Oleh:
Join Kristian Zendrato
Sewaktu
saya masih mengenyam pendidikan teologia di bangku kuliah, saya sering
mendengar orang-orang yang berkata kepada kami, “Kamu harus memenangkan jiwa dalam
pelayananmu. Jangan merasa sudah memberitakan Injil jika kamu belum memenangkan
jiwa.” Mereka memaksudkan memenangkan jiwa sebagai mempertobatkan seseorang
menjadi pengikut Kristus. Jadi, pemberitaan Injil yang benar mereka hubungkan
dengan memenangkan jiwa.
Dulu
saya mengaminkan kata-kata seperti itu. Tetapi, pada akhirnya saya menemukan
bahwa konsep semacam demikian tidaklah Alkitabiah. Ada beberapa alasan mengapa
konsep seperti itu tidak Alkitabiah:
Pertama.
Menganggap bahwa seseorang telah memberitakan Injil dengan benar hanya jika pemberita Injil itu berhasil
mempertobatkan orang lain adalah anggapan yang bertentengan dengan Alkitab.
Saya
mengakui bahwa Tuhan bisa saja mempertobatkan orang berdosa melalui pemberita
Injil. Tetapi kita perlu mengingat juga bahwa tak selamanya itu terjadi. Kita
tetap bisa yakin telah memberitakan Injil dengan benar walaupun pendengar kita
tidak percaya, asalkan kita memang benar-benar memberitakan Injil yang
Alkitabiah. Ketika Injil itu diberitakan maka yang terjadi hanya dua hal,
pertama, ada yang percaya, dan kedua, ada yang tidak percaya. Paulus mengatakan
bahwa ketika ia memberitakan Injil,di satu sisi, ia adalah bau harum bagi orang
percaya, tetapi di satu sisi dia adalah bau kematian bagi orang yang tidak percaya.
Dalam 2 Korintus 2:14-17, Paulus menulis:
Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan. Tetapi siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian? Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.
Jadi,
jika kita telah memberitakan Injil dengan benar, maka bisa saja orang yang
mendengarnya menjadi percaya. Tetapi juga, jika kita telah memberitakan Injil
dengan benar, tetapi orang yang mendengarnya tetap tidak percaya, kita harus
yakin bahwa kita telah memberitakan Injil. Bukan hasil yang meyakinkan kita
telah memberitakan Injil, tetapi apakah Injil yang kita sampaikan itu sesuai
dengan Alkitab atau tidak, itulah yang meyakinkan kita telah memberitakan
Injil.
Jadi,
menurut saya, adalah salah untuk mengukur apakah seseorang sudah memberitakan
Injil dengan benar atau tidak dari hasil penginjilan itu.
Kedua.
Pertobatan seseorang kepada Injil, sama sekali bukan karena usaha pemberita
Injil. Itu sepenuhnya karya Allah dari awal sampai akhir. Contoh yang paling
terkenal untuk hal ini adalah Lidia. Dalam
Kisah Para Rasul 16:14, kita membaca “Seorang dari perempuan-perempuan
itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari
kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan
membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus.”
Dalam teks di atas, yang berinisiatif pertama-tama adalah Allah “Tuhan membuka
hatinya.” Lalu hasil dari tindakan Allah itu adalah “ia memperhatikan apa yang
dikatakan oleh Paulus.” Dan di Kisah Para Rasul 16:40, kita melihat bahwa Lidia
sudah menjadi orang percaya. Jadi, menurut saya, percayanya Lidia kepada
Kristus yang diberitakan Paulus adalah karya Allah sendiri.
Ini
semakin jelas ketika kita mengetahui bahwa ‘iman’ itu sendiri dianugerahkan
oleh Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya Ia berikan. Dalam Filipi 1:29,
kita membaca, “Sebab kepada kamu dikaruniakan
bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita
untuk Dia.” Teks di atas jelas mengatakan bahwa kepercayaan kepada Kristus pun adalah
karunia. Seseorang tidak bisa percaya tanpa dikaruniakan kepada-Nya oleh Allah.
Kemudian
dalam Ibrani 12:2, kita membaca, “Marilah kita melakukannya dengan mata yang
tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita
dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan
mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi
Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” Dalam hal ini, kalimat
yang diterjemahkan oleh LAI sebagai “yang
memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” merupakan
terjemahan yang kurang tepat. Beberapa versi bahasa Inggris lebih baik dalam
penterjemahannya atas kalimat ini. KJV menterjemahkannya “Jesus the author and finisher of our faith” (Yesus
pencipta dan penyelesai dari iman
kita). NIV menterjemahkannya, “Jesus, the author
and perfecter of our faith” (Yesus, pencipta
dan penyempurna dari iman kita). NASB juga menterjemahkannya sebagai, “Jesus,
the author and perfecter of faith”
(Yesus, pencipta dan penyempurna dari
iman). Jadi, baik KJV, NIV dan NASB menginformasikan secara eksplisit bahwa
Yesus adalah pencipta (author) iman
itu sendiri.
Sekarang
dari beberapa data Perjanjian Baru di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa jika
seseorang percaya kepada Kristus, maka yang membuat dia percaya kepada Kristus
adalah Allah sendiri, bukan manusia. Allah memang memakai kita untuk
menyampaikan Injil itu, tetapi hasil akhirnya, entah pendengar kita menjadi
percaya atau tidak merupakan urusan Tuhan sendiri.
Jadi
bagi saya, tuntutan yang mengharuskan seorang penginjil untuk mempertobatkan
orang lain, dan dengan demikian penginjil itu baru dianggap sudah memberitakan
Injil adalah omong kosong yang bertentangan dengan Alkitab. Pertobatan adalah
karya Allah bukan karya penginjil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar