Oleh:
Join Kristian Zendrato
Siapakah
yang bertanggung jawab atas kematian Yesus? Bagi sebagian orang, jawaban
terhadap pertanyaan ini sama jelasnya dengan jawaban atas pertanyaan 1+1.
Tetapi saya sendiri ketika membaca Perjanjian Baru, khususnya keempat kitab
Injil, saya mendapati bahwa jawaban terhadap pertanyaan ini tidak segampang
yang dibayangkan, sebab data tekstual Perjanjian Baru meneguhkan bahwa Yesus
mati karena dibunuh, tetapi disisi lain, Perjanjian Baru juga menegaskan bahwa
Yesus mati karena kehendak-Nya sendiri dan juga karena kehendak Bapa.
Pertama-tama
saya setuju dengan John Stott ketika ia menyatakan bahwa sebenarnya orang-orang
yang bertanggung jawab secara langsung atas kematian Yesus tentu saja adalah
tentara Romawi yang melaksanakan hukuman itu.[1] Penulis-penulis
kitab-kitab Injil tidak memberikan penjelasan mendetail bagaimana penyaliban
itu mereka lakukan, tetapi itu pasti sangat mengerikan. Cicero menyebut
penyaliban sebagai crudelissimum taeterrimumque
supplicium (hukuman paling kejam dan menjijikkan).[2]
Tetapi
di balik tindakan eksekusi yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Romawi, ada
Pontius Pilatus yang memerintahkan penyaliban itu. Ketika para pemimpin agama
Yahudi membawa Yesus kepada Pontius Pilatus, mereka berkata, “Telah kedapatan
oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami , dan melarang membayar
pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan bahwa Ia adalah
Kristus, yaitu Raja” (Luk. 23:2). Setelah mendengar hal itu, Pilatus melakukan
investigasi (penyelidikan) tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Singkat
cerita, Alkitab berkata bahwa “Pilatus tidak mendapati kesalahan apapun pada
Yesus” (Luk. 23:4; Yoh. 18:38), bahkan ketika Yesus kembali setelah diperiksa
oleh Herodes, Pilatus berkata kepada orang Yahudi: “Kamu telah membawa orang
ini kepadaku sebagai seorang yang menyesatkan rakyat. Kamu lihat sendiri bahwa
aku telah memerikasa-Nya, dan dari kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan
kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya. Dan Herodes juga tidak, sebab ia
mengirimkan Dia kembali kepada kami. Sesungguhnya tidak ada suatu apapun yang
dilakukan-Nya yang setimpal dengan hukuman mati” (Luk. 23:13-15; bdk. Yoh.
19:4-5). Sekali lagi, ketika orang-orang Yahudi berteriak, “Salibkanlah Dia!
Salibkanlah Dia,” Pilatus menjawab: “Kejahatan apa yang sebenarnya telah
dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahanpun yang ku dapati pada-Nya, yang
setimpal dengan hukuman mati” (Luk. 23:22; Yoh. 19:6). Ketidakbersalahan Yesus
diteguhkan oleh pesan istrinya kepadanya: “Jangan engkau mencampuri perkara
orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam”
(Mat. 27:19).
Walaupun
begitu, Pontius Pilatus tidak bertahan lama dalam posisinya, ia mulai goyah
karena sifat komprominya. Dalam Luk. 23:23-25 dikatakan bahwa: “...akhirnya
mereka menang dengan teriak mereka” (ay. 23), “Pilatus memutuskan, supaya
tuntutan mereka dikabulkan” (ay. 24), “...Yesus diserahkannya kepada mereka
untuk diperlakukan semau-maunya” (ay. 25). Teriakan mereka, tuntutan mereka dan
kemauan mereka: kepada hal-hal inilah Pilatus menyerah tak berdaya. Ia tadinya
“ingin melepaskan Yesus (Luk. 23:20), tetapi ia juga “ingin memuaskan hati
orang banyak itu” (Mrk. 15:15). Orang banyak itu menang karena mereka berkata
kepada Pilatus: “Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat
Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar”
(Yoh. 19:12). Perkataan inilah yang menuntaskan keadaan. Pilihannya adalah
antara kehormatan dan ambisi, antara prinsip dan kecocokan. Suara hatinya ditenggelamkan
oleh suara-suara orang banyak. Singkatnya, Pilatus berkompromi karena ia
seorang pengecut.[3]
Sikap
Pilatus ini juga masih sering muncul pada saat ini. Mereka yang pertama-tama
yakin akan kebenaran pada akhirnya sering jatuh menentang kembali kebenaran
yang dulu mereka yakini itu karena ambisi dan keinginan “untuk memuaskan hati
orang banyak.” Sungguh, tidak sulit menemukan orang-orang pengecut seperti itu.
Selanjutnya,
kalau kita semakin mundur ke belakang, kita akan mendapati bahwa ternyata orang-orang
Yahudi dan para imam mereka berpartisipasi dalam penyaliban Yesus. Dalam
pelayanannya di dunia ini, Kristus Yesus telah menunggangbalikkan kemapanan
Yahudi. Seringkali orang Yahudi marah kepadanya karena Ia melanggar sabat, Ia
mengatakan bahwa Ia sudah ada sebelum Abraham yang akhirnya memicu orang Yahudi
untuk melemparinya dengan batu, Ia mengampuni dosa, Ia menyamakan diri-Nya
dengan Allah, dan masih banyak hal lain yang Kristus lakukan yang tidak sesuai
dengan tradisi Yahudi. Tidak hanya menolak tradisi Yahudi, Ia pun secara
terang-terangan mengkritik orang-orang Farisi karena mereka meninggikan tradisi
di atas Kitab Suci. Ia menyebut mereka sebagai “orang-orang munafik, orang buta
yang menuntun orang buta, dan menyamakan mereka dengan kuburan yang dilabur
putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah
dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai kotoran (Mat. 23:27). Ia
benar-benar mengusik status quo
mereka.
Karena
klaim-klaim Yesus inilah, orang-orang Yahudi dipenuhi kemarahan terhadap-Nya.
Mereka menganggap Yesus melanggar hukum taurat yang sakral dan mengklaim bahwa
Yesus mengajarkan hal yang salah dan sesat. Tetapi anehnya, ketika Yesus
meminta orang Yahudi untuk membuktikan bahwa Ia salah, mereka tidak dapat membuktikannya.
Jelas bahwa tuduhan-tuduhan orang Yahudi kepada-Nya tidak mempunyai dasar yang
benar. Mereka adalah orang-orang munafik.
Akhirnya,
mereka merasa terancam oleh kehadiran Yesus. Mereka melihat Dia sebagai pesaing
yang mengancam, yang mengganggu ketenangan mereka, yang menunggangbalikkan status quo mereka, yang melemahkan
otoritas mereka, yang melemahkan prestise mereka, kendali mereka atas orang
banyak, kepercayaan diri mereka sendiri, sementara semua yang ada pada-Nya itu
tetap utuh. Mereka iri kepada-Nya, dan oleh karena itu bertekad untuk
menyingkirkan Dia, dan mereka berhasil menyalibkan Yesus.
Jika
orang Yahudi dan imam mereka merasa diganggu oleh Yesus, apakah Anda juga
merasa diganggu oleh Dia? Apakah anda merasa diganggu oleh peraturan sabat-Nya?
Apakah anda merasa diganggu oleh hukum-hukum-Nya? Apa yang orang Yahudi rasakan
dulu, sering kita rasakan pada saat ini. Kita merasa diganggu oleh Yesus. John
Stott menyatakan:
Hasrat jahat yang sama memengaruhi sikap-sikap kontemporer kita sendiri terhadap Yesus. Ia tetap adalah, sebagaimana C.S Lewis menyebut-Nya, “seorang pengacau transendental.”[4] Kita gusar terhadap intrusi-intrusi-nya ke dalam privasi kita, tuntutan-Nya atas ketundukan kita, ekspektasi-Nya atas ketaatan kita. Mengapa ia tidak bisa mengurus urasan-Nya sendiri, kita bertanya dengan jengkel, dan membiarkan kita? Untuk hal itu Ia langsung menjawab bahwa kitalah urusan-Nya dan bahwa Ia tidak akan pernah membiarkan kita. Jadi kita juga melihat Dia sebagai pesaing yang mengancam, yang mengganggu ketenangan kita, menunggangbalikkan status quo kita, melemahkan otoritas kita, dan melenyapkan penghargaan diri kita. Kita pun ingin mengenyahkan Dia.[5]
Sekali
lagi, apakah anda merasa diganggu juga oleh Yesus?
Selanjutnya,
Yudas juga terlibat dalam kasus ini. Yudas adalah bendahara dari kelompok para
rasul, karena ia telah dipercaya untuk mengurus keuangan mereka. Dalam Yohanes
12:1-8 diceritakan mengenai diurapinya Yesus oleh Maria dari Betania.
Pengurapan kaki Yesus yang dilakukan oleh Maria ini diceritakan oleh Yohanes
sebagai berikut: “Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang
mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan
bau minyak semerbak di seluruh rumah itu” (ay. 3). Ini merupakan bentuk
pelayanan Maria yang luar biasa, yang belakangan disebut Yesus sebagai ‘suatu
perbuatan yang baik’ (lihat Mat. 26:10; Mrk. 14:6). Tetapi ketika Yudas
Iskariot melihat hal itu, maka ia berkomentar layaknya sebagai seorang
penasehat, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan
uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (ay. 5). Apa yang ada di balik
pernyataan Yudas ini? Apakah ia benar-benar peduli dengan orang miskin? Yohanes
sang rasul menuliskan jawabannya demikian, “Hal itu dikatakannya bukan karena
ia memperhatikan nasib orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang
pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya”
(ay. 6). Akhirnya, kita dapat melihat topeng kemunafikan Yudas dan siapa dia
sesungguhnya.
John
Stott berpendapat bahwa “Setelah menyaksikan dan mengkritik apa yang dilihatnya
sebagai pemborosan yang tidak bertanggung jawab oleh maria, ia (Yudas Iskariot)
sepertinya langsung mendatangi para imam untuk menebus sebagian kerugian itu.”[6]
Hal ini sesuai dengan Matius 26:14-15: “Kemudian pergilah seorang dari kedua
belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. Ia
berkata: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia
kepada kamu?” Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya.” Stott
menambahkan bahwa, “Para penulis Kitab-Kitab Injil, dengan pengertian mereka
tentang drama yang memuncak ini dengan cermat mengontraskan Maria dan Yudas,
kemurahan Maria yang sama sekali tidak perhitungan dengan tawar-menawar Yudas
yang dikalkulasi secara dingin. Kita hanya bisa menebak hasrat-hasrat gelap
lain yang sedang menggelegak di dalam hatinya, tetapi Yohanes menegaskan bahwa
ketamakan akan uanglah yang akhirnya menguasai dirinya. Digusarkan oleh
pemborosan upah kerja selama setahun, ia pergi dan menjual Yesus dengan harga
yang hampir tidak mencapai sepertiga dari jumlah itu.”[7] Jadi
jelaslah bahwa ketamakanlah yang membuat Yudas menyerahkan Yesus kepada
imam-imam kepala. Yudas memilih uang.
Maka
dari semua ini, kita bisa menyimpulkan bersama John Stott bahwa, “Pertama,
Yudas ‘menyerahkan Dia’ kepada para imam (karena ketamakan). Selanjutnya, para
imam ‘menyerahkan Dia’ kepada Pilatus (karena dengki [iri]). Selanjutnya
Pilatus ‘menyerahkan Dia’ kepada para tentara (karena ia adalah seorang
pengecut), dan mereka menyalibkan Dia.”[8]
Adalah
mudah untuk menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada orang-orang di atas. Tetapi
selanjutnya, seperti pengamatan John Stott, “Yang lebih penting lagi, kita
sendiri juga bersalah.”[9]
Jika kita memaknai bahwa kematian Kristus itu untuk menggantikan kita (Yesaya 53:2-5; Roma 5:8), maka kita tidak susah
untuk melihat bahwa secara teologis, kita juga hadir pada saat penyaliban
Yesus. Kita hadir disana
Bukan sebagai para penonton, tetapi sebagai para partisipan, para partisipan yang bersalah, yang berkomplot, merencanakan, mengkhianati, melainkan tawar-menawar, dan menyerahkan Dia untuk disalibkan. Kita mungkin berusaha mencuci tangan kita yang bertanggung jawab seperti Pilatus. Tetapi usaha kita akan sesia-sia usahanya. Sebab tangan kita ternoda darah. Sebelum kita bisa mulai melihat salib sebagai sesuatu yang dilakukan untuk kita (yang memimpin kita kepada iman dan penyembahan), kita harus melihatnya sebagai sesuatu yang dilakukan oleh kita (yang memimpin kita pada pertobatan).[10]
Stott
juga mengutip Peter Green yang menyatakan, “hanya orang yang siap mengakui
bagiannya sendiri di dalam kesalahan atas salib, yang boleh mengklaim bagiannya
di dalam anugerah salib.”[11]
Horatius Bonar (1808-89) juga dikutip oleh Stott. Bonar dalam sebuah himnenya
menyatakan:
“Akulah yang menumpahkan darah yang kudus itu;
Aku memakukan Dia di tiang;Aku menyalibkan Sang Kristus dari Allah;Aku ikut mengolok-olokDi antara semua orang banyak yang berteriak ituAku merasa bahwa aku adalah salah satunya;Dan di dalam hingar bingar suara-suara yang kasar ituAku mengenali suaraku sendiri.Di sekeliling salib, aku melihat orang banyak itu,Sedang mengolok-olok erangan Dia yang menderita;Namun tetap saja sepertinya itu adalah suaraku,Seolah-olah hanya aku sendiri yang mengolok-olok.[12]
Sejauh
ini kita telah menelusuri dengan singkat siapa-siapa yang bertanggung jawab
dalam kematian Kristus. Ada para prajurit, Pilatus, orang Yahudi dan imam
mereka, Yudas Iskariot, bahkan kita telah melihat bahwa kita sendiri pun
termasuk di dalamnya.
Tetapi
kalau kita mencermati data-data Perjanjian Baru mengenai kematian Kristus, kita
akan mendapati juga bahwa sebenarnya, Yesus sendiri yang membawa dirinya kepada
penyaliban itu. Ia berulang kali menubuatkan bahwa Dia akan mengalami
penderitaan dan kematian (Mark. 8:31-32; 9:31). Kata-kata-Nya yang lebih
eksplisit dalam hal ini misalnya diungkapkannya dalam Yohanes 10:11, 17-18.
Semua ini menunjukkan bahwa Ia menyerahkan dirinya pada kematian dengan
sukarela bukan dengan paksaan (bdk. mis. Gal. 2:20). Bapa juga menyerahkan
Anak-Nya Yesus Kristus untuk mati dengan tujuan menebus dan mendamaikan Allah
dengan manusia. Ini misalnya terlihat dalam ayat terkenal Yohanes 3:16; Roma
8:32, dan sebagainya. Ini berarti bahwa salib bukan kecelakaan yang akhirnya
dipakai Allah sebagai jalan penebusan dan pendamaian antara Allah dan manusia.
Tidak. Salib adalah rancangan Allah sendiri. Seperti yang pernah diungkapkan
oleh Octavianus Winslow, “Siapakah yang menyerahkan Yesus untuk mati? Bukan
Yudas, karena uang; bukan pilatus karena dengki; - tetapi Bapa, karena kasih!”[13]
Inilah
misteri salib. Di satu sisi kita melihat bahwa Yesus disalibkan oleh
orang-orang durhaka, tetapi disisi lain Ia menyerahkan diri-Nya sendiri secara
sukarela, demikian juga Bapa menyerahkan Anak-Nya untuk keselamatan kita. Lalu
apakah ini semua kontradiksi? Tidak sama sekali! Kedua aspek ini – kedaulatan
Allah dan tanggung jawab manusia – tetap dipertahankan dalam Alkitab, dan tidak
pernah mendamaikannya. Mari kita melihat beberapa ayat mengenai hal ini.
Dalam
Kis. 2:23, tertulis, “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya,
telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.”
Perhatikan bahwa kata-kata “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan
rencana-Nya,” itu menunjuk pada aspek kedaulatan Allah. Sedangkan kata-kata,
“kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka,” menunjuk pada
aspek kebebasan dan tanggung jawab manusia.
Juga dalam Kis. 4:27-28 dinyatakan, “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.” Lagi-lagi perhatikan bahwa dalam ayat 27, Petrus menekankan kebebasan dan tanggung jawab manusia, tetapi dalam ayat 28, Petrus menekankan kedaulatan Allah ketika ia berkata, “untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.”
Contoh klasik mengenai
hal ini juga terlihat dalam Lukas 22:22, “Sebab Anak Manusia memang akan pergi
seperti yang telah ditetapkan, akan
tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!” Perhatikan bahwa
kata-kata, “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan,” menunjuk pada kedaulatan
Allah, tetapi kata-kata “celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!” menunjuk
pada aspek kebebasan dan tanggung jawab manusia.
Dari
3 ayat di atas, kita melihat bahwa kedua aspek ini tetap dipertahankan tanpa
pernah mengecam kedua hal itu sebagai kontradiksi, dan juga tidak pernah
berusaha untuk mendamaikan keduanya. John Stott menyimpulkan hal ini dengan
baik dalam kata-katanya berikut ini:
Penting sekali untuk menyatukan kedua cara pandang terhadap salib yang saling melengkapi ini. di level manusia, Yudas menyerahkan Dia kepada para imam, yang menyerahkan Dia kepada Pilatus, yang menyerahkan dia kepada para prajurit, yang menyalibkan Dia. Tetapi di level ilahi, Bapa menyerahkan Dia, dan Dia menyerahkan diri-Nya, untuk mati bagi kita. Maka ketika kita memandang salib, kita bisa berkata kepada diri kita, ‘Aku yang melakukannya, dosa-dosaku mengirim-Nya ke sana,’ sekaligus ‘Ia yang melakukannya, kasih-Nya membawa-Nya ke sana.’ Rasul Petrus menyatukan kedua kebenaran ini di dalam pernyataannya yang mengagumkan pada hari Pentakosta, bahwa “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya,” sekaligus bahwa “telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka” [Kis. 2:23]. Dengan demikian, Petrus secara bersamaan menghubungkan kematian Yesus dengan rencana Allah dan kejahatan manusia. Sebab salib, … adalah pembongkaran terhadap kejahatan manusia, dan pada saat yang sama adalah sebuah penyataan akan maksud ilahi untuk mengalahkan kejahatan manusia yang telah dibongkar itu.[14]
Kemudian,
Stott menyimpulkan:
saya kembali kepada pertanyaan yang saya ajukan untuk memulainya: mengapa Yesus Kristus mati? Jawaban pertama saya adalah bahwa Ia tidak mati; Ia dibunuh. Meskipun begitu, kini saya harus menyeimbangkan jawaban ini dengan lawannya. Ia tidak dibunuh; Ia mati, menyerahkan diri-Nya secara sukarela untuk melakukan kehendak Bapa-Nya.[15]
Tuhan
memberkati!
[1]John Stott, Salib Kristus (Surabaya: Momentum, 2015), hal. 58.
[2]Cicero, Against Verres II. v. 64, par. 165, dikutip oleh Stott, Salib Kristus, hal. 27.
[3]Stott, Salib Kristus, 63.
[4]C.S Lewis, Surprised by Joy (Geoffrey Bles, 1960), hal. 163, dikutip Stott, Salib Kristus, hal. 67.
[5]Stott, Salib Kristus, hal. 67.
[6]Stott, Salib Kristus, 70.
[7]Stott, Salib Kristus, 70-71. Stott menunjuk Mat. 26:6-16; Mrk. 14:3-11;
Yoh. 12:3-8, dan 13:29.
[8]Stott, Salib Kristus, 72. Stott menunjuk Mat. 26:14-16 (Yudas); 27:18
(para imam); 27:26 (Pilatus).
[9]Stott, Salib Kristus, 73.
[10]Stott, Salib Kristus, 74.
[11]Peter Green, Watchers by the Cross: Thoughts on the Seven Last Words (Longmans
Green, 1934), hal. 17, dikutip Stott, Salib
Kristus, hal. 74.
[12]Dalam Stott, Salib Kristus, hal. 74.
[13]Dikutip oleh Stott, Salib Kristus, hal. 76.
[14]Stott, Salib Kristus, hal. 76.
[15]Stott, Salib Kristus, hal. 76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar