Oleh: Join Kristian Zendrato
Reformasi adalah “perubahan secara
drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu
masyarakat atau negara.” Ini adalah defenisi reformasi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Tetapi dalam Kekristenan, Reformasi menunjuk pada suatu
peristiwa yang terjadi pada tahun 1517. Peristiwa itu adalah timbulnya kritik
teologis terhadap pandangan-pandangan tertentu dari gereja Roma Katolik, yang
dimulai oleh Marthin Luther dengan menempelkan 95 tesisnya pada sebuah pintu
gereja di kota Wittenberg, Jerman, yang berisikan penentangan terhadap
ajaran-ajaran tertentu yang dipercayai dan diajarkan oleh gereja Roma Katolik,
misalnya mengenai penjualan indulgentia (surat
penghapus dosa), keselamatan bukan hanya karena iman saja, dan sebagainya.
Konsekuensi dari semua hal ini adalah berpisahnya atau keluarnya orang-orang tertentu dari
gereja Roma yang sampai saat ini disebut sebagai kaum Protestan. Luther mengharuskan
setiap orang untuk back to the Bible.
Artinya apa pun yang diajarkan oleh Gereja, harus diuji oleh Alkitab. Hal
inilah yang membuat gerakan Reformasi Protestan ini mempunyai suatu motto, yakni Sola Scriptura yang artinya hanya
Alkitab yang menjadi sumber dan otoritas ajaran Gereja.
Saya kira, saya perlu menjelaskan satu
hal, yakni bahwa Kristen Protestan yang dimunculkan kembali oleh Luther,
Calvin, dan para reformator lainnya bukanlah
agama baru. Tetapi itu adalah pengembalian Kekristenan abad pertengahan
kepada kekristenan mula-mula dalam Perjanjian Baru. Loraine Boettner, seorang
teolog Reformed pernah menjelaskan hal ini dalam bukunya yang berjudul Roman Catholicism. Boettner menulis,
Protestantism as it emerged in the sixteenth century was not the beginning of something new, but a return to the Bible Christianity and to the simplicity of the apostolic church from which the Roman Church had long since departed. (Terjemahan: Protestantisme seperti yang muncul pada abad keenam belas bukanlah awal dari sesuatu yang baru, tetapi sebuah langkah kembali ke Kekristenan Alkitab dan kesederhanaan gereja apostolik yang telah lama ditinggalkan Gereja Roma).[1]
Boettner
melanjutkan dengan berkata,
Protestantism, therefore, was not a new religion, but a return to the faith of the early church. It was Christianity cleaned up, with all the rubbish that had collected during the Middle Ages thrown out. (Terjemahan: Karena itu, Protestanisme bukanlah suatu agama baru, tetapi suatu pengembalian pada iman dari gereja mula-mula. Itu adalah kekristenan yang dibersihkan, dengan semua sampah yang terkumpul selama abad pertengahan dibuang).[2]
Loraine
Boettner benar ketika ia berkata bahwa Reformasi itu
penting karena fakta saat itu “how far the church had departed
from its original Scriptures.” (Terjemahan: betapa jauh gereja telah
meninggalkan Kitab Suci aslinya).[3]
Jadi, dari sini kita bisa melihat bahwa gerakan
reformasi itu bukan semacam gerakan yang akhirnya memunculkan agama baru,
tetapi sebuah gerakan yang berusaha mengembalikan kekristenan yang autentik
seperti tercitra dalam Perjanjian Baru, sebuah kekristenan yang seluruh ajaran
dan prakteknya di dasarkan hanya pada otoritas Kitab Suci.
Semangat back to the Bible ini jelas terlihat dari perdebatan Luther di
hadapan penentang-penentangnya. Ketika Luther dibawa ke kota Worms, dan diminta
untuk menarik semua kritik-kritiknya terhadap Katolik Roma, Luther menjawab
mereka,
Unless I am refuted and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against the conscience. (Terjemahan: Kecuali aku disangkal / dibuktikan salah dan diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci atau oleh argumentasi-argumentasi yang jelas (karena aku tidak percaya kepada Paus ataupun councils saja; adalah jelas bahwa mereka sering salah dan bertentangan dengan diri mereka sendiri), aku ditaklukkan oleh Kitab Suci yang Kudus yang aku kutip, dan hati nuraniku terikat pada firman Allah: aku tidak bisa dan tidak mau menarik kembali apapun, karena adalah tidak aman dan berbahaya untuk melakukan apapun yang bertentangan dengan hati nurani).[4]
Ini menunjukkan betapa Luther
menundukkan kehidupan dan ajarannya di bawah otoritas Kitab Suci. Alangkah
indahnya gereja Tuhan, jika setiap hamba Tuhan seperti Luther. Pada zaman
sekarang ini, banyak pemimpin gereja yang tidak lagi mempedulikan apakah ajaran
mereka sesuai dengan Alkitab atau tidak, mereka lebih suka untuk mendasarkan
ajaran dan praktek mereka berdasarkan pengalaman mereka, berdasarkan filsafat
mereka, dan sebagainya. Mereka muak terhadap Kitab Suci. Dengan situasi seperti
ini, kita betul-betul membutuhkan orang-orang seperti Luther dan para
reformator yang lain, yang tidak pernah berkompromi dengan kebenaran ajaran
Alkitab. Perhatikan beberapa kutipan dari kata-kata Reformator di bawah ini,
yang menunjukkan betapa mereka menjunjung tinggi kebenaran dan menundukkan diri
di bawah otoritas Alkitab.
Martin Luther, “Saya tidak mengagungkan diri saya di atas doktor-doktor dan konsili-konsili, saya mengagungkan Kristus di atas semua guru dan konsili.”[5]
John Calvin, “‘Even a dog barks,’ he wrote to the queen of Navarre, ‘when his master is attacked; how could I be silent when the honor of my Lord is assailed?’” (Terjemahan: ‘Bahkan seekor anjing menggonggong,’ tulisnya (Calvin) kepada ratu Navarre, ‘jika tuannya diserang; bagaimana aku bisa diam pada saat kehormatan Tuhanku diserang?’)[6]
John Calvin, “But rather than the truth of God shall not stand firm, let a hundred worlds perish.” (Terjemahan: Tetapi daripada kebenaran Allah tergoncangkan, biarlah seratus dunia binasa).[7]
Bagaimana dengan kita? Apakah kita telah
bersikap back to the Bible, baik
dalam aspek ajaran maupun tingkah laku kita sebagaimana tertulis dalam 2
Timotius 3:16? Jika tidak, kita perlu Reformasi! Semoga Tuhan menolong kita!
[2]Loraine Boettner, Roman
Catholicism, 26.
[3]Loraine Boettner, Roman
Catholicism, 26.
[4]Dalam Philip Schaff, History of the Christian Church, vol.
VII, pp. 304-305
[5]Luther, Von den neuen Eckischen Bullen und lu gen (1520),
WA 6, 581, II. 14-16, dikutip oleh Bernard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, terj. Andreas Yewangoe (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 14.
[6]Philip Schaff, History of the Christian Church, vol. VIII,
pp. 594.
[7]John Calvin, Calvin’s New Testament Commentaries: The
Epistle of Paul the Apostle of the Galatians, Ephesians, Philippians and
Colossians, trans. T.H.L. Parker; ed. D.W. Torrance dan T.F. Torrance
(Grand Rapids, Michigan: W. M. B. Eerdmans Publishing Co., 1965), 200.
👌🙌
BalasHapus