Oleh:
Join Kristian Zendrato
Dalam
dunia yang serba pluralistik ini, di mana beragam agama hadir dan bersemangat
menyerukan ajaran-ajaran yang mereka anggap benar, banyak kalangan yang tidak
menyetujui jika sebuah agama memproklamasikan klaim-klaim yang bersifat absolut
dan ekslusif. Berbagai macam alasan telah diberikan untuk meneguhkan
ketidaksetujuan ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama. Ada yang menganggap bahwa semua agama sama-sama
benar. Oleh karena itu, klaim-klaim absolut dan eksklusif tidak bisa
dibenarkan.
Kedua. Ada yang menganggap bahwa setiap agama hanya
melihat sebagian dari kebenaran rohani, tidak ada orang yang dapat melihat
seluruh kebenaran. Oleh karena itu, klaim absolut dan eksklusif tidak bisa dibenarkan.
Ketiga. Ada yang menganggap bahwa kepercayaan agamawi
dikondisikan oleh budaya dan sejarah, sehingga kepercayaan agamawi tertentu
hanya benar bagi agama itu sendiri, dan karena itu tidak absolut.
Keempat. Konklusi akhir dari semua ini adalah jika
seseorang menganggap bahwa agamanya yang benar dan berusaha mempertobatkan
orang lain untuk masuk ke agamanya, maka hal itu dicap sebagai kesombongan.
Keberatan-keberatan
di atas sering memusingkan orang percaya, dan bahkan mungkin ada yang mulai
meragukan imannya kepada Kristus. Tetapi tidak harus demikian. Timothy Keller
dalam bukunya The Reason for God[1]
telah menunjukkan dengan sangat baik kecacatan dari beberapa argumen keberatan
di atas. Saya akan meringkaskan beberapa argumentasi Keller tersebut.
Pertama. Untuk keberatan pertama, Keller menganggap bahwa
itu sama sekali tidak masuk akal karena semua agama tidak sama-sama benar.
Tentunya, kita tidak setuju dengan, misalnya agama-agama primitif yang dalam
upacara keagamaan mereka mengorbankan anak mereka, dan sebagainya.
Selanjutnya,
Keller juga mengamati bahwa sebenarnya, orang yang menyerukan keberatan pertama
di atas sedang mendirikan ‘agama baru.’ Agamanya adalah agama yang mengakui
bahwa semua agama sama-sama benar, dan secara implisit memproklamasikan bahwa
pandangannyalah yang paling benar. Sehingga, tidak bisa tidak, dia jatuh ke
dalam eksklusivisme yang sebelumnya ingin ia hindari. Keller mengatakan, “Jadi
para pendukung pandangan ini melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka
larangkan kepada orang lain.”[2]
Kedua. Untuk keberatan kedua, Keller mengatakan bahwa
keberatan ini seringkali diilustrasikan dengan kisah orang buta dan gajah.
Keller menjelaskannya: “beberapa orang buta sedang berjalan dan menjumpai
seekor gajah, kemudian mereka menyentuhnya. Orang pertama berkata sambil
memegang belai gajah, ‘Makhluk ini panjang dan fleksibel seperti ular.’ Orang
buta kedua memegang kaki gajah dan berkata, ‘Tidak sama sekali – ia besar dan
bulat seperti batang pohon.’ Orang buta ketiga memegang badan gajah dan
berkata, ‘Tidak, ia besar dan datar.’”[3]
Jadi,
inti dari perumpamaan di atas adalah sama seperti orang buta yang hanya
memegang sebagian badan gajah, demikian juga setiap agama hanya memegang
sebagian kebenaran mengenai realitas. Orang-orang buta itu tidak melihat
seluruh gajah, maka setiap agama juga tidak ada yang memiliki pemahaman yang
menyeluruh mengenai kebenaran.
Dengan
demikian, klaim-klaim absolut tidak bisa dibenarkan, karena setiap agama hanya
memiliki sebagian kebenaran.
Tetapi
argumentasi ini sebenarnya bersifat absolut dan eksklusif, karena si pencerita
pasti mengetahui seluruh gajah. Sehingga ia bisa memberitahukan bahwa
orang-orang buta hanya memegang sebagian tubuh gajah.[4]
Jadi,
secara tidak langsung, pemegang pandangan ini menganggap dirinyalah yang lebih
tahu, dan menganggap pandangannya inilah yang paling benar. Jadi, tidak bisa
tidak, ia jatuh dalam ekslusivisme.
Ketiga. Untuk keberatan yang ketiga, Keller mengatakan
bahwa keberatan ini tidak konsisten. Jika orang yang mengajukan keberatan
ketiga di atas konsisten, maka pandangannya sendiri juga dikondisikan oleh
budaya dan sejarah. Dan jika pandangan yang dikondisikan oleh budaya dan
sejarah itu bersifat relatif, maka keberatan ketiga di atas juga relatif.
Untuk
menunjukkan hal ini lebih lanjut, Keller memakai pemikiran seorang Sosiolog,
Peter L. Berger dalam bukunya A Rumor of
Angel. Keller mengatakan bahwa,
Berger menunjukkan bahwa relativisme hanya dapat ada jika kaum relativis mengecualikan diri dari relativisme. Jika semua kepercayaan dikondisikan secara sosial, dan dari situ Anda menyimpulkan bahwa ‘tidak ada agama yang dapat dianggap sebagai kebenaran yang universal bagi setiap orang,’ maka pernyataan yang komprehensif mengenai setiap orang itu sendiri adalah produk yang dikondisikan secara sosial – sehingga pernyataan itu, pada dirinya sendiri, tidak mungkin benar. Berger berkata, ‘relativitas merelatifkan dirinya sendiri,’ sehingga kita tidak bisa membuat relativisme sebagai fondasi.[5]
Keempat. Untuk keberatan keempat, Keller berpendapat
keberatan ini berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Ingat bahwa, keberatan di
atas juga merupakan sebuah pandangan ‘agama baru,’ yang berbeda dengan
pandangan-pandangan agama lain. Jika klaim eksklusif dianggap sombong, maka
orang yang menganggap klaim eksklusif itu sombong sedang berlaku sombong juga,
karena mereka memutlakkan pandangan ‘agama baru’ mereka. Bukankah secara tidak
langsung, orang-orang yang menyerukan keberatan keempat di atas sedang
memproklamasikan bahwa pandangan ‘agama baru’ merekalah yang benar? Maka
lagi-lagi, terlihat jelas bahwa mereka juga jatuh pada klaim eksklusif. Dan
jika klaim eksklusif dianggap sombong, maka bukankah mereka sedang berlaku
sombong juga? He he he.
Jadi,
apa yang mereka berlakukan terhadap klaim-klaim eksklusif juga harus
diberlakukan bagi pandangan mereka. Jadi, seperti yang Keller tegaskan, “Jika
semua pandangan ‘eksklusif’ seperti itu harus disingkirkan, maka pandangan
mereka juga termasuk. Jika memegang pandangan ini tidak berarti berpikiran
sempit, maka memegang iman tradisional juga bukan merupakan sebuah pikiran yang
sempit.”[6]
Demikian
juga dengan tindakan mempertobatkan orang ke agama kita. Jika itu salah dan
dianggap sombong, bukankah lucu jika pemegang pandangan keberatan di atas
menginginkan kita supaya “bertobat” dan memeluk pandangan mereka?
[1]Timothy Keller, The Reason for God: Belief in an Age of
Skepticism (New York: Penguin Group, 2008). Edisi bahasa Indonesia Rasio Bagi Allah: Kepercayaan dalam Zaman
Skeptisisme, terj. Junedy Lee; ed. Stevy Tillar (Surabaya: Momentum, 2013).
[2]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 24.
[3]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 24.
[4]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 25.
[5]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 26.
[6]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 29.