Jumat, 28 September 2018

OUK ENKAKOUMEN

Oleh: Join Kristian Zendrato
 
Saya baru saja membaca Problems of Christian Leadership (Literatur Perkantas, 2014) karya John Stott. Banyak hal yang dinyatakan oleh Stott dalam bukunya tersebut, salah satunya adalah tentang bagaimana seorang pelayan Tuhan bertahan dalam keputusasaan atau tekanan! John Stott berpendapat bahwa penyebab keputusasaan dalam pelayanan hanya dua, yakni: pertama, masalah selubung yang menunjuk pada kebutaan yang dialami oleh orang-orang yang menjadi tujuan pemberitaan kita. Kedua, masalah tubuh yang menunjuk pada kelemahan dan kefanaan tubuh kita sendiri. Stott menyebut yang pertama sebagai masalah rohani, sedangkan yang kedua adalah masalah fisik.
 
Untuk masalah yang pertama, Stott pertama-tama merujuk 2 Kor. 3 (khususnya ay. 12, 13, 14, 15). Dalam teks itu Paulus dua kali mengatakan kalyma (selubung) sebagai penekanan bahwa orang Yahudi mempunyai selubung yang menutupi pikiran dan hati mereka. Bukan hanya orang Yahudi saja, dalam 2 Kor. 4, orang non Yahudi pun juga mengalami “kebutaan,” sehingga dalam 2 Kor. 4:4 Paulus menyatakan bahwa orang yang tidak percaya itu, “pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini.”

Para hamba Tuhan, tentu sering mengalami masalah seperti ini. Kita menyampaikan kebenaran Injil sedemikian rupa, dan menurut kita, anak SD pun pasti mengerti. Tetapi faktanya, kita sering mendapati bahwa mereka tetap “buta” dan selubung itu tetap menyelimuti pikiran mereka. Ini jelas sering membuat kita putus asa bukan?

Masalah Kedua. Kelemahan Tubuh. Paulus adalah pemberita Injil yang gigih. Bagi Paulus, dan bagi semua orang percaya sejati, Injil adalah harta yang tak ternilai harganya. Tetapi perhatikan bahwa Paulus dalam 2 Kor. 4:7 menyatakan, “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat.” Ya, harta (Injil) itu diberitakan melalui sebuah wadah bejana tanah liat. Ini pasti menunjuk pada kelemahan fisik pelayan Tuhan, dan secara khusus Paulus jelas sedang merujuk pada penganiayaan yang dihadapinya dalam ayat 8 dan 9 (lihat juga 1 Kor. 2:3; 2 Kor. 12:7, 9). Stott menyatakan: “Sebagaimana teplok model lama, demikian juga para pekerja Kristen, ada kontras antara isi dan wadah. Tidak diragukan lagi, Paulus mengacu kepada fisik kita yang lemah, yang dengannya kita mempertahankan Injil. Kalau tubuh manusia dimasukkan dalam kardus untuk dikirim, maka di bagian luar akan diberi label bertuliskan, ‘Mudah pecah. Harap hati-hati” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 14-15). Kelemahan kita bisa terwujud dalam berbagai bentuk seperti penyakit, cacat anggota tubuh, sikap kita yang pemalu, dan kita dapat menambahkan kelemahan-kelamahan kita yang lain. 

Dua masalah ini merupakan masalah yang sering dihadapi oleh setiap pelayan Tuhan. Tetapi menariknya, meskipun kedua masalah itu tampaknya tidak bisa diatasi, Paulus tetap mengatakan ouk enkakoumen.Kata Yunani ini muncul dua kali dalam 2 Kor. 4, yakni dalam ayat 1 dan 16. Dalam ayat 1, kita membaca: “Oleh kemurahan Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu kami tidak tawar hati.” Kemudian dalam ayat 16, “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.” Anda pasti bisa menebak kata-kata apa yang menjadi terjemahan ouk enkakoumen dalam dua ayat di atas! Iya, tepat: “Kami tidak tawar hati.” Stott menyatakan bahwa kata itu bisa diterjemahkan seperti terjemahan LAI: “we do not lose heart” (Kami tidak tawar hati). Atau, “we refuse to become dispirited” (Kami menolak untuk putus asa), atau “nothing can bug us” (tidak ada yang dapat mengusik kami). Stott menambahkan bahwa ada satu ungkapan yang serupa dengan ungkapan di atas dari 2 Kor. 5: 6, “Karena itu, hati kami senantiasa tabah,” dan ayat 8, “tetap hati kami tabah.” Semua ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi permasalahan yang telah saya sebutkan sebelumnya, Paulus tidak tawar hati, ia tabah. Ouk enkakoumen.

Pertanyaannya, kenapa Paulus tetap bisa menyerukan ouk enkakoumen dalam menghadapi masalah pelayanannya? Apa penangkal keputusasaan itu bagi Paulus?

Pertama. Untuk masalah selubung. Paulus tidak memanipulasi Injil untuk menyenangkan pendengarnya. Ia tetap memberitakan kebenaran Injil secara utuh, tanpa kompromi sedikit pun. Dalam 2 Kor. 4:2 tertera, “Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah.” Bandingkan sikap Paulus ini dengan sikap banyak pendeta zaman sekarang yang banyak memalsukan Injil demi mencapai tujuan tertentu, misalnya demi kerukunan umat beragama di Indonesia, untuk menghargai orang yang beragama lain, dan sebagainya. Ini jelas bertentangan dengan sikap Paulus (bdk. Gal 1:6-9).

Bagi Paulus, Injil yang diberitakan ini adalah penyembuh “kebutaan” orang yang tidak percaya itu sendiri. Dalam 2 Kor. 4, Paulus menggambarkan bahwa ada dua kekuatan yang sedang berkonflik. Pada ayat 4 Setan disebut sebagai “ilah zaman ini,” sedangkan pada ayat 6, Paulus berbicara tentang Allah Pencipta. Yang pertama membutakan, sedangkan yang Kedua menyinari hati manusia. Menariknya, Injil itulah yang digunakan oleh Allah untuk menyinari hati manusia (baca ay. 4-6). Stott menyatakan, “Jadi, Injil adalah cahaya. Injil adalah piranti yang digunakan Allah untuk mengalahkan kegelapan dan menyinari hati umat manusia” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 18). Maka jika Injil adalah cahaya, maka konsekuensinya, memberitakan Injil adalah cara yang ditetapkan Allah untuk menggulingkan penguasa kegelapan. Stott menyimpulkan, “Karena itu, ouk enkakuomen. Kami tidak tawar hati. Selubung itu memang menutupi pikiran manusia. Kita tidak dapat menghancurkannya dengan kekuatan kita sendiri, namun selubung itu dapat dibuang oleh kuasa Tuhan ketika Injil diberitakan” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 18).

Pertanyaannya, apakah Anda telah memberitakan Injil? Maukah Anda memberitakannya? Atau, izinkan saya bertanya, apakah Anda sudah mengerti Injil itu?

Kedua, untuk masalah tubuh atau kelemahan. Stott mengutip beberapa ayat mulai dari 2 Kor. 4:7, 12; 1 Kor. 2:3-5; 2 Kor. 12:7b. Dalam ayat-ayat ini, kita melihat bahwa justru dalam kelemahan kita, kuasa Tuhan semakin nyata dalam diri kita. Kita bisa saja meminta kepada Dia untuk membebaskan kita dari kelemahan kita (apa pun itu), seperti yang pernah Paulus lakukan (2 Kor. 12:8). Tetapi kita harus selalu mengingat, sebagaimana dinyatakan Stott, “bisa jadi, semua itu tidak akan terjadi. Saya percaya bahwa firman Allah dan pengalaman mengajarkan pelajaran yang agak tidak enak ini: bahwa Allah sering sengaja membuat kita berada dalam kelemahan agar kuasa-Nya turun menaungi kita” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 20).

Stott sendiri menyertakan kesaksian pribadinya mengenai hal ini. Pada tahun 1958, diadakanlah konferensi misi di Sydney, Australia, dan John Stott adalah pembicara dalam konferensi tersebut. Pada saat konferensi tersebut sedang berlangsung, Stott mengalami gangguan kesehatan. Ia harus berbicara dengan suara keras dan parau, dan khotbahnya berjalan dengan monoton, dan ia berkata, “Saya tidak bisa mengekspresikan siapa sesungguhnya diri saya melalui khotbah” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 21). Tetapi, Anda tahu, lama setelah peristiwa itu, ketika ia kembali mengunjungi Australia, dia ditanyai, “Apakah Bapak masih ingat ketika malam itu Bapak berkhotbah di aula universitas pada hal suara Bapak tidak ada?” Stott menjawab, “Bagaimana mungkin saya bisa melupakannya?” dan orang itu merespons, “Saya bertobat malam itu.” Stott menyimpulkan, “kuasa Tuhan diperlihatkan di dalam kelemahan manusia” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 21).

Saya mau menambahkan satu hal, yakni: untuk menangkal penderitaan yang timbul dalam diri kita karena pelayanan kepada Kristus Tuhan kita, kita harus terus melihat dengan iman kemuliaan kekal yang akan kita dapatkan nantinya. Dengan membandingkan penderitaan kita pada saat ini dengan kemuliaan kekal yang akan kita nikmati kelak bersama Kristus, kita akan bisa dengan tabah menanggung penderitaan. Ini adalah salah satu alasan Paulus mengapa ia bisa tidak tawar hati dalam penderitaan dan kelemahannya. Paulus menulis: “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor. 4:16-18).

Pembaca, ouk enkakoumen!

Kamis, 27 September 2018

NOTE UNTUK DOKTRIN ALLAH TRITUNGGAL

Oleh: Join Kristian Zendrato
 
Doktrin Kekristenan mengenai Allah Tritunggal telah banyak di-salah-mengerti oleh berbagai macam kalangan. Mungkin Anda pernah mendengar tuduhan-tuduhan seperti ini: Allah orang Kristen itu tiga; Doktrin Tritunggal itu tidak masuk akal; Bagaimana mungkin 1+1+1=1, dan seterusnya. Jika Anda telah belajar sejarah Kekristenan, Anda akan bisa melihat bahwa sebenarnya tuduhan-tuduhan di atas, telah dijawab oleh Kekristenan. Tetapi tetap saja, serangan-serangan itu tetap muncul. Untuk itu, saya akan memberikan note secara ringkas mengenai pernyataan doktrin Allah Tritunggal ini. 

Pertama. Orang Kristen mengakui bahwa Allah itu Esa (Ul. 6:4; 1 Tim 2:5, dsb). Dengan demikian iman Kristen adalah iman yang bersifat monotheis.

Kedua. Orang Kristen juga mengakui bahwa ada kejamakan tertentu dalam diri Allah. Itu bisa dilihat misalnya dalam bagian-bagian Alkitab seperti Kej. 1:26 dimana istilah “Kita” menunjuk pada Allah. Kemudian dalam Perjanjian Baru, misalnya dalam Mat. 3:16-17, ketiga Pribadi muncul secara bersamaan – Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Juga, ketiga Pribadi itu dinyatakan saling mengasihi (Yoh. 12:27-28), Pribadi yang satu mengutus Pribadi yang lain (Yoh. 14:24, 26; 15:26; 16:7), Pribadi yang satu memuliakan Pribadi yang lain (Yoh. 8:54; 16:14; 12:28), dan sebagainya. 

Ketiga. Berdasarkan data Alkitab di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa di satu sisi, Alkitab mengakui bahwa Allah itu Esa, tetapi disisi lain, Alkitab juga menginformasikan bahwa ada kejamakan tertentu dalam diri Allah. Maka berdasarkan data tersebut, kita bisa menyatakan bahwa Allah itu 1 X dan 3 Y.

Keempat. Dalam sejarah Kekristenan, akhirnya diputuskan bahwa X adalah Hakikat, dan Y adalah Pribadi. Tentunya pemilihan terminologi ini tidak sembarangan, tetapi dengan menyesuaikannya dengan data Alkitab. Memang kata “Hakikat” dan “Pribadi” itu tidak ditemukan dalam Alkitab. Tetapi itu tidak masalah, asalkan ajaran yang dimuat dalam istilah itu sesuai dengan Kitab Suci. Kata “Sakramen” (yang menunjuk pada Baptisan dan Perjamuan Kudus) juga tidak ada dalam Kitab Suci, tetapi toh itu tidak dipermasalahkan, karena memang ajarannya ada dalam Alkitab, meskipun istilahnya tidak ada. 

Kelima. Jadi, dalam iman Kristen, Allah itu mempunyai 1 hakikat yang sama, dan 3 pribadi yang berbeda. Untuk poin ini, tidak ada ilustrasi apa pun yang bisa menjelaskannya. Dua botol Aqua itu mempunyai hakikat yang sama, tetapi hakikatnya tetap 2. Jadi jika kita melihat 2 botol Aqua, maka kedua botol itu mempunyai 2 hakikat yang sama dan dua “pribadi.” Tetapi dalam doktrin Allah Tritunggal Hakikat Allahnya itu BUKAN CUMA SAMA TETAPI SATU, dan PRIBADI-NYA TIGA. 

Keenam. Ini bukan tidak masuk Akal, tetapi berada di luar jangkauan Akal kita. Jika orang Kristen menyatakan bahwa Allah itu mempunyai 1 hakikat dan 3 hakikat pada saat yang sama, maka itu memang tidak masuk akal; atau jika orang Kristen menyatakan bahwa Allah itu mempunyai 1 pribadi dan 3 pribadi pada saat yang sama, maka itu memang tidak masuk akal. Tetapi kepercayaan Kristen tidak seperti itu. Orang Kristen mempercayai Allah itu mempunyai 1 hakikat yang sama dan 3 Pribadi yang berbeda. Sekali lagi, ini bukan tidak masuk akal, tetapi berada di luar jangkauan akal manusia. Tetapi, justru inilah yang seharusnya terjadi, karena manusia memang tidak bisa memahami Allah dengan sepenuhnya. Gregory Nazianzus benar ketika ia menyatakan, “adalah sulit untuk memahami Allah, tetapi untuk mendefinisikan Dia dalam kata-kata adalah kemustahilan” (dikutip dalam Robert Letham, Allah Trinitas, hal. 166). Singkatnya, tidak ada siapa pun yang bisa menjelaskan bagaimana Allah itu seutuhnya. Deus comprehensus non est Deus (Allah yang dimengerti sepenuhnya bukanlah Allah).

Ketujuh. Ada sebagian orang Kristen yang menjelaskan doktrin Tritunggal ini dengan cara seperti ini: mereka menganggap bahwa Allah itu satu. Kemudian Allah yang satu ini, menyatakan dirinya dalam 3 perwujudan yang berbeda. Ilustrasi untuk ajaran seperti ini adalah seperti ini, misalnya: di rumah, saya adalah seorang ayah; di kampus, saya adalah Dosen; di Gereja, saya adalah pendeta. Jika diterapkan kepada Allah, maka mereka biasanya berkata: dalam PL, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa; dalam PB, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Anak (Yesus), dan setelah kenaikan Yesus ke surga, maka Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Roh Kudus. Pada zaman sekarang, ajaran ini sering muncul dalam kata-kata pendeta yang mengucapkan kata-kata berkat: dalam Nama Bapa, Anak dan Roh Kudus YAITU DALAM NAMA YESUS. Jadi, dalam kata-kata seperti itu, Yesus itu adalah Bapa, Yesus itu adalah Anak dan Yesus adalah Roh Kudus. Tetapi meskipun ajaran ini begitu populer, tetap, ajaran model seperti ini tidak sesuai dengan Data Alkitab, yang memberitahukan kepada kita bahwa ketiga Pribadi itu bisa saling bicara, saling mengutus, saling mengasihi, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini tentunya tidak bisa diterapkan dalam ajaran seperti di atas. Ajaran ini adalah ajaran sesat. Dalam sejarah gereja ajaran ini disebut Sabelianisme dan telah dikutuk.

Kedelapan. Kesimpulan saya: dalam menjelaskan doktrin Allah Tritunggal, kita harus berhati-hati. Jangan sampai kita menjelaskannya bertentangan dengan Alkitab, dan jangan sampai kita menjelaskan doktrin ini dengan mengusahakan supaya doktrin ini bisa masuk akal (misalnya seperti Sabelianisme). 

Selamat berhati-hati!

Rabu, 26 September 2018

FIRMAN ALLAH YANG MENGUBAHKAN HIDUP: TANTANGAN MR. X DAN JAWABAN DR. IRONSIDE

Oleh: Join Kristian Zendrato
 
Apakah Firman Allah dapat mengubahkan hidup seseorang? Ya, tentu saja. Roh Kudus membawa manusia kepada iman dan pertobatan kepada Kristus melalui kebenaran firman Allah. Yesus sendiri mengakui bahwa murid-murid-Nya dibersihkan dan dikuduskan oleh Firman Tuhan (bdk. Yoh. 15:3; 17:17). Dalam bukunya yang terkenal Foundations of The Christian Faith (buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Lanna Wahyuni, dan diterbitkan oleh Penerbit Momentum dengan judul Dasar-dasar Iman Kristen), James Montgomery Boice membahas doktrin-doktrin penting Kristen dengan bahasa yang mudah dimengerti. Salah satu bab yang ia tulis adalah mengenai Doktrin Alkitab. Pada saat saya sampai pada bab ini, saya menemukan sebuah kisah yang cukup menarik. Kisah ini merupakan kisah tentang bagaimana Dr. Ironside yang adalah seorang hamba Tuhan, menjawab sebuah tantangan debat yang diusulkan oleh seorang Agnostikisme. Beginilah James Montgomery Boice menceritakan kisah menarik itu:

Apakah Alkitab sungguh-sungguh mengubah manusia, menjadikan mereka orang-orang yang saleh? Ya. Pelacur-pelacur telah diubahkan. Pemabuk-pemabuk telah menjadi sadar. Mereka yang dipenuhi dengan kesombongan telah menjadi rendah hati. Orang-orang yang tidak jujur menjadi orang-orang yang berintegritas. Orang-orang yang lemah menjadi kuat, semua karena transformasi yang dikerjakan dalam diri mereka oleh Allah ketika mereka mendengar dan mempelajari Kitab Suci.

Sebuah ilustrasi yang luar biasa datang dari kehidupan Dr. Harry A. Ironside. Awal dalam pelayanannya, penginjil dan guru Alkitab yang besar itu tinggal di wilayah San Fransisco Bay dan bekerja dengan sekelompok orang percaya yang disebut “Brethren.” Satu Minggu, ketika ia sedang berjalan di kota itu, ia mendatangi suatu kelompok pekerja Bala Keselamatan yang mengadakan suatu pertemuan di persimpangan Market Avenue dan Grant Avenue. Jumlahnya mungkin ada enam puluh orang di antara mereka. Ketika mereka mengenali Ironside, mereka segera bertanya kepadanya apakah ia akan memberikan kesaksiannya. Maka ia melakukannya, memberi sepatah kata tentang bagaimana Allah telah menyelamatkannya melalui iman dalam kematian jasmaniah Yesus dan kebangkitan-Nya yang harfiah.

Ketika sedang berbicara, Ironside memperhatikan bahwa di ujung kerumunan itu ada seorang pria berpakaian rapi yang telah mengambil sebuah kartu dari sakunya dan menuliskan sesuatu di atasnya. Ketika Ironside menyelesaikan pembicaraannya, orang ini maju ke depan, mengangkat topinya dan dengan sangat sopan menyerahkan kepadanya kartu itu. Di satu sisi tertulis namanya, yang segera Ironside kenali. Pria itu adalah salah satu dari orang-orang sosialis awal yang menjadi terkenal karena mengajar bukan hanya sosialisme tetapi juga menentang Kekristenan. Ketika Ironside membalik kartu itu, ia membaca tulisan, “Tuan, saya menantang Anda untuk berdebat dengan saya mengenai ‘Agnostikisme versus Kekristenan’ di Academy of Science Hall minggu siang mendatang pada pukul empat. Saya akan membayar semua biaya.”

Ironside membaca ulang kartu itu keras-keras kemudian menjawab seperti ini. “Saya sangat tertarik dengan tantangan ini... Karena itu saya akan gembira untuk menyetujui perdebatan ini dengan syarat-syarat  berikut: yaitu bahwa untuk membuktikan bahwa Tuan _X_ memiliki sesuatu yang berguna untuk diperjuangkan dan layak diperdebatkan, ia akan berjanji membawa ke Hall pada minggu mendatang dua orang, yang kualifikasi-kualifikasinya akan segera saya berikan sebentar, sebagai bukti bahwa agnostikisme itu memiliki nilai yang sesungguhnya dalam mengubah hidup manusia dan membangun karakter yang sejati.

“Pertama, ia harus berjanji membawa serta satu orang yang selama bertahun-tahun apa yang kita umumnya sebut sebagai seorang ‘tersisih dan terbuang.’ Saya tidak menentukan sifat dosa seperti apa yang telah menghancurkan hidup orang tersebut dan menjadikannya seorang yang terbuang dari masyarakat – apakah ia seorang pemabuk, atau seorang penjahat dalam hal tertentu, atau seorang korban dari nafsu sensualnya – tetapi ia adalah seorang yang selama bertahun-tahun berada di bawah kuasa kebiasaan-kebiasaan yang jahat yang darinya ia tidak dapat melepaskan diri. Tetapi ia pada suatu kesempatan mengikuti salah satu pertemuan Tuan _X_ dan mendengar pemuliaannya akan agnostikisme dan pencelaannya terhadap Alkitab dan Kekristenan, dan hati serta pikirannya, ketika ia mendengarkan kepada pesan semacam itu, begitu tergerak sehingga ia pergi dari pertemuan itu sambil berkata, ‘Mulai sekarang, aku juga seorang agnostik!’ dan sebagai hasil meminum filsafat yang khusus itu ia menemukan bahwa suatu kuasa yang baru telah masuk ke dalam hidupnya. Dosa-dosa yang pernah ia kasihi sekarang ia benci, dan kebenaran serta kebaikan sekarang merupakan ideal-ideal dari hidupnya. Ia sekarang seluruhnya seorang yang baru, suatu penghargaan bagi dirinya dan suatu aset bagi masyarakat – semua karena ia adalah seorang agnostik.”

“Kedua, saya ingin Tuan _X_ berjanji membawa bersamanya seorang perempuan – dan saya kira ia akan memiliki banyak kesulitan dalam menemukan perempuan itu ketimbang laki-laki itu – yang pernah menjadi orang buangan yang malang, hancur, tidak bermoral, budak nafsu yang jahat, dan korban dari kehidupan manusia yang berdosa ... mungkin orang yang telah hidup selama bertahun-tahun dari usaha yang jahat, ... sama sekali terhilang, rusak, dan hancur karena kehidupan berdosanya. Tetapi perempuan ini juga memasuki aula di mana Tuan _X_ dengan keras memberitakan agnostikismenya dan mengejek berita Kitab Suci. Ketika ia mendengar, pengharapan lahir dalam hatinya, dan ia berkata, ‘Inilah yang saya perlukan untuk melepaskan saya dari perbudakan dosa!’ Ia mengikuti ajaran itu dan menjadi seorang agnostik atau kafir yang cerdas. Sebagai hasilnya, seluruh keberadaannya memberontak terhadap keburukan hidup yang ia jalani. Ia melarikan diri dari sarang ketidakbersusilaan di mana ia begitu lama terjerat; dan sekarang, setelah direhabilitasi, ia mendapatkan jalannya kembali kepada suatu posisi yang terhormat dalam masyarakat dan menjalani suatu kehidupan yang bersih, suci, bahagia – semua adalah karena ia seorang agnostik.”

“Sekarang,” kata Ironside, kepada pria yang telah memberikan kepadanya kartu dan tantangannya, “jika Anda berjanji membawa dua orang ini bersama Anda sebagai contoh-contoh dari apa yang dapat dilakukan oleh agnostikisme, saya berjanji untuk menemui Anda di Hall of Science pada pukul empat Minggu mendatang, dan saya akan membawa bersama saya sedikitnya 100 orang laki-laki dan perempuan yang selama bertahun-tahun hidup dalam keburukan dosa seperti yang telah saya coba gambarkan tadi, tetapi yang dengan mulia telah diselamatkan melalui percaya kepada Injil yang Anda ejek itu. saya akan membawa lelaki dan perempuan ini bersama saya ke atas podium sebagai saksi bagi kuasa ajaib Yesus Kristus yang menyelamatkan dan sebagai bukti kebenaran Alkitab masa kini.”

Lalu Dr. Ironside berpaling ke kapten kelompok Bala Keselamatan, yang kebetulan adalah seorang perempuan, dan berkata, “Kapten, apakah Anda memiliki orang yang dapat saya bawa ke pertemuan itu?”

Si kapten berseru dengan antusiasme, “Kami dapat memberi Anda empat puluh orang setidaknya hanya dari satu korps ini, dan kami akan memberi Anda barisan peniup trompet untuk memimpin arak-arakan itu!”
  
“Baik,” jawab Dr. Ironside. “Sekarang, Tuan _X_, saya tidak akan kesulitan mencari enam puluh orang lainnya dari berbagai misi, tempat-tempat pemberitaan Injil, dan gereja-gereja Injili di kota; dan jika Anda benar-benar berjanji untuk membawa dua contoh seperti yang telah saya gambarkan tadi, saya akan datang berjalan di depan arak-arakan, dengan orkes yang memainkan ‘Maju Larkas Kristus,’ dan saya siap untuk perdebatan itu. 

Seperti itulah Dr. Ironside menjawab tantangan Tuan _X_. Apakah Anda bisa menebak reaksi dari Tuan _X_ tersebut? Ya, tentu saja dia tidak bisa memenuhi syaratnya.

James Montgomery Boice menggambarkan reaksi si Tuan _X_ itu dengan berkata, Tampaknya orang yang telah memberi tantangan memiliki rasa humor, karena ia tersenyum masam dan melambaikan tangannya dengan cara yang mengolok seolah-olah berkata, “Tidak jadi kalau begitu!” dan kemudian menyelinap keluar dari kerumunan itu sementara orang-orang yang berdiri bertepuk tangan untuk Ironside dan yang lain-lainnya.

James Montgomery Boice menutup kisah itu dengan kata-kata, Kuasa Kristus yang hidup yang bekerja bersaranakan Roh Kudus melalui Firman yang tertulis ini mengubah kehidupan. Ini adalah kejadian nyata sepanjang sejarah. Itu adalah bukti yang kuat bahwa Alkitab sungguh adalah Firman Allah.[1] 

By the way, apakah Anda telah membaca Alkitab Anda? Apakah kehidupan Anda diubahkan?

[1]Kisah ini dikisahkan dalam buku James Montgomery Boice, Dasar-Dasar Iman Kristen (Surabaya: Momentum, 2015), hal. 59-62.

Selasa, 25 September 2018

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato

A. PENDAHULUAN

Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan salah satu doktrin khas Reformed atau Calvinisme. Tujuan saya menulis mengenai topik ini tidak lain yakni supaya pembaca yang belum pernah mempelajari doktrin ini dapat mempelajarinya melalui tulisan ini. Tulisan ini juga ditujukan kepada mereka yang tidak setuju atau telah salah paham mengenai doktrin ini, supaya mereka bisa memahami secara benar doktrin ini, melihat argumentasi dan dasar-dasar Alkitabnya. Satu-satunya ujian terakhir dari sebuah ajaran adalah Alkitab, yang saya yakini dengan sepenuh hati sebagai firman Allah. Jadi, saya siap dikritik oleh siapa pun, saya juga bersedia melakukan debat dengan siapapun yang merasa doktrin ini salah dan tidak Alkitabiah.

B. PENGERTIAN PREDESTINASI

Predestinasi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai tindakan Allah dalam kekekalan di mana Dia dengan kehendak-Nya yang kudus telah menetapkan sebagian manusia untuk diselamatkan (masuk surga) dan sebagian lainnya ditetapkan-Nya untuk binasa (masuk neraka). Yang pertama biasanya disebut sebagai election, sedangkan yang terakhir biasanya disebut reprobation. Herman Bavinck menyebut predestinasi sebagai “pendeterminasian keadaan kekal semua ciptaan rasional.”[1]

C. PERNYATAAN DOKTRIN INI DAN DASAR-DASAR ALKITABNYA

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai doktrin ini, yakni: pertama, tindakan penetapan Allah ini terjadi dalam kekekalan sebelum segala sesuatu ada. Kedua, penetapan ini semata-mata di dasarkan pada kehendak Allah sendiri, bukan pada pra-pengetahuan Allah mengenai iman atau pertobatan manusia. Jadi, penetapan ini sepenuhnya unconditional (tidak bersyarat). Ketiga, Predestinasi tidak bisa gagal, artinya orang pilihan akan percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh, sedangkan orang bukan pilihan tidak pernah akan percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh sampai Ia mati. Keempat, dalam penentuan ini, Allah tidak bersikap tidak adil. Saya akan menunjukkan dasar Alkitab mengenai keempat hal di atas. 

       1.      Penetapan Allah Terjadi Dalam Kekekalan

Mungkin bagian Alkitab yang paling eksplisit mengenai hal ini adalah Efesus 1. Dalam ayat 4-5 Paulus menyatakan, “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Perhatikan kata-kata “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan” (ay. 4) dan juga “Ia telah menentukan kita dari semula” (ay. 5). Kata-kata ini menunjukkan bahwa tindakan pemilihan itu dilakukan dalam kekekalan.

       2.      Penetapan Itu Bersifat Unconditional (Tidak Bersyarat)

Kaum Arminian bersikeras bahwa Penetapan Allah di dasarkan pada apa yang telah dilihat Allah sebelumnya dalam diri orang tersebut. Misalnya bahwa orang itu akan percaya, akan taat kepada Tuhan, dan sebagainya, maka hal-hal itulah yang membuat Allah menetapkan mereka untuk diselamatkan. Contoh untuk pandangan seperti ini adalah J. Wesley Brill. Brill dalam sebuah bukunya yang berujudul Dasar yang Teguh menulis,
Sejak permulaan dunia ini, karena kemahatahuan-Nya, Allah telah memilih orang-orang yang akan bertobat dan percaya kepada-Nya. Melalui kemahatahuan-Nya Tuhan Allah telah mentakdirkan untuk menyelamatkan mereka yang akan bertobat dan percaya kepada-Nya. Jemaat Kristus telah dipilih dan ditakdirkan untuk memperoleh keselamatan. Akan tetapi pilihan dan takdir di dasarkan pada kemahatahuan Allah yang sudah mengetahui lebih dulu. Orang-orang pilihan itu telah dipilih sebab Tuhan tahu bahwa mereka akan melaksanakan segala tuntutan panggilan Allah, yaitu bertobat dan percaya. Tuhan telah mengetahui lebih dulu siapa yang akan menuruti panggilan itu.[2]
Terhadap pandangan seperti ini, saya mau memberikan beberapa bantahan. Pertama, tindakan Allah untuk menetapkan seseorang untuk diselamatkan karena Allah telah melihat sebelumnya bahwa orang tersebut akan percaya adalah tindakan konyol. Jika Allah telah mengetahui sebelumnya bahwa orang tertentu akan percaya, maka untuk apa Allah memilih lagi? Ingat bahwa pengetahuan Allah itu pasti. Jika dalam pengetahuan Tuhan sebelumnya, orang itu akan percaya, dan dengan demikian diselamatkan, maka orang itu pasti percaya dan diselamatkan! Lalu jika itu diketahui oleh Allah sebelumnya dengan pasti, untuk apa Dia memilih orang itu untuk diselamatkan lagi? Loraine Boettner benar ketika ia menyimpulkan, “jika dilihat dari sisi orang pilihan, apa artinya bagi Allah untuk memilih orang-orang yang Ia ketahui akan memilih diri-Nya sendiri?” Kemudian Boettner berkata, “Ini hanyalah kata-kata kosong.”[3]
Kedua, jika skema Arminian konsisten pada premis awalnya, maka pada analisis terakhir, bukan Allah yang menyelamatkan manusia sepenuhnya, tetapi setidaknya manusia mempunyai sebagian andil dalam keselamatannya sendiri. Jika Allah memilih manusia berdasarkan pra-pengetahuan-Nya, maka itu mensyaratkan kelayakan manusia sebelum ia dipilih, dan berdasarkan kelayakannya itu manusia kemudian dipilih, dan bukankah, jika Arminianisme konsisten, maka setidaknya, manusia mempunyai andil dalam keselamatannya? Tidak butuh IQ yang terlalu tinggi untuk mengerti kesalahan konsep seperti ini.  
Ketiga, banyak ayat Alkitab yang menunjukkan bahwa penetapan Allah itu bersifat unconditional (tidak bersyarat). Misalnya dalam Efesus 1:4, Paulus menulis, “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Perhatikan bahwa “kudus dan tak bercacat” adalah hasil dari pemilihan, bukan syaratnya. Ini jelas sangat bertentangan dengan kata-kata J. Wesley Brill yang telah saya kutipkan di atas.
Kemudian dalam Efesus 1:5 dikatakan bahwa “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Perhatikan kalimat terakhir dari ayat di atas yang menyatakan, “sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” yang menunjukkan bahwa pemilihan itu tidak bersyarat, dalam arti, pemilihan itu tidak di dasarkan pada pra-pengetahuan Allah terhadap apa yang ada dalam diri orang itu, tetapi sepenuhnya berdasarkan kehendak Allah sendiri.
Teks lain yang paling sering dikutip untuk mendukung poin ini adalah Roma 9, khususnya ayat 10-11.
Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, -- supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya.
Perhatikan bahwa Paulus sedang membicarakan Esau dan Yakub, yang merupakan anak kembar dari Ishak dan Ribka. Jelas bahwa Tuhan membedakan kedua anak ini. Esau jelas bukan orang percaya, sedangkan Yakub orang percaya. Tetapi mengapa yang satu bisa percaya, sedangkan yang lain tidak? Apakah karena Yakub lebih baik dari Esau? Tentu Anda akan berkesimpulan “tidak sama sekali,” jika Anda telah mengenal cerita mereka dalam Perjanjian Lama. Paulus bahkan berargumen bahwa sebelum anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, Allah telah melakukan pembedaan di antara mereka (ay. 11). Jadi, Arthur W. Pink benar ketika ia menegaskan, “Dengan demikian penyebab terjadinya pemilihan oleh Allah tersebut semata-mata terletak dalam diri-Nya sendiri dan bukan pada objek pilihan-Nya. Dia memilih orang-orang yang dikehendaki-Nya, semata-mata karena Dia berkehendak untuk memilih mereka.”[4] Saya kira, ini sudah cukup menunjukkan bahwa pemilihan dan penolakan Allah bersifat unconditional (tidak bersyarat), dan benar-benar berdasarkan kedaulatan kehedak-Nya.

       3.      Predestinasi Tidak Bisa Gagal

Predestinasi tidak bisa gagal berarti bahwa siapa pun yang telah ditetapkan oleh Allah untuk selamat (masuk surga) pasti akan datang dan percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh. Perhatikan misalnya Kisah Para Rasul 13:48, “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya.” Dalam ayat ini, jelas bahwa yang “menjadi percaya” adalah “semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal.” Jika Allah telah menetapkan seseorang dari semula untuk diselamatkan, maka “menjadi percaya” tidak bisa tidak terjadi. Mengenai ayat ini Arthur W. Pink menulis:
Di sini kita dapat belajar empat hal. Pertama, bahwa percaya itu merupakan akibat dan bukan sebab dari ketetapan Allah. Kedua, bahwa hanya sebagian orang yang “ditentukan Allah untuk hidup yang kekal,” sebab bila semua ditentukan Allah untuk memperoleh hidup yang kekal, maka ungkapan “semua yang ditentukan Allah” akan kehilangan maknanya. Ketiga, bahwa “penentuan” dari Allah ini bukan untuk suatu hak istimewa eksternal, melainkan bagi “hidup yang kekal,” bukan sekedar untuk melayani, melainkan juga untuk keselamatan itu sendiri. Keempat, bahwa semua orang yang ditentukan Allah – tak kurang satu orang pun – untuk hidup yang kekal pasti akan percaya.[5]
Pink juga mengutip komentar Charles Haddon Spurgeon sebagai berikut:
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membuktikan bahwa ayat tersebut bukan mengajarkan tentang predestinasi, namun semua upaya tersebut telah melakukan manipulasi bahasa sedemikian rupa, dan saya pun tidak akan membuang waktu untuk membahasnya… Saya membaca: ‘Dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya,’ dan saya tidak akan mencoba membelokkan teks tersebut, sebaliknya saya akan memuliakan anugerah Allah yang menjadi sumber dari iman yang dimiliki oleh setiap orang… Bukankah Allah yang mengaruniakan kecondongan hati untuk percaya? Bila manusia telah telah ditentukan untuk memperoleh hidup yang kekal, tidakkah dalam semua hal Dia yang mengaturnya bagi mereka? Salahkah tindakan Allah yang memberikan anugerah-Nya kepada manusia? Bila Dia dibenarkan untuk memberikannya, maka salahkah bila Dia merencanakan pemberian itu? Akankah Anda merasa bahwa pemberian-Nya bersifat kebetulan belaka? Bila Dia dibenarkan untuk merencanakan pemberian anugerah-Nya hari ini, maka Dia tentu juga dibenarkan untuk merencanakannya sebelum hari penganugerahan tersebut tiba – karena Dia tidak pernah berubah – sejak dari kekekalan.[6]
Jadi dari sini, kita melihat bahwa dalam ayat di atas terlihat bahwa sebelumnya, Allah telah menetapkan orang-orang tertentu untuk diselamatkan. Kemudian, Allah menetapkan bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga jalan untuk mencapai tujuan akhir itu telah ditetapkan-Nya. Hal ini bisa terjadi karena rencana Allah itu tidak bisa gagal (Ayub 42:2). Kegagalan adalah bagian dari makhluk yang terbatas, sedangkan Allah tidak terbatas.

      4.      Apakah Allah Tidak Adil?

Mungkin pertanyaan pertama yang muncul di benak Anda, ketika mempelajari doktrin ini adalah bukankah Allah sepertinya tidak adil? Sepintas, keberatan ini terlihat benar. Tetapi, saya kira, hal itu terjadi karena kita berusaha memahami Allah dengan rasio kita yang begitu terbatas dan berdosa. Apakah kita lupa bahwa Paulus pernah berseru dalam kekaguman, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Rm. 11:33).  Jika keberatan ini muncul karena Allah tidak memperlakukan orang-orang secara sama rata, atau karena Allah berbuat sesuatu yang sebelumnya belum “dibicarakan” kepada manusia, maka jelas keberatan ini adalah penghujatan. Mengenai yang pertama, saya bertanya, atas dasar apa kita berkata bahwa Allah harus berbuat secara sama rata? Apakah engkau diciptakan sebagai manusia? Ya tentu. Tetapi pernahkah Anda bertanya, kenapa saya tidak diciptakan sebagai sapi atau binatang lainnya? Mengenai yang kedua, saya hanya mau mengatakan bahwa Allah tidak perlu minta izin untuk melakukan sesuatu.
Kemudian, ketika membicarakan mengenai doktrin ini dalam Roma 9, Paulus tidak menganggap bahwa Allah tidak adil sama sekali. Setelah Ia membicarakan mengenai pemilihan Yakub dan penolakan terhadap Esau, yang telah Ia lakukan bahkan sebelum mereka lahir, serta belum berbuat baik dan jahat (ay. 10-11), Paulus mengajukan pertanyaan yang wajar ketika mempelajari doktrin ini, “Apakah Allah tidak adil?” (ay. 14). Paulus tidak berusaha memberikan jawaban untuk pertanyaan itu, ia hanya menyatakan, “Mustahil!” (ay. 14), kemudian melanjutkan dengan pernyataan yang berintikan bahwa Allah berhak untuk bertindak sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Perhatikan dengan seksama kata-kata Paulus berikut ini:
Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, -- supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya -- dikatakan kepada Ribka: "Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda," seperti ada tertulis: "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau." Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil! Sebab Ia berfirman kepada Musa: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya. Sekarang kamu akan berkata kepadaku: "Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?" Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?" Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa? Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan -- justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain” (Rm. 9:10-24).
      5.      Catatan Tambahan

Sejauh ini, Anda mungkin melihat bahwa ayat-ayat yang saya gunakan, kebanyakan mendukung pemilihan, kecuali dalam Roma 9 di atas. Lalu bagaimana dengan penolakan (reprobation)? Ini pertanyaan yang mudah di jawab. Pertama, Roma 9 sudah menunjukkan adanya reprobation. Kedua, penolakan (reprobation) merupakan konsekuensi logis dari pemilihan (election). Jika election berlaku bagi sebagian orang, maka tidak bisa tidak, reprobation berlaku bagi sisanya. Ketiga, banyak ayat Kitab Suci yang mendukung reprobation, misalnya: Amsal 16:4; Matius 11:20-24; Yohanes 17:12; Roma 9:13,17,18,21-22; Yudas 1:4; dan sebagainya. Maka berdasarkan semua penjelasan ini, saya menganut Double Predestination (Predestinasi Ganda) yang berarti mempercayai election maupun reprobation.

Soli Deo Gloria!

[1]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jld II (Surabaya: Momentum, 2012), 470. 
[2]J. Wesley Brill, Dasar yang Teguh (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1998), 208-209. 
[3]Loraine Boettner, Iman Reformed (Surabaya: Momentum, 2000), 40. 
[4]Arthur W. Pink, Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2005), 64. 
[5]Pink, Kedaulatan Allah, 54-55. 
[6]Pink, Kedaulatan Allah, 55. 

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...