Ketika
Anda membaca Perjanjian Baru, Anda akan menemukan bahwa di satu sisi Perjanjian
Baru mengklaim bahwa janji Allah telah digenapi, tetapi pada saat yang sama,
Perjanjian Baru juga menegaskan bahwa janji Allah belum sepenuhnya digenapi,
itu akan digenapi secara sempurna pada masa yang akan datang. Apa yang
dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, telah digenapi sebagian dalam Perjanjian
Baru, dan sebagiannya lagi akan digenapi pada waktu yang akan datang.
Berikut
ini, kita akan meninjau beberapa contoh karakter eskatologi Perjanjian Lama.
Setelah itu, kita akan memikirkan bagaimana hubungan hal itu dengan Perjanjian
Baru.
Dalam
Perjanjian Lama, kita menemukan konsep eskatologi dalam pengharapan tentang Juruselamat yang akan datang. Dimulai dari Kej.
3:15 yang menjanjikan bahwa dari benih perempuan, Tuhan akan mendatangkan
Penebus yang akan menghancurkan kepala Iblis. Selanjutnya dalam Kej. 22:18
(bdk. 26:4; 28:14), Dia yang dijanjikan itu secara lebih spesifik dinyatakan
akan datang dari keturunan Abraham dan Daud (2 Sam. 7:12-13). Dalam Kitab
Yesaya, Dia nantinya disebut Imanuel, yang
artinya Allah beserta kita (7:14), Dia disebut Allah yang perkasa (9:5). Dalam
Yesaya 53, Dia digambarkan sebagai Hamba yang Menderita untuk keselamatan
umat-Nya. “Dia tertikam oleh karena pemberontakkan kita, dia diremukkan oleh
karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita
ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (ay. 5). Ide
substitusi penal terlihat dengan jelas dalam ayat ini.
Hal-hal
di atas jelas digenapi ketika Kristus datang dalam dunia ini melalui
kelahiran-Nya dari perawan Maria, dan bahwa Ia mati untuk menggantikan
umat-Nya.
Kemudian,
dalam Perjanjian Lama, kita juga menemukan konsep eskatologi dalam nubuat pencurahan Roh Allah atas umat-Nya. Dalam
Yoel 2:28-29 kita membaca:
Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan. Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu.
Nubuat
di atas jelas digenapi dalam Kis. 2. Tetapi ayat di atas dilanjutkan secara
mengejutkan oleh Yoel dengan berkata: “Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di
langit dan di bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap. Matahari akan
berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari
TUHAN yang hebat dan dahsyat itu” (Yoel 2:30-31). Anthony Hoekema menyatakan
bahwa “Beberapa ayat dalam Perjanjian Baru (seperti, Luk. 21:25; Mat. 24:29)
mengaitkan tanda-tanda dalam Kitab Yoel tersebut [khususnya 2:30-31] dengan
kedatangan Kristus yang kedua.”[1]
Jadi singkatnya, Yoel 2:28-29 itu digenapi secara jelas dalam Perjanjian Baru (baca
Kis. 2:1-40), tetapi Yoel 2:30-31 akan digenapi pada kedatangan Kristus yang
kedua. Tetapi dalam penulisannya, Yoel sepertinya menubuatkannya sebagai satu
peristiwa, atau lebih tepat seperti yang diungkapkan oleh Hoekema, “Yoel
sepertinya menubuatkan tanda-tanda tersebut seolah-olah sebagai peristiwa yang
terjadi tidak jauh dari pencurahan Roh Allah.”[2]
Padahal jarak antara pencurahan Roh Allah dalam Perjanjian Baru dengan
kedatangan Kristus yang kedua kali bisa mencapai ribuan tahun (jelas kita tidak
tahu).
Pencampuradukan
seperti ini juga bisa dilihat dalam konsep Perjanjian Lama mengenai Hari Tuhan. Yesaya 13 misalnya
mengatakan tentang hari Tuhan sebagai peristiwa yang tidak lama lagi, yaitu
ketika Babel dihancurkan (ay. 6-8, 17-22). Tetapi, seperti dikatakan Hoekema,
“dalam pasal yang sama, di antara gambaran tentang kehancuran Babel, terselip
keterangan tentang hari Tuhan yang jauh di masa yang akan datang.”[3]
Perhatikan misalnya ayat 9-11 berikut ini:
Sungguh, hari TUHAN datang dengan kebengisan, dengan gemas dan dengan murka yang menyala-nyala, untuk membuat bumi menjadi sunyi sepi dan untuk memunahkan dari padanya orang-orang berdosa. Sebab bintang-bintang dan gugusan-gugusannya di langit tidak akan memancarkan cahayanya; matahari akan menjadi gelap pada waktu terbit, dan bulan tidak akan memancarkan sinarnya. Kepada dunia akan Kubalaskan kejahatannya, dan kepada orang-orang fasik kesalahan mereka; kesombongan orang-orang pemberani akan Kuhentikan, dan kecongkakan orang-orang yang gagah akan kupatahkan.
Jadi,
dari sini terlihat bahwa sepertinya Yesaya melihat kehancuran Babel dan hari
Tuhan yang akhir sebagai hari yang sama.
Jadi,
secara singkat, kita bisa menyimpulkan bahwa sifat dari eskatologi Perjanjian
Lama itu kadang-kadang menunjuk pada kedatangan Kristus yang pertama,
kadang-kadang juga menunjuk pada waktu dekat pada saat itu (seperti kehancuran
Babel), dan kadang-kadang juga menunjuk pada masa depan yakni pada kedatangan
Kristus yang kedua kali. Uniknya, hal itu sering dicampuradukkan bahkan dalam
satu perikop oleh nabi-nabi Perjanjian Lama. Nanti, dalam Perjanjian Baru,
hal-hal ini baru menjadi jelas. Kesimpulan Anthony Hoekema mengenai hal ini
penting untuk dicermati:
Para nabi Perjanjian Lama menggabungkan hal-hal yang berkaitan dengan kedatangan pertama Kristus dengan kedatangan-Nya yang kedua. Hal ini tidak akan jelas sebelum masa Perjanjian Baru. Melalui Perjanjian Barulah kita memahami bahwa apa yang dilihat sebagai kedatangan Mesias dalam Perjanjian Lama akan digenapi melalui dua tahap: kedatangan pertama dan kedua. Dengan demikian, apa yang tidak jelas bagi para nabi Perjanjian Lama dibuat menjadi jelas dalam era Perjanjian Baru.[4]
Ketika
kita memasuki dunia Perjanjian Baru, kita akan melihat bahwa nubuat-nubuat
Perjanjian Lama itu berangsur-angsur tergenapi. Kelahiran Kristus dari perawan
(Luk. 1:26-38), kematian-Nya yang menebus, pencurahan Roh Kudus atas orang
percaya (Kis. 2:1-40), dan sebagainya, merupakan sebagian realisasi dari
penggenapan nubuat Perjanjian Lama. Tetapi bagaimana pun, masih ada hal-hal
yang belum digenapi dan baru akan digenapi pada masa yang akan datang. Mengenai
hal ini, Hoekema menulis:
Zaman penebusan sekarang yang telah dimulai dengan kedatangan Yesus Kristus yang pertama akan diikuti oleh zaman lainnya yang penuh dengan kemuliaan. Dengan kata lain, di satu pihak, orang-orang percaya yang hidup di masa Perjanjian Baru menyadari fakta bahwa peristiwa eskatologis yang dahsyat yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama sesungguhnya telah digenapi. Namun di lain pihak, mereka juga menyadari bahwa serangkaian peristiwa eskatologis lainnya masih bersifat akan datang.[5]
Hoekema
melanjutkan dengan berkata, “Karena itu, kita patut menyimpulkan bahwa
eskatologi Perjanjian Baru harus dibicarakan dalam pengertian yang menyangkut
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan sebagian lagi yang belum terjadi.[6] Peristiwa-peristiwa
yang masih dinantikan oleh orang percaya di masa depan adalah seperti
kedatangan Kristus yang kedua kalinya, kebangkitan, penghakiman terakhir, dan
sebagainya.
Hal
inilah yang menjadi karakter eskatologis Perjanjian Baru. Di satu sisi nubuat
Perjanjian Lama sebagian telah digenapi dalam Perjanjian Baru, tetapi juga
masih banyak peristiwa yang baru akan digenapi pada masa yang akan datang.
Hoekema menulis, “Di sini kita harus memperhatikan apa yang menjadi karakter
utama eskatologi Perjanjian Baru, yaitu ketegangan antara ‘yang sudah’ dan
‘yang belum’ – antara apa yang orang percaya telah nikmati dan apa yang ia
belum miliki.”[7]
Dan menurut Oscar Cullman, “Seluruh teologi Perjanjian Baru ... dicirikan
dengan ketegangan ini.”[8]
Lalu
apa hubungan ketegangan “yang sudah” dan “yang belum ini” terhadap hidup orang
percaya? Berikut ini ada beberapa analisis yang diberikan oleh Anthony A.
Hoekema. Saya memilih empat diantaranya.
Pertama.
Ketegangan antara “yang sudah” dan “yang belum” ini akan diisi oleh tanda-tanda
zaman yakni peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sebelum Kristus kembali,
termasuk di dalamnya adalah penyebaran Injil, pertobatan Israel, penghujatan
rohani, penganiayaan besar, dan munculnya antikristus. Hoekema mengatakan bahwa
tanda-tanda ini tidak dapat dimengerti hanya sebagai peristiwa yang akan
terjadi di masa depan, tetapi lebih tepatnya jika tanda-tanda ini dipahami
sebagai peristiwa-peristiwa yang akan muncul disepanjang zaman, yakni antara
kedatangan Kristus yang pertama dan kedatangan-Nya yang kedua. Tetapi Hoekema
juga menegaskan bahwa penggenapan klimaks dari peristiwa-peristiwa itu akan
terjadi di masa depan sebelum Kristus datang kembali.[9]
Kedua.
Ketegangan ini juga berimbas kepada Gereja. Di satu sisi, orang percaya telah
lahir baru, tetapi belum sempurna. Kedua aspek ini jelas tidak boleh diabaikan.
Maka pemberitaan firman, pengajaran, bimbingan pastoral, dan disiplin gereja,
harus dilaksanakan dengan baik mengingat ketegangan ini. Kita harus
memperlakukan sesama orang percaya sebagai orang-orang yang sudah ditebus,
tetapi disatu sisi kita juga harus mengingat bahwa mereka dan kita belum
sempurna. Ini penting untuk diperhatikan supaya ketika saudara seiman kita
jatuh ke dalam dosa, kita harus mengampuni dan menerima mereka. Apa pun bentuk
perbaikan yang dilakukan harus senantiasa berdasarkan semangat yang tertuang
dalam Galatia 6:1, “Saudara-saudara, kalaupun suatu pelanggaran, maka kamu yang
rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut,
sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu juga jangan kena pencobaan.”[10]
Ketiga.
Ketegangan ini juga mengingatkan kita bahwa kehidupan Kristen adalah kehidupan
yang penuh pergumulan melawan dosa. Kita adalah ciptaan baru dalam Kristus,
tetapi di satu sisi, kita belum sempurna, dan tidak pernah akan sempurna dalam
dunia ini. Ini berarti kita harus berjuang melawan dosa, tetapi seperti yang
dinyatakan oleh Hoekema, “Namun perjuangan ini harus dijalani bukan dengan
pikiran bahwa kita kalah, melainkan dengan keyakinan untuk menang; karena kita
tahu bahwa Kristus telah mematahkan kuasa Iblis, sehingga penghukuman akhir
bagi Iblis merupakan hal yang sudah pasti.”[11]
Keempat.
Ketegangan ini juga menolong kita untuk memahami penderitaan yang dialami oleh
orang percaya. Orang percaya di satu sisi telah dibebaskan tetapi pembebasan
klimaksnya akan terjadi pada akhir zaman, yaitu ketika Allah akan menghapuskan
segala air mata kita, dan ketika sengsara dan kematian tidak ada lagi (Why.
21:4).[12]
Tuhan
memberkati!
[1]Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman (Surabaya:
Momentum, 2004), hal. 10.
[2]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 10.
[3]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 11.
[4]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 14.
[5]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 16.
[6]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 17.
[7]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 17.
[8]Oscar Cullman, Salvation in History, Terj. S.G. Sowers
(New York: Harper and Row, 1967), hal. 172, dikutip Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 17.
[9]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 93-94.
[10]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 94-95.
[11]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 95.
[12]Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, hal. 97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar