Oleh:
Join Kristian Zendrato
Tidak
ada manusia yang sempurna. Kata-kata itu adalah kata-kata yang sering keluar
dari mulut kita – mungkin ketika kita melakukan kesalahan, dan sebagainya.
Kata-kata itu tepat, sebab kesempurnaan adalah milik Allah semata. Tetapi tidak
diragukan juga betapa sering kita melamun dan memikirkan betapa enaknya kalau
hidup ini sempurna. Jadi, kita hidup dalam ketegangan antara kenyataan dan
harapan yang terkadang terlalu muluk-muluk.
Tetapi
meskipun demikian, impian untuk menjadi sempurna di dunia ini adalah non-sense. Itu tak mungkin tercapai.
Anda mungkin pernah melihat seseorang yang seakan sempurna, tetapi tetap
memiliki kelemahan tertentu. Seorang wanita yang cantik tetapi goblok. Cantik
dan pinter tetapi melarat. Istri yang baik tetapi suami brengsek. Suami yang
baik tetapi istri yang mata duitan. Istri dan suami yang baik tetapi anak-anak
bandel. Keluarga yang baik-baik tetapi melarat. Itulah hidup. Hidup penuh
dengan “tetapi-tetapi.”
Tetapi
pernahkah kita memikirkan mengapa “tetapi-tetapi” itu diizinkan Tuhan dalam
kehidupan orang percaya? Saya percaya bahwa “tetapi-tetapi” itu mempunyai
tujuan-tujuan yang baik dalam kehidupan kita. Itu bisa saja supaya kita
menyadari bahwa hidup kita sepenuhnya bergantung kepada Allah, bahwa kita
seharusnya lebih dekat dengan Tuhan, atau bahwa kita harus kembali ke jalan
yang benar, seperti yang dikatakan oleh penulis surat Ibrani, “karena Tuhan
menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya
sebagai anak” (12:6; bdk. Yoh. 15:2), atau supaya Allah bisa menunjukkan
kemuliaannya seperti dalam kasus seorang yang buta sejak lahirnya (Yohanes 9).
Rasul
Paulus sendiri mempunyai “tetapi-tetapi” dalam hidupnya, dan tujuannya adalah
supaya rasul itu tidak meninggikan diri. Dalam 2 Korintus kita membaca pengakuan
Paulus sendiri sebagai berikut:
Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2 Korintus 12:7-10).
Dalam ayat di atas
dinyatakan bahwa Paulus telah menerima penyataan-penyataan tertentu,[1]
dan supaya “jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa
itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis
untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri” (ay. 7). Banyak
perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan duri dalam daging Paulus. Tetapi,
saya sendiri menganggap itu sebagai sebuah penyakit. Kemudian, dinyatakan bahwa
itu adalah “utusan Iblis” (ay. 7, 8). Ini berarti bahwa di balik penyakit yang
diderita oleh Paulus ada Iblis yang bekerja. Ini menunjukkan bahwa Iblis itu
begitu dekat dengan kehidupan kita. Kita harus waspada.
Tetapi itu hanya
sebagian cerita, sebab Iblis tidak bisa bekerja tanpa izin Allah, seperti dalam
kasus Ayub (Ayub 1:12; 2:6), sebab seperti yang ditandaskan oleh Herman Bavinck
bahwa keputusan kehendak Allah adalah, “’rahim’ dari semua realitas.”[2]
Jadi, kita bisa
menyimpulkan bahwa, Iblis datang untuk mencobai, tetapi di balik itu, ada Allah
yang mengizinkan pencobaan Iblis itu untuk menguji Paulus dan membuat Paulus
tetap rendah hati dan tidak sombong.
Hidup ini memang penuh
dengan “tetapi-tetapi” yang sering membuat kita menjurus kepada keputusasaan.
Tetapi apapun itu, Tuhan mempunyai tujuan di balik “tetapi-tetapi” itu, sebab
Ia adalah Allah yang “turut bekerja
dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi
Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma
8:28). Itu bisa saja supaya kita lebih dekat dengan Allah, atau supaya kita
berbalik dari jalan kita yang sesat (Ibrani 12:6), atau seperti Paulus, supaya
kita tidak sombong (bdk. Amsal 6:16-17a).