Oleh: Join Kristian Zendrato
A. Konsep Kebetulan
Sebagai Penyebab dan Evaluasi Terhadapnya
Bertahun-tahun yang lalu ketika saya masih duduk di
bangku Sekolah Dasar, kami sering bermain tebak-tebakkan hasil lemparan koin. “Sisi yang manakah yang muncul?”
adalah pertanyaan kunci untuk permainan itu. Satu hal yang masih saya ingat
adalah kepercayaan saya bahwa hasil dari lemparan koin itu terjadi karena
kebetulan semata. Jadi, apapun hasilnya, itu hanya merupakan sebuah kebetulan.
Jika saya bisa menebak, maka itu hanya keberuntungan semata.
Konsep mengenai kebetulan tidak hanya dipercaya
dalam pengundian koin. Banyak orang yang terus menerus mengatakan ‘kebetulan’,
jika sesuatu terjadi dalam kehidupan mereka.
Tetapi benarkah ada sesuatu yang terjadi secara
kebetulan? Untuk menjawab hal ini, saya terlebih dahulu akan menjelaskan
mengapa seseorang itu menggunakan kata ‘kebetulan.’
Kita menggunakan kata ‘kebetulan’ ketika kita sedang
berhadapan dengan sebuah kejadian yang pada saat itu tidak kita ketahui akan
jadi apa atau seperti apa hasil, dan bagaimana suatu kejadian itu terjadi. Maka
untuk ‘mengisi’ penyebab yang tidak kita ketahui itu, kita menyebutkan ‘kebetulan’
sebagai penggantinya. Itu sebabnya kita menyebut penyebab hasil dari lemparan
koin sebagai ‘kebetulan.’ R.C. Sproul mengatakan:
Kita memakai kata kebetulan untuk melukiskan kemungkinan-kemungkinan secara matematik. Contohnya, tatkala kita melemparkan sebuah koin, kita katakan bahwa ia mempunyai kesempatan fifty-fifty untuk menunjukkan gambar dari sisi yang mana. Jikalau kita mengharap satu sisi tertentu yang muncul, namun yang sebaliknya yang muncul, maka kita akan berkata bahwa kita sedang sial dan kehilangan keberuntungan itu.”[1]
Tetapi sebenarnya, kalau kita memikirkan lebih
dalam, kita tidak harus menyebut hasil dari lemparan koin itu sebagai kebetulan.
Mengapa? Sproul menjelaskannya sebagai berikut:
Apakah sebenarnya yang menyebabkan koin itu menunjukkan gambar sisi yang satu daripada sisi yang lain? Sebenarnya bukan merupakan suatu kebetulan lagi apabila kita tahu mulai dari sisi yang mana, seberapa banyak tekanan pada waktu koin itu dilemparkan, bagaimana keadaan udara pada waktu itu, dan berapa kali koin itu berputar di udara, akan menentukan sisi mana yang akan ada di permukaan nantinya.[2]
Jadi, maksud Sproul adalah hasil dari lemparan koin
itu sebenarnya ditentukan oleh keadaan pada saat koin itu dilempar (mulainya
dari sisi mana, seberapa banyak tekanan waktu koin itu dilempar, keadaan udaranya
bagaimana, berapa kali koin itu berputar, dan sebagainya). Seandainya kita tahu
semua hal itu, maka kemungkinan besar, kita akan mengetahui hasil dari lemparan
koin itu. Tetapi faktanya, kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengukur semua
faktor-faktor ini (ingat bahwa manusia itu terbatas), atau seperti yang
dinyatakan oleh Sproul bahwa pada saat kita melempar koin, “Tangan bergerak
lebih cepat dari mata.”[3] Oleh
karena itu, kita secara cepat menganggap bahwa itu terjadi karena ‘kebetulan.’
Kita mengganti penyebab-penyebab yang tidak kita ketahui itu sebagai ‘kebetulan.’
Hal ini tentunya berlaku juga untuk
peristiwa-peristiwa lainnya yang penyebabnya sering kita sebut sebagai ‘kebetulan.’
Kita mengatakan sesuatu terjadi karena ‘kebetulan’ sebenarnya diakibatkan oleh
ke-tidak-dapatan kita memahami semua kekuatan-kekuatan, dan kuasa-kuasa yang
menyebabkan terjadinya sesuatu itu. Sproul menulis:
Sama halnya dengan fakta bahwa kita tidak dapat melihat dengan mata telanjang kita semua yang terjadi pada waktu kita melemparkan sebuah koin, demikian pula kekompleksan di dalam kehidupan kita ini yang kenyataannya di luar jangkauan kita untuk mengerti secara tuntas. Oleh sebab itu, kita memunculkan kata ‘kebetulan’ untuk menjelaskan hal tersebut. ‘Kebetulan’ sungguh tidak dapat menjelaskan apa-apa, ia hanya sekedar sebuah kata yang kita pakai sebagai jalan pintas oleh karena ketidaktahuan kita.[4]
Lagi pula, natur ‘kebetulan’ itu sendiri menegaskan
kemustahilan ‘kebetulan’ untuk menjadi penyebab dari sesuatu. Ingat bahwa, syarat
mendasar dari suatu penyebab adalah ia harus ada. Jika ia tidak ada maka ia
tidak bisa menjadi penyebab. Sproul menegaskan hal ini dengan kejelasannya yang
khas:
Sebelum sesuatu dapat memberikan suatu pengaruh, maka ia harus merupakan sesuatu terlebih dahulu. Ia harus merupakan suatu keberadaan terlebih dahulu, baik secara fisik maupun non-fisik.[5]
Menurut saya, argumentasi Sproul ini sangat bagus
dan logis. Jika kebetulan mau dijadikan sebagai penyebab, maka kebetulan itu
harus mempunyai keberadaan (fisik atau non-fisik). Tetapi, dalam faktanya, ‘kebetulan’
itu sebenarnya tidak mempunyai ekistensi atau keberadaan. Seperti yang
ditandaskan oleh Sproul, “Suatu kebetulan bukan suatu keberadaan yang fisik dan
non-fisik. Ia hanyalah suatu konstruksi mental. Ia bukan apa-apa.”[6]
Maka oleh karena kebetulan itu non-eksisten atau non-ada, ia tidak bisa
mempengaruhi apapun yang memiliki eksisitensi atau keberadaan.
Dari semua pembahasan ini, sangat jelas bahwa
kebetulan tidak bisa diklaim sebagai suatu penyebab.
B. Allah Sebagai Sang Penyebab Pertama (The First Cause)
Saya telah menjelaskan bahwa kebetulan tidak bisa
dijadikan sebagai penyebab sesuatu. Dalam kasus hasil lemparan koin, saya sudah
menjelaskan bahwa bukan kebetulanlah penyebabnya, tetapi faktor-faktor lain
seperti banyaknya tekanan pada koin, keadaan udara pada saat koin itu dilempar,
dan sebagainya.
Tetapi meskipun saya mengakui faktor-faktor itu
menentukan hasil dari lemparan koin, faktor-faktor itu sendiri hanyalah second cause (penyebab kedua). Alkitab
menjelaskan bahwa faktor-faktor itu sendiri diarahkan, diatur, dan dikuasai
oleh The First Cause (Sang Penyebab
Pertama) yaitu Allah Alkitab.
Dalam kasus lemparan koin misalnya, faktor-faktor
yang saya sebut sebagai second cause seperti:
tekanan pada koin, keadaan udara pada saat itu, posisi tangan si pelempar koin,
banyaknya putaran koin, dan sebagainya, semuanya itu diarahkan, diatur, dan
dikuasai oleh Allah, karena Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa segala sesuatu diarahkan, diatur dan
dikuasai oleh Allah (baca misalnya: Ulangan 2:30; Yosua 11:20; 1 Samuel 2:6-7;
Mazmur 37:23; 75:7-8; 135:6-7; Amsal 16:1,4,9,33; 19:21; 20:24; 21:1;
Pengkhotbah 7:14; Yesaya 45:6b-7; Amos 3:6; 4:7; Yunus 1:4; Matius 10:29-30;
Lukas 12:6-7; 21:18; Roma 13:1; Efesus 1:11).
Jadi, pada waktu sesuatu terjadi, kita bisa
menyatakan bahwa entah udara, badai, api, dan sebagainya sebagai second cause (penyebab kedua) dari suatu
peristiwa, tetapi kita juga harus tetap mengingat bahwa bahkan semua second cause itu diarahkan, diatur dan
dikuasai oleh Allah yang adalah The First
Cause of Everything (Sang Penyebab Pertama dari Segala Sesuatu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar