Oleh: Join Kristian Zendrato
Ada satu fakta yang tak terbantahkan di dunia ini:
segala sesuatu (kecuali Allah) terus menerus berubah. Seorang bayi yang baru
lahir yang sepertinya tidak berdaya akan segera kita lihat merangkak,
berbicara, dan sebagainya. Bukan hanya berubah, hidup di dunia ini juga
mempunyai akhir. Kehidupan ini penuh misteri. Senyuman indah seseorang yang
mungkin membuat terpesona, akan hilang tak berbekas kala kematian datang
menghampiri. Kita melihat kehidupan dan kematian. R.C Sproul, seorang teolog
Reformed, pernah menceritakan kisah sedih mengenai kehidupan dan kematian ini.
Simaklah kisah Sproul berikut ini:
Pada tanggal 1 Juli 1965 istri saya melahirkan anak laki-laki kami. Saya teringat pengalaman yang sangat menggembirakan mengamatinya melalui jendela kamar anak-anak di rumah sakit. Seluruh kedinamisan hidup seolah-olah terwujud dalam tingkah laku penuh gairah dari anak yang baru lahir ini. Saya merasa tergetar menatap seorang bayi yang merupakan “darah daging” saya. Saya merasakan kebanggaan sangat besar yang sering kali dialami orang yang menjadi ayah. Pengalaman kelahiran tentu bukan sesuatu yang unik ataupun tidak biasa. Namun yang terjadi selanjutnya sungguh janggal. Pengunjung pertama ke rumah sakit adalah ibu saya. Kegembiraannya menyaksikan cucu laki-lakinya tak terlukiskan. Saya mengantarnya pulang dari rumah sakit dan menginap di rumahnya malam itu. Pagi berikutnya saya pergi ke kamar tidurnya dan membangunkannya untuk makan pagi. Tak ada tanggapan ataupun gerakan. Ketika saya menyentuh tangannya untuk membangunkannya, saya merakasan dinginnya kematian. Tubuhnya keras dan dingin. Ia telah meninggal malam sebelumnya. Hanya dalam jarak waktu beberapa jam saya menyaksikan kelahiran anak laki-laki dan mayat ibu saya. Sementara saya berdiri terpana di sisi tempat tidurnya, perasaan sangat aneh meliputi saya. Saya berpikir, “Sungguh mustahil. Beberapa waktu yang lalu ibu masih hidup, bernapas, dinamis, penuh kehangatan dan semangat. Sekarang hanya tinggal kesunyian dan dingin.” Dalam hati saya memprotes,”Benar-benar tak masuk akal.”[1]
Dari kisah Sproul di atas, kita bisa belajar bahwa
kematian bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Untuk itulah dalam Amsal
27:1 dinyatakan, “Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak
tahu apa yang akan terjadi hari itu.”
Tetapi kita perlu bertanya: apakah kematian
mengakhiri segalanya? Apakah setelah seseorang mati, semua benar-benar telah
berakhir seperti yang diungkapkan oleh Bertrand Russel, “Aku akan membusuk
setelah mati, dan egoku tidak akan ada lagi.”[2] Atau
seperti ucapan Shakespeare, “Hidup hanyalah bayangan yang berjalan, aktor
malang yang menjalani hari-harinya di panggung lalu tak terdengar lagi. Hidup
adalah dongeng yang dikisahkan oleh si tolol, penuh dengan kebisingan dan
kegeraman. Tak berarti.”[3]
Terhadap hal ini, Alkitab tidak membiarkan kita
dalam kebingungan. Pertama, Alkitab membedakan manusia dengan binatang. Setelah
mati, binatang benar-benar tidak ada lagi. Tetapi bagi manusia kematian adalah
peristiwa berpisahnya roh (jiwa) dengan tubuh.[4]
Sehingga pada saat manusia itu mati, tubuhnya akan membusuk tetapi roh (jiwa)
manusia tersebut akan “kembali kepada Allah yang mengaruniakannya” (Pengkhotbah
12:7). Jadi, kematian sama sekali tidak mengakhiri eksistensi manusia, tetapi
seperti yang ditegaskan oleh Louis Berkhof, “Kematian bukanlah akhir dari
eksistensi, tetapi berubahnya hubungan-hubungan natural dalam hidup. Hidup dan
mati tidaklah berlawanan satu dengan yang lain sebagai eksistensi dan
non-eksistensi, tetapi keduanya berlawanan hanya dalam perbedaan cara
eksistensi.”[5]
Kedua. Alkitab memberitahukan bahwa setelah manusia
mati, ia akan diperhadapkan dengan penghakiman Allah (Ibrani 9:27). Penghakiman
membutuhkan objek yaitu manusia. Dengan demikian, penghakiman Allah
mensyaratkan eksistensi.
Ketiga, Alkitab memberitahukan kepada kita bahwa
setelah manusia mati, tempat manusia itu hanya dua, yakni: surga atau neraka. Ini
bisa terlihat dari kisah Lazarus dan orang kaya dalam Lukas 16.
Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. (ay. 19-23).
Dalam
Firman Tuhan di atas, kita melihat bahwa baik Lazarus yang miskin maupun orang
kaya sama-sama mengalami kematian. Tetapi setelah kematian mereka berdua,
dikatakan bahwa Lazarus dibawa oleh malaikat-malaikat ke “pangkuan Abraham”yang
menunjuk pada surga. Sedangkan orang kaya “menderita sengsara di alam maut”
yang menunjuk pada neraka!
Sifat
dari kehidupan setelah kematian berbeda dengan kehidupan dalam dunia ini. Jika
dalam dunia ini kita hanya hidup beberapa puluh tahun saja, maka di sana, entah
di surga atau di neraka, kita akan hidup selama-lamanya. Di surga, kita akan
menikmati persekutan dengan Allah selama-lamanya. Di neraka,manusia akan
merasakan murka Allah selama-lamanya (bdk. Matius 25:46).
Saya
tahu bahwa banyak orang yang mengolok-olok kepercayaan seperti ini, mereka
menganggap semua hal ini sebagai omong kosong belaka. Maka untuk orang-orang
seperti ini, saya justru yakin bahwa mereka akan berakhir di neraka. Jika
Alkitab itu adalah firman Allah, maka beritanya tidak mungkin salah.
Terakhir.
Setiap manusia adalah manusia yang berdosa, maka upah ultimat dari dosa adalah
penghukuman kekal dalam neraka (Roma 3:23). Dari sini jika kita melihat diri kita,
kita akan bertanya, “bagaimana saya bisa luput? bukankah saya manusia berdosa?”
Ya, seharusnya semua manusia harus menanggung hukuman itu. Tetapi karena Allah
mengasihi manusia, Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus
(Yohanes 3:16). Yesus menebus kita dari dosa melalui kematian-Nya di kayu
salib. Dalam kematian-Nya Dia menggantikan kita. Dia mengambil tempat yang
seharusnya kita tempati. Dia mengambil hukuman yang seharusnya kita terima
(bdk. Roma 5:6; Yesaya 53:2-6). Akhirnya, jika kita percaya kepada Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamat kita, kita akan diselamatkan (Yohanes 3:16; Roma 8:1).
Sebaliknya, jika kita tidak mau percaya kepada Kristus, kita harus menanggung
sendiri hukuman dosa kita dalam neraka selama-lamanya. By the way, apakah
saudara sudah percaya kepada Kristus?
[1]R.C Sproul, Mengapa Percaya (Malang: Departemen Literatur SAAT, 2003),
153.
[2]Bertrand Russell, Why I am Not a Christian (London: Unwin,
1967), 47, dikutip oleh J. I. Packer, “Universalisme: Apakah Pada Akhirnya
Semua Orang Diselamatkan?,” dalam Christoper W. Morgan dan Robert A. Peterson (eds), Hell Under Fire (Malang: Gandum Mas,
2009), 214.
[3]Dikutip dalam Sproul, Mengapa Percaya, 148.
[4]Dalam hal ini, saya memegang
pandangan Dikotomi.
[5]Louis Berkhof, Doktrin Akhir Zaman, 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar