Senin, 22 Oktober 2018

TOLERANSI YANG TIDAK TEPAT DAN PLURALISME YANG DILEBIH-LEBIHKAN

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya kira, suara-suara sumbang yang menentang absolutisme, khususnya dalam dunia teologi, sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang. Klaim-klaim absolut yang ditolak misalnya keabsolutan pribadi dan karya Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan, bahwa Alkitab adalah satu-satunya Firman Allah, dan sebagainya. Saya semakin heran dengan kenyataan bahwa penolakan ini sering datang dari orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai Kristen. Saya berpendapat bahwa orang-orang yang menolak klaim-klaim absolut dalam kekristenan seperti klaim bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan atau bahwa Alkitab adalah satu-satunya firman Allah yang berotoritas, dan sebagainya adalah bukan orang Kristen yang sejati.
 
Saya mencatat dua hal yang paling umum sering digunakan sebagai dasar untuk menolak klaim-klaim absolut ini.
 
Pertama. Pada umumnya dasar yang sering digunakan untuk menolak klaim-klaim absolut adalah toleransi. Lebih tepatnya saya menyebutnya toleransi yang tidak tepat. John Stott, seorang teolog Injili, telah mendeskripsikan  dengan baik posisi orang-orang semacam ini dalam penjelasannya berikut ini: 
Kita diberitahu bahwa bersikap dogmatik adalah sesuatu yang buruk. Tetapi menurut seorang kritikus, ‘jika Anda harus bersikap dogmatik, simpan untuk diri Anda sendiri. Pegang definisi Anda sendiri (jika Anda memaksa mau bersikap seperti itu), dan biarkan orang lain memegang definisi mereka sendiri. Bersikaplah toleran. Pikirkan urusan Anda sendiri, dan biarkan semua orang lain memikirkan urusan mereka sendiri.’ ...bersikap positif, jika perlu bersikap dogmatik yang positif, tetapi jangan pernah bersikap negatif. Kita diberitahu untuk ‘menyatakan apa yang kita percaya, tetapi jangan melawan apa yang dipercaya orang lain.’[1]
D.A Carson mengeluhkan bahwa toleransi seperti ini “menuntut kita untuk tidak mengkritik opini-opini orang lain.”[2]

Terhadap hal-hal di atas saya mau memberikan beberapa komentar. Pertama-tama, saya menganggap bahwa orang-orang yang suka berteriak bahwa “tidak ada apa pun yang absolut” adalah seorang pelawak. Dia tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang dia katakan. Untuk orang-orang yang suka mengatakan hal itu, hanya ada dua pulihan: (1) mereka menganggap bahwa memang tidak ada apa pun yang absolut termasuk klaim mereka. (2) jika mereka menganggap bahwa klaim mereka sendiri adalah absolut, maka mereka menentang sendiri kata-kata mereka sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada yang absolut.

Kemudian, saya menganggap bahwa fokus toleransi (seperti pada penjelasan di atas) sudah berubah dari yang semestinya. Saya sendiri berpendapat bahwa toleransi yang benar itu ditujukan kepada orang bukan pada ide-ide orang itu. Jadi, kita bisa tetap mempertahankan argumentasi kita melawan argumentasi orang lain, tetapi tetap bertoleransi terhadap orang itu. D.A. Carson menjelaskannya seperti ini:
Di dalam masyarakat yang relatif bebas dan terbuka, bentuk toleransi terbaik adalah bentuk yang terbuka dan toleran terhadap orang, bahkan saat terdapat ketidaksepakatan yang besar dengan ide-ide mereka. Toleransi terhadap orang ini membuahkan kesopanan di dalam wacana nasional, sementara tetap mendorong perdebatan yang hangat mengenai nilai-nilai relatif dari opini yang ini atau yang itu.[3]
Jadi, tidak ada alasan untuk selalu men-cap orang yang sedang berdebat atau adu argumentasi sebagai intoleran. Toleransi ditujukan kepada orangnya bukan terhadap ide-de-nya.

Kedua. Penolakan terhadap klaim-klaim absolut juga didasarkan pada kenyataan bahwa kita hidup dalam sebuah zaman yang berbeda, dimana kemajemukan agama sangat luar biasa. Maka untuk itu, sebagian orang telah membentuk ulang konsep teologi mereka, supaya lebih sesuai dengan zaman. Mereka melihat fakta bahwa ada begitu banyak bentuk pandangan di dunia ini, kemudian mereka berspekulasi secara tergesa-gesa bahwa dengan keadaan seperti ini, tidak mungkin klaim-klaim absolut dapat dipertahankan. Knitter menyatakan, “There is no exclusive claim that belongs to the core of the Christian message.” – Tidak ada klaim yang ekslusif dari inti ajaran Kristen.[4]

Bertolak dari fakta di atas, banyak orang terombang-ambing dalam pandangan mereka. Mereka takut mengikuti ortodoksi Kristen dengan klaim-klaim absolutnya, tetapi di satu sisi mereka juga tidak mau meninggalkan konsep-konsep kekristenan sepenuhnya. Misalnya dalam dunia Kristologi, banyak kalangan yang telah benar-benar menolak Kristologi yang ortodoks, tetapi itu tidak berarti mereka meninggalkannya sepenuhnya, mereka memberi muatan makna baru terhadap Kristologi tersebut. Mereka berusaha menyesuaikan Yesus dengan problem yang mereka hadapi dalam konteks budaya dan negara mereka, sebagaimana dideskripsikan oleh David F. Wells “kepentingan budayanya menghilangkan norma-norma Alkitab, sehingga hasilnya adalah sejenis kompromi, mengikuti tren terkini, dan manipulasi yang berakhir dengan mempromosikan berbagai angenda duniawi, apakah itu agenda politik, sosial, ideologis, atau personal, yang menggantikan kebenaran Alkitab.”[5]  Hasil dari pandangan seperti ini adalah seperti yang ditunjukkan oleh Robert M. Bowman Jr. dan J. Ed Komoszewski “Para aktivis hak-hak binatang membayangkan Yesus sebagai pribadi vegetarian. Penganut gerakan New Age menjadikan-Nya contoh orang yang menjadi tuhan atas diri masing-masing. Dan kaum feminis radikal melucuti keilahian-Nya supaya kekristenan tidak terkesan seksis.”[6] Bowman Jr. dan Komoszewski mengomentari hal ini dengan berkata, “Sejujurnya, sulit bagi kita untuk menyangkal bahwa budaya kita telah mengambil pertanyaan Yesus ‘Menurut kamu siapakah Aku ini?’ dan menggantikannya dengan ‘Menurut kamu Aku harus menjadi siapa?’”[7]

Kemudian, saya menganggap bahwa teori di atas terlalu berlebihan. Faktanya, situasi yang pluralistik tidak hanya dihadapi oleh orang-orang percaya pada saat ini. Dalam Perjanjian Lama, umat Allah telah berhadapan dengan pluralisme agama, demikian juga dalam Perjanjian Baru. D. A. Carson, seorang Profesor Riset bidang Perjanjian Baru di Trinity Evangelical School telah melukiskan situasi ini dengan baik dalam sebuah esainya yang berjudul “Kesaksian Kristen di Zaman Pluralisme.” Carson menulis: 
Tetapi pluralisme tetap merupakan ciri yang harus digumuli orang-orang percaya pada kovenan baru. Bentuk pluralisme yang dikonfrontir gereja di tiap-tiap wilayah kekaisaran Romawi jelas berbeda-beda, tetapi kita cukup banyak mengetahui tempat-tempat tertentu sehingga bisa mempunyai sejumlah ide akan apa yang dihadapi  oleh orang-orang Kristen awal. Pada waktu itu, penyembahan kepada kaisar menjadi semakin penting, dan kota-kota saling bersaing untuk menjadi neokoros – yaitu diberi izin untuk membangun satu kuil untuk menghormati dan menyembah kaisar tertentu. Sebuah kota seperti Korintus bukan hanya memiliki kuil-kuil untuk menghormati para dewa tradisional Yunani seperti Apolo dan Neptunus; tetapi juga membanggakan kuil bagi dewa-dewa Mesir, Isis dan Serapis. Banyak penyembahan misterius memasukkan daya tarik mistik mereka sendiri. Dewi Artemis, yang bukan hanya disembah di Efesus tetapi juga di bagian-bagian lain (misalnya di Patras di utara Peloponesus), menuntut korban berupa unggas dan hewan yang dibakar dalam jumlah besar, orang banyak begitu bergelora oleh tontonan tersebut dan menjadi tegang oleh jeritan-jeritan [binatang-binatang itu]. Korban-korban seperti ini menyediakan daging dalam jumlah besar. Dewa-dewa penyembuh, kultus kesuburan, bentuk-bentuk agama yang berbatasan dengan panteisme – semuanya merupakan daya tarik.[8]
Carson menunjukkan bahwa fakta ini membuat “dunia religius yang dihadapi oleh kekristenan yang baru terbentuk ini begitu pluralistik.”[9] Tetapi menariknya, para penulis Perjanjian Baru tidak berkompromi dengan keadaan ini. Carson menjelaskan beberapa contoh mengenai hal ini: 
Bertentangan dengan klaim-klaim dari para perantara lain, surat Kolose bukan saja menegaskan supremasi Kristus, tetapi juga keekslusifan dari kecukupan-Nya. Jika pihak lain mengakui banyak ‘tuhan,’ banyak baptisan (kafir), beragam ‘pengharapan’ (yaitu visi-visi yang berbeda tentang summum bonum), maka orang Kristen mengakui satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu pengharapan dan satu Allah (Ef. 4:4-6). Jika sejumlah filsuf Yunani berpendapat bahwa ada ‘satu allah,’ maka sosok ilahi yang diproyeksikan ini hampir selalu digambarkan di dalam istilah-istilah panteisme (yang merupakan salah satu alasan utama mengapa banyak penulis Yunani bisa memakai kata ‘allah’ dan ‘allah-allah’ tanpa ada perbedaan makna yang mencolok). Para filsuf ini bisa berbicara tentang ‘satu allah’ tetapi tidak dapat mengakui bahwa ‘Allah adalah Esa.’ Paulus berkeras bahwa Allah yang esa ini adalah Allah dan Bapa dari Tuhan kita Yesus Kristus, Allah atas ciptaan dan atas kovenan lama, yang telah menyatakan diri-Nya di dalam Anak-Nya (Rm. 1; 1 Kor. 8). Orang tidak bisa membaca kitab Wahyu 2-3 tanpa melihat pergumulan dahsyat yang dihadapi gereja awal dari berbagai tekanan pluralisme. Bahkan tepat kiranya jika kita menyimpulkan bahwa secara umum, para penulis Perjanjian Baru tidak membedakan pluralisme di masa mereka dari penyembahan berhala saat itu; pengrusakan dari yang satu merupakan pengrusakan dari yang lainnya.[10]
Sekarang, jika pada zaman gereja mula-mula, para penulis Perjanjian Baru tidak pernah mengkompromikan kebenaran meskipun mereka berada dalam dunia yang pluralistik, mengapa pada zaman ini, sikap tersebut tidak dipertahankan, seolah-olah persoalan pluralisme agama baru muncul di abad ke-21 ini? Sikap ini jelas merupakan sikap pengecut. Pelatih Mike Tyson, Cus D’ Amato benar ketika berkata, “Heroes and cowards feel exactly the same fear. Heroes just react to fear differently (Pahlawan dan pengecut merasakan rasa takut yang persis sama. Pahlawan hanya bereaksi secara berbeda terhadap rasa takut).

Jadi Kristus harus diberitakan apa adanya seperti kesaksian Alkitab. Harus diakui bahwa hal itu bisa saja menimbulkan konflik, tetapi Paulus pun menyadari hal itu, dan tetap berdiri teguh untuk memberitakan Kristus yang sebenarnya. Paulus menulis:
Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. …tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan (1 Kor. 1:18, 23).
Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan (2 Kor. 2:14-16).
Kita tidak boleh bersikap seperti procrustes, yang dikecam oleh John Stott dalam kata-katanya berikut ini: 
Kita harus bertobat dari pro-crustean-isme Kristen. Procrustes dalam mitologi Yunani adalah perampok brutal yang memaksa korbannya untuk menyesuaikan diri dengan ukuran tempat tidur besinya. Jika mereka terlalu pendek, dia menarik mereka. Jika mereka terlalu panjang, dia mematahkan kaki mereka. Para Procrustes Kristen menunjukkan sikap tidak fleksibel yang serupa, dengan memaksa Yesus masuk ke dalam jalan pikiran mereka dan menggunakan cara-cara yang tidak berbelas kasihan demi mendapatkan kesesuaian diri-Nya. Bebaskanlah kami ya Tuhan, dari Procrustes dan semua muridnya![11]
John Stott melanjutkan dengan berkata: 
Memang baik untuk menunjukkan Yesus dengan terang yang paling memungkinkan untuk memperkenalkan Dia kepada dunia. Namun yang tidak baik adalah bahwa demi melakukan hal ini, kita menghilangkan dari gambaran tersebut setiap hal yang mungkin yang mungkin menjadi sandungan, termasuk sandungan yang disebabkan salib. Ini justru membantu memuaskan “para pembenci Kekristenan yang terpelajar,” julukan yang diberikan oleh Frederich Schleiermacher. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk jenis akomodasi yang diberikan oleh pemikiran yang lembek ini. Yesus dikeluarkan dari konteks yang sebenarnya. Dia menjadi termanipulasi dan “diadaptasi,” dan apa yang ditampilkan kepada dunia adalah gambaran yang tidak sesuai dengan waktunya, bahkan sebuah karikatur. … Di sini dibutuhkan disiplin ganda, yang negatif dan yang positif. Yang negatif adalah menyingkirkan dari pikiran kita segala pra-konsepsi dan prasangka, dan ketetapan hati untuk membuang segala keinginan untuk memaksa Yesus masuk ke dalam bentuk yang sudah kita tetapkan sebelumnya.[12]
Dari semua ini, jelas bahwa sikap yang benar dalam mengikut Kristus adalah menerima dan memberitakan Dia apa adanya, sebagaimana yang disaksikan oleh Alkitab. Hal ini mungkin saja dicemooh oleh banyak orang, tetapi umat Allah tidak perlu takut, sebagaimana dinyatakan oleh para rasul Kristus, “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kis. 5:29). Kristus sendiri menyatakan, “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka” (Mat. 10:28). Untuk menutup bagian ini, penulis mengutip kata-kata dari John Calvin, “But rather than the truth of God shall not stand firm, let a hundred worlds perish” (Tetapi daripada kebenaran Allah tergoncangkan, biarlah seratus dunia binasa).[13]

[1]John R.W. Stott, Christ The Controversialist (Kristus Sang Kontroversialis): Meneladani Pelayanan dan Pengajaran Yesus yang Radikal (Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur, 2014), 19.
[2]D. A. Carson, “Kesaksian Kristen di Zaman Pluralisme,” dalam D. A. Carson dan John D. Woodbridge (eds.), Allah dan Kebudayaan (Surabaya: Momentum, 2002), 45. 
[3]Carson, “Kesaksian Kristen di Zaman Pluralisme,” 44.  
[4]Paul F. Knitter, No Other Name (New York: Orbis Books, 1985), 120, dikutip Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-abu Pluralisme Agama: Tantangan & Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini – edisi revisi (Malang: Gandum Mas, 2004), 57.  Terjemahan kutipan oleh Stevri I. Lumintang.
[5]David F. Wells, Mengatasi Segala Kuasa Dunia: Kristus di Dalam Dunia Postmodern (Surabaya: Momentum, 2013), 8. 
[6]Robert M. Bowman Jr. dan J. Ed Komoszewski, Menempatkan Yesus di Takhta-Nya (Putting Jesus in His Place): Pembuktian Atas Keilahian Yesus (Malang: Literatur SAAT, 2015), 15. 
[7]Bowman Jr. dan Komoszewski, Menempatkan Yesus d Takhta-Nya, 15. 
[8]Carson, “Kesaksian Kristen di Zaman Pluralisme,” 51. 
[9]Carson, “Kesaksian Kristen di Zaman Pluralisme,” 52. 
[10]Carson, “Kesaksian Kristen di Zaman Pluralisme,” 52-53.
[11]John R.W. Stott, Kristus yang Tiada Tara (Surabaya: Momentum, 2010), 120. 
[12]Stott, Kristus yang Tiada Tara, 119-120. 
[13]John Calvin, Calvin’s New Testament Commentaries: The Epistle of Paul the Apostle of the Galatians, Ephesians, Philippians and Colossians, trans. T.H.L. Parker; ed. D.W. Torrance dan T.F. Torrance (Grand Rapids, Michigan: W. M. B. Eerdmans Publishing Co., 1965), 200.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...