Oleh: Join Kristian Zendrato
Sebagai orang Nias, entah berapa kali saya mendengar
ungkapan "Lö FöKHö NALö HORö" diucapkan, diajarkan, dan diterima
sebagai sebuah aksioma oleh hamba Tuhan, mahasiswa teologi, dan orang awam.
Ungkapan itu artinya kira-kira begini: "Tak ada penyakit tanpa ada
dosa."
Ungkapan di atas sering diungkapkan ketika mereka melihat
seseorang sedang mengalami penyakit tertentu. Mereka mengucapkan ungkapan itu
dengan anggapan bahwa penyakit yang dialami oleh seseorang adalah akibat
langsung dari dosa yang telah dilakukan oleh orang sakit itu. Apalagi kalau
penyakit seseorang itu parah, maka mereka menganggap bahwa seseorang itu pasti
telah melalukan dosa yang sangat serius.
Apakah anggapan ini benar? Apakah ini sesuai dengan Alkitab?
Pertama-tama, harus diakui bahwa ada penyakit yang memang
merupakan hukuman langsung dari Tuhan karena dosa tertentu yang dilakukan oleh
seseorang. Salah satu contoh mengenai hal ini adalah Miryam, saudari Harun dan
Musa. Dalam Bilangan 12:10 kita membaca tentang Miryam, "Dan ketika awan telah
naik dari atas kemah, maka tampaklah Miryam kena kusta, putih seperti salju;
ketika Harun berpaling kepada Miryam, maka dilihatnya, bahwa dia kena
kusta!"
Kusta adalah salah satu penyakit yang sangat sering muncul
dalam Alkitab dan mengerikan. Dan biasanya orang yang mengalami kusta akan
dikucilkan (bdk. Bilangan 12:15). Itulah penyakit yang dialami Miryam. Dalam
konteks ini, Miryam menderita penyakit ini sebagai hukuman langsung dari Allah
akibat tindakannya yang menganggap rendah Musa sebagai hamba Tuhan (lih.
Bilangan 12:1-15).
Jadi, dari cerita ini kita memang bisa menyimpulkan bahwa
penyakit bisa jadi adalah hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang
dilakukan seseorang.
Bahkan Allah bisa menghukum dosa tertentu dengan kematian.
Contoh yang terkenal untuk hal ini dalam Perjanjian Lama adalah Korah, Datan,
dan Abiram dalam Bilangan 16. Sedangkan contoh dalam Perjanjian Baru adalah
Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:1-11).
Tetapi, penyakit tidak boleh dipandang uscue et uscue
(selalu dan terus menerus) sebagai hukuman langsung dari Allah atas dosa
tertentu yang dilakukan seseorang. Karena kadang-kadang Allah mengizinkan
penyakit terjadi pada anak-anak-Nya bukan sebagai hukuman langsung terhadap
dosa. Contohnya Ayub. Ayub digambarkan sebagai seorang yang saleh (Ayub 1:1, 8,
22; 2:3, 10), tetapi Ayub diizinkan Allah mengalami penyakit yang sangat
mengerikan (Ayub 2:7) sehingga ia harus "mengambil sekeping beling untuk
menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu" (Ayub 2:8).
Bahkan kematian yang paling tragis pun tidak serta merta
merupakan hukuman Tuhan. Contoh kasus ini adalah Yohanes Pembaptis. Yohanes
Pembaptis adalah hamba Tuhan yang luar biasa setia dalam pelayanan. Tetapi
Tuhan mengizinkkan dia masuk penjara (Matius 11:2, Lukas 3:19-20) hingga
akhirnya kepalanya dipenggal oleh Herodes (lih. Matius 14:1-12; Markus 6:14-29;
Lukas 9:9).
Demikian juga dengan kematian Stefanus yang dirajam batu.
Kematian Stefanus bukan merupakan hukuman Tuhan. Stefanus mati sebagai martir
yang mempertahankan kebenaran (baca Kisah Rasul pasal 6:8 - pasal 7:60).
Hal ini jelas bertentangan dengan anggapan orang bahwa orang
yang mati secara mengenaskan (misalnya dibunuh, kecelakaan, dsb) adalah pasti
merupakan orang yang telah melalukan dosa yang sangat serius. Ini jelas tidak
selalu benar. Bahkan kadang-kadang orang-orang jahat yang tak bertobat mati
secara "baik-baik."
Cara kematian seseorang yang mengerikan tidak selalu
mengharuskan bahwa orang itu pasti telah melakukan dosa yang sangat besar. Ada
orang-orang yang mati secara mengerikan tetapi akan masuk surga. Dan ada
orang-orang yang mati "baik-baik" tetapi akan masuk neraka
Dari semua ini, setidaknya kita bisa menyimpulkan beberapa
hal berikut ini. (Anda bisa memikirkan implikasi-implikasi lainnya).
Pertama. Penyakit dan kematian memang kadang-kadang
merupakan hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang dilakukan
seseorang (contohnya Miryam, Korah, Datan, dan Abiram, Ananias dan Safira).
Kedua. Allah justru kadang-kadang sepertinya membiarkan
orang-orang jahat yang tidak bertobat tanpa mendapat hukuman dalam hidup ini.
Ingat bahwa orang jahat yang makmur, sukses, hidup enak, dan mati dengan
"baik-baik" begitu banyak di dunia ini. Tetapi meskipun demikian,
orang-orang ini pasti menghadapi penghakiman Allah dalam neraka, tidak peduli
mereka makmur, sukses, kaya pada saat hidup dan mati secara
"baik-baik." Saya ulangi sekali lagi kata-kata saya sebelumnya:
"Ada orang-orang yang mati secara mengerikan tetapi akan masuk surga. Dan
ada orang-orang yang mati "baik-baik" tetapi akan masuk neraka."
Ketiga. Penyakit dan kematian kadang-kadang BUKAN merupakan
hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang,
melainkan sebagai tindakan kedaulatan Allah di mana Ia mengizinkannya terjadi
dengan tujuan yang baik dalam pandangan-Nya (contohnya Ayub, Yohanes Pembaptis,
dan Stefanus).
Jadi, kita kembali kepada pertanyaan dibagian awal tulisan
ini, "Apakah ungkapan 'Lö FöKHö NALö HORö' (yang artinya 'tak ada penyakit
tanpa ada dosa') merupakan ungkapan yang benar?"
Jawabannya: "Ungkapan itu tidak selalu benar."
Jadi, jangan sembarangan mengucapkan kalimat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar