Oleh: Join
Kristian Zendrato
Tulisan ini saya
dedikasikan untuk teman saya Lilis Anastasia, yang kemarin meminta saya untuk
membuat artikel mengenai bagaimana hubungan kebudayaan dengan agama Kristen.
Tulisan ini jauh dari sempurna, tetapi kiranya bisa membuka wawasan dan dapat
memicu keinginan untuk melakukan penelitian lebih dalam dan lebih kompleks
mengenai topik ini. Selamat membaca!
===
Anda mungkin
sudah tidak asing lagi dengan kata “kebudayaan.” Kata itu akan muncul di benak
anda ketika menyaksikan pergelaran tarian daerah tertentu, atau ketika anda
melihat sebuah patung tua yang dibentuk dari batu dengan ukiran yang
menakjubkan. Tetapi apakah persisnya kebudayaan itu? Profesor untuk Studi
Theologi di Wheaton College Graduate School, Kevin J. Vanhoozer
mendefinisikannya sebagai
usaha roh manusia untuk mengekspresikan diri dengan cara mewujudkan kepercayaan dan nilai-nilai dalam bentuk nyata (seperti katedral, koloseum, kuburan, teater, universitas, bank, dsb). ... Kebudayaan adalah ekspresi kebebasan manusia dalam alam dan atas alam.[1]
Jadi, kita bisa
menyatakan bahwa kebudayaan adalah tata cara hidup manusia di bumi ini, apa
yang dilakukannya dan apa yang dipercayainya. Sedangkan wujud dari kebudayaan
itu bisa kita lihat dalam katedral, koloseum, kuburan, teater, dan sebagainya. Sekali
lagi, Vanhoozer menyatakannya dengan baik, “Jika dunia adalah panggung,
kebudayaan adalah perkakas yang memenuhi panggung itu.”[2]
Sekarang,
setelah kita mendefinisikan kebudayaan, maka bagaimana kebudayaan itu dipahami
dalam kerangka pemikiran Kristen? Pertama-tama, saya mau menekankan satu hal
ketika saya berbicara mengenai Kekristenan yakni mengenai otoritasnya. Otoritas
tertinggi Kekristenan yang sejati adalah Alkitab. Jadi, saya menganggap bahwa
kebudayaan (sebagaimana defenisi di atas) harus di hakimi oleh Alkitab sendiri.
Jadi, saya setuju dengan Kevin J. Vanhoozer ketika ia berkata, “Teologi adalah
usaha mengevaluasi pertunjukkan dunia [kebudayaan] berdasarkan kriteria Firman
Tuhan.”[3]
Mungkin akan
lebih mengena jika saya memberikan beberapa contoh. Misalnya mengenai cara
berpakaian. Ini saya anggap sebagai salah satu perwujudan kebudayaan. Tentunya
kita tidak usah merepotkan diri untuk mencari dasar Alkitab mengenai bahan,
warna, atau pola pakaian yang harus dipakai oleh seorang Kristen. Menurut saya
itu tidak di atur oleh bagian Alkitab manapun. Tetapi kita harus berpikir
apakah dengan memakai pakaian tertentu kita akan melanggar hukum Allah dalam
Alkitab. Jika kita memakai pakaian yang bisa menimbulkan gairah seksual atau
nafsu birahi, maka jelas budaya berpakaian tersebut tidak sesuai dengan
Alkitab. Tarian jelas tidak bermasalah sama sekali, tetapi ketika penari telah
menunjukkan auratnya, atau menggunakan kuasa gelap dalam aksinya (seperti kuda
lumping), maka budaya seperti itu jelas tidak sesuai dengan Alkitab. Tidak
salah untuk menangisi seseorang yang meninggal, tetapi adalah salah untuk
memberikan sesajen dikuburannya untuk menenangkannya. Membuat patung jelas
tidak dilarang (bdk. Kel. 25:18), tetapi ketika patung itu disembah, maka itu
jelas salah.
Contoh lain
misalnya mengenai penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan. Ini tentunya
merupakan salah satu contoh perwujudan kebudayaan. Penelitian tentunya tidak
dilarang dalam Alkitab, karena Lukas sendiri melakukan penelitian untuk
menuliskan Kitab Injilnya (bdk. Luk. 1:1-4). Tetapi, kita tentunya harus
menghindari dan tidak boleh ikut dengan para ilmuan yang berusaha untuk mencari
tulang Yesus, sebab Alkitab menyatakan bahwa Yesus telah bangkit (bdk. 1 Kor.
15). Simaklah kata-kata Cornelius Van Til berikut ini:
tidak bisa diungkapkan dengan cukup tepat dengan hanya mengatakan bahwa di dalam theologi kita langsung merujuk kepada Alkitab sementara di dalam ilmu-ilmu pengetahuan lain kita mencari di tempat lain. Memang benar bahwa kita lebih langsung berhubungan dengan Alkitab ketika kita berhadapan dengan theologi daripada ketika berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain, tetapi tidak benar bahwa di dalam ilmu-ilmu pengetahuan lain, kita sama sekali tidak berhubungan dengan Alkitab. Bahkan di dalam zoologi atau botani, Alkitab terlibat. Alkitab memberikan terang yang tidak bisa diabaikan di dalam setiap hal yang kita pelajari sebagai orang-orang Kristen. Ada satu filsafat fakta di dalam Alkitab yang kita pergunakan untuk menginterpretasikan setiap fakta kehidupan kita. Seorang Kristen tidak pernah bisa pergi di dalam ekspedisi bersama arkeolog-arkeolog yang dengan tulus mencari tubuh Yesus. Seorang Kristen tidak bisa pergi di dalam satu ekspedisi bersama kaum evolusionis yang berharap untuk menemukan “mata rantai yang hilang” antara manusia dan binatang. Akan tetapi, memang benar bahwa di dalam studi tentang hal-hal yang dipelajari di dalam laboratorium dan lapangan, Alkitab hanya dilibatkan secara tidak langsung. Kita tidak mencari fakta-fakta yang kita hadapi itu di dalam Alkitab. Sebaliknya, memang benar bahwa theologi mendapatkan fakta-fakta tentang Allah hampir secara ekslusif dari Alkitab. Kita berkata hampir ekslusif karena kita juga belajar tentang Allah dari alam. Maka kita harus berkata bahwa ini hanyalah masalah penekanan. Kita tidak membatasi diri kita sepenuhnya kepada Alkitab ketika kita mempelajari hal lain.[4]
Saya perlu
memperjelas satu hal dari kutipan di atas. Ketika Van Til menyatakan, “Kita tidak membatasi diri kita sepenuhnya kepada Alkitab
ketika kita mempelajari hal lain,” dia memaksudkan bahwa banyak hal yang
tidak akan kita temukan dalam Alkitab, maka untuk hal-hal itu, kita tidak
mungkin mencarinya dari Alkitab. Contoh untuk hal ini misalnya bagaimana
metamorfosis kupu-kupu, dan sebagainya. Itu jelas tidak ada dalam Alkitab. Tetapi
jika kita berbicara mengenai asal-usul ultimat dari semua binatang, kita harus
mempercayai doktrin penciptaan, meskipun Alkitab tidak memberitahu kita tentang
metamorfosis kupu-kupu. Juga jika seseorang menyembah ciptaan, misalnya
katakanlah kupu-kupu, maka itu jelas bertentangan dengan Alkitab, karena objek
penyembahan kita adalah Yahweh. Contoh lain adalah tidak ada petunjuk secuil
pun dalam Alkitab untuk membuat blog, tetapi jika dalam blog itu kita membuat
tulisan yang menghujat Kristus, maka itu jelas
bertentangan dengan Alkitab.
Lalu apa yang
harus kita lakukan? Tidak lain adalah tekun belajar Firman Tuhan karena,
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran” (2 Tim. 3:16). Dengan tekun belajar Firman Tuhan, kita akan
mendapatkan hikmat dari Tuhan yang menolong kita untuk menjalani hidup di bumi
ini, serta kita dimampukan untuk memilah-milah apa pun yang kita perbuat,
apakah benar atau salah. “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa;
peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak
berpengalaman” (Mzm. 19:8). Untuk menutup artikel ini, saya akan mengutip
kata-kata dari Kevin J. Vanhoozer, “Kaum beriman ‘membaca’ dunia ini dalam
terang Firman Tuhan. Dengan kata lain gereja menafsirkan dunia dan kebudayaan
sekitarnya melalui kaca mata Allah.”[5]
Semoga Tuhan
menolong kita!
[1]Kevin J. Vanhoozer,“Dunia
Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika,” dalam D. A.
Carson dan John D. Woodbridge, Allah dan
Kebudayaan, terj. Helda Siahaan dan Irwan Tjulianto(Surabaya: Momentum,
2002), hal. 6, 7.
[2]Vanhoozer, “Dunia
Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika,” hal. 3.
[3]Vanhoozer, “Dunia
Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika,” hal. 1.
[4]Cornelius Van Til, Pengantar Theologi Sistematika: Prolegomena
dan Doktrin Wahyu, Alkitab, dan Allah, editor: William Edgar (Surabaya:
Momentum, 2015), hal. 41-42.
[5]Vanhoozer, “Dunia
Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika,” hal. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar