Selasa, 29 Januari 2019

FUNGSI “TETAPI” DALAM HIDUP

Oleh: Join Kristian Zendrato

Tidak ada manusia yang sempurna. Kata-kata itu adalah kata-kata yang sering keluar dari mulut kita – mungkin ketika kita melakukan kesalahan, dan sebagainya. Kata-kata itu tepat, sebab kesempurnaan adalah milik Allah semata. Tetapi tidak diragukan juga betapa sering kita melamun dan memikirkan betapa enaknya kalau hidup ini sempurna. Jadi, kita hidup dalam ketegangan antara kenyataan dan harapan yang terkadang terlalu muluk-muluk. 

Tetapi meskipun demikian, impian untuk menjadi sempurna di dunia ini adalah non-sense. Itu tak mungkin tercapai. Anda mungkin pernah melihat seseorang yang seakan sempurna, tetapi tetap memiliki kelemahan tertentu. Seorang wanita yang cantik tetapi goblok. Cantik dan pinter tetapi melarat. Istri yang baik tetapi suami brengsek. Suami yang baik tetapi istri yang mata duitan. Istri dan suami yang baik tetapi anak-anak bandel. Keluarga yang baik-baik tetapi melarat. Itulah hidup. Hidup penuh dengan “tetapi-tetapi.”
 
Tetapi pernahkah kita memikirkan mengapa “tetapi-tetapi” itu diizinkan Tuhan dalam kehidupan orang percaya? Saya percaya bahwa “tetapi-tetapi” itu mempunyai tujuan-tujuan yang baik dalam kehidupan kita. Itu bisa saja supaya kita menyadari bahwa hidup kita sepenuhnya bergantung kepada Allah, bahwa kita seharusnya lebih dekat dengan Tuhan, atau bahwa kita harus kembali ke jalan yang benar, seperti yang dikatakan oleh penulis surat Ibrani, “karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (12:6; bdk. Yoh. 15:2), atau supaya Allah bisa menunjukkan kemuliaannya seperti dalam kasus seorang yang buta sejak lahirnya (Yohanes 9).

Rasul Paulus sendiri mempunyai “tetapi-tetapi” dalam hidupnya, dan tujuannya adalah supaya rasul itu tidak meninggikan diri. Dalam 2 Korintus kita membaca pengakuan Paulus sendiri sebagai berikut:
Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2 Korintus 12:7-10).
Dalam ayat di atas dinyatakan bahwa Paulus telah menerima penyataan-penyataan tertentu,[1] dan supaya “jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri” (ay. 7). Banyak perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan duri dalam daging Paulus. Tetapi, saya sendiri menganggap itu sebagai sebuah penyakit. Kemudian, dinyatakan bahwa itu adalah “utusan Iblis” (ay. 7, 8). Ini berarti bahwa di balik penyakit yang diderita oleh Paulus ada Iblis yang bekerja. Ini menunjukkan bahwa Iblis itu begitu dekat dengan kehidupan kita. Kita harus waspada.

Tetapi itu hanya sebagian cerita, sebab Iblis tidak bisa bekerja tanpa izin Allah, seperti dalam kasus Ayub (Ayub 1:12; 2:6), sebab seperti yang ditandaskan oleh Herman Bavinck bahwa keputusan kehendak Allah adalah, “’rahim’ dari semua realitas.”[2]

Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa, Iblis datang untuk mencobai, tetapi di balik itu, ada Allah yang mengizinkan pencobaan Iblis itu untuk menguji Paulus dan membuat Paulus tetap rendah hati dan tidak sombong.

Hidup ini memang penuh dengan “tetapi-tetapi” yang sering membuat kita menjurus kepada keputusasaan. Tetapi apapun itu, Tuhan mempunyai tujuan di balik “tetapi-tetapi” itu, sebab Ia adalah Allah yang  “turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Itu bisa saja supaya kita lebih dekat dengan Allah, atau supaya kita berbalik dari jalan kita yang sesat (Ibrani 12:6), atau seperti Paulus, supaya kita tidak sombong (bdk. Amsal 6:16-17a).

[1]Lihat ayat sebelumnya (ayat 1-6)
[2]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jilid 2 (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 468. 

Kamis, 10 Januari 2019

HERMAN BAVINCK: ARGUMENTASI UNTUK MENOLAK PENEBUSAN UNIVERSAL ALA ARMINIANISME

Oleh: Join Kristian Zendrato 

Berikut ini adalah kutipan langsung dari tulisan Herman Bavinck yang berisikan tentang gambaran betapa buruk dan tidak Alkitabiahnya pandangan penebusan universal yang dipercayai oleh Arminianisme. Perlu saya tambahkan bahwa dalam keseluruhan kutipan di bawah ini, jika Bavinck menggunakan kata-kata “kaum universalis,” atau “universalisme,” maka yang dia maksudkan adalah pandangan Arminianisme (yang mengatakan bahwa Yesus mati untuk semua orang tanpa terkecuali), bukan untuk merujuk kepada paham yang mengajarkan bahwa pada akhirnya semua orang akan diselamatkan. Saya harap hal ini bisa dimengerti dengan baik. 

Herman Bavinck menulis:

“Ada suatu kaitan yang tidak terpisahkan yang serupa antara pemerolehan dan penerapan keselamatan. Semua manfaat kovenan anugerah adalah terkait (Rm. 8:28-34) dan mengapatkan dasar di dalam kematian Kristus (Rm. 5:8-11). Pendamaian di dalam Kristus membawa serta keselamatan dan keterberkatan. … Penerapan keselamatan harus terekstensi sama luasnya dengan pemerolehannya. Penerapan tercakup di dalamnya dan merupakan perkembangannya yang niscaya.
  
Hal ini memang benar adanya sesuai natur kasusnya. Jika Yesus adalah benar-benar Juruselamat, Ia harus pula sungguh-sungguh menyelamatkan umat-Nya, bukan secara potensial tetapi secara riil dan dalam kenyataan, seutuhnya dan secara kekal. Hal inilah yang sebenarnya membentuk perbedaan inti antara para pendukung dan penentang pemuasan (pendamaian) partikuler. Perbedaan ini didefinisikan secara tidak tepat atau setidaknya jauh dari lengkap ketika orang merumuskannya secara eksklusif dalam pertanyaan apakah Kristus mati dan melakukan pemuasan tuntutan keadilan Allah bagi semua manusia atau hanya bagi kaum pilihan. … Isu yang sebenarnya terkait dengan nilai dan kuasa persembahan korban Kristus, natur karya keselamatan. Menyelamatkan, kata kaum Reformed, berarti menyelamatkan dengan sungguh-sungguh, sepenuhnya, untuk kekekalan. Hal ini secara logis muncul dari kasih Bapa dan anugerah Anak. Orang-orang yang Allah kasihi dan yang baginya Kristus melakukan pemuasan diselamatkan tanpa gagal. Kita harus membuat pilihan: entah Allah mengasihi semua orang dan Kristus melakukan pemuasan bagi semua orang – dan kemudian mereka semua, tanpa gagal, akan diselamatkan – atau Kitab Suci dan pengalaman membuktikan bahwa bukan hal ini kenyataannya. … 

Maka, mereka mengambil pendirian yang teguh untuk melawan kaum universalis, pertama-tama bukan karena kaum universalis membuat pendamaian bisa berlaku bagi semua, tetapi terutama karena, dengan berbicara seperti yang mereka lakukan, mereka mulai mengembangkan suatu pandangan yang sangat berbeda tentang karya keselamatan dan bersikap kurang adil terhadap nama Yesus. Di dalam logika ada aturan: “Semakin besar ekstensinya, semakin lemah genggamannya” (quo maior extensio, minor comprehensio), dan aturan ini, yang berlaku di dalam berbagai bidang, juga berlaku di sini. Dengan pura-pura menghormati karya Kristus, para pendukung pendamaian universal mulai melemahkan, memperkecil, dan melimitasi pendamaian tersebut. Karena jika Kristus melakukan pemuasan bagi semua orang, maka pemerolehan keselamatan tidak secara niscaya mengimplikasikan penerapannya, kecuali kita memegang gagasan Origen bahwa suatu hari semua manusia akan sungguh-sungguh diselamatkan. Tetapi bukan ini yang dikatakan oleh para pendukung pendamaian universal. Seperti kaum Reformed, mereka berasumsi bahwa banyak orang, di dalam dan di luar lingkaran di mana Injil diberitakan baik dulu maupun sekarang, adalah terhilang. Maka, penerapan keselamatan dilepaskan dari pemerolehannya; hal itu adalah suatu tambahan aksidental, bukan implikasi logis dan natural. Oleh karena itu, Allah telah menetapkan Anak-Nya untuk mati di salib tanpa rencana yang definit untuk menyelamatkan siapa pun tanpa gagal. Kristus,  dengan kematian-Nya tidak mendapatkan keselamatan seorang pun secara pasti. Dalam analisis terakhir, penerapan keselamatan bergantung sepenuhnya pada kehendak bebas pribadi-pribadi. Kehendak bebas ini harus menyempurnakan karya Kristus, menjadikannya berbuah, dan membiarkannya menjadi realitas. Dengan kata lain, apa yang tersisa untuk dicapai bukanlah realitas, tetapi kemungkinan keselamatan; bukan rekonsiliasi aktual, tetapi kemungkinan rekonsiliasi yang potensial, “keadaan dapat-diselamatkan.” Kristus hanya mendapatkan bagi Allah kemungkinan untuk masuk ke dalam suatu kovenan anugerah, yaitu memberi kita pengampunan dosa dan hidup kekal, jika kita percaya. Bagian paling signifikan dari keselamatan, yang benar-benar memberikan keselamatan, tetap diserahkan kepada kita untuk kita kerjakan. Kristus tidak menetapkan kovenan itu sendiri di dalam darah-Nya, Ia tidak secara aktual mengampuni dosa umat-Nya, tetapi hanya memberitahukan bahwa di pihak Allah tidak ada keberatan untuk membuat suatu kovenan dengan kita dan untuk mengampuni dosa-dosa kita jika dan hanya sesudah kita, di pihak kita, percaya. Maka, sesungguhnya Kristus tidak mendapatkan apa pun bagi kita; Ia hanya mendapatkan bagi Allah kemungkinan untuk mengampuni kita ketika kita memenuhi perintah-perintah Injil.

Oleh karena itu, kaum universalis cenderung mengurangi nilai dan kuasa dari karya Kristus. Apa yang mereka dapatkan dalam kuantitas – dan itu pun hanya kelihatannya demikian – mereka kehilangan dalam kualitas. … Titik beratnya telah digeser dari Kristus dan ditempatkan di dalam diri orang Kristen. Iman adalah rekonsiliasi yang sejati dengan Allah. …

Universalisme menyebabkan separasi antara ketiga pribadi dari keberadaan Ilahi, karena Bapa menghendaki keselamatan semua orang, Kristus melakukan pemuasan bagi semua orang, tetapi Roh Kudus membatasi karunia iman dan keselamatan hanya bagi sebagian orang. Universalisme menyebabkan konflik antara tujuan Allah, yang menghendaki keselamatan semua orang, dan kehendak atau kuasa Allah, yang sebenarnya tidak ingin atau tidak dapat mengaruniakan keselamatan kepada semua orang. …Universalisme merendahkan keadilan Allah dengan berkata bahwa Ia menyebabkan pengampunan dan kehidupan diperoleh bagi semua orang tetapi kemudian gagal membagikan pengampunan dan kehidupan itu [kepada semua orang]. Universalisme meninggikan kehendak bebas sampai pada titik di mana kehendak itu memiliki kuasa untuk mempercayai, untuk membatalkan atau tidak membatalkan karya Kristus, dan untuk memutuskan – bahkan kuasa untuk menetapkan hasil sejarah dunia ada di dalam tangannya. Universalisme membawa kepada doktrin, seperti yang dengan tepat diamati oleh kaum Quaker, bahwa jika Kristus mati bagi semua orang, maka semua orang pasti diberi kesempatan, entah di dalam dunia ini atau di dunia berikutnya, untuk menerima atau menolak Dia, karena akan sangat tidak adil untuk mengutuk dan menghukum mereka yang dosa-dosanya semua telah didamaikan hanya karena mereka tidak berkesempatan untuk menerima Kristus dengan iman. Universalisme selanjutnya sampai kepada posisi, yang jelas berkonflik dengan seluruh Kitab Suci, bahwa satu-satunya dosa yang menyebabkan keterhilangan seseorang adalah dosa ketidakpercayaan. Bagaimanapun, semua dosa lain telah didamaikan, termasuk bahkan dosa-dosa “manusia durjana” itu, yaitu Antikristus.”[1]

[1]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Dosa dan Keselamatan di Dalam Kristus, jld. 3, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ichwei G. Indra dan Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2016), hal. 583-587. Diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Inggris oleh John Vriend; ed: John Bolt, dengan judul Reformed Dogmatics, Volume 3: Sin and Salvation in Christ (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2006).  

Selasa, 01 Januari 2019

DOKTRIN TOTAL DEPRAVITY (KERUSAKAN TOTAL)

DEFENISI 
 
Merendahkan! Barangkali kata itulah yang cocok untuk menggambarkan reaksi kita ketika kita mempelajari doktrin total depravity (kerusakan total) – merendahkan manusia yang sombong dan congkak. Doktrin total depravity (kerusakan total) mengajarkan bahwa manusia di luar Kristus hanya bisa semata-mata dan selalu berbuat dosa, tanpa sedikitpun bisa berbuat baik. Jadi dalam doktrin kerusakan total, kita melihat dua hal. Hal yang pertama bersifat positif (manusia di luar Kristus hanya bisa semata-mata dan selalu berbuat dosa). Hal yang kedua bersifat negatif (manusia di luar Kristus sedikitpun tidak bisa berbuat baik).[1] Ronald H. Nash mengutip pendapat Roger Nicole yang menjelaskan bahwa doktrin kerusakan total berarti: 
Kejahatan terdapat pada inti dan akar keberadaan manusia. Kejahatan berada di tempat paling dasar, ditingkat terdalam dari hidup manusia. Kejahatan tidak hanya merusak satu atau dua atau bagian-bagian tertentu dari kehidupan manusia, tetapi menembus dan menyebar ke dalam seluruh aspek hidupnya. Kejahatan menggelapkan pikiran, merusak perasaannya, menyesatkan kehendaknya, menyimpangkan hasratnya, membutakan hati nuraninya, membebani kesadarannya, menyiksa tubuhnya. Tidak ada dimensi yang di dalamnya karakter jahat tidak menyatakan diri. Kejahatan bagaikan akar kanker yang menyebar ke seluruh arah dan meninggalkan akibat yang menghancurkan.[2] 
Ini menunjukkan bahwa natur manusia itu sudah begitu rusak karena dosa. Setiap inci dari kehidupannya sudah ditembus oleh dosa. Merendahkan bukan? Tetapi itulah fakta Alkitabiahnya (bdk. Kej. 6:5; 8:21b; Maz. 58:4; Yes. 64:6; Yer. 4:22; 13:23; Yoh. 8:34; Ro. 6:20).
  
Tetapi bukankah defenisi di atas bertentangan dengan fakta sehari-hari? Bukankah kita sering melihat orang-orang di luar Kristus melakukan kebaikan-kebaikan tertentu? Ya benar, tetapi apakah itu kebaikan? Lebih khusus, apakah itu kebaikan dalam pandangan Allah? Barangkali defenisi kebaikan yang tercantum dalam Kateskismus Heidelberg akan membantu kita memahami kebaikan dari sudut pandang Allah. Dalam menjawab pertanyaan, “Tetapi apakah perbuatan-perbuatan baik itu?” Kateskismus itu menyatakan: “Hanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dari iman yang sejati, sesuai dengan hukum Allah, dan bagi kemuliaan-Nya.”[3] Jadi, setidaknya ada tiga hal yang perlu ada untuk menyatakan bahwa sebuah perbuatan itu baik dalam pandangan Tuhan, yakni: iman yang sejati, sesuai hukum Allah, dan tujuannya adalah untuk kemuliaan Allah. Untuk yang pertama kita dapat mengutip Ibrani 11:6 sebagai pendukungnya, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” Untuk yang kedua, kita dapat membadingkannya dari seluruh hukum moral yang diberikan Allah dalam Alkitab. Dan untuk dasar yang ketiga, kita dapat mengutip 1 Korintus 10:31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Sekarang, dengan standar-standar di atas, ujilah setiap kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang diluar Kristus! Tanpa ketiga unsur di atas, maka apa pun perbuatannya adalah dosa di mata Tuhan. Betapa pun baiknya hal itu di mata manusia, tetapi tanpa ketiga unsur di atas, maka perbuatan itu adalah dosa dalam pandangan Allah Tritunggal.
  
Fakta bahwa manusia di luar Kristus itu sudah rusak total dan betul-betul tidak bisa berbuat baik membuat Alkitab mendeskripsikan manusia di luar Kristus itu “sebagai orang yang sudah mati (Ef. 2:1,5; Rm. 5:12), terikat (2 Tim. 2:25-26), buta dan tuli (Mrk. 4:11-12), tidak dapat diajar (1 Kor. 2:14), dan penuh dosa, baik dalam natur kita (Mzm. 51:7) maupun dalam perbuatan kita (Kej. 6:5).”[4]
  
IMPLIKASI-IMPLIKASI
  
Setelah memberikan defenisi sederhana mengenai doktrin total depravity (kerusakan total), maka saya akan memberikan beberapa implikasi dari ajaran tersebut.
  
Pertama. Karena manusia itu begitu berdosa, bukan hanya sebagian tetapi seluruh naturnya, maka adalah omong kosong untuk berbicara dan mempercayai mengenai keselamatan karena perbuatan baik. Asumsi dari keselamatan berdasarkan perbuatan baik adalah manusia bisa berbuat baik, tetapi saya telah menunjukkan di atas bahwa asumsi itu salah besar. 

Kedua. Satu-satunya kemungkinan bahwa manusia memperoleh keselamatan adalah berdasarkan karya Kristus semata yang bisa kita terima melalui – dan hanya melalui iman.
  
Ketiga. Berdasarkan doktrin kerusakan total ini, saya betul-betul jijik terhadap doktrin kehendak bebas ala Arminianisme yang mengatakan bahwa, manusia dengan kehendaknya sendiri bisa menerima dan menolak Kristus. Saya justru percaya sebaliknya bahwa yang membuat manusia akhirnya mau dan bisa percaya kepada Kristus adalah Allah sendiri. Dan sebaliknya orang lain tidak bisa percaya, karena Allah memang tidak mengaruniakan kepadanya iman untuk datang kepada Kristus. Seseorang tidak bisa percaya jika Allah tidak membuat dia percaya. Jika kita mengakui bahwa manusia itu betul-betul sudah mati secara rohani (Ef. 2:1,5; Rm. 5:12), terikat secara rohani (2 Tim. 2:25-26), buta dan tuli secara rohani (Mrk. 4:11-12), tidak dapat diajar secara rohani (1 Kor. 2:14), dan penuh dosa, baik dalam natur kita (Mzm. 51:7) maupun dalam perbuatan kita (Kej. 6:5), maka apakah ia bisa datang kepada Kristus dengan kehendaknya sendiri? Jelas tidak! Seorang bernama W.J Seaton menuliskan begini: 
Dapatkah ORANG MATI membangkitkan dirinya sendiri? Dapatkah ORANG TERIKAT melepaskan dirinya sendiri? Dapatkah ORANG BUTA memberi diri mereka sendiri mata untuk melihat? Dapatkah BUDAK menebus diri mereka sendiri? Dapatkah ORANG YANG TAK DAPAT DIAJAR mengajar diri mereka sendiri? Dapatkah ORANG YANG BERDOSA DALAM NATURNYA mengubah diri mereka sendiri?[5] 
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas jelas adalah “tidak sama sekali.” Jadi harus ada “orang luar” yang menolong orang berdosa supaya dapat percaya kepada Kristus, dan itu adalah Allah sendiri. Seaton menyatakan bahwa: 
Kita seperti Lazarus di dalam kuburnya; tangan dan kaki kita terikat; kebusukan telah menguasai kita. Seperti halnya tidak ada cahaya kehidupan sedikit pun pada tubuh Lazarus yang sudah mati, demikian pula tidak ada “percikan penerimaan” dalam hati kita. Akan tetapi Tuhan melakukan mujizat, baik pada kematian fisik maupun rohani.[6] 
Keempat. Jadi, jika sekarang Anda bisa percaya kepada Kristus, bersyukurlah jungkir balik. Karena Allah sendirilah yang membuat Anda percaya bukan Anda dengan kehendak Anda yang berdosa.
  
Kelima. Hal ini jelas meruntuhkan kesombongan banyak hamba Tuhan yang berpikir bahwa merekalah yang membuat seseorang menjadi percaya kepada Kristus. Itu sama sekali gila dan tidak Alkitabiah. Yang membuat seseorang itu menjadi percaya kepada Kristus bukan hamba Tuhan atau siapapun tetapi hanya Allah semata. Allah kadang-kadang memang bisa memakai kita untuk mempertobatkan seseorang, tetapi kita hanyalah alat, sedangkan hasil akhirnya betul-betul tergantung kepada Allah sendiri.
  
Segala kemuliaan hanya bagi Allah Tritunggal!

[1]Lihat pembahasan menarik mengenai hal ini dalam Edwin Palmer, Lima Pokok Calvinisme, hal. 8-19.  
[2]Roger Nicole, “The ‘Five Points’ and God’s Sovereignty,” dalam Our Sovereign God, ed. James M. Boice (Grand Rapids: Baker, 1977), 30, dikutip Ronald H. Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi (Surabaya: Momentum, 2011), hal. 65-66. 
[3]Dalam Palmer, Lima Pokok Calvinisme, hal. 4. 
[4]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, hal. 66. 
[5]W. J Seaton, The Five Points of Calvinism (London: Banner of Truth, 1970), 6, dikutip Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, hal. 66. 
[6]Seaton, The Five Points of Calvinism, 7, dikutip Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, hal. 67.

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...