Rabu, 31 Oktober 2018

REFORMASI DAN KITA

Oleh: Join Kristian Zendrato

Reformasi adalah “perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.” Ini adalah defenisi reformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tetapi dalam Kekristenan, Reformasi menunjuk pada suatu peristiwa yang terjadi pada tahun 1517. Peristiwa itu adalah timbulnya kritik teologis terhadap pandangan-pandangan tertentu dari gereja Roma Katolik, yang dimulai oleh Marthin Luther dengan menempelkan 95 tesisnya pada sebuah pintu gereja di kota Wittenberg, Jerman, yang berisikan penentangan terhadap ajaran-ajaran tertentu yang dipercayai dan diajarkan oleh gereja Roma Katolik, misalnya mengenai penjualan indulgentia (surat penghapus dosa), keselamatan bukan hanya karena iman saja, dan sebagainya. Konsekuensi dari semua hal ini adalah berpisahnya  atau keluarnya orang-orang tertentu dari gereja Roma yang sampai saat ini disebut sebagai kaum Protestan. Luther mengharuskan setiap orang untuk back to the Bible. Artinya apa pun yang diajarkan oleh Gereja, harus diuji oleh Alkitab. Hal inilah yang membuat gerakan Reformasi Protestan ini mempunyai suatu motto, yakni Sola Scriptura yang artinya hanya Alkitab yang menjadi sumber dan otoritas ajaran Gereja.

Saya kira, saya perlu menjelaskan satu hal, yakni bahwa Kristen Protestan yang dimunculkan kembali oleh Luther, Calvin, dan para reformator lainnya bukanlah agama baru. Tetapi itu adalah pengembalian Kekristenan abad pertengahan kepada kekristenan mula-mula dalam Perjanjian Baru. Loraine Boettner, seorang teolog Reformed pernah menjelaskan hal ini dalam bukunya yang berjudul Roman Catholicism. Boettner menulis,
Protestantism as it emerged in the sixteenth century was not the beginning of something new, but a return to the Bible Christianity and to the simplicity of the apostolic church from which the Roman Church had long since departed. (Terjemahan: Protestantisme seperti yang muncul pada abad keenam belas bukanlah awal dari sesuatu yang baru, tetapi sebuah langkah kembali ke Kekristenan Alkitab dan kesederhanaan gereja apostolik yang telah lama ditinggalkan Gereja Roma).[1]
Boettner melanjutkan dengan berkata,
Protestantism, therefore, was not a new religion, but a return to the faith of the early church. It was Christianity cleaned up, with all the rubbish that had collected during the Middle Ages thrown out. (Terjemahan: Karena itu, Protestanisme bukanlah suatu agama baru, tetapi suatu pengembalian pada iman dari gereja mula-mula. Itu adalah kekristenan yang dibersihkan, dengan semua sampah yang terkumpul selama abad pertengahan dibuang).[2]
Loraine Boettner benar ketika ia berkata bahwa Reformasi itu penting karena fakta saat itu “how far the church had departed from its original Scriptures. (Terjemahan: betapa jauh gereja telah meninggalkan Kitab Suci aslinya).[3]

Jadi, dari sini kita bisa melihat bahwa gerakan reformasi itu bukan semacam gerakan yang akhirnya memunculkan agama baru, tetapi sebuah gerakan yang berusaha mengembalikan kekristenan yang autentik seperti tercitra dalam Perjanjian Baru, sebuah kekristenan yang seluruh ajaran dan prakteknya di dasarkan hanya pada otoritas Kitab Suci.

Semangat back to the Bible ini jelas terlihat dari perdebatan Luther di hadapan penentang-penentangnya. Ketika Luther dibawa ke kota Worms, dan diminta untuk menarik semua kritik-kritiknya terhadap Katolik Roma, Luther menjawab mereka, 
Unless I am refuted and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against the conscience. (Terjemahan: Kecuali aku disangkal / dibuktikan salah dan diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci atau oleh argumentasi-argumentasi yang jelas (karena aku tidak percaya kepada Paus ataupun councils saja; adalah jelas bahwa mereka sering salah dan bertentangan dengan diri mereka sendiri), aku ditaklukkan oleh Kitab Suci yang Kudus yang aku kutip, dan hati nuraniku terikat pada firman Allah: aku tidak bisa dan tidak mau menarik kembali apapun, karena adalah tidak aman dan berbahaya untuk melakukan apapun yang bertentangan dengan hati nurani).[4]
Ini menunjukkan betapa Luther menundukkan kehidupan dan ajarannya di bawah otoritas Kitab Suci. Alangkah indahnya gereja Tuhan, jika setiap hamba Tuhan seperti Luther. Pada zaman sekarang ini, banyak pemimpin gereja yang tidak lagi mempedulikan apakah ajaran mereka sesuai dengan Alkitab atau tidak, mereka lebih suka untuk mendasarkan ajaran dan praktek mereka berdasarkan pengalaman mereka, berdasarkan filsafat mereka, dan sebagainya. Mereka muak terhadap Kitab Suci. Dengan situasi seperti ini, kita betul-betul membutuhkan orang-orang seperti Luther dan para reformator yang lain, yang tidak pernah berkompromi dengan kebenaran ajaran Alkitab. Perhatikan beberapa kutipan dari kata-kata Reformator di bawah ini, yang menunjukkan betapa mereka menjunjung tinggi kebenaran dan menundukkan diri di bawah otoritas Alkitab.
Martin Luther, “Saya tidak mengagungkan diri saya di atas doktor-doktor dan konsili-konsili, saya mengagungkan Kristus di atas semua guru dan konsili.”[5]
John Calvin, “‘Even a dog barks,’ he wrote to the queen of Navarre, ‘when his master is attacked; how could I be silent when the honor of my Lord is assailed?’” (Terjemahan: ‘Bahkan seekor anjing menggonggong,’ tulisnya (Calvin) kepada ratu Navarre, ‘jika tuannya diserang; bagaimana aku bisa diam pada saat kehormatan Tuhanku diserang?’)[6]
John Calvin, But rather than the truth of God shall not stand firm, let a hundred worlds perish.” (Terjemahan: Tetapi daripada kebenaran Allah tergoncangkan, biarlah seratus dunia binasa).[7]
Bagaimana dengan kita? Apakah kita telah bersikap back to the Bible, baik dalam aspek ajaran maupun tingkah laku kita sebagaimana tertulis dalam 2 Timotius 3:16? Jika tidak, kita perlu Reformasi! Semoga Tuhan menolong kita!

[1]Loraine Boettner, Roman Catholicism (London: Banner of Truth Trust, 1966), 13-14.
[2]Loraine Boettner, Roman Catholicism, 26.
[3]Loraine Boettner, Roman Catholicism, 26.
[4]Dalam Philip Schaff, History of the Christian Church, vol. VII, pp. 304-305 
[5]Luther, Von den neuen Eckischen Bullen und lu gen (1520), WA 6, 581, II. 14-16, dikutip oleh Bernard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, terj. Andreas Yewangoe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 14.  
[6]Philip Schaff, History of the Christian Church, vol. VIII, pp. 594.   
[7]John Calvin, Calvin’s New Testament Commentaries: The Epistle of Paul the Apostle of the Galatians, Ephesians, Philippians and Colossians, trans. T.H.L. Parker; ed. D.W. Torrance dan T.F. Torrance (Grand Rapids, Michigan: W. M. B. Eerdmans Publishing Co., 1965), 200.

Minggu, 28 Oktober 2018

SIAPAKAH YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS KEMATIAN YESUS? SEBUAH REFLEKSI TEOLOGIS ATAS KEDAULATAN ALLAH, KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA

Oleh: Join Kristian Zendrato

Siapakah yang bertanggung jawab atas kematian Yesus? Bagi sebagian orang, jawaban terhadap pertanyaan ini sama jelasnya dengan jawaban atas pertanyaan 1+1. Tetapi saya sendiri ketika membaca Perjanjian Baru, khususnya keempat kitab Injil, saya mendapati bahwa jawaban terhadap pertanyaan ini tidak segampang yang dibayangkan, sebab data tekstual Perjanjian Baru meneguhkan bahwa Yesus mati karena dibunuh, tetapi disisi lain, Perjanjian Baru juga menegaskan bahwa Yesus mati karena kehendak-Nya sendiri dan juga karena kehendak Bapa.

Pertama-tama saya setuju dengan John Stott ketika ia menyatakan bahwa sebenarnya orang-orang yang bertanggung jawab secara langsung atas kematian Yesus tentu saja adalah tentara Romawi yang melaksanakan hukuman itu.[1] Penulis-penulis kitab-kitab Injil tidak memberikan penjelasan mendetail bagaimana penyaliban itu mereka lakukan, tetapi itu pasti sangat mengerikan. Cicero menyebut penyaliban sebagai crudelissimum taeterrimumque supplicium (hukuman paling kejam dan menjijikkan).[2]

Tetapi di balik tindakan eksekusi yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Romawi, ada Pontius Pilatus yang memerintahkan penyaliban itu. Ketika para pemimpin agama Yahudi membawa Yesus kepada Pontius Pilatus, mereka berkata, “Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami , dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja” (Luk. 23:2). Setelah mendengar hal itu, Pilatus melakukan investigasi (penyelidikan) tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Singkat cerita, Alkitab berkata bahwa “Pilatus tidak mendapati kesalahan apapun pada Yesus” (Luk. 23:4; Yoh. 18:38), bahkan ketika Yesus kembali setelah diperiksa oleh Herodes, Pilatus berkata kepada orang Yahudi: “Kamu telah membawa orang ini kepadaku sebagai seorang yang menyesatkan rakyat. Kamu lihat sendiri bahwa aku telah memerikasa-Nya, dan dari kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang kudapati pada-Nya. Dan Herodes juga tidak, sebab ia mengirimkan Dia kembali kepada kami. Sesungguhnya tidak ada suatu apapun yang dilakukan-Nya yang setimpal dengan hukuman mati” (Luk. 23:13-15; bdk. Yoh. 19:4-5). Sekali lagi, ketika orang-orang Yahudi berteriak, “Salibkanlah Dia! Salibkanlah Dia,” Pilatus menjawab: “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahanpun yang ku dapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati” (Luk. 23:22; Yoh. 19:6). Ketidakbersalahan Yesus diteguhkan oleh pesan istrinya kepadanya: “Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam” (Mat. 27:19).

Walaupun begitu, Pontius Pilatus tidak bertahan lama dalam posisinya, ia mulai goyah karena sifat komprominya. Dalam Luk. 23:23-25 dikatakan bahwa: “...akhirnya mereka menang dengan teriak mereka” (ay. 23), “Pilatus memutuskan, supaya tuntutan mereka dikabulkan” (ay. 24), “...Yesus diserahkannya kepada mereka untuk diperlakukan semau-maunya” (ay. 25). Teriakan mereka, tuntutan mereka dan kemauan mereka: kepada hal-hal inilah Pilatus menyerah tak berdaya. Ia tadinya “ingin melepaskan Yesus (Luk. 23:20), tetapi ia juga “ingin memuaskan hati orang banyak itu” (Mrk. 15:15). Orang banyak itu menang karena mereka berkata kepada Pilatus: “Jikalau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar” (Yoh. 19:12). Perkataan inilah yang menuntaskan keadaan. Pilihannya adalah antara kehormatan dan ambisi, antara prinsip dan kecocokan. Suara hatinya ditenggelamkan oleh suara-suara orang banyak. Singkatnya, Pilatus berkompromi karena ia seorang pengecut.[3]

Sikap Pilatus ini juga masih sering muncul pada saat ini. Mereka yang pertama-tama yakin akan kebenaran pada akhirnya sering jatuh menentang kembali kebenaran yang dulu mereka yakini itu karena ambisi dan keinginan “untuk memuaskan hati orang banyak.” Sungguh, tidak sulit menemukan orang-orang pengecut seperti itu.

Selanjutnya, kalau kita semakin mundur ke belakang, kita akan mendapati bahwa ternyata orang-orang Yahudi dan para imam mereka berpartisipasi dalam penyaliban Yesus. Dalam pelayanannya di dunia ini, Kristus Yesus telah menunggangbalikkan kemapanan Yahudi. Seringkali orang Yahudi marah kepadanya karena Ia melanggar sabat, Ia mengatakan bahwa Ia sudah ada sebelum Abraham yang akhirnya memicu orang Yahudi untuk melemparinya dengan batu, Ia mengampuni dosa, Ia menyamakan diri-Nya dengan Allah, dan masih banyak hal lain yang Kristus lakukan yang tidak sesuai dengan tradisi Yahudi. Tidak hanya menolak tradisi Yahudi, Ia pun secara terang-terangan mengkritik orang-orang Farisi karena mereka meninggikan tradisi di atas Kitab Suci. Ia menyebut mereka sebagai “orang-orang munafik, orang buta yang menuntun orang buta, dan menyamakan mereka dengan kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai kotoran (Mat. 23:27). Ia benar-benar mengusik status quo mereka.

Karena klaim-klaim Yesus inilah, orang-orang Yahudi dipenuhi kemarahan terhadap-Nya. Mereka menganggap Yesus melanggar hukum taurat yang sakral dan mengklaim bahwa Yesus mengajarkan hal yang salah dan sesat. Tetapi anehnya, ketika Yesus meminta orang Yahudi untuk membuktikan bahwa Ia salah, mereka tidak dapat membuktikannya. Jelas bahwa tuduhan-tuduhan orang Yahudi kepada-Nya tidak mempunyai dasar yang benar. Mereka adalah orang-orang munafik.

Akhirnya, mereka merasa terancam oleh kehadiran Yesus. Mereka melihat Dia sebagai pesaing yang mengancam, yang mengganggu ketenangan mereka, yang menunggangbalikkan status quo mereka, yang melemahkan otoritas mereka, yang melemahkan prestise mereka, kendali mereka atas orang banyak, kepercayaan diri mereka sendiri, sementara semua yang ada pada-Nya itu tetap utuh. Mereka iri kepada-Nya, dan oleh karena itu bertekad untuk menyingkirkan Dia, dan mereka berhasil menyalibkan Yesus.

Jika orang Yahudi dan imam mereka merasa diganggu oleh Yesus, apakah Anda juga merasa diganggu oleh Dia? Apakah anda merasa diganggu oleh peraturan sabat-Nya? Apakah anda merasa diganggu oleh hukum-hukum-Nya? Apa yang orang Yahudi rasakan dulu, sering kita rasakan pada saat ini. Kita merasa diganggu oleh Yesus. John Stott menyatakan:
Hasrat jahat yang sama memengaruhi sikap-sikap kontemporer kita sendiri terhadap Yesus. Ia tetap adalah, sebagaimana C.S Lewis menyebut-Nya, “seorang pengacau transendental.”[4] Kita gusar terhadap intrusi-intrusi-nya ke dalam privasi kita, tuntutan-Nya atas ketundukan kita, ekspektasi-Nya atas ketaatan kita. Mengapa ia tidak bisa mengurus urasan-Nya sendiri, kita bertanya dengan jengkel, dan membiarkan kita? Untuk hal itu Ia langsung menjawab bahwa kitalah urusan-Nya dan bahwa Ia tidak akan pernah membiarkan kita. Jadi kita juga melihat Dia sebagai pesaing yang mengancam, yang mengganggu ketenangan kita, menunggangbalikkan status quo kita, melemahkan otoritas kita, dan melenyapkan penghargaan diri kita. Kita pun ingin mengenyahkan Dia.[5]
Sekali lagi, apakah anda merasa diganggu juga oleh Yesus?

Selanjutnya, Yudas juga terlibat dalam kasus ini. Yudas adalah bendahara dari kelompok para rasul, karena ia telah dipercaya untuk mengurus keuangan mereka. Dalam Yohanes 12:1-8 diceritakan mengenai diurapinya Yesus oleh Maria dari Betania. Pengurapan kaki Yesus yang dilakukan oleh Maria ini diceritakan oleh Yohanes sebagai berikut: “Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu” (ay. 3). Ini merupakan bentuk pelayanan Maria yang luar biasa, yang belakangan disebut Yesus sebagai ‘suatu perbuatan yang baik’ (lihat Mat. 26:10; Mrk. 14:6). Tetapi ketika Yudas Iskariot melihat hal itu, maka ia berkomentar layaknya sebagai seorang penasehat, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (ay. 5). Apa yang ada di balik pernyataan Yudas ini? Apakah ia benar-benar peduli dengan orang miskin? Yohanes sang rasul menuliskan jawabannya demikian, “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (ay. 6). Akhirnya, kita dapat melihat topeng kemunafikan Yudas dan siapa dia sesungguhnya.

John Stott berpendapat bahwa “Setelah menyaksikan dan mengkritik apa yang dilihatnya sebagai pemborosan yang tidak bertanggung jawab oleh maria, ia (Yudas Iskariot) sepertinya langsung mendatangi para imam untuk menebus sebagian kerugian itu.”[6] Hal ini sesuai dengan Matius 26:14-15: “Kemudian pergilah seorang dari kedua belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. Ia berkata: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya.” Stott menambahkan bahwa, “Para penulis Kitab-Kitab Injil, dengan pengertian mereka tentang drama yang memuncak ini dengan cermat mengontraskan Maria dan Yudas, kemurahan Maria yang sama sekali tidak perhitungan dengan tawar-menawar Yudas yang dikalkulasi secara dingin. Kita hanya bisa menebak hasrat-hasrat gelap lain yang sedang menggelegak di dalam hatinya, tetapi Yohanes menegaskan bahwa ketamakan akan uanglah yang akhirnya menguasai dirinya. Digusarkan oleh pemborosan upah kerja selama setahun, ia pergi dan menjual Yesus dengan harga yang hampir tidak mencapai sepertiga dari jumlah itu.”[7] Jadi jelaslah bahwa ketamakanlah yang membuat Yudas menyerahkan Yesus kepada imam-imam kepala. Yudas memilih uang.

Maka dari semua ini, kita bisa menyimpulkan bersama John Stott bahwa, “Pertama, Yudas ‘menyerahkan Dia’ kepada para imam (karena ketamakan). Selanjutnya, para imam ‘menyerahkan Dia’ kepada Pilatus (karena dengki [iri]). Selanjutnya Pilatus ‘menyerahkan Dia’ kepada para tentara (karena ia adalah seorang pengecut), dan mereka menyalibkan Dia.”[8]

Adalah mudah untuk menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada orang-orang di atas. Tetapi selanjutnya, seperti pengamatan John Stott, “Yang lebih penting lagi, kita sendiri juga bersalah.”[9] Jika kita memaknai bahwa kematian Kristus itu untuk menggantikan kita (Yesaya 53:2-5; Roma 5:8), maka kita tidak susah untuk melihat bahwa secara teologis, kita juga hadir pada saat penyaliban Yesus. Kita hadir disana
Bukan sebagai para penonton, tetapi sebagai para partisipan, para partisipan yang bersalah, yang berkomplot, merencanakan, mengkhianati, melainkan tawar-menawar, dan menyerahkan Dia untuk disalibkan. Kita mungkin berusaha mencuci tangan kita yang bertanggung jawab seperti Pilatus. Tetapi usaha kita akan sesia-sia usahanya. Sebab tangan kita ternoda darah. Sebelum kita bisa mulai melihat salib sebagai sesuatu yang dilakukan untuk kita (yang memimpin kita kepada iman dan penyembahan), kita harus melihatnya sebagai sesuatu yang dilakukan oleh kita (yang memimpin kita pada pertobatan).[10]
Stott juga mengutip Peter Green yang menyatakan, “hanya orang yang siap mengakui bagiannya sendiri di dalam kesalahan atas salib, yang boleh mengklaim bagiannya di dalam anugerah salib.”[11] Horatius Bonar (1808-89) juga dikutip oleh Stott. Bonar dalam sebuah himnenya menyatakan:
“Akulah yang menumpahkan darah yang kudus itu;
Aku memakukan Dia di tiang;
Aku menyalibkan Sang Kristus dari Allah;
Aku ikut mengolok-olok

Di antara semua orang banyak yang berteriak itu
Aku merasa bahwa aku adalah salah satunya;
Dan di dalam hingar bingar suara-suara yang kasar itu
Aku mengenali suaraku sendiri.

Di sekeliling salib, aku melihat orang banyak itu,
Sedang mengolok-olok erangan Dia yang menderita;
Namun tetap saja sepertinya itu adalah suaraku,
Seolah-olah hanya aku sendiri yang mengolok-olok.[12]
Sejauh ini kita telah menelusuri dengan singkat siapa-siapa yang bertanggung jawab dalam kematian Kristus. Ada para prajurit, Pilatus, orang Yahudi dan imam mereka, Yudas Iskariot, bahkan kita telah melihat bahwa kita sendiri pun termasuk di dalamnya.

Tetapi kalau kita mencermati data-data Perjanjian Baru mengenai kematian Kristus, kita akan mendapati juga bahwa sebenarnya, Yesus sendiri yang membawa dirinya kepada penyaliban itu. Ia berulang kali menubuatkan bahwa Dia akan mengalami penderitaan dan kematian (Mark. 8:31-32; 9:31). Kata-kata-Nya yang lebih eksplisit dalam hal ini misalnya diungkapkannya dalam Yohanes 10:11, 17-18. Semua ini menunjukkan bahwa Ia menyerahkan dirinya pada kematian dengan sukarela bukan dengan paksaan (bdk. mis. Gal. 2:20). Bapa juga menyerahkan Anak-Nya Yesus Kristus untuk mati dengan tujuan menebus dan mendamaikan Allah dengan manusia. Ini misalnya terlihat dalam ayat terkenal Yohanes 3:16; Roma 8:32, dan sebagainya. Ini berarti bahwa salib bukan kecelakaan yang akhirnya dipakai Allah sebagai jalan penebusan dan pendamaian antara Allah dan manusia. Tidak. Salib adalah rancangan Allah sendiri. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Octavianus Winslow, “Siapakah yang menyerahkan Yesus untuk mati? Bukan Yudas, karena uang; bukan pilatus karena dengki; - tetapi Bapa, karena kasih!”[13]

Inilah misteri salib. Di satu sisi kita melihat bahwa Yesus disalibkan oleh orang-orang durhaka, tetapi disisi lain Ia menyerahkan diri-Nya sendiri secara sukarela, demikian juga Bapa menyerahkan Anak-Nya untuk keselamatan kita. Lalu apakah ini semua kontradiksi? Tidak sama sekali! Kedua aspek ini – kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia – tetap dipertahankan dalam Alkitab, dan tidak pernah mendamaikannya. Mari kita melihat beberapa ayat mengenai hal ini.

Dalam Kis. 2:23, tertulis, “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.” Perhatikan bahwa kata-kata “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya,” itu menunjuk pada aspek kedaulatan Allah. Sedangkan kata-kata, “kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka,” menunjuk pada aspek kebebasan dan tanggung jawab manusia.

Juga dalam Kis. 4:27-28 dinyatakan, “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.” Lagi-lagi perhatikan bahwa dalam ayat 27, Petrus menekankan kebebasan dan tanggung jawab manusia, tetapi dalam ayat 28, Petrus menekankan kedaulatan Allah ketika ia berkata, “untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.”

Contoh klasik mengenai hal ini juga terlihat dalam Lukas 22:22, “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!” Perhatikan bahwa kata-kata, “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan,” menunjuk pada kedaulatan Allah, tetapi kata-kata “celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!” menunjuk pada aspek kebebasan dan tanggung jawab manusia. 

Dari 3 ayat di atas, kita melihat bahwa kedua aspek ini tetap dipertahankan tanpa pernah mengecam kedua hal itu sebagai kontradiksi, dan juga tidak pernah berusaha untuk mendamaikan keduanya. John Stott menyimpulkan hal ini dengan baik dalam kata-katanya berikut ini:
Penting sekali untuk menyatukan kedua cara pandang terhadap salib yang saling melengkapi ini. di level manusia, Yudas menyerahkan Dia kepada para imam, yang menyerahkan Dia kepada Pilatus, yang menyerahkan dia kepada para prajurit, yang menyalibkan Dia. Tetapi di level ilahi, Bapa menyerahkan Dia, dan Dia menyerahkan diri-Nya, untuk mati bagi kita. Maka ketika kita memandang salib, kita bisa berkata kepada diri kita, ‘Aku yang melakukannya, dosa-dosaku mengirim-Nya ke sana,’ sekaligus ‘Ia yang melakukannya, kasih-Nya membawa-Nya ke sana.’ Rasul Petrus menyatukan kedua kebenaran ini di dalam pernyataannya yang mengagumkan pada hari Pentakosta, bahwa “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya,” sekaligus bahwa “telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka” [Kis. 2:23]. Dengan demikian, Petrus secara bersamaan menghubungkan kematian Yesus dengan rencana Allah dan kejahatan manusia. Sebab salib, … adalah pembongkaran terhadap kejahatan manusia, dan pada saat yang sama adalah sebuah penyataan akan maksud ilahi untuk mengalahkan kejahatan manusia yang telah dibongkar itu.[14]
Kemudian, Stott menyimpulkan:
saya kembali kepada pertanyaan yang saya ajukan untuk memulainya: mengapa Yesus Kristus mati? Jawaban pertama saya adalah bahwa Ia tidak mati; Ia dibunuh. Meskipun begitu, kini saya harus menyeimbangkan jawaban ini dengan lawannya. Ia tidak dibunuh; Ia mati, menyerahkan diri-Nya secara sukarela untuk melakukan kehendak Bapa-Nya.[15] 

Tuhan memberkati!


[1]John Stott, Salib Kristus (Surabaya: Momentum, 2015), hal. 58. 
[2]Cicero, Against Verres II. v. 64, par. 165, dikutip oleh Stott, Salib Kristus, hal. 27. 
[3]Stott, Salib Kristus, 63.
[4]C.S Lewis, Surprised by Joy (Geoffrey Bles, 1960), hal. 163, dikutip Stott, Salib Kristus, hal. 67. 
[5]Stott, Salib Kristus, hal. 67. 
[6]Stott, Salib Kristus, 70.
[7]Stott, Salib Kristus, 70-71. Stott menunjuk Mat. 26:6-16; Mrk. 14:3-11; Yoh. 12:3-8, dan 13:29.
[8]Stott, Salib Kristus, 72. Stott menunjuk Mat. 26:14-16 (Yudas); 27:18 (para imam); 27:26 (Pilatus).
[9]Stott, Salib Kristus, 73. 
[10]Stott, Salib Kristus, 74.
[11]Peter Green, Watchers by the Cross: Thoughts on the Seven Last Words (Longmans Green, 1934), hal. 17, dikutip Stott, Salib Kristus, hal. 74.
[12]Dalam Stott, Salib Kristus, hal. 74. 
[13]Dikutip oleh Stott, Salib Kristus, hal. 76. 
[14]Stott, Salib Kristus, hal. 76. 
[15]Stott, Salib Kristus, hal. 76.

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...