Oleh: Join Kristian Zendrato
Hari ini, saya
terus mikir tentang apa yang harus saya tulis di blog saya. Puji Tuhan, Tuhan
masih memberi hikmat untuk bisa berpikir dan menuangkannya dalam dua halaman Microsoft
Office Word. Hehehe! Selamat membaca!
Akhir-akhir ini bumi Nusantara dihebohkan dengan
kasus Ratna Sarumpaet yang awalnya mengaku dianiaya hingga mukanya babak belur,
tetapi akhirnya mengakui bahwa itu bukan akibat penganiayaan tetapi efek dari
sedot lemak pipi. Apesnya, sebelum mengklarifikasi hal itu, banyak orang telah
mengaminkan klaim awal Sarumpaet, bahkan mengutuk tindakan “penganiayaan” itu!
Saya tidak mau berspekulasi lebih jauh mengenai kasus ini, kita tunggu pihak
yang berwajib menyelesaikannya. Namun setidaknya dari kisah non fiktif di atas,
sebagai orang percaya, kita bisa belajar dua hal:
PERTAMA.
Kita seharusnya menjauhkan diri dari aktivitas menyebarkan kabar bohong. Mengatakan
apa pun yang bertentangan dengan informasi atau kejadian yang sebenarnya adalah
tindakan berbohong. Kita harus mengingat bahwa ini tetap berlaku dalam pembicaraan
yang paling remeh. Anda mungkin pernah mendengar seseorang berbohong ketika
ditanya, “Kamu sudah makan?” dan menjawab “Belum,” padahal dia sudah makan.
Menambah informasi yang sebenarnya tidak ada tentang
sesuatu juga adalah tindakan berdusta. Coba misalnya bayangkan, Si A melihat
seorang cewe dan seorang cowo yang pergi ke sebuah hotel. Hanya itu yang dia
lihat. Tetapi ketika Si A menceritakan kejadian itu kepada Si B, Si A
mengatakan bahwa si cewe dan si cowo itu masuk ke dalam hotel lalu berhubungan
seks. Ini tentunya penambahan informasi yang menyesatkan.
Kemudian, memberitakan setengah kebenaran, kadang-kadang juga bisa dikategorikan
sebagai tindakan berdusta. Seseorang pernah berkata, “half truth is the whole lie” (setengah kebenaran adalah dusta yang
utuh).
Dalam memberikan informasi, kita juga harus
membedakan antara tindakan pasif dan aktif dari sebuah kejadian. Misalnya dalam
sebuah keluarga ada perceraian. Adalah salah kalau kita selalu menyalahkan keduanya (kadang-kadang memang keduanya bisa
salah). Bisa saja, dalam perceraian itu yang satu dicerai sedangkan yang satu mencerai.
Tidak menepati janji secara sengaja juga adalah
tindakan berdusta. Anda mungkin sering mendengar perkataan ini, “Nanti, jam 4
saya datang,” ternyata dia baru muncul satu bulan kemudian. Ini juga sering
terjadi ketika para CALEG mengucapkan janji-janji mereka dihadapan publik
tetapi tak pernah dipenuhi. Lain di mulut, lain di hati.
Saya juga tidak percaya dengan white lie seperti yang dilakukan oleh Abraham dalam Kej. 12:11-13. Bagaimana
pun itu adalah dusta. Ini juga berlaku ketika seseorang misalnya berkata kepada
anaknya, “Nak, ayah lagi capek. Kalau ada yang cari bapak, bilang saja kalau
ayah belum pulang.”
Saya mau menambahkan satu hal yaitu: bahwa semua
manusia sebenarnya pernah berdusta, dan Alkitab menyatakan bahwa “Tetapi … semua pendusta, mereka akan mendapat
bagian mereka di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang; inilah
kematian yang kedua” (Wahyu 21:8).
Jika kita jujur dengan
diri kita, apakah kita bisa luput dari lautan yang menyala-nyala oleh api dan
belerang itu? Terhadap hal ini saya mempunyai dua jawaban: (1) jika
mengandalkan perbuatan kita untuk dibebaskan dari neraka itu, maka kita tidak
bisa luput. (2) jika kita merasakan bahwa kita adalah orang berdosa dan datang
serta percaya kepada Kristus, maka kita akan luput. Roma 8:1 menyatakan, “Demikianlah
sekarang tidak ada penghukuman bagi
mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” Maukah Anda datang dan percaya
kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat Anda?
KEDUA.
Kita tidak boleh mengaminkan langsung apa pun yang dikatakan oleh seseorang tanpa
menyeledikinya lebih dulu, seperti orang-orang yang mengaminkan langsung pernyataan
awal Ratna Sarumpaet. Saya mau menghubungkan ini sedikit dengan pemberitaan
firman Tuhan dalam Gereja.
Banyak orang yang begitu saja mengaminkan khotbah
pendeta yang “top” tanpa mengeceknya terlebih dahulu. Jika pendetanya suka buat
lelucon bak seorang pelawak kondang, maka menurut pengalaman saya, banyak orang
yang terbuai dengan lelucon si pengkhotbah tanpa peduli apakah yang dia
khotbahkan sesuai dengan Alkitab atau tidak. Ini adalah tindakan tolol yang
tidak Alkitabiah. Dalam Kisah 17:11 dinyatakan bahwa, “Orang-orang Yahudi di
kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena
mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk
mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.” Ini jelas sangat
bertentangan dengan sikap banyak oran Kristen yang tukang ‘amin’ terhadap
setiap khotbah. Be wise!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar