Saya baru saja
membaca Problems of Christian Leadership (Literatur
Perkantas, 2014) karya John Stott. Banyak hal yang dinyatakan oleh Stott dalam
bukunya tersebut, salah satunya adalah tentang bagaimana seorang pelayan Tuhan
bertahan dalam keputusasaan atau tekanan! John Stott berpendapat bahwa penyebab
keputusasaan dalam pelayanan hanya dua, yakni: pertama, masalah selubung yang menunjuk pada kebutaan
yang dialami oleh orang-orang yang menjadi tujuan pemberitaan kita. Kedua,
masalah tubuh yang menunjuk pada
kelemahan dan kefanaan tubuh kita sendiri. Stott menyebut yang pertama sebagai
masalah rohani, sedangkan yang kedua
adalah masalah fisik.
Untuk masalah
yang pertama, Stott pertama-tama merujuk 2 Kor. 3 (khususnya ay. 12, 13, 14,
15). Dalam teks itu Paulus dua kali mengatakan kalyma (selubung) sebagai penekanan bahwa orang Yahudi mempunyai
selubung yang menutupi pikiran dan hati mereka. Bukan hanya orang Yahudi saja,
dalam 2 Kor. 4, orang non Yahudi pun juga mengalami “kebutaan,” sehingga dalam
2 Kor. 4:4 Paulus menyatakan bahwa orang yang tidak percaya itu, “pikirannya
telah dibutakan oleh ilah zaman ini.”
Para hamba
Tuhan, tentu sering mengalami masalah seperti ini. Kita menyampaikan kebenaran
Injil sedemikian rupa, dan menurut kita, anak SD pun pasti mengerti. Tetapi
faktanya, kita sering mendapati bahwa mereka tetap “buta” dan selubung itu
tetap menyelimuti pikiran mereka. Ini jelas sering membuat kita putus asa
bukan?
Masalah Kedua. Kelemahan
Tubuh. Paulus adalah pemberita Injil yang gigih. Bagi Paulus, dan bagi semua
orang percaya sejati, Injil adalah harta yang tak ternilai harganya. Tetapi
perhatikan bahwa Paulus dalam 2 Kor. 4:7 menyatakan, “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat.” Ya, harta (Injil) itu
diberitakan melalui sebuah wadah bejana tanah liat. Ini pasti menunjuk pada
kelemahan fisik pelayan
Tuhan, dan secara khusus Paulus jelas sedang merujuk pada penganiayaan yang
dihadapinya dalam ayat 8 dan 9 (lihat juga 1 Kor. 2:3; 2 Kor. 12:7, 9). Stott
menyatakan: “Sebagaimana teplok model lama, demikian juga para pekerja Kristen,
ada kontras antara isi dan wadah. Tidak diragukan lagi, Paulus mengacu kepada
fisik kita yang lemah, yang dengannya kita mempertahankan Injil. Kalau tubuh
manusia dimasukkan dalam kardus untuk dikirim, maka di bagian luar akan diberi
label bertuliskan, ‘Mudah pecah. Harap hati-hati” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 14-15). Kelemahan kita bisa
terwujud dalam berbagai bentuk seperti penyakit, cacat anggota tubuh, sikap
kita yang pemalu, dan kita dapat menambahkan kelemahan-kelamahan kita yang
lain.
Dua
masalah ini merupakan masalah yang sering dihadapi oleh setiap pelayan Tuhan.
Tetapi menariknya, meskipun kedua masalah itu tampaknya tidak bisa diatasi,
Paulus tetap mengatakan ouk enkakoumen.Kata
Yunani ini muncul dua kali dalam 2 Kor. 4, yakni dalam ayat 1 dan 16. Dalam
ayat 1, kita membaca: “Oleh kemurahan Allah kami telah menerima pelayanan ini.
Karena itu kami tidak tawar hati.” Kemudian dalam ayat 16, “Sebab itu kami
tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun
manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.” Anda pasti bisa menebak
kata-kata apa yang menjadi terjemahan ouk
enkakoumen dalam dua ayat di atas! Iya, tepat: “Kami tidak tawar hati.”
Stott menyatakan bahwa kata itu bisa diterjemahkan seperti terjemahan LAI: “we do not lose heart” (Kami tidak tawar
hati). Atau, “we refuse to become
dispirited” (Kami menolak untuk putus asa), atau “nothing can bug us” (tidak ada yang dapat mengusik kami). Stott
menambahkan bahwa ada satu ungkapan yang serupa dengan ungkapan di atas dari 2
Kor. 5: 6, “Karena itu, hati kami senantiasa tabah,” dan ayat 8, “tetap hati
kami tabah.” Semua ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi permasalahan yang
telah saya sebutkan sebelumnya, Paulus tidak tawar hati, ia tabah. Ouk enkakoumen.
Pertanyaannya,
kenapa Paulus tetap bisa menyerukan ouk
enkakoumen dalam menghadapi masalah pelayanannya? Apa penangkal keputusasaan
itu bagi Paulus?
Pertama.
Untuk masalah selubung. Paulus tidak memanipulasi Injil untuk menyenangkan pendengarnya.
Ia tetap memberitakan kebenaran Injil secara utuh, tanpa kompromi sedikit pun.
Dalam 2 Kor. 4:2 tertera, “Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi
yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah.
Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri
kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah.” Bandingkan sikap
Paulus ini dengan sikap banyak pendeta zaman sekarang yang banyak memalsukan
Injil demi mencapai tujuan tertentu, misalnya demi kerukunan umat beragama di
Indonesia, untuk menghargai orang yang beragama lain, dan sebagainya. Ini jelas
bertentangan dengan sikap Paulus (bdk. Gal 1:6-9).
Bagi
Paulus, Injil yang diberitakan ini adalah penyembuh “kebutaan” orang yang tidak
percaya itu sendiri. Dalam 2 Kor. 4, Paulus
menggambarkan bahwa ada dua kekuatan yang sedang berkonflik. Pada ayat 4 Setan
disebut sebagai “ilah zaman ini,” sedangkan pada ayat 6, Paulus berbicara
tentang Allah Pencipta. Yang pertama membutakan, sedangkan yang Kedua menyinari hati
manusia. Menariknya, Injil itulah yang digunakan oleh Allah untuk menyinari
hati manusia (baca ay. 4-6). Stott menyatakan, “Jadi, Injil adalah cahaya.
Injil adalah piranti yang digunakan Allah untuk mengalahkan kegelapan dan
menyinari hati umat manusia” (Stott, Problems
of Christian Leadership, hal. 18). Maka jika Injil adalah cahaya, maka
konsekuensinya, memberitakan Injil adalah cara yang ditetapkan Allah untuk
menggulingkan penguasa kegelapan.
Stott menyimpulkan, “Karena itu, ouk enkakuomen. Kami tidak tawar hati. Selubung itu memang menutupi
pikiran manusia. Kita tidak dapat menghancurkannya dengan kekuatan kita
sendiri, namun selubung itu dapat dibuang oleh kuasa Tuhan ketika Injil
diberitakan” (Stott, Problems of
Christian Leadership, hal. 18).
Pertanyaannya,
apakah Anda telah memberitakan Injil? Maukah Anda memberitakannya? Atau,
izinkan saya bertanya, apakah Anda sudah mengerti Injil itu?
Kedua,
untuk masalah tubuh atau kelemahan. Stott mengutip beberapa ayat mulai dari 2
Kor. 4:7, 12; 1 Kor. 2:3-5; 2 Kor. 12:7b. Dalam ayat-ayat ini, kita melihat
bahwa justru dalam kelemahan kita, kuasa Tuhan semakin nyata dalam diri kita.
Kita bisa saja meminta kepada Dia
untuk membebaskan kita dari kelemahan kita (apa pun itu), seperti yang pernah
Paulus lakukan (2 Kor. 12:8). Tetapi kita harus selalu mengingat, sebagaimana
dinyatakan Stott, “bisa jadi, semua itu tidak akan terjadi. Saya percaya bahwa
firman Allah dan pengalaman mengajarkan pelajaran yang agak tidak enak ini:
bahwa Allah sering sengaja membuat kita berada dalam kelemahan agar kuasa-Nya
turun menaungi kita” (Stott, Problems of
Christian Leadership, hal. 20).
Stott
sendiri menyertakan kesaksian pribadinya mengenai hal ini. Pada tahun 1958,
diadakanlah konferensi misi di Sydney, Australia, dan John Stott adalah
pembicara dalam konferensi tersebut. Pada saat konferensi tersebut sedang
berlangsung, Stott mengalami gangguan kesehatan. Ia harus berbicara dengan
suara keras dan parau, dan khotbahnya berjalan dengan monoton, dan ia berkata,
“Saya tidak bisa mengekspresikan siapa sesungguhnya diri saya melalui khotbah”
(Stott, Problems of Christian Leadership,
hal. 21). Tetapi, Anda tahu, lama setelah peristiwa itu, ketika ia kembali
mengunjungi Australia, dia ditanyai,
“Apakah Bapak masih ingat ketika malam itu Bapak berkhotbah di aula universitas
pada hal suara Bapak tidak ada?” Stott menjawab, “Bagaimana mungkin saya bisa
melupakannya?” dan orang itu merespons, “Saya bertobat malam itu.” Stott
menyimpulkan, “kuasa Tuhan diperlihatkan di dalam kelemahan manusia” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal.
21).
Saya
mau menambahkan satu hal, yakni:
untuk menangkal
penderitaan yang timbul dalam diri kita karena pelayanan kepada Kristus Tuhan kita, kita harus
terus melihat dengan iman kemuliaan kekal yang akan kita dapatkan nantinya. Dengan membandingkan penderitaan kita pada saat ini
dengan kemuliaan kekal yang akan kita nikmati kelak bersama Kristus, kita akan
bisa dengan tabah menanggung penderitaan. Ini
adalah salah satu alasan Paulus mengapa ia bisa tidak tawar hati dalam
penderitaan dan kelemahannya. Paulus menulis: “Sebab itu kami tidak tawar hati,
tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah
kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab
penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal
yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.
Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan,
karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah
kekal” (2 Kor. 4:16-18).
Pembaca, ouk enkakoumen!