Oleh: Join Kristian Zendrato
Pelagius (sekitar 354 - sekitar 420/440) adalah seorang biarawan
asketik dan pembaru yang menolak doktrin tentang Dosa turunan
dari Adam
dan dinyatakan sebagai penyesat oleh Gereja.
Ia berpendidikan tinggi, fasih dalam bahasa Yunani
dan bahasa Latin,
dan banyak mempelajari teologi. Ia hidup sebagai seorang asketik,
memusatkan perhatian pada asketisme praktis.[1] Pelagius
merupakan penggagas apa yang sekarang dikenal sebagai Pelagianisme. Ronald Nash
menyatakan bahwa, Pelagius membawa ajarannya ke Roma dan Afrika Utara di awal
abad ke 5.[2]
Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas secara
ringkas mengenai penolakan Pelagius terhadap doktrin dosa asal. Nash
menjelaskan bahwa,
Pemikiran mendasar di balik Pelagianisme adalah penolakan terhadap dosa asal. Pemikiran ini menyatakan bahwa tidak ada manusia yang dilahirkan dengan natur rusak yang memiliki bakat alami untuk berdosa. Anak-anak tidak memiliki kecenderungan berdosa yang menjauhkan mereka dari Allah. Manusia dilahirkan netral secara moral, bukan orang berdosa dan bukan juga orang kudus. Pelagius mengajarkan bahwa dosa Adam hanya mempengaruhi Adam.[3]
Nash melanjutkan, “Pelagius juga mengajarkan bahwa
ketika anak-anak sudah cukup dewasa untuk menjadi pelaku moral, maka pilihan
moral mereka di masa kemudian akan mengarahkan mereka pada kebaikan dan
kejahatan tergantung apakah orang itu akan memilih kehidupan yang salah atau
penuh dosa. Setiap orang dewasa adalah ciptaan yang membentuk diri mereka
sendiri.”[4]
Sepertinya, semua pemikiran di atas sesuai dengan
penjabaran Alkitab yang menyebut manusia sebagai “gambar Allah” (bdk. Kej.
1:26-27). Bukankah status seperti ini telah menempatkan manusia dalam posisi
yang cukup tinggi? Ya, memang begitu, tetapi apakah manusia masih tetap dalam
posisi seperti itu sekarang? Alkitab tidak berhenti pada fakta bahwa manusia
diciptakan menurut gambar Allah, pada pasal 3 dari kitab Kejadian, Musa
menceritakan satu hal yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia,
yakni fakta bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa.
Bertentangan frontal dengan semua konsep fatamorgana
dari Pelagius, Alkitab justru menegaskan bahwa semua manusia
Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak. Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka mengandung bisa. Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah. Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka, dan jalan damai tidak mereka kenal; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu. – Roma 3:10-18.
Konsep tentang
keberdosaan manusia, nyatanya tidak disukai oleh banyak orang. Manusia justru
senang disanjung, senang menceritakan akan keagungannya, kebaikan-kebaikannya,
pencapaian-pencapainnya yang luar biasa, dsb. Manusia pada umumnya seperti
seorang Farisi yang berkata dalam doanya, “Ya Allah, aku mengucap syukur
kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok,
bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku
berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala
penghasilanku” (Luk. 18:11-12).
Meskipun
demikian, ketidaksukaan manusia akan berita bahwa manusia itu berdosa, tidak
akan pernah menghapuskan fakta tersebut, sebab, fakta itu sangat kuat dan tidak
dapat disangkal, seperti dikemukakan oleh John R.W. Stott,
Orang tidak seberapa suka membicarakan dosa. Dan sering orang Kristen dianggap terlampau banyak mempersoalkan dan mengemukakannya. Sebab – musababnya ialah karena orang Kristen realis, sehingga tak dapat tidak harus mengupas soal itu. Dosa bukanlah alasan yang membuat para pendeta tekun mempertahankan jabatannya; dosa adalah kenyataan yang terdapat di mana-mana.[5]
Rasul
Yohanes bahkan menegaskan bahwa, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa,
maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” (1
Yoh. 1:8). Seruan Alkitab bahwa semua manusia telah jatuh ke dalam dosa sangat
jelas. Salomo mengakui bahwa “Tidak ada manusia yang tidak berdosa,” (1
Raja-raja 8:46), dan lagi, “Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang saleh”
(Pengkhotbah 7:20). Kemudian Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma
menyatakan dengan tegas bahwa, “semua orang telah berbuat dosa dan telah
kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Juga, pernyataan Alkitab bahwa semua
orang memerlukan pengampunan, dan keselamatan, jelas mempresaposisikan
keberdosaan manusia (bdk. Kis. 4:12; 17:30), jika tidak, gerangan apa yang
membuat manusia membutuhkan pengampunan dan keselamatan?
Penting
untuk diperhatikan bahwa status manusia sebagai “orang berdosa” telah melekat
pada diri manusia itu bahkan pada saat manusia itu belum lahir. Pemazmur
mengakui bahwa, “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku
dikandung ibuku.” (Mzm. 51:7). Ayub berkata, “Bagaimana manusia benar di
hadapan Allah, dan bagaimana orang yang dilahirkan perempuan itu bersih?” (Ayub
25:4). Jadi, mau tidak mau, manusia akan tetap terlahir sebagai manusia
berdosa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dalam teologi Kristen, hal ini sering
disebut sebagai doktrin tentang dosa asal. Secara singkat dapat dijelaskan
sebagai berikut: Adam dianggap oleh Allah sebagai
wakil dari seluruh umat manusia, dan karena itu ketika Adam jatuh ke dalam
dosa, seluruh umat manusia dianggap jatuh ke dalam dosa juga. Itulah sebabnya
dalam Roma 5:12, Rasul Paulus berkata, “Sebab itu, sama seperti dosa telah
masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah
maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat
dosa.” Jadi, Adam seperti seorang Presiden
yang memimpin sebuah negara. Jika Presiden misalnya menyatakan perang, maka
bukan hanya Presiden tersebut yang akan berperang, tetapi negara tersebut. Jika
Presiden tersebut di undang dalam sebuah pertemuan PBB, maka ia mewakili seluruh rakyatnya, maka semua
keputusannya merupakan keputusan rakyat (negara). Demikian juga dengan Adam, ia
mewakili semua manusia di hadapan Allah, dan pada saat Adam jatuh ke dalam
dosa, maka semua keturunannya (yang diwakilinya) menjadi berdosa. Hal ini
penting untuk melawan pandangan Pelagianisme yang menyangkal adanya dosa asal.
Ronald Nash memberikan bantahan lain
yang cukup menarik terhadap Pelagianisme, ia berkata bahwa, “bahkan dari
pengamatan perilaku anak yang paling sederhana pun tampak bahwa mereka tidak
perlu di ajar untuk berdosa. Anak-anak dan orang dewasa berubuat dosa semudah
cebong berenang atau burung terbang. Dosa melekat pada natur kita.” Nash
melanjutkan bantahannya dengan bertanya, “Mengapa bayi-bayi yang polos yang
dianggap lahir tanpa natur dan kecenderungan berdosa (seperti dikemukakan oleh
Pelagius) selalu bertumbuh menjadi orang dewasa yang penuh dosa? Logika dari
pandangan mereka mengharuskan para penganut Pelagianisme untuk meyakini bahwa
setidaknya ada sedikit orang dewasa yang tidak berdosa.”[6]
Alur pemikiran Nash ini sangat benar, karena memang, semua orang dewasa, yang
notabene pada awalnya adalah seorang bayi, tidak pernah tumbuh dengan tidak
pernah berbuat salah. Dari semua ini, dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya,
semua manusia telah berdosa, dan doktrin mengenai dosa asal yang diajarkan oleh
Alkitab adalah benar. Maka, meminjam kata-kata Ronald Nash, “Tuduhan Alkitab
atas keberdosaan semua manusia didukung oleh apa yang setiap kita temukan
sewaktu kita dengan jujur memeriksa hati kita, yaitu: fenomena kesalahan
manusia.”[7]
Jika Anda menyadari bahwa Anda
adalah manusia berdosa, maka Anda harus mengingat satu hal ini: manusia berdosa
adalah objek murka Allah. Tetapi Kitab Suci menyatakan kepada kita bahwa kita
bisa terhindar dari murka Allah karena Kristus telah menanggungnya untuk kita!
Maukah saudara datang dan percaya kepada Kristus, supaya saudara diselamatkan
dari murka Allah? (bdk. Yoh. 3:16; 36; Rm. 8:1).
[1]https://id.wikipedia.org/wiki/Pelagius
[2]Ronald H. Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi (Surabaya:
Momentum, 2003), 6.
[3]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, 7.
[4]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, 7.
[5]John R.W. Stott, Kedaulatan dan Karya Kristus (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), 79.
[6]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, 10.
[7]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar