Oleh: Join Kristian Zendrato
Baruch de Spinoza
(24 November
1632 – 21 Februari
1677) (Bahasa Ibrani:
ברוך שפינוזה) adalah filsuf keturunan Yahudi-Portugis berbahasa Spanyol
yang lahir dan besar di Belanda.[1] Filsafat Spinoza terkenal dengan
anggapannya bahwa segala sesuatu hanya memiliki satu substansi. Ia secara
membabi buta menyamakan antara Tuhan dan alam. Alam adalah Tuhan, dan Tuhan
adalah Alam. Tuhan tidak menciptakan dunia agar dapat berdiri di luarnya.
Tidak, Tuhan adalah dunia itu.[2]
Juga perlu untuk diingat, sebagaimana diingatkan oleh Jostein Gaarder, “ketika
Spinoza menggunakan kata ‘alam’, yang dimaksudkannya bukan hanya alam materi.
Dengan Substansi, Tuhan, atau Alam, termasuk segala yang bersifat ruhaniah.”[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa Baruch Spinoza adalah seorang Pantheist, karena
Pantheisme, sebagaimana diungkapkan oleh Herman Bavinck, “tidak mengenal
distingsi antara keberadaan Allah dan keberadaan dunia dan – secara idealistis
– membiarkan dunia ditelan habis dalam Allah atau – secara materialistis –
membiarkan Allah ditelan habis di dalam dunia.”[4]
Saya akan memberikan beberapa
komentar singkat mengenai ajaran Spinoza di atas. Pertama-tama, Spinoza jelas
tidak mempedulikan perbedaan antara Allah dan alam. Hal ini jelas tidak sesuai
dengan Kitab Suci yang menyatakan dengan tegas bahwa Allah menciptakan segala
sesuatu (Kej. 1; Yoh. 1:3) dan dengan demikian berbeda dengan alam. Berkhof
menyatakan, “Dunia bukanlah Allah dan bukan bagian dari Allah tetapi sesuatu
yang sangat berbeda dengan Allah dan bahwa dunia berbeda dengan Allah bukan
saja dalam derajatnya, tetapi dalam seluruh sifat dasarnya.”[5]
Spinoza juga salah dalam hal bahwa
ia tidak percaya bahwa selain imanen (dekat), Allah juga trasenden (jauh). Ayat
Alkitab yang sangat penting dalam hal ini, yang menyatakan keimanenan dan
ketrasendenan Allah dalam satu ayat adalah Yeremia 23:23, “Masakan
Aku ini hanya Allah yang dari dekat,
demikianlah firman TUHAN, dan bukan Allah
yang dari jauh juga?”
Dengan teori Spinoza di atas, maka
ia telah menghilangkan dependensi dunia akan Allah. Jika dunia adalah Allah,
maka dunia tidak lagi tergantung kepada Allah. Tetapi jika kita
menerima doktrin penciptaan sebagaimana dijelaskan dalam Alkitab, maka tentunya
teori Spinoza pasti kita tolak. Louis Berkhof menjelaskannya sebagai berikut:
Doktrin penciptaan mengandung arti bahwa kendati pun Allah ada dalam diri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan-Nya sendiri, tidak terbatas dan kekal, dunia ini tergantung, terbatas dan sementara. Dunia tidak bisa berubah menjadi Allah, demikian juga sebaliknya. Doktrin ini merupakan penghalang mutlak terhadap pikiran kuno tentang emanasi sama halnya terhadap semua teori panteis. Alam semesta bukanlah bentuk eksistensi Allah atau penampakan fenomena yang absolut, dan Allah bukanlah sekedar hidup, jiwa, atau hukum-hukum di dalam dunia, tetapi Allah berada dalam kehidupan yang lengkap dan kekal jauh melampaui duni, dalam kebebasan mutlak Ia adalah Allah yang transenden, mulia dalam kesucian, menakjubkan dalam pujian, melakukan keajaiban.[6]
Dengan nada yang kurang lebih sama,
Herman Bavinck menyatakan: “Ajaran tentang penciptaan dari yang tidak ada
mempertahankan adanya distingsi dalam esensi antara Allah dan dunia.”[7]
Bavinck melanjutkan dengan berkata: “Tetapi menurut Kitab Suci, dunia bukanlah
satu bagian dari, atau emanasi dari, keberadaan Allah. Dunia memiliki
keberadaan dan eksistensinya sendiri, yang berbeda dan berdistingsi dari esensi
Allah.”[8]
Dengan demikian, teori Spinoza, karena bertentangan dengan doktrin Kristen dan
Kitab Suci, harus ditolak dengan tegas.
[1]https://id.wikipedia.org/wiki/Baruch_de_Spinoza
[2]Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (Bandung:
Mizan Pustaka, 1997), 271.
[3]Gaarder, Dunia Sophie, 273.
[4]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, Jilid
II (Surabaya: Momentum, 2012), 751.
[5]Louis Berkhof, Teologi Sistematika I: Doktrin Allah (Surabaya:
Momentum, 2005), 249.
[6]Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, 249.
[7]Bavinck, Dogmatika Reformed, jilid II, 527.
[8]Bavinck, Dogmatika Reformed, jilid II, 528.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar