Oleh:
Join Kristian Zendrato
Saya kira,
suara-suara sumbang yang menentang absolutisme, khususnya dalam dunia teologi,
sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang. Klaim-klaim absolut yang ditolak
misalnya keabsolutan pribadi dan karya Kristus sebagai satu-satunya jalan
keselamatan, bahwa Alkitab adalah satu-satunya Firman Allah, dan sebagainya.
Saya semakin heran dengan kenyataan bahwa penolakan ini sering datang dari
orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai Kristen. Saya berpendapat bahwa
orang-orang yang menolak klaim-klaim absolut dalam kekristenan seperti klaim
bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan atau bahwa Alkitab adalah
satu-satunya firman Allah yang berotoritas, dan sebagainya adalah bukan orang
Kristen yang sejati.
Saya mencatat
dua hal yang paling umum sering digunakan sebagai dasar untuk menolak
klaim-klaim absolut ini.
Pertama.
Pada umumnya dasar yang sering digunakan untuk menolak klaim-klaim absolut
adalah toleransi. Lebih tepatnya saya
menyebutnya toleransi yang tidak tepat.
John Stott, seorang teolog Injili, telah mendeskripsikan dengan baik posisi orang-orang semacam ini
dalam penjelasannya berikut ini:
Kita diberitahu bahwa bersikap dogmatik adalah sesuatu yang buruk. Tetapi menurut seorang kritikus, ‘jika Anda harus bersikap dogmatik, simpan untuk diri Anda sendiri. Pegang definisi Anda sendiri (jika Anda memaksa mau bersikap seperti itu), dan biarkan orang lain memegang definisi mereka sendiri. Bersikaplah toleran. Pikirkan urusan Anda sendiri, dan biarkan semua orang lain memikirkan urusan mereka sendiri.’ ...bersikap positif, jika perlu bersikap dogmatik yang positif, tetapi jangan pernah bersikap negatif. Kita diberitahu untuk ‘menyatakan apa yang kita percaya, tetapi jangan melawan apa yang dipercaya orang lain.’[1]
D.A Carson
mengeluhkan bahwa toleransi seperti ini “menuntut kita untuk tidak mengkritik
opini-opini orang lain.”[2]
Terhadap hal-hal
di atas saya mau memberikan beberapa komentar. Pertama-tama, saya menganggap
bahwa orang-orang yang suka berteriak bahwa “tidak ada apa pun yang absolut”
adalah seorang pelawak. Dia tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang dia
katakan. Untuk orang-orang yang suka mengatakan hal itu, hanya ada dua pulihan:
(1) mereka menganggap bahwa memang tidak ada apa pun yang absolut termasuk klaim mereka. (2) jika mereka
menganggap bahwa klaim mereka sendiri adalah absolut, maka mereka menentang
sendiri kata-kata mereka sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada yang
absolut.
Kemudian, saya menganggap bahwa fokus toleransi (seperti pada penjelasan di atas) sudah berubah dari yang semestinya. Saya sendiri berpendapat bahwa toleransi yang benar itu ditujukan kepada orang bukan pada ide-ide orang itu. Jadi, kita bisa tetap mempertahankan argumentasi kita melawan argumentasi orang lain, tetapi tetap bertoleransi terhadap orang itu. D.A. Carson menjelaskannya seperti ini:
Di dalam masyarakat yang relatif bebas dan terbuka, bentuk toleransi terbaik adalah bentuk yang terbuka dan toleran terhadap orang, bahkan saat terdapat ketidaksepakatan yang besar dengan ide-ide mereka. Toleransi terhadap orang ini membuahkan kesopanan di dalam wacana nasional, sementara tetap mendorong perdebatan yang hangat mengenai nilai-nilai relatif dari opini yang ini atau yang itu.[3]
Jadi, tidak ada
alasan untuk selalu men-cap orang yang sedang berdebat atau adu argumentasi
sebagai intoleran. Toleransi ditujukan
kepada orangnya bukan terhadap ide-de-nya.
Kedua.
Penolakan terhadap klaim-klaim absolut juga didasarkan pada kenyataan bahwa
kita hidup dalam sebuah zaman yang berbeda, dimana kemajemukan agama sangat
luar biasa. Maka untuk itu, sebagian orang telah membentuk ulang konsep teologi
mereka, supaya lebih sesuai dengan zaman. Mereka melihat fakta bahwa ada begitu
banyak bentuk pandangan di dunia ini, kemudian mereka berspekulasi secara
tergesa-gesa bahwa dengan keadaan seperti ini, tidak mungkin klaim-klaim
absolut dapat dipertahankan. Knitter menyatakan, “There is no exclusive claim that belongs to the core of the Christian
message.” – Tidak ada klaim yang ekslusif
dari inti ajaran Kristen.[4]
Bertolak dari
fakta di atas, banyak orang terombang-ambing dalam pandangan mereka. Mereka
takut mengikuti ortodoksi Kristen dengan klaim-klaim absolutnya, tetapi di satu
sisi mereka juga tidak mau meninggalkan konsep-konsep kekristenan sepenuhnya.
Misalnya dalam dunia Kristologi, banyak kalangan yang telah benar-benar menolak
Kristologi yang ortodoks, tetapi itu tidak berarti mereka meninggalkannya
sepenuhnya, mereka memberi muatan makna baru terhadap Kristologi tersebut.
Mereka berusaha menyesuaikan Yesus dengan problem yang mereka hadapi dalam
konteks budaya dan negara mereka, sebagaimana dideskripsikan oleh David F.
Wells “kepentingan budayanya menghilangkan
norma-norma Alkitab, sehingga hasilnya adalah sejenis kompromi, mengikuti tren
terkini, dan manipulasi yang berakhir dengan mempromosikan berbagai angenda
duniawi, apakah itu agenda politik, sosial, ideologis, atau personal, yang
menggantikan kebenaran Alkitab.”[5]
Hasil dari pandangan seperti ini adalah
seperti yang ditunjukkan oleh Robert M. Bowman Jr. dan J. Ed Komoszewski “Para
aktivis hak-hak binatang membayangkan Yesus sebagai pribadi vegetarian.
Penganut gerakan New Age menjadikan-Nya
contoh orang yang menjadi tuhan atas diri masing-masing. Dan kaum feminis
radikal melucuti keilahian-Nya supaya kekristenan tidak terkesan seksis.”[6]
Bowman Jr. dan Komoszewski mengomentari hal ini dengan berkata, “Sejujurnya,
sulit bagi kita untuk menyangkal bahwa budaya kita telah mengambil pertanyaan
Yesus ‘Menurut kamu siapakah Aku ini?’ dan menggantikannya dengan ‘Menurut kamu
Aku harus menjadi siapa?’”[7]
Kemudian, saya menganggap bahwa teori di atas terlalu berlebihan. Faktanya, situasi yang pluralistik tidak hanya dihadapi oleh orang-orang percaya pada saat ini. Dalam Perjanjian Lama, umat Allah telah berhadapan dengan pluralisme agama, demikian juga dalam Perjanjian Baru. D. A. Carson, seorang Profesor Riset bidang Perjanjian Baru di Trinity Evangelical School telah melukiskan situasi ini dengan baik dalam sebuah esainya yang berjudul “Kesaksian Kristen di Zaman Pluralisme.” Carson menulis:
Tetapi pluralisme tetap merupakan ciri yang harus digumuli orang-orang percaya pada kovenan baru. Bentuk pluralisme yang dikonfrontir gereja di tiap-tiap wilayah kekaisaran Romawi jelas berbeda-beda, tetapi kita cukup banyak mengetahui tempat-tempat tertentu sehingga bisa mempunyai sejumlah ide akan apa yang dihadapi oleh orang-orang Kristen awal. Pada waktu itu, penyembahan kepada kaisar menjadi semakin penting, dan kota-kota saling bersaing untuk menjadi neokoros – yaitu diberi izin untuk membangun satu kuil untuk menghormati dan menyembah kaisar tertentu. Sebuah kota seperti Korintus bukan hanya memiliki kuil-kuil untuk menghormati para dewa tradisional Yunani seperti Apolo dan Neptunus; tetapi juga membanggakan kuil bagi dewa-dewa Mesir, Isis dan Serapis. Banyak penyembahan misterius memasukkan daya tarik mistik mereka sendiri. Dewi Artemis, yang bukan hanya disembah di Efesus tetapi juga di bagian-bagian lain (misalnya di Patras di utara Peloponesus), menuntut korban berupa unggas dan hewan yang dibakar dalam jumlah besar, orang banyak begitu bergelora oleh tontonan tersebut dan menjadi tegang oleh jeritan-jeritan [binatang-binatang itu]. Korban-korban seperti ini menyediakan daging dalam jumlah besar. Dewa-dewa penyembuh, kultus kesuburan, bentuk-bentuk agama yang berbatasan dengan panteisme – semuanya merupakan daya tarik.[8]
Carson
menunjukkan bahwa fakta ini membuat “dunia religius yang dihadapi oleh
kekristenan yang baru terbentuk ini begitu pluralistik.”[9]
Tetapi menariknya, para penulis Perjanjian Baru tidak berkompromi dengan
keadaan ini. Carson menjelaskan beberapa contoh mengenai hal ini:
Bertentangan dengan klaim-klaim dari para perantara lain, surat Kolose bukan saja menegaskan supremasi Kristus, tetapi juga keekslusifan dari kecukupan-Nya. Jika pihak lain mengakui banyak ‘tuhan,’ banyak baptisan (kafir), beragam ‘pengharapan’ (yaitu visi-visi yang berbeda tentang summum bonum), maka orang Kristen mengakui satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu pengharapan dan satu Allah (Ef. 4:4-6). Jika sejumlah filsuf Yunani berpendapat bahwa ada ‘satu allah,’ maka sosok ilahi yang diproyeksikan ini hampir selalu digambarkan di dalam istilah-istilah panteisme (yang merupakan salah satu alasan utama mengapa banyak penulis Yunani bisa memakai kata ‘allah’ dan ‘allah-allah’ tanpa ada perbedaan makna yang mencolok). Para filsuf ini bisa berbicara tentang ‘satu allah’ tetapi tidak dapat mengakui bahwa ‘Allah adalah Esa.’ Paulus berkeras bahwa Allah yang esa ini adalah Allah dan Bapa dari Tuhan kita Yesus Kristus, Allah atas ciptaan dan atas kovenan lama, yang telah menyatakan diri-Nya di dalam Anak-Nya (Rm. 1; 1 Kor. 8). Orang tidak bisa membaca kitab Wahyu 2-3 tanpa melihat pergumulan dahsyat yang dihadapi gereja awal dari berbagai tekanan pluralisme. Bahkan tepat kiranya jika kita menyimpulkan bahwa secara umum, para penulis Perjanjian Baru tidak membedakan pluralisme di masa mereka dari penyembahan berhala saat itu; pengrusakan dari yang satu merupakan pengrusakan dari yang lainnya.[10]
Sekarang, jika
pada zaman gereja mula-mula, para penulis Perjanjian Baru tidak pernah
mengkompromikan kebenaran meskipun mereka berada dalam dunia yang pluralistik,
mengapa pada zaman ini, sikap tersebut tidak dipertahankan, seolah-olah persoalan
pluralisme agama baru muncul di abad ke-21 ini? Sikap ini jelas merupakan sikap
pengecut. Pelatih Mike Tyson, Cus D’ Amato benar ketika berkata, “Heroes and cowards feel exactly the same fear.
Heroes just react to fear differently” (Pahlawan dan pengecut merasakan rasa takut
yang persis sama. Pahlawan hanya bereaksi secara berbeda terhadap rasa takut).
Jadi Kristus
harus diberitakan apa adanya seperti kesaksian Alkitab. Harus diakui bahwa hal
itu bisa saja menimbulkan konflik, tetapi Paulus pun menyadari hal itu, dan
tetap berdiri teguh untuk memberitakan Kristus yang sebenarnya. Paulus menulis:
Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. …tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan (1 Kor. 1:18, 23).
Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan (2 Kor. 2:14-16).
Kita tidak boleh
bersikap seperti procrustes, yang
dikecam oleh John Stott dalam kata-katanya berikut ini:
Kita harus bertobat dari pro-crustean-isme Kristen. Procrustes dalam mitologi Yunani adalah perampok brutal yang memaksa korbannya untuk menyesuaikan diri dengan ukuran tempat tidur besinya. Jika mereka terlalu pendek, dia menarik mereka. Jika mereka terlalu panjang, dia mematahkan kaki mereka. Para Procrustes Kristen menunjukkan sikap tidak fleksibel yang serupa, dengan memaksa Yesus masuk ke dalam jalan pikiran mereka dan menggunakan cara-cara yang tidak berbelas kasihan demi mendapatkan kesesuaian diri-Nya. Bebaskanlah kami ya Tuhan, dari Procrustes dan semua muridnya![11]
John Stott
melanjutkan dengan berkata:
Memang baik untuk menunjukkan Yesus dengan terang yang paling memungkinkan untuk memperkenalkan Dia kepada dunia. Namun yang tidak baik adalah bahwa demi melakukan hal ini, kita menghilangkan dari gambaran tersebut setiap hal yang mungkin yang mungkin menjadi sandungan, termasuk sandungan yang disebabkan salib. Ini justru membantu memuaskan “para pembenci Kekristenan yang terpelajar,” julukan yang diberikan oleh Frederich Schleiermacher. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk jenis akomodasi yang diberikan oleh pemikiran yang lembek ini. Yesus dikeluarkan dari konteks yang sebenarnya. Dia menjadi termanipulasi dan “diadaptasi,” dan apa yang ditampilkan kepada dunia adalah gambaran yang tidak sesuai dengan waktunya, bahkan sebuah karikatur. … Di sini dibutuhkan disiplin ganda, yang negatif dan yang positif. Yang negatif adalah menyingkirkan dari pikiran kita segala pra-konsepsi dan prasangka, dan ketetapan hati untuk membuang segala keinginan untuk memaksa Yesus masuk ke dalam bentuk yang sudah kita tetapkan sebelumnya.[12]
Dari
semua ini, jelas bahwa sikap yang benar dalam mengikut Kristus adalah menerima
dan memberitakan Dia apa adanya, sebagaimana yang disaksikan oleh Alkitab. Hal
ini mungkin saja dicemooh oleh banyak orang, tetapi umat Allah tidak perlu
takut, sebagaimana dinyatakan oleh para rasul Kristus, “Kita harus lebih taat
kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kis. 5:29). Kristus sendiri menyatakan,
“Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang
tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa
membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka” (Mat. 10:28). Untuk
menutup bagian ini, penulis mengutip kata-kata dari John Calvin, “But rather
than the truth of God shall not stand firm, let a hundred worlds perish”
(Tetapi daripada kebenaran Allah tergoncangkan, biarlah seratus
dunia binasa).[13]
[1]John R.W. Stott, Christ The Controversialist (Kristus Sang
Kontroversialis): Meneladani Pelayanan dan Pengajaran Yesus yang Radikal (Surabaya:
Literatur Perkantas Jawa Timur, 2014), 19.
[2]D. A. Carson, “Kesaksian Kristen
di Zaman Pluralisme,” dalam D. A. Carson dan John D. Woodbridge (eds.), Allah dan Kebudayaan (Surabaya:
Momentum, 2002), 45.
[3]Carson, “Kesaksian Kristen di
Zaman Pluralisme,” 44.
[4]Paul F. Knitter, No Other Name (New York: Orbis Books,
1985), 120, dikutip Stevri I. Lumintang, Theologia
Abu-abu Pluralisme Agama: Tantangan & Ancaman Racun Pluralisme Dalam
Teologi Kristen Masa Kini – edisi revisi (Malang: Gandum Mas, 2004),
57. Terjemahan kutipan oleh Stevri I.
Lumintang.
[5]David
F. Wells, Mengatasi Segala Kuasa Dunia:
Kristus di Dalam Dunia Postmodern (Surabaya: Momentum, 2013), 8.
[6]Robert M. Bowman Jr. dan J. Ed
Komoszewski, Menempatkan Yesus di
Takhta-Nya (Putting Jesus in His Place): Pembuktian Atas Keilahian Yesus (Malang:
Literatur SAAT, 2015), 15.
[7]Bowman Jr. dan Komoszewski, Menempatkan Yesus d Takhta-Nya, 15.
[8]Carson, “Kesaksian Kristen di
Zaman Pluralisme,” 51.
[9]Carson, “Kesaksian Kristen di
Zaman Pluralisme,” 52.
[10]Carson, “Kesaksian Kristen di
Zaman Pluralisme,” 52-53.
[11]John R.W. Stott, Kristus yang Tiada Tara (Surabaya:
Momentum, 2010), 120.
[12]Stott, Kristus yang Tiada Tara, 119-120.
[13]John Calvin, Calvin’s New Testament Commentaries: The Epistle of Paul the Apostle of
the Galatians, Ephesians, Philippians and Colossians, trans. T.H.L. Parker;
ed. D.W. Torrance dan T.F. Torrance (Grand Rapids, Michigan: W. M. B. Eerdmans
Publishing Co., 1965), 200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar