kekekalan
Mungkin
bagian Alkitab yang paling eksplisit mengenai hal ini adalah Efesus 1. Dalam ayat
4-5 Paulus menyatakan, “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum
dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih
Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi
anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Perhatikan kata-kata
“telah memilih kita sebelum dunia dijadikan” (ay. 4) dan juga “Ia telah
menentukan kita dari semula” (ay. 5). Kata-kata ini menunjukkan bahwa tindakan
pemilihan itu dilakukan dalam kekekalan.
2. Penetapan Itu Bersifat Unconditional (Tidak Bersyarat)
Kaum
Arminian bersikeras bahwa Penetapan Allah di dasarkan pada apa yang telah
dilihat Allah sebelumnya dalam diri orang tersebut. Misalnya bahwa orang itu
akan percaya, akan taat kepada Tuhan, dan sebagainya, maka hal-hal itulah yang
membuat Allah menetapkan mereka untuk diselamatkan. Contoh untuk pandangan
seperti ini adalah J. Wesley Brill. Brill dalam sebuah bukunya yang berujudul Dasar yang Teguh menulis,
Sejak permulaan dunia ini, karena kemahatahuan-Nya, Allah telah memilih orang-orang yang akan bertobat dan percaya kepada-Nya. Melalui kemahatahuan-Nya Tuhan Allah telah mentakdirkan untuk menyelamatkan mereka yang akan bertobat dan percaya kepada-Nya. Jemaat Kristus telah dipilih dan ditakdirkan untuk memperoleh keselamatan. Akan tetapi pilihan dan takdir di dasarkan pada kemahatahuan Allah yang sudah mengetahui lebih dulu. Orang-orang pilihan itu telah dipilih sebab Tuhan tahu bahwa mereka akan melaksanakan segala tuntutan panggilan Allah, yaitu bertobat dan percaya. Tuhan telah mengetahui lebih dulu siapa yang akan menuruti panggilan itu.[2]
Terhadap
pandangan seperti ini, saya mau memberikan beberapa bantahan. Pertama, tindakan
Allah untuk menetapkan seseorang untuk diselamatkan karena Allah telah melihat
sebelumnya bahwa orang tersebut akan percaya adalah tindakan konyol. Jika Allah
telah mengetahui sebelumnya bahwa orang tertentu akan percaya, maka untuk apa
Allah memilih lagi? Ingat bahwa pengetahuan Allah itu pasti. Jika dalam
pengetahuan Tuhan sebelumnya, orang itu akan percaya, dan dengan demikian
diselamatkan, maka orang itu pasti percaya dan diselamatkan! Lalu jika itu
diketahui oleh Allah sebelumnya dengan pasti, untuk apa Dia memilih orang itu
untuk diselamatkan lagi? Loraine Boettner benar ketika ia menyimpulkan, “jika
dilihat dari sisi orang pilihan, apa artinya bagi Allah untuk memilih
orang-orang yang Ia ketahui akan memilih diri-Nya sendiri?” Kemudian Boettner
berkata, “Ini hanyalah kata-kata kosong.”[3]
Kedua,
jika skema Arminian konsisten pada premis awalnya, maka pada analisis terakhir,
bukan Allah yang menyelamatkan manusia sepenuhnya, tetapi setidaknya manusia
mempunyai sebagian andil dalam keselamatannya sendiri. Jika Allah memilih
manusia berdasarkan pra-pengetahuan-Nya, maka itu mensyaratkan kelayakan
manusia sebelum ia dipilih, dan berdasarkan kelayakannya itu manusia kemudian
dipilih, dan bukankah, jika Arminianisme konsisten, maka setidaknya, manusia
mempunyai andil dalam keselamatannya? Tidak butuh IQ yang terlalu tinggi untuk
mengerti kesalahan konsep seperti ini.
Ketiga,
banyak ayat Alkitab yang menunjukkan bahwa penetapan Allah itu bersifat unconditional (tidak bersyarat).
Misalnya dalam Efesus 1:4, Paulus menulis, “Sebab di dalam Dia Allah telah
memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di
hadapan-Nya.” Perhatikan bahwa “kudus dan tak bercacat” adalah hasil dari
pemilihan, bukan syaratnya. Ini jelas sangat bertentangan dengan kata-kata J.
Wesley Brill yang telah saya kutipkan di atas.
Kemudian
dalam Efesus 1:5 dikatakan bahwa “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari
semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan
kehendak-Nya.” Perhatikan kalimat terakhir dari ayat di atas yang menyatakan,
“sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” yang menunjukkan bahwa pemilihan itu
tidak bersyarat, dalam arti, pemilihan itu tidak di dasarkan pada pra-pengetahuan
Allah terhadap apa yang ada dalam diri orang itu, tetapi sepenuhnya berdasarkan
kehendak Allah sendiri.
Teks
lain yang paling sering dikutip untuk mendukung poin ini adalah Roma 9,
khususnya ayat 10-11.
Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, -- supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya.
Perhatikan
bahwa Paulus sedang membicarakan Esau dan Yakub, yang merupakan anak kembar
dari Ishak dan Ribka. Jelas bahwa Tuhan membedakan kedua anak ini. Esau jelas
bukan orang percaya, sedangkan Yakub orang percaya. Tetapi mengapa yang satu
bisa percaya, sedangkan yang lain tidak? Apakah karena Yakub lebih baik dari
Esau? Tentu Anda akan berkesimpulan “tidak sama sekali,” jika Anda telah
mengenal cerita mereka dalam Perjanjian Lama. Paulus bahkan berargumen bahwa
sebelum anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang
jahat, Allah telah melakukan pembedaan di antara mereka (ay. 11). Jadi, Arthur
W. Pink benar ketika ia menegaskan, “Dengan demikian penyebab terjadinya pemilihan oleh Allah tersebut semata-mata
terletak dalam diri-Nya sendiri dan bukan pada objek pilihan-Nya. Dia memilih
orang-orang yang dikehendaki-Nya, semata-mata karena Dia berkehendak untuk
memilih mereka.”[4]
Saya kira, ini sudah cukup menunjukkan bahwa pemilihan dan penolakan Allah
bersifat unconditional (tidak
bersyarat), dan benar-benar berdasarkan kedaulatan kehedak-Nya.
3. Predestinasi Tidak Bisa Gagal
Predestinasi
tidak bisa gagal berarti bahwa siapa pun yang telah ditetapkan oleh Allah untuk
selamat (masuk surga) pasti akan datang dan percaya kepada Kristus dengan
sungguh-sungguh. Perhatikan misalnya Kisah Para Rasul 13:48, “Mendengar itu
bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan
firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal,
menjadi percaya.” Dalam ayat ini, jelas bahwa yang “menjadi percaya” adalah
“semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal.” Jika Allah telah
menetapkan seseorang dari semula untuk diselamatkan, maka “menjadi percaya”
tidak bisa tidak terjadi. Mengenai ayat ini Arthur W. Pink menulis:
Di sini kita dapat belajar empat hal. Pertama, bahwa percaya itu merupakan akibat dan bukan sebab dari ketetapan Allah. Kedua, bahwa hanya sebagian orang yang “ditentukan Allah untuk hidup yang kekal,” sebab bila semua ditentukan Allah untuk memperoleh hidup yang kekal, maka ungkapan “semua yang ditentukan Allah” akan kehilangan maknanya. Ketiga, bahwa “penentuan” dari Allah ini bukan untuk suatu hak istimewa eksternal, melainkan bagi “hidup yang kekal,” bukan sekedar untuk melayani, melainkan juga untuk keselamatan itu sendiri. Keempat, bahwa semua orang yang ditentukan Allah – tak kurang satu orang pun – untuk hidup yang kekal pasti akan percaya.[5]
Pink
juga mengutip komentar Charles Haddon Spurgeon sebagai berikut:
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membuktikan bahwa ayat tersebut bukan mengajarkan tentang predestinasi, namun semua upaya tersebut telah melakukan manipulasi bahasa sedemikian rupa, dan saya pun tidak akan membuang waktu untuk membahasnya… Saya membaca: ‘Dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya,’ dan saya tidak akan mencoba membelokkan teks tersebut, sebaliknya saya akan memuliakan anugerah Allah yang menjadi sumber dari iman yang dimiliki oleh setiap orang… Bukankah Allah yang mengaruniakan kecondongan hati untuk percaya? Bila manusia telah telah ditentukan untuk memperoleh hidup yang kekal, tidakkah dalam semua hal Dia yang mengaturnya bagi mereka? Salahkah tindakan Allah yang memberikan anugerah-Nya kepada manusia? Bila Dia dibenarkan untuk memberikannya, maka salahkah bila Dia merencanakan pemberian itu? Akankah Anda merasa bahwa pemberian-Nya bersifat kebetulan belaka? Bila Dia dibenarkan untuk merencanakan pemberian anugerah-Nya hari ini, maka Dia tentu juga dibenarkan untuk merencanakannya sebelum hari penganugerahan tersebut tiba – karena Dia tidak pernah berubah – sejak dari kekekalan.[6]
Jadi
dari sini, kita melihat bahwa dalam ayat di atas terlihat bahwa sebelumnya,
Allah telah menetapkan orang-orang tertentu untuk diselamatkan. Kemudian, Allah
menetapkan bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga jalan untuk mencapai tujuan
akhir itu telah ditetapkan-Nya. Hal ini bisa terjadi karena rencana Allah itu
tidak bisa gagal (Ayub 42:2). Kegagalan adalah bagian dari makhluk yang
terbatas, sedangkan Allah tidak terbatas.
4. Apakah Allah Tidak Adil?
Mungkin pertanyaan
pertama yang muncul di benak Anda, ketika mempelajari doktrin ini adalah
bukankah Allah sepertinya tidak adil? Sepintas, keberatan ini terlihat benar.
Tetapi, saya kira, hal itu terjadi karena kita berusaha memahami Allah dengan
rasio kita yang begitu terbatas dan berdosa. Apakah kita lupa bahwa Paulus
pernah berseru dalam kekaguman, “O, alangkah dalamnya
kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki
keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Rm.
11:33). Jika keberatan ini muncul karena Allah tidak
memperlakukan orang-orang secara sama rata, atau karena Allah berbuat sesuatu
yang sebelumnya belum “dibicarakan” kepada manusia, maka jelas keberatan ini
adalah penghujatan. Mengenai yang pertama, saya bertanya, atas dasar apa kita
berkata bahwa Allah harus berbuat secara sama rata? Apakah engkau diciptakan
sebagai manusia? Ya tentu. Tetapi pernahkah Anda bertanya, kenapa saya tidak
diciptakan sebagai sapi atau binatang lainnya? Mengenai yang kedua, saya hanya
mau mengatakan bahwa Allah tidak perlu minta izin untuk melakukan sesuatu.
Kemudian, ketika
membicarakan mengenai doktrin ini dalam Roma 9, Paulus tidak menganggap bahwa
Allah tidak adil sama sekali. Setelah Ia membicarakan mengenai pemilihan Yakub
dan penolakan terhadap Esau, yang telah Ia lakukan bahkan sebelum mereka lahir,
serta belum berbuat baik dan jahat (ay. 10-11), Paulus mengajukan pertanyaan
yang wajar ketika mempelajari doktrin ini, “Apakah Allah tidak adil?” (ay. 14).
Paulus tidak berusaha memberikan jawaban untuk pertanyaan itu, ia hanya
menyatakan, “Mustahil!” (ay. 14), kemudian melanjutkan dengan pernyataan yang
berintikan bahwa Allah berhak untuk bertindak sesuai dengan kehendak-Nya
sendiri. Perhatikan dengan seksama kata-kata Paulus berikut ini:
Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, -- supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya -- dikatakan kepada Ribka: "Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda," seperti ada tertulis: "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau." Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil! Sebab Ia berfirman kepada Musa: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya. Sekarang kamu akan berkata kepadaku: "Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?" Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?" Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa? Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan -- justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain” (Rm. 9:10-24).
5.
Catatan
Tambahan
Sejauh
ini, Anda mungkin melihat bahwa ayat-ayat yang saya gunakan, kebanyakan
mendukung pemilihan, kecuali dalam Roma 9 di atas. Lalu bagaimana dengan
penolakan (reprobation)? Ini
pertanyaan yang mudah di jawab. Pertama, Roma 9 sudah menunjukkan adanya reprobation. Kedua, penolakan (reprobation) merupakan konsekuensi logis
dari pemilihan (election). Jika election berlaku bagi sebagian orang, maka tidak bisa tidak, reprobation berlaku bagi sisanya. Ketiga, banyak ayat Kitab Suci
yang mendukung reprobation, misalnya:
Amsal 16:4; Matius 11:20-24; Yohanes 17:12; Roma 9:13,17,18,21-22; Yudas 1:4; dan sebagainya.
Maka berdasarkan semua penjelasan ini, saya menganut Double Predestination (Predestinasi Ganda) yang berarti mempercayai
election maupun reprobation.
Soli Deo Gloria!
[1]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jld II (Surabaya: Momentum, 2012),
470.
[2]J. Wesley Brill, Dasar yang Teguh (Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 1998), 208-209.
[3]Loraine Boettner, Iman Reformed (Surabaya: Momentum,
2000), 40.
[4]Arthur W. Pink, Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum,
2005), 64.
[5]Pink, Kedaulatan Allah, 54-55.
[6]Pink, Kedaulatan Allah, 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar