Kita telah memasuki bulan Desember yang berarti
masa-masa perayaan Natal telah dimulai oleh orang-orang Kristen. Natal
dilaksanakan dengan tujuan untuk mengingat peristiwa historis yakni kelahiran
Yesus Kristus.
Saya harus mengatakan dengan cepat bahwa peristiwa
ini harus dihubungkan dengan fakta-fakta lain dari Alkitab mengenai pribadi dan
karya Yesus. Ini berarti bahwa, seorang yang merayakan Natal semestinya harus
mengakui bahwa Yesus yang lahir adalah Allah sejati dan manusia sejati.
Kelahiran-Nya bersifat supranatural dalam arti Ia lahir dari perawan Maria,
tanpa persetubuhan sebelumnya dengan seorang laki-laki. Dan bahwa tujuan
kelahiran-Nya adalah untuk menggenapi misi-Nya, yakni untuk mati menggantikan
umat-Nya di atas salib. Tanpa mempercayai hal-hal yang esensial ini, maka
seseorang bisa saja mengatakan bahwa “Saya sedang merayakan Natal,” atau
mengucapkan “Selamat Natal” kepada Anda, tetapi ‘Natal’ yang dia maksudkan
jelas bukan Natal yang dimaksudkan oleh Kitab Suci.
Dengan berpedoman pada beberapa hal di atas, saya
yakin bahwa tidak sedikit yang merayakan Natal secara salah. Betapa sering
orang Kristen merayakan natal tanpa esensi Natal itu sendiri. Inilah salah satu
ciri pemikiran yang disebut Harry Blamires sebagai The Post-Christian Mind (Pemikiran Pasca Kristen). Menurut
Blamires, dan saya setuju dengannya bahwa, “Pemikiran Pasca-Kristen cukup siap
untuk mewarisi tradisi Kristen sambil sekaligus terus mengosongkan isi
Kristennya dalam praktik-praktik tersebut.”[1]
Lalu Blamires mengambil perayaan Natal sebagai sebuah contoh. Blamires menulis:
Sebuah contoh yang baik adalah perayaan Natal. Perayaan ini semakin dianggap sebagai waktu untuk berpesta, memberikan kado, dan mendorong semua bentuk pemuasan diri yang berlebihan. Seiring industri eceran dan perjalanan meraup semakin banyak keuntungan dari perayaan tahunan ini, dasar Kristennya semakin diabaikan. Bahkan ada orang yang menerima kartu “Natal” dengan kata “Natal” yang dicoret. Bukannya mengucapkan “Selamat Hari Natal,” si pengirim menyampaikan “selamat untuk musim ini” atau bentuk-bentuk pesan lain yang meniadakan unsur rohaninya.[2]
Kritik Blamires tentunya ditujukan kepada
orang-orang pada zamannya dan negaranya. Tetapi esensi dari pesan yang
disampaikan oleh Blamires tetap berlaku, yakni bahwa telah terjadi pengosongan
isi Kristen dari perayaan Natal tersebut. Pengosongan ini jelas terjadi di
mana-mana.
Kami baru saja menerima
sebuah undangan Natal yang diadakan oleh komunitas tertentu. Dan perhatikanlah apa
tujuan perayaan Natal itu bagi mereka: “Untuk menyambut hari natal dan tahun
baru 2018, sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang maha Esa, dengan tujuan mempererat tali silahturahmi serta rasa persaudaraan,
dan kebersamaan.” Saya merasa pengundang memang tidak memedulikan esensi Natal yang
sesungguhnya. Tujuan perayaan Natal yang sesungguhnya diganti dengan tujuan-tujuan
komunitas mereka “mempererat tali silahturahmi serta rasa persaudaraan, dan
kebersamaan.” Bahkan ketika ada penyebutan “Tuhan yang maha Esa,” saya tidak
yakin bahwa mereka memaksudkan Allah dalam Alkitab, Allah Tritunggal, karena
saya sering mendengar orang-orang yang mengatakan “Tuhan yang maha Esa” memang
benar-benar unitarian atau seorang penganut sabelianisme. Semoga saja prediksi
saya salah. Semoga!
Saya juga pernah
mengikuti sebuah perayaan Natal beberapa tahun lalu, tetapi saya tercengang
ketika melihat orang-orang yang beragama lain diundang untuk berbicara di
mimbar. Mereka melakukan itu untuk membuktikan bahwa mereka ‘bertoleransi.’ Ini
adalah tindakan pengaburan makna Natal. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak
mengenal esensi Natal itu diberikan kesempatan untuk menyampaikan pesan kesan Natal?
Di lain pihak, dengan contoh di atas, saya menyadari
bahwa banyak orang yang menyebut diri mereka ‘Kristen’ sebenarnya bukan Kristen
sejati. Jika mereka adalah orang-orang Kristen sejati, yang mengerti esensi Natal,
mereka tidak mungkin mengizinkan hal-hal seperti itu.
Saya juga semakin benci melihat perayaan Natal yang
isinya sudah diganti dengan propaganda politik. Tetapi banyak orang Kristen
yang ‘tidak tersinggung’ dengan hal-hal seperti itu. Mereka justru menyambut
hal itu dengan meriah. Sekali lagi, esensi Natal semakin lama semakin hilang.
Dengan kondisi seperti ini, kita membutuhkan
pembaharuan. Mari merayakan Natal dengan mata yang tertuju pada Kristus yang
menjadi manusia itu (Yoh. 1:14) demi keselamatan kita (Yoh. 3:16). Karena pada
hakikatnya, Anak Allah menjadi manusia supaya manusia bisa menjadi anak-anak
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar