Senin, 01 Oktober 2018

PELAGIUS DAN MASALAH DOSA ASAL


Oleh: Join Kristian Zendrato

Pelagius (sekitar 354 - sekitar 420/440) adalah seorang biarawan asketik dan pembaru yang menolak doktrin tentang Dosa turunan dari Adam dan dinyatakan sebagai penyesat oleh Gereja. Ia berpendidikan tinggi, fasih dalam bahasa Yunani dan bahasa Latin, dan banyak mempelajari teologi. Ia hidup sebagai seorang asketik, memusatkan perhatian pada asketisme praktis.[1] Pelagius merupakan penggagas apa yang sekarang dikenal sebagai Pelagianisme. Ronald Nash menyatakan bahwa, Pelagius membawa ajarannya ke Roma dan Afrika Utara di awal abad ke 5.[2]
Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas secara ringkas mengenai penolakan Pelagius terhadap doktrin dosa asal. Nash menjelaskan bahwa,
Pemikiran mendasar di balik Pelagianisme adalah penolakan terhadap dosa asal. Pemikiran ini menyatakan bahwa tidak ada manusia yang dilahirkan dengan natur  rusak yang memiliki bakat alami untuk berdosa. Anak-anak tidak memiliki kecenderungan berdosa yang menjauhkan mereka dari Allah. Manusia dilahirkan netral secara moral, bukan orang berdosa dan bukan juga orang kudus. Pelagius mengajarkan bahwa dosa Adam hanya mempengaruhi Adam.[3]
Nash melanjutkan, “Pelagius juga mengajarkan bahwa ketika anak-anak sudah cukup dewasa untuk menjadi pelaku moral, maka pilihan moral mereka di masa kemudian akan mengarahkan mereka pada kebaikan dan kejahatan tergantung apakah orang itu akan memilih kehidupan yang salah atau penuh dosa. Setiap orang dewasa adalah ciptaan yang membentuk diri mereka sendiri.”[4]
Sepertinya, semua pemikiran di atas sesuai dengan penjabaran Alkitab yang menyebut manusia sebagai “gambar Allah” (bdk. Kej. 1:26-27). Bukankah status seperti ini telah menempatkan manusia dalam posisi yang cukup tinggi? Ya, memang begitu, tetapi apakah manusia masih tetap dalam posisi seperti itu sekarang? Alkitab tidak berhenti pada fakta bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah, pada pasal 3 dari kitab Kejadian, Musa menceritakan satu hal yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia, yakni fakta bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa.
Bertentangan frontal dengan semua konsep fatamorgana dari Pelagius, Alkitab justru menegaskan bahwa semua manusia
Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak. Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka mengandung bisa. Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah. Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka, dan jalan damai tidak mereka kenal; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu. – Roma 3:10-18.
Konsep tentang keberdosaan manusia, nyatanya tidak disukai oleh banyak orang. Manusia justru senang disanjung, senang menceritakan akan keagungannya, kebaikan-kebaikannya, pencapaian-pencapainnya yang luar biasa, dsb. Manusia pada umumnya seperti seorang Farisi yang berkata dalam doanya, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Luk. 18:11-12). 
Meskipun demikian, ketidaksukaan manusia akan berita bahwa manusia itu berdosa, tidak akan pernah menghapuskan fakta tersebut, sebab, fakta itu sangat kuat dan tidak dapat disangkal, seperti dikemukakan oleh John R.W. Stott,
Orang tidak seberapa suka membicarakan dosa. Dan sering orang Kristen dianggap terlampau banyak mempersoalkan dan mengemukakannya. Sebab – musababnya ialah karena orang Kristen realis, sehingga tak dapat tidak harus mengupas soal itu. Dosa bukanlah alasan yang membuat para pendeta tekun mempertahankan jabatannya; dosa adalah kenyataan yang terdapat di mana-mana.[5]
Rasul Yohanes bahkan menegaskan bahwa, “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” (1 Yoh. 1:8). Seruan Alkitab bahwa semua manusia telah jatuh ke dalam dosa sangat jelas. Salomo mengakui bahwa “Tidak ada manusia yang tidak berdosa,” (1 Raja-raja 8:46), dan lagi, “Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang saleh” (Pengkhotbah 7:20). Kemudian Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menyatakan dengan tegas bahwa, “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Juga, pernyataan Alkitab bahwa semua orang memerlukan pengampunan, dan keselamatan, jelas mempresaposisikan keberdosaan manusia (bdk. Kis. 4:12; 17:30), jika tidak, gerangan apa yang membuat manusia membutuhkan pengampunan dan keselamatan?
Penting untuk diperhatikan bahwa status manusia sebagai “orang berdosa” telah melekat pada diri manusia itu bahkan pada saat manusia itu belum lahir. Pemazmur mengakui bahwa, “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku.” (Mzm. 51:7). Ayub berkata, “Bagaimana manusia benar di hadapan Allah, dan bagaimana orang yang dilahirkan perempuan itu bersih?” (Ayub 25:4). Jadi, mau tidak mau, manusia akan tetap terlahir sebagai manusia berdosa. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dalam teologi Kristen, hal ini sering disebut sebagai doktrin tentang dosa asal. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: Adam dianggap oleh Allah sebagai wakil dari seluruh umat manusia, dan karena itu ketika Adam jatuh ke dalam dosa, seluruh umat manusia dianggap jatuh ke dalam dosa juga. Itulah sebabnya dalam Roma 5:12, Rasul Paulus berkata, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Jadi, Adam seperti seorang Presiden yang memimpin sebuah negara. Jika Presiden misalnya menyatakan perang, maka bukan hanya Presiden tersebut yang akan berperang, tetapi negara tersebut. Jika Presiden tersebut di undang dalam sebuah pertemuan PBB, maka ia mewakili seluruh rakyatnya, maka semua keputusannya merupakan keputusan rakyat (negara). Demikian juga dengan Adam, ia mewakili semua manusia di hadapan Allah, dan pada saat Adam jatuh ke dalam dosa, maka semua keturunannya (yang diwakilinya) menjadi berdosa. Hal ini penting untuk melawan pandangan Pelagianisme yang menyangkal adanya dosa asal.
Ronald Nash memberikan bantahan lain yang cukup menarik terhadap Pelagianisme, ia berkata bahwa, “bahkan dari pengamatan perilaku anak yang paling sederhana pun tampak bahwa mereka tidak perlu di ajar untuk berdosa. Anak-anak dan orang dewasa berubuat dosa semudah cebong berenang atau burung terbang. Dosa melekat pada natur kita.” Nash melanjutkan bantahannya dengan bertanya, “Mengapa bayi-bayi yang polos yang dianggap lahir tanpa natur dan kecenderungan berdosa (seperti dikemukakan oleh Pelagius) selalu bertumbuh menjadi orang dewasa yang penuh dosa? Logika dari pandangan mereka mengharuskan para penganut Pelagianisme untuk meyakini bahwa setidaknya ada sedikit orang dewasa yang tidak berdosa.”[6] Alur pemikiran Nash ini sangat benar, karena memang, semua orang dewasa, yang notabene pada awalnya adalah seorang bayi, tidak pernah tumbuh dengan tidak pernah berbuat salah. Dari semua ini, dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya, semua manusia telah berdosa, dan doktrin mengenai dosa asal yang diajarkan oleh Alkitab adalah benar. Maka, meminjam kata-kata Ronald Nash, “Tuduhan Alkitab atas keberdosaan semua manusia didukung oleh apa yang setiap kita temukan sewaktu kita dengan jujur memeriksa hati kita, yaitu: fenomena kesalahan manusia.”[7]
Jika Anda menyadari bahwa Anda adalah manusia berdosa, maka Anda harus mengingat satu hal ini: manusia berdosa adalah objek murka Allah. Tetapi Kitab Suci menyatakan kepada kita bahwa kita bisa terhindar dari murka Allah karena Kristus telah menanggungnya untuk kita! Maukah saudara datang dan percaya kepada Kristus, supaya saudara diselamatkan dari murka Allah? (bdk. Yoh. 3:16; 36; Rm. 8:1).

[1]https://id.wikipedia.org/wiki/Pelagius
[2]Ronald H. Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi (Surabaya: Momentum, 2003), 6.
[3]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, 7.
[4]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, 7.
[5]John R.W. Stott, Kedaulatan dan Karya Kristus (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), 79.
[6]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, 10.
[7]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...