Senin, 18 Maret 2019

HUBUNGAN KEMAHATAHUAN ALLAH DENGAN PENETAPAN ALLAH ATAS SEGALA SESUATU

Oleh: Join Kristian Zendrato 

Beberapa waktu yang lalu, saya telah menulis sebuah artikel mengenai penetapan Allah atas segala sesuatu (untuk membaca artikel saya tersebut klik di sini dan di sini). Dalam artikel tersebut saya mempertahankan bahwa segala sesuatu yang terjadi, termasuk dosa adalah ketetapan kehendak Allah. Tidak ada satu pun yang terjadi di luar kehendak Allah. 

Nah, sekarang saya akan menguraikan satu dasar lagi bagi doktrin tersebut, yakni dengan menelusuri hubungan antara kemahatahuan Allah dengan penetapan-Nya atas segala sesuatu. Saya berargumen bahwa doktrin kemahatahuan Allah adalah salah satu dasar yang sangat kuat untuk mendukung doktrin penetapan Allah atas segala sesuatu. Saya akan memaparkan argumen tersebut secara ringkas berikut ini. 

Pertama. Saya percaya bahwa sebelum segala ciptaan ada, maka yang ada hanya Allah sendiri. Ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (bdk. Kej. 1:1; Nehemia 9:6; Yoh. 1:3). 

Kedua. Dalam kekekalan itu, ketika semua ciptaan belum ada, saya percaya bahwa Allah telah mengetahui segala sesuatu secara mutlak. Saya percaya bahwa atribut-atribut Allah, seperti kemahatahuan-Nya tidak pernah terpisah dengan hakikat Allah sendiri. Tidak ada suatu waktu dimana Ia tidak mahatahu. Ia senantiasa mahatahu. Herman Bavinck menegaskan, “Pengetahuan [Allah] tersebut meliputi segala sesuatu dan karenanya mahatahu dalam arti yang ketat” (penekanan dari saya).[1] Dalam hemat saya, doktrin kemahatahuan Allah ini harus diterima secara mutlak oleh orang-orang yang mempercayai Alkitab sebagai Firman Allah, sebab Alkitab memang dengan jelas mengajarkan bahwa Allah mahatahu. Sebagaimana diungkapkan oleh Bavinck, “Tidak ada satu bagian pun dari Kitab Suci yang menunjukkan bahwa adanya satu hal yang tidak diketahui oleh Dia”[2] (bdk. 1 Samuel 2:3; Ayub 37:16; Ibrani 4:13).[3] Daud mengakui kemahatahuan Allah ini ketika ia berkata:

TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;
Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri,
Engkau mengerti pikiranku dari jauh.
Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring,
segala jalanku Kaumaklumi.
Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan,
sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.
Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku,
dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku.
Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi,
tidak sanggup aku mencapainya.
(Mazmur 139:1-6)

Ketiga. Jika Allah itu telah mengetahui segala sesuatu secara mutlak dalam kekekalan, sebelum segala ciptaan ada, maka saya percaya bahwa segala sesuatu pasti terjadi persis seperti apa yang diketahui Allah dalam kekekalan. Jadi, kalau misalnya dalam kekekalan Ia tahu akan terjadi A, maka dalam waktu, ketika itu terjadi, yang terjadi pasti A, tidak bisa terjadi B atau C. Tidak ada ruang bagi kemungkinan-kemungkinan kosong. Jika hari ini, saya memakai baju warna hijau, maka dalam kekekalan, Allah tahu bahwa saya memang akan memakai baju warna hijau hari ini. Jika dalam kekekalan, Allah mengetahui bahwa saya akan memakai baju berwarna hijau hari ini tetapi hari ini saya tau-taunya memakai baju merah, maka pengetahuan Allah itu salah. Jelas ini tidak mungkin. Jadi, ada keselarasan antara apa yang diketahui oleh Allah, dan terjadinya yang diketahui itu. 

Keempat. Jika Allah memang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi secara mutlak, maka tidak bisa tidak segala sesuatu sudah tertentu. Pengetahuan-Nya tidak bisa bertentangan dengan apa yang terjadi dalam sejarah. Jika ada satu saja yang terjadi yang tidak sesuai dengan apa yang Dia ketahui, maka Dia tidak mahatahu. Singkatnya, jika Allah mengetahui segala sesuatu secara mutlak dan pasti, maka segala sesuatu pasti sudah tertentu dalam kekekalan.

Kelima. Sekarang, saya akan mengajukan pertanyaan ini: jika segala sesuatu sudah tertentu dalam kekekalan, siapakah yang menentukkannya? Tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri, karena hal-hal itu belum ada! Maka saya yakin bahwa satu-satunya alternatif untuk menjawab pertanyaan di atas adalah bahwa Allah lah yang menentukannya, sebab dalam kekekalan hanya Dia sendri yang ada (lihat bagian nomor satu di atas). Menurut saya, ini adalah implikasi yang sangat logis, seperti ditegaskan oleh Loraine Boettner, “jika Allah mengetahui terlebih dahulu suatu kejadian di masa mendatang, berarti kejadian tersebut sudah tetap dan pasti seoah-olah sudah ditetapkan terlebih dahulu, karena pra-pengetahuan implikasinya adalah kepastian, dan kepastian implikasinya adalah penetapan terlebih dahulu.”[4]

Catatan: mengenai masalah ketetapan Allah, dan kebebasan, serta tanggung jawab manusia, saya telah membahasnya dalam tulisan lain di blog ini. Baca di sini.
 

[1]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jilid II (Surabaya: Momentum, 2012), 235.
[2]Bavinck, Dogmatika Reformed, jilid II, 235. 
[3]Lihat Bavinck, Dogmatika Reformed, jilid II, 235-241; Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, volume I (Surabaya: Momentum, 2005), 110.   
[4]Loraine Boettner, Iman Reformed (Surabaya: Momentum, 2000), 39.

Minggu, 17 Maret 2019

PENETAPAN ALLAH ATAS SEGALA SESUATU, DAN KEBEBASAN, SERTA TANGGUNG JAWAB MANUSIA


Oleh: Join Kristian Zendrato

Pada tulisan sebelumnya, saya telah mempertahankan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah secara mutlak (untuk membaca tulisan saya sebelumnya, klik di sini). Nah, mungkin Anda bertanya-tanya bagaimana doktrin itu bisa diselaraskan dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia. Untuk itu dalam tulisan kali ini, saya akan membahas masalah tersebut.

Ketetapan Allah dan Kebebasan Manusia

Langsung saja, meskipun Allah telah menetapkan segala sesuatu secara mutlak, hal itu tidak membuat manusia menjadi robot. Allah memang menetapkan segala sesuatu, tetapi manusia bebas melakukannya tanpa bertentangan dengan ketetapan Allah.

Bagi sebagian orang, hal ini seperti omong kosong yang tak berarti. Tetapi saya memilih untuk tunduk di bawah firman Tuhan. Dua kebenaran ini diajarkan tanpa pemisahan oleh Alkitab. Kita tidak boleh membuang yang satu demi mempertahankan yang satu.

Dalam Keluaran 7:3 misalnya dinyatakan bahwa Tuhan akan mengeraskan hati Firaun, tetapi pada waktu ketetapan Allah itu terlaksana, ternyata Firaun mengeraskan hatinya sendiri (Kel 7:13,22; 8:15,19,32; 9:7,34-35). Kemudian  dalam Ayub 1:21 Ayub berkata, “Tuhan yang mengambil.” Tetapi dalam Ayub 1:15,17 orang-orang Syeba dan Kasdim melakukan perampokkan itu dengan kemauan mereka sendiri. Lebih lanjut, dalam Yesaya 10:5-7 tertulis sebagai berikut: Celakalah Asyur, yang menjadi cambuk murka-Ku dan yang menjadi tongkat amarah-Ku! Aku akan menyuruhnya terhadap bangsa yang murtad, dan Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran murka-Ku, untuk melakukan perampasan dan penjarahan, dan untuk menginjak-injak mereka seperti lumpur di jalan. Tetapi dia sendiri tidak demikian maksudnya dan tidak demikian rancangan hatinya, melainkan niat hatinya ialah hendak memunahkan dan hendak melenyapkan tidak sedikit bangsa-bangsa.Asyur adalah alat Tuhan untuk menghukum Israel, tetapi Asyur melakukan sendiri dengan motivasi yang lain.

Dalam Daniel 11:36 yang telah kita singgung sebelumnya kita membaca, “Raja itu akan berbuatsekehendak hati; ia akan meninggikan danmembesarkan dirinya terhadap setiap allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan mengucapkan kata-kata yang tak senonoh sama sekali, dan ia akan beruntung sampai akhir murka itu; sebab apa yang telah ditetapkan akan terjadi. Ini menunjukkan bahwa dosa dari raja ini, dimana ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah, dan akan mengucapkan kata-kata tak senonoh terhadap Allah, sudah ditetapkan, dan karena itu pasti akan terjadi. Walaupun begitu, “Raja itu akan berbuat sekehendak hatinya.”

Kemudian, dalam kasus Yudas, yang juga telah kita singgung sebelumnya, kita melihat bahwa Yudas mengkhianati (menyerahkan) Yesus sesuai dengan ketetapan Allah (Luk 22:22), tetapi pada waktu Yudas melakukan hal itu, ia betul-betul melakukannya dengan kehendaknya sendiri. Kita tidak melihat bahwa Allah memaksa dia untuk mengkhianati Yesus.

Dari semua data Alkitab di atas, maka jika kita adalah orang Kristen yang menerima Alkitab sebagai Firman Allah, maka kita harus mempercayai bahwa Allah memang menetapkan segala sesuatu termasuk dosa, tetapi di sisi lain, kita juga harus mempercayai bahwa manusia tetap bebas.

Manusia tetap bertanggung jawab atas tindakannya 
      
Adanya penetapan Allah juga tidak membuang tanggung jawab manusia. Manusia tetap bertanggungjawab atau mempunyai kewajiban untuk melakukan hal yang terbaik sesuai dengan Firman Tuhan. Kita tidak boleh memakai topeng doktrin ketetapan Allah ini untuk hidup ‘semau gue.’

Jadi, kita harus tetap hidup sesuai dengan kehendak Allah yang dinyatakan kepada kita (yaitu Firman Tuhan), bukan berdasarkan kehendak rencana atau ketetapan Allah yang tersembunyi atau yang tidak kita ketahui. Dalam Ulangan 29:29 dikatakan bahwa, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selma-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini.”

Perhatikan bahwa ayat ini berkata bahwa: ‘hal-hal yang tersembunyi’ itu ialah ‘bagi Tuhan. Jadi, rencana Allah yang tidak kita ketahui itu bukan untuk kita, dan karenanya itu bukan pedoman hidup kita. Juga perhatikan kata-kata ‘hal-hal yang dinyatakan’ ialah ‘bagi kita. Jadi, hal-hal yang dinyatakan’ ini ialah hukum taurat, atau Firman Tuhan. Ini dikatakan ‘bagi kita’, dan karenanya inilah pedoman hidup kita.

Jadi, misalnya, dalam persoalan keselamatan, Tuhan sudah memilih orang-orang tertentu untuk selamat (Ef 1:4,5,11) dan orang-orang tertentu untuk binasa (Yoh 17:22, Roma 9:22), tetapi kita tidak tahu siapa yang dipilih untuk selamat dan siapa yang dipilih untuk binasa. Jadi itu adalah kehendak Allah yang tersembunyi dan tidak boleh kita jadikan dasar atau pedoman hidup kita, misalnya dengan berpikir atau bersikap seperti ini:mungkin orang itu bukan orang pilihan, sehingga hanya membuang-buang waktu dan tenaga untuk menginjili dia. Biarkan saja dia, kalau ternyata dia orang pilihan, toh nanti dia akan percaya dengan sendirinya.Sebaliknya, Matius 28:19-20 merupakan perintah untuk memberitakan Injil kepada semua orang. Jadi pada waktu kita bertemu dengan seseorang, bukanlah urusan kita apakah orang itu dipilih untuk selamat atau binasa. Itu tidak kita ketahui dan karenanya bukan pedoman hidup kita. Urusan kita adalah melakukan perintah Firman Tuhan dalam Mat 28:19-10, yaitu memberitakan Injil.

Contoh lainnya adalah dalam persoalan kematian atau kesehatan. Jika saya terkena suatu penyakit dan saya mungkin berpikir: “Mungkin saya sudah ditetapkan untuk mati, jadi percuma saya berusaha untuk sembuh.” Ini sikap yang salah! Memang Tuhan sudah menentukan saat kematian saya (1 Sam 2:6; Maz 39:5-6), dan juga apakah saya sembuh atau tidak, dan kalau Tuhan menentukan saya sembuh maka saat kesembuhannya juga sudah ditentukan, dan semua ketentuan Allah itu pasti terjadi. Tetapi persoalannya adalah: saya tidak tahu akan ketetapan Allah itu! Itu merupakan ‘hal yang tersembunyi’ bagi Saya dan karena itu maka hal itu bukan pedoman hidup saya. Pedoman hidup saya adalah Kitab Suci, dan Kitab Suci menyuruh saya untuk mengasihi diri saya sendiri (Mat 22:39; Ef 5:28-29). Karena itu saya harus berusaha untuk sembuh, selama saya tidak mencari kesembuhan itu dengan jalan yang salah, misalnya dengan pergi ke dukun.

Contoh lain adalah dalam persoalan melakukan dosa. Kalau ada orang yang berbuat jahat kepada anda, dan anda digoda setan untuk membalasnya, maka anda tidak boleh berpikir: ‘Barangkali saya ditentukan untuk membalas’. Faktanya adalah anda tidak mengetahui ketentuan Allah dalam persoalan itu, lalu mengapa menebak-nebak apa yang tidak anda ketahui? Dan kalau menebak, mengapa tidak menebak sebaliknya? Karena hal itu tidak diketahui, maka itu bukan pedoman hidup anda. Pedoman hidup anda adalah apa yang dinyatakan kepada anda dalam Kitab Suci, yaitu “Kasihilah musuhmu” (Matius 5:44).

Kalau anda mencari pasangan hidup, dan lalu jatuh cinta kepada seseorang yang belum percaya kepada Kristus, maka jangan berpikir: Barangkali saya ditentukan untuk menikah dengan orang kafir. Pedoman hidup anda adalah Kitab Suci yang berkata: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya” (2 Kor 6:14a). Atau kalau anda sudah menikah dan lalu tergoda oleh seorang wanita lain, jangan berpikir: Mungkin saya ditentukan untuk berzinah. Pedoman anda adalah Kitab Suci yang berkata: “Jangan berzinah” (Kel 20:14).

Dengan demikian, maka baik ketetapan Allah atas segala sesuatu, maupun kebebasan, dan tanggung jawab manusia harus diterima dengan kerendahan hati. G.K Chesterton menyimpulkan hal ini dalam kata-katanya yang indah berikut ini, “...Kekristenan mengatasi kesulitan dalam mengkombinasikan hal-hal yang sedemikian berlawanan dengan jalan memelihara kedua-duanya, dan memelihara kedua-duanya dengan sedemikian bersungguh-sungguh.[1]

Jika kita menerima Alkitab sebagai penentu benar tidaknya sebuah ajaran, kita harus menerima konsep paradoks ini, dan mempercayai bahwa apa yang tidak dapat kita selaraskan dalam otak kita yang terbatas ini mendapatkan keselarasan dalam pikiran Allah.[2] Kita harus menundukkan keingintahuan kita yang berlebihan tentang misteri ini dibawah otoritas Alkitab. Keingintahuan yang berlebihan akan misteri ini merupakan keingintahuan yang sia-sia. Calvin menyebut keingintahuan seperti ini sebagai sebuah kegilaan![3]

Sekali lagi saya tekankan bahwa sebagai orang percaya, kita harus senantiasa menundukkan rasio kita di bawah otoritas firman Tuhan. Rasio yang berusaha untuk berada di atas firman Tuhan dan dengan demikian menghakimi firman Tuhan, tidak pantas dijadikan sebagai acuan untuk menemukan kebenaran. Sekali lagi, marilah kita bersikap bijaksana dalam hal ini dengan menerapkan prinsip John Calvin yang diungkapkan oleh Richard D. Philips berikut ini: “Dimana Alkitab mengakhiri satu pengajaran, marilah kita mengakhiri pembelajaran itu.”[4]

Allah Tidak Berhutang “Penjelasan”

Dari penjelasan dan juga dari banyak ayat-ayat yang sudah kita lihat di atas, kita mungkin bertanya-tanya, “Kenapa Tuhan tidak memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai hal ini?” Jawabannya adalah Allah tidak pernah berhutang kepada kita suatu penjelasan tentang apa yang Dia lakukan.[5]

Sebagai contoh, kita sering berharap bahwa Allah bercerita panjang lebar dalam Kejadian 3, cerita tentang masuknya kejahatan ke dalam dunia. Darimana asalnya Ular (Setan)? Jika ia memang pada mulanya baik bersama dengan ciptaan yang lainnya (Kej. 1:31), bagaimana ia bisa menjadi jahat? Mengapa ia diizinkan masuk ke dalam Taman Eden untuk mencobai Hawa? Mengapa Allah yang baik malah menetapkan sebelumnya keseluruhan peristiwa ini? Jika Ia menetapkan sebelumnya respon Adam dan Hawa, dengan hak apa Ia menghukum mereka? Semua pertanyaan ini secara alami muncul di dalam konteks, tetapi bagian Alkitab tersebut tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Juga, ketika Adam memunculkan problem kejahatan dengan mempersalahkan Allah karena memberinya isteri yang mencobai Dia (ay. 12), Allah tidak memberikan dasar pemikiran apapun atas apa yang telah Ia lakukan. Malah Ia menunjukkan kejahatan Adam sendiri, menjatuhkan hukuman terhadapnya, dan lalu meninggalkan tempat tersebut.[6]

Contoh lain yang menarik dalam kaitannya dengan hal ini adalah Matius 20:1-16, perumpaan Yesus tentang para pekerja di kebun anggur. Sebagian dari mereka hanya bekerja satu jam, yang lain sepanjang hari, tetapi mereka semua memperoleh upah yang sama.[7] Beberapa orang protes tentang ketidakadilan. Tetapi tuan itu (Allah) menjawab, “Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau irikah engkau, karena aku murah hati?” (ay. 13-15).

Dari perumpamaan di atas, John M. Frame menyimpulkan: (1) Tuduhan  dibalikkan: penuduh dituduh iri hati. (2) Kedaulatan Allah ditekankan (“Tidakkah Aku berhak...?”). (3) Alasan pembagian yang tidak rata tidak diberikan; sang tuan merasa tidak wajib memberikan alasannya. Kepada hal-hal ini kita dapat  menambahkan tentang (4) dapat dipercayanya perkataan si tuan (Tidak setujukah...?). Sang tuan memberikan sedinar, dan itulah memang yang ia berikan. Pernyataannya dapat dipercaya; Ia bukan pembohong. Karena itu, problem apapun yang mungkin terkait dengan distribusi Allah atas kebaikan dan kejahatan, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa firman-Nya, dimana Ia menjanjikan berkat-berkat bagi umat-Nya, tidak dapat dipercaya. Dan perhatikan juga bahwa (5) interpretasi yang benar tentang faktanya sesungguhnya menkonfirmasi  karakter sang tuan. Sebagaimana sang tuan melihat permasalahan itu (dan ia, tentu saja, benar!), perbedaan dalam pembayaran bukan menunjukkan ketidakadilan terhadap mereka yang bekerja sepanjang hari, tetapi kemurahan terhadap mereka yang bekerja hanya satu jam.[8]

Pola yang sama juga hadir dalam Roma 9. Pertanyaan ayat 14, “Apakah Allah tidak adil?” (dalam membenci Esau sebelum kelahirannya), mendapatkan jawaban Paulus: “Mustahil!” Tetapi mengapa harus kita katakan bahwa Allah adil dalam kaitannya dengan ini?  Karena Allah “menaruh belas kasihan kepada siapa Dia mau menaruh belaas kasihan dan bermurah hati kepada siapa Dia mau bermurah hati” (ay. 15). Dengan kata lain, Allah memiliki hak berdaulat untuk melakukan apa saja yang Ia inginkan, dan tidak perlu ada penjelasan lebih jauh. Orang yang terus menerus menyalahkan Allah (seperti dalam ay. 19) berarti dirinya sendiri menjadi sasaran kesalahan yang ia tujukan kepada Allah, seperti halnya sebuah periuk tanah liat yang menanyakan tujuan si tukang periuk yang membuatnya (ay. 20-21). Si tukang periuk berdaulat atas tanah liat tersebut baik dalam hal kontrol maupun otoritasnya.[9]

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dari contoh di atas: (1) Kita tidak berhak untuk memprotes Allah. (2) Allah tidak berada di bawah kewajiban apa pun untuk memberi kita suatu jawaban yang secara intelektual memuaskan atas problem kejahatan. Meskipun demikian Ia mengharapkan kita untuk percaya kepada-Nya. (3) Kedaulatan Allah tidak boleh dipertanyakan sehubungan dengan problem kejahatan; malah harus digaris bawahi. (4) Firman Allah, kebenaran-Nya, sama-sama dapat dipercaya. (5) sesungguhnya, Allah bukan tidak adil. Ia kudus, adil dan baik.[10]

Dengan demikian, apakah kita masih bertanya mengapa Allah yang baik menetapkan adanya penyesatan (Mat. 18:7)? Jika Ia menetapkan sebelumnya bahwa penyesat harus ada, dengan hak apa Ia menghukum mereka? Sekali lagi, kita tidak mempunyai hak sedikit pun untuk meminta penjelasan yang komprehensif dari Tuhan dan sebaliknya Tuhan tidak pernah berhutang untuk memberikan suatu penjelasan tentang tindakan-Nya kepada kita!

Untuk menyimpulkannya: Allah, sebagai Tuhan yang berdaulat, adalah standar bagi tindakan-Nya sendiri. Ia tidak tunduk pada penilaian manusia; sebaliknya, penilaian kita harus tunduk pada firman-Nya.[11] Kita tidak mungkin mengerti semua pikiran Tuhan (Roma 11:33), maka setelah kita melihat misteri tersebut, bersama dengan pemazmur kita hendaknya menyatakan, “Aku kelu, tidak kubuka mulutku, sebab Engkau sendirilah yang bertindak” (Mzm. 39:10).

Kesimpulan

Jika kita memakai logika kita yang terbatas dan tidak menerima konsep paradoks ini, maka hanya ada dua pilihan yang sedang menanti Anda, yakni Arminianisme dan Hyper–Calvinis. Keduanya menganggap bahwa kedaulatan Allah bertentangan dengan tanggung jawab manusia. Karena itu, mereka beranggapan bahwa salah satu harus dibuang. Bedanya, Arminian membuang kedaulatan Allah, sedangkan Hyper-Calvinis membuang tanggung jawab manusia, sehingga mereka (Arminian dan Hyper-Calvinis) tidak mempunyai kesulitan untuk memahami secara rasionil kedua fakta ini (kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia).

Tetapi tindakan membuang salah satu dari kelompok ayat-ayat di atas merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap kesaksian Alkitab. Calvinisme tetap dengan teguh memegang kedua-duanya, baik ketetapan Allah yang mencakup segala sesuatu, maupun kebebasan dan tanggung jawab manusia. Seperti yang ditegaskan oleh Dr. Edwin Palmer:

Dengan melawan semua logika manusia, kaum Calvinis menyatakan bahwa bila manusia melakukan sesuatu kebaikan, maka Allahlah yang harus dipuji; dan bila manusia melakukan suatu kejahatan, manusia itu yang harus dipersalahkan. Manusia tidak dapat membantah. Dengan kepercayaan yang teguh akan hal tersebut serta kerelaan untuk mempercayai semua yang tertulis di dalam Alkitab, kaum Calvinis menerima paradoks antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Mereka tidak dapat menyelaraskan kedua fakta ini, tetapi karena Alkitab mengajarkan tentang kedua fakta tersebut, mereka menerima keduanya.[12]

Itulah Calvinisme yang sejati!

Soli Deo Gloria!


            [1]G.K Chesterton, Orthodoxy (Garden City: Doubleday, 1959), 95. Dikutip oleh Anthony Hoekema, Diselamatkan Oleh Anugerah (Surabaya: Momentum, 2001), 19. James Innel Packer juga mengatakan bahwa dua kebenaran ini diajarkan oleh Kitab Suci. Ia menulis, “Alkitab mengajarkan kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia secara berdampingan; terkadang bahkan dalam bagian Alkitab yang sama.” Lalu ia merujuk Lukas 22:22 dan Kisah Rasul 2:23 sebagai contoh. Lihat J. I Packer, Penginjilan dan Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2014), 13-dst.  
              [2]Hoekema,  Diselamatkan Oleh Anugerah, 17.
  [3]Calvin misalnya menulis, “Dalam hal-hal yang tidak diizinkan untuk diketahui manusia, maka kebodohan merupakan pengetahuan, sedangkan keingintahuan merupakan suatu kegilaan,” Institutes, 3.23.8. Dikutip oleh Edwin Palmer, Lima pokok Calvinisme, 131,(footnote).  Calvin juga menulis, “Orang-orang yang ingin mengetahui lebih dari yang telah dinyatakan Allah bagaikan orang-orang gila. Lebih baik kita berada dalam kebodohan yang bijaksana daripada berada dalam perasaan yang membius karena ingin mengetahui lebih dari yang Allah izinkan,” dalam “The Eternal Predestination of God,” dalam Calvin’s Calvinism, 127. Dikutip oleh Palmer, Lima Pokok Calvinisme, 131, (footnote).
            [4]Richard D. Philips, Apakah Pemilihan dan Predestinasi Itu?, 24.
[5]Lihat J. I Packer, Penginjilan dan Kedaulatan Allah, 14-15.   
         [6]John M. Frame, Apologetika Bagi Kemuliaan Allah: Suatu Pengantar (Surabaya: Momentum, 2011), 221-222.
              [7]Ini jangan ditafsirkan sebagai suatu model biblikal tentang relasi manajemen dengan pekerja! Dalam konteks Injil Matius, tampaknya Injil ini berfokus pada suatu kenyataan bahwa orang non-Yahudi berbagi berkat Allah dengan orang-orang Yahudi, dan bahwa kedua kelompok tersebut akan menerima berkat-berkat yang sama, meskipun orang-orang Yahudi telah menjadi umat Allah sejak lama. Perhatikan poin yang sama dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk. 15:11-32), di mana anak durhaka yang pulang menerima berkat jauh lebih besar daripada yang dipikirkan oleh kakaknya (ay. 28-32).
              [8]Frame, Apologetika Bagi Kemuliaan Allah, 225-227.
              [9]Frame, Apologetika Bagi Kemuliaan Allah, 229-230. Lihat juga J. I Packer, Penginjilan dan Kedaulatan Allah, 14-15.  
              [10]Frame, Apologetika Bagi Kemuliaan Allah, 230. 
              [11]Frame, Apologetika Bagi Kemuliaan Allah, 230.
              [12]Palmer, Lima Pokok Calvinisme, 129-130.

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...