Oleh: Join
Kristian Zendrato
Will Metzger
menggambarkan respons banyak orang kepadanya ketika ia
mengajarkan doktrin sebagai berikut: “‘akademis,’ ‘tidak praktis,’
‘perbantahan,’ ‘abad pertengahan,’ ‘kata-kata yang kering,’ ‘intelektual,’
‘membosankan,’ ‘memecah belah.’”
Kemudian Arhtur Walkington Pink, seorang penulis Calvinis (Reformed) mengeluh dengan
berkata, “Menyedihkan sekali mendengar berbagai komentar yang menyebut doktrin
sebagai ‘tidak praktis.’”
Saya kira,
respons seperti di atas terhadap Metzger dan Pink ketika mereka mengajarkan
doktrin masih merupakan respons kebanyakan orang Kristen masa kini. Para
pengkhotbah dan orang-orang Kristen masa kini lebih suka yang praktis daripada
apapun yang bersifat doktrinal. Joel Oesteen misalnya pernah berkata demikian,
“Saya tidak dipanggil untuk menjelaskan setiap faset yang terperinci dari Kitab
Suci atau untuk memaparkan doktrin-doktrin atau perdebatan-perdebatan theologis
yang tidak menyentuh bidang kehidupan yang riil. Karunia saya adalah untuk
mendorong, untuk menantang, dan untuk memberikan inspirasi.”
Terhadap hal-hal
ini, ada beberapa tanggapan kritis dari saya:
Pertama, saya
justru menganggap bahwa doktrin itu sangat penting untuk dipelajari. Jika kita
membaca fungsi dari Kitab Suci sebagaimana dituliskan oleh Paulus kepada
Timotius, maka kita tahu bahwa “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar,...” (2
Tim. 3:16). Jadi pertama-tama, fungsi Kitab Suci adalah berkenaan dengan
pengajaran. Bagi Arthur W. Pink, hal ini menunjuk pada doktrin, karena
“‘Doktrin’ berarti ‘pengajaran.’”
Kedua, yang
membedakan agama Kristen dengan bidat-bidat dan agama lain secara hakiki adalah
hal-hal yang bersifat doktrinal. Keilahian Yesus, Allah Tritunggal, Keselamatan
melalui iman saja, dan sebagainya adalah contoh doktrin-doktrin yang
secara khas merupakan milik Kekristenan yang Alkitabiah sendiri. Jadi, menurut
saya, jika orang Kristen atau bahkan hamba Tuhan malas belajar doktrin, maka ia
tidak usah menjadi Kristen. Tidak belajar doktrin membuat orang Kristen mudah
disesatkan, sehingga tak perlu heran jika banyak ‘orang Kristen’ yang pindah
agama. Semua hal itu disebabkan karena ketidakberesan doktrin. Pink
mengingatkan kita:
Pengabaian terhadap doktrinlah yang telah menjadikan orang percaya tidak
berdaya menghadapi gejala kekafiran. Pengabaian
terhadap doktrin jugalah yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya
orang-orang yang mengaku Kristen ke dalam berbagai “isme” zaman ini. Karena
telah tiba saatnya sekarang bagi gereja untuk “tidak dapat lagi menerima ajaran sehat” (2 Tim. 4:3), maka mereka
menjadi sedemikian mudah terjebak ke dalam berbagai ajaran sesat.
Ketiga, banyak
orang yang menganggap bahwa doktrin itu tidak penting karena tidak praktis,
sehingga mereka lebih suka mengatakan kepada banyak orang ‘firman Tuhan itu
untuk dilakukan,’ bukan hanya sekumpulan teori yang rumit seperti doktrin.
Tetapi menurut saya hal ini tidak benar. Saya justru menganggap bahwa doktrin
itu justru sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Bahwa pengertian doktrinal
sangat mempengaruhi kehidupan praktis terlihat misalnya dalam 1 Kor. 15:32,
“Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja aku telah
berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku? Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka
“marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Jadi dari sini kita
bisa mengerti bahwa, jika seseorang tidak percaya doktrin kebangkitan maka
orang itu bisa saja hidup ‘semau gue.’ Pikirkan kata-kata Paulus yang saya
garis bawahi.
Juga misalnya
jika Anda seorang Arminian yang mempercayai bahwa orang Kristen sejati bisa
kehilangan keselamatannya, maka jika Anda waras maka seharusnya Anda khawatir
setiap waktu akan keselamatan Anda. Sedangkan jika Anda seorang Reformed yang
mempercayai doktrin Perseverence of the
Saints yakni bahwa orang Kristen sejati tidak bisa kehilangan
keselamatannya, maka tentunya Anda tidak pernah khawatir akan keselamatan Anda.
Poin yang saya
tekankan di sini adalah bahwa doktrin sangat mempengaruhi kehidupan praktis
seseorang. Bahkan dasar dari kehidupan praktis itu adalah doktrin yang benar. Bacalah
surat Roma atau Surat Efesus dan surat-surat Paulus yang lain, maka Anda akan
melihat bahwa sebelum memberikan nasihat-nasihat praktis, Paulus justru
menegaskan doktrin yang benar terlebih dahulu. Arthur W. Pink mengatakan:
Menyedihkan
sekali mendengar berbagai komentar yang menyebut doktrin sebagai “tidak
praktis,” padahal sebenarnya doktrin justru menjadi prinsip yang paling
mendasar dari suatu kehidupan praktis. Terdapat suatu hubungan yang tak terpisahkan
antara iman dan praktik hidup, seperti ada tertulis “Seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia” (Ams. 23:7). Terdapat
suatu hubungan sebab akibat antara kebenaran ilahi dan karakter Kristen – “Dan
kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan
kamu” (Yoh. 8:32) – bebas dari kebodohan, dari prasangka, kekeliruan, kelicikan
iblis, kuasa kejahatan; dan jika kebenaran tersebut tidak “diketahui,” maka
kebebasan tersebut juga tidak mungkin dinikmati. Perhatikan dengan seksama urutan penyebutan dalam bagian Kitab
Suci yang kita kutip di atas. Semua bagian Kitab Suci [2 Tim. 3:16] bermanfaat
pertama-tama untuk mengajar, artinya untuk “doktrin”! Urutan demikian terlihat
dalam setiap surat yang ditulis oleh Rasul Paulus. Bacalah Surat Roma dan
perhatikanlah betapa di dalam lima pasal pertama dari surat tersebut tak
terdapat satu pun kalimat nasihat. Dalam surat Efesus, setelah melewati pasal
keempat, barulah terlihat adanya kalimat nasihat. Urutan pertama adalah
eksposisi doktrinal, dan selanjutnya barulah muncul teguran atau nasihat bagi
kehidupan sehari-hari.
Will Metzger
juga menulis:
Bagaimana
kata doktrin digunakan di Perjanjian
Baru? Kata Yunaninya berarti “pengajaran.” Ada pengajaran yang baik dan yang
buruk. Terkadang adjektiva benar/sehat dan
dusta/palsu menunjukkan yang mana
yang dimaksudkan. Seringkali konteksnya menjelaskan akibat dari suatu
pengajaran, entah sebagai kesalehan atau kefasikan. Pengajaran yang salah
(kesaksian dusta) adalah omong kosong tak bertuhan, memimpin mereka yang
menyukainya kepada hidup yang semakin tidak saleh.
Pink
mengingatkan Gereja bahwa justru pengabaian doktrinlah yang menyebabkan
berbagai macam penyimpangan dalam kehidupan orang percaya. Pink memperingatkan:
Penggantian
eksposisi doktrinal dengan hal-hal yang disebut “khotbah praktis” merupakan
akar penyebab dari berbagai bencana yang sekarang melanda gereja Allah. Alasan
terjadinya kedangkalan pemikiran, sedikitnya hikmat, kurangnya pemahaman akan
prinsip-prinsip kebenaran Kristen adalah karena begitu sedikit orang yang
percaya yang berakar di dalam iman melalui mendengar doktrin-doktrin anugerah
dan studi pribadi mereka tentang doktrin-doktrin itu.
Lalu Pink
memberikan beberapa contoh:
Ketika
seseorang tidak berakar di dalam doktrin Inspirasi Kitab Suci – inspirasi
verbal dan seutuhnya – maka ia takkan memiliki dasar yang kokoh sebagai
sandaran imannya. Ketika seseorang tidak memiliki pengetahuan mengenai doktrin
Pembenaran, maka takkan ada pula keyakinan yang nyata dan berdasar mengenai
penerimaan atas dirinya oleh Dia yang terkasih. Ketika seseorang tidak memahami
pengajaran firman Tuhan mengenai Pengudusan, maka ia memiliki kecenderungan
untuk terjebak ke dalam perfeksionisme ataupun ajaran sesat lainnya.
Jadi, ada sebab
akibat antara doktrin yang benar atau salah terhadap kehidupan yang benar atau
salah pula. Saya harus akui bahwa banyak orang yang ‘hebat’ secara doktrinal tetapi
hal itu sering tidak membuat kehidupan rohani mereka membaik. Tetapi siapa pula
yang bisa menjamin hal sebaliknya bahwa orang yang tidak belajar doktrin
kehidupan rohaninya semakin baik? Untuk itu, saya menganggap bahwa dua-duanya – doktrin dan
kehidupan rohani – harus dipegang dengan teguh oleh
orang Kristen. Simaklah
kata-kata Bernard Ramm berikut ini:
Bagaimana caranya untuk menggabungkan theologi dan kehidupan rohani
adalah salah satu perhatian utama dalam hidup saya. Theologi semestinya memimpin kepada kedalaman
pengalaman rohani. Hal ini benar-benar terjadi dalam diri Paulus.
Pengalaman-pengalaman rohani semestinya
menciptakan rasa lapar yang menyiksa di dalam jiwa akan kebenaran Allah. Tetapi
betapa cacatnya kita! Para theolog sering kali secara rohani sok tahu dan sok
pintar. Dan orang yang menekankah kehidupan rohani dapat saja naif secara
theologis dan buta akan Alkitab. Theologi dan pengalaman rohani yang luar biasa
semestinya berjalan bersama-sama.
Yohanes berkata
agar kita menguji roh-roh. Ini berarti tidak ada pengalaman yang berada di luar
lingkup pengujian dan evaluasi. Akan bertolak belakang dengan Perjanjian Baru
bila orang melepaskan pengalamannya dari terang yang menyoroti dari Perjanjian
Baru. Singkatnya, tidak ada pengalaman yang dapat mengklaim sebagai pengalaman
Kristen bila orang yang mengalaminya menolak untuk menundukkannya kepada isi
yang dinyatakan dan diilhami dari Perjanjian Baru. Perjanjian Baru memberitahu
saya bahwa bagian dari tanggung jawab saya adalah untuk menguji roh-roh, karena
ada banyak roh di dunia. Saya mengabaikan kewajiban saya jika saya menerima
begitu saja semua pengalaman rohani yang dilaporkan kepada saya dan tidak
menguji semua pengalaman itu menurut Firman Allah sebagaimana diungkapkan di
dalam Perjanjian Baru kanonis.
Misalnya, dengan
memeriksa Perjanjian Baru mengenai tema kebenaran, kita mendapati sesuatu yang
sangat menarik. Allah adalah Allah kebenaran dan tidak dapat berbohong (Rm.
3:4). Roh Kudus adalah Roh Kebenaran dan memimpin kepada kebenaran yang lebih
lagi (Yoh. 16:13). Sang Anak berkata, “Akulah ... kebenaran” (Yoh. 14:6). Dan
banyak lagi bukti yang dapat dikutip, adalah kesaksian yang berkuasa mengenai
perhatian dari iman Kristen akan kebenaran.
Hal ini langsung
memimpin kepada pengamatan lain, yaitu prioritas kebenaran di atas semua
pengalaman rohani. Jika Bapa, Anak, Roh, dan Injil adalah Kebenaran, maka
orang-orang Kristen harus berapi-api terhadap kebenaran. Dan semangat bagi
kebenaran ini haruslah berapi-api sedemikian rupa sehingga orang Kristen
bersedia untuk menundukkan semua yang mereka percayai, praktikkan, dan alami
kepada pengujian kebenaran. Roh yang sejati akan memberikan pengalaman sejati
kepada mereka yang sungguh-sungguh mencari Allah Bapa dan Anak berdasarkan
Firman Kebenaran. Dengan demikian, seorang Kristen mana pun yang memisahkan
pengalaman rohani mereka dari pencermatan kebenaran berlaku dalam semangat dan
sikap yang bertolak belakang dengan keseluruhan Perjanjian Baru. Kurva Perjanjian Baru adalah dari kebenaran
kepada pengalaman, bukan dari pengalaman kepada kebenaran. Kebenaranlah yang
menghasilkan pengalaman sejati. Jika orang membalikkan urutannya, dia
melakukannya dengan mengorbankan kebenaran... Pengalaman riil dan benar dan
sahih karena pengalaman itu sesuai dengan kebenaran Allah, dan bukan karena
pengalaman itu merupakan pengalaman yang sedemikian luar biasa... Kita tidak
dapat beroberasi dengan “kebenaran Perjanjian Baru.” Kebenaran ini harus
dipecah-pecah menjadi pernyataan-pernyataan yang dapat dicerna... Pecahan yang
dapat dicerna ini disebut theologi atau doktrin.
Di dalam Roma 6:17,
Paulus berbicara mengenai orang-orang Kristen di Roma yang menaati suatu
standar atau bentuk atau tipe doktrin. Ini berarti: Pengalaman rohani dari
orang-orang Kristen ini diilhami, dibentuk, dan dibimbing oleh pola doktrin
yang benar. Di sini kita memiliki fungsi yang sepatutnya dari doktrin dan
relasinya kepada kehidupan rohani dan pengalaman Kristen. Orang Kristen yang
berharap untuk setia kepada Perjanjian Baru, dan yang berharap untuk
mendapatkan yang paling banyak dan paling baik dari Roh Kudus, harus mencari
pengalaman-pengalaman yang dianjurkan oleh pola-pola doktrinal dari Perjanjian
Baru. Dia harus membentuk dan membimbing hidupnya sendiri dengan pola-pola
doktrinal seperti itu.
Sewaktu dia menulis
surat-surat pastoral, Paulus sedang mendekati ajalnya. Dia percaya bahwa dia
akan dihukum mati dalam waktu dekat (2 Tim. 4:6)... Apa yang akan terjadi
kepada jemaat-jemaat itu ketika tangan tegas sang rasul tidak dapat lagi
membimbing mereka? Di dalam situasi inilah Paulus dengan bersemangat mengajukan
doktrin sebagai satu-satunya harapan agar jemaat Kristen bertahan melalui
pertikaian rohani dan theologis yang akan terjadi setelah kematiannya. Ini
adalah fenomena yang sungguh luar biasa! Panggilan yang paling luar biasa
kepada doktrin dan pengajaran yang sehat di dalam seluruh Alkitab ditemukan di
dalam surat-surat pastoral ini.
Kemudian
Dr. Ramm menyimpulkan:
Tidak ada yang namanya “ortodoksi mati.” Orang boleh saja marah bila
mereka direndahkan karena pengalaman-pengalaman rohani mereka oleh mereka yang
memiliki banyak ortodoksi namun tanpa kehidupan rohani. Doktrin yang sehat
mungkin diajarkan, dan tafsiran yang benar dari Alkitab mungkin saja diberikan
dalam sikap yang tidak hidup ... Mari berpegang kepada sintesis Perjanjian Baru
terhadap kebenaran Kristen yang mengilhami, membentuk, dan mengarahkan
pengalaman-pengalaman Kristen yang luar biasa. Maka Gereja dapat berdiri teguh.
Dengan
alur yang sama Pink juga mengatakan:
Tentu saja benar bahwa doktrin, seperti juga hal-hal lain di dalam
Kitab Suci, dapat dipelajari melalui pendekatan intelektual semata, dan dengan
pendekatan demikian, pengajaran maupun pemahaman doktrinal tersebut tidak akan
menyentuh hati, dan dengan sendirinya
akan menjadi “kering” dan tidak berbuah. Sebaliknya, doktrin yang diterima
dengan benar, doktrin yang dipahami dengan hati yang dilatih, akan senantiasa membawa pada suatu pemahaman yang lebih
mendalam akan Allah dan kemuliaan Kristus yang tiada terukur.
Keempat. Ketidakpraktisan
doktrin bagi kebanyakan orang Kristen masa kini juga mungkin timbul karena
biasanya ajaran yang bersifat doktrinal itu sukar. Saya harus akui bahwa memang
ada hal-hal yang sulit ketika belajar doktrin. Kitab Suci sendiri juga mengakui
bahwa ada makanan yang seperti susu, tetapi ada juga makanan keras (1 Kor. 3:2;
Ibr. 5:12, 14). Untuk hal ini tentunya orang Kristen dituntut harus mau dan
tekun untuk belajar. Dalam Alkitab, orang percaya sendiri digambarkan sebagai
“murid” yang mengimplikasikan kesediaan untuk diajar dan tekun belajar.
Untuk
hamba-hamba Tuhan, kita harus meminta hikmat dari Tuhan supaya bisa belajar dan
mengajar doktrin dengan baik dan benar. Sulit tidak berarti tidak usah
diajarkan, karena bagaimana pun tugas hamba Tuhan adalah seperti Paulus yang
“tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu” (Kis. 20:27). Gresham
Machen mengatakan, “Agama Kristen berkembang bukan di dalam kegelapan,
melainkan di dalam terang. Kemalasan intelektual hanyalah obat palsu bagi
ketidakpercayaan; obat sejatinya adalah pengudusan kemampuan intelektual untuk
melayani Tuhan Yesus Kristus.”
Kelima. Saya
juga pernah membaca (saya lupa di mana dan kapan) mengenai seseorang yang lebih
mengutamakan penginjilan daripada doktrin. Menurutnya, pergi menginjili orang
lebih penting dari pada belajar atau mengajar doktrin. Penginjilan adalah
segala-galanya, sehingga doktrin dianggap tidak penting. Mereka lebih suka
‘memenangkan jiwa’ dari pada mengajar doktrin.
Saya kira ini
adalah kegilaan. Karena apa? Karena Injil itu sendiri bersifat doktrinal. Apa
itu Injil? Injil itu dapat diringkas seperti ini: manusia itu berdosa dan
pantas dihukum oleh Allah yang kudus dan adil. Tetapi karena Allah mengasihi
manusia, Ia menjadi manusia dalam pribadi Yesus Kristus, yang kemudian mati
untuk menanggung murka Allah yang seharusnya ditanggung oleh manusia, Ia
menggantikan kita umat pilihan-Nya, kemudian bangkit dan naik ke surga, serta
Ia berjanji Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya. Jadi dalam Injil pun
setidaknya ada berbagai macam doktrin yang semestinya kita tahu, baru kita bisa
memberitakan Injil, seperti doktrin Manusia, Dosa, Inkarnasi, Keilahian dan
Kemanusiaan Yesus, Kematian Yesus sebagai korban, kebangkitan Kristus,
kenaikan-Nya ke surga, pengharapan kedatangan-Nya yang kedua kali, dan
sebagainya.
Jadi menurut saya, adalah omong kosong kalau seseorang menekankan
pemberitaan Injil tetapi menganggap doktrin tidak penting.
Keenam. Ada juga
yang menganggap bahwa doktrin itu tidak baik untuk orang percaya, karena bisa
menimbulkan pertentangan. Untuk hal ini, saya mau mengatakan bahwa orang
percaya harus lebih cinta kebenaran daripada kedamaian palsu. R.C. Sproul
mengatakan, “We’re living in a time where
theological conflict is considered politically incorrect, but to declare peace
when there is no peace is to betray the heart and soul of the gospel”
(Terjemahan: Kita hidup di masa di mana konflik teologis dianggap tidak benar
secara politik, tetapi untuk menyatakan perdamaian ketika tidak ada kedamaian
berarti mengkhianati hati dan jiwa Injil).
Dari semua hal
ini, saya menganggap bahwa orang yang tidak senang terhadap doktrin adalah
orang-orang Kristen yang perlu dipertanyakan kerohaniannya. Bahkan Sproul
menyebut gereja yang tidak mempedulikan dan tidak mengajarkan doktrin sebagai “a dead church.” Juga saya tekankan
bahwa orang-orang yang bersemangat untuk melayani Tuhan tetapi membenci doktrin
adalah orang-orang yang berilusi sedang melayani Tuhan, padahal mereka melayani
kamauan mereka sendiri. Mereka seperti orang-orang digambarkan Paulus dalam
Roma 10:2, “Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka
sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.”
Jangan lupa
bahwa kita harus mengasihi Allah dengan segenap “akal budi” kita. Amsal 19:2
mengatakan, “Tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik; orang yang
tergesa-gesa akan salah langkah.”