Sabtu, 16 Maret 2024

MAHATMA GANDHI, IBU YANG SEKARAT, DAN YESUS YANG TAK BERGUNA

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya pernah ikuti semacam perkumpulan kelompok baca Alkitab dan kegiatan nyanyi dengan lirik ayat-ayat Alkitab beberapa tahun lalu. Saya menikmati perjalanan waktu itu dengan teman-teman.

Tentunya banyak momen yang unforgettable yang membekas dalam ingatan. Tetapi hari ini saya teringat tentang kata-kata pemimpin perkumpulan kami waktu itu kala sedang membahas sesuatu. Saya lupa konteksnya ketika ia akhirnya berbicara tentang seorang tokoh terkenal dari India: Mahatma Gandhi.

Tentang Mahatma Gandhi, ia berkomentar kira-kira begini: "Kalau Mahatma Gandhi sekarang ada di Sorga, saya tidak heran." Walaupun dia kelihatan agak agnostik terhadap hal itu, tetapi nampaknya ia membuka peluang untuk itu sehingga jika itu yang terjadi, ia - sekali lagi "tidak heran."

Nampaknya, ia berbicara hal itu karena Gandhi sebagai seorang tokoh terkenal nampaknya sangat "menghormati" Yesus.

Dalam bukunya yang berjudul The Incomparable Christ (Kristus yang Tiada Tara), John Stott memang memberikan sebuah penjelasan singkat bahwa Gandhi memang sangat menyanjung moral dan ajaran etika Yesus, khususnya Khotbah di Bukit (Sermon on the Mount).

Masalahnya, Gandhi tak pernah percaya bahwa Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati, atau sebagai korban substitute untuk penebusan bagi manusia berdosa, sebagaimana yang dipercaya oleh Gereja di segala abad. Dan memang Gandhi bukanlah seorang Kristen.

Jadi, Gandhi hanya menyanjung moral dan etika Yesus, dan ia ingin supaya Yesus menjadi teladan dalam menjalani hidup.

Setelah mengetahui informasi ini, saya bertanya dalam hati, "Lalu apa jaminan bahwa Mahatma Gandhi berpeluang ada di Sorga, seperti khayalan pemimpin perkumpulan kami tadi?"

Bagi saya, manusia yang tidak mempercayai bahwa Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati, atau sebagai korban substitute untuk penebusan bagi manusia berdosa, tidak akan pernah berada dalam Sorga.

Kepercayaan bahwa Yesus adalah tokoh moral yang baik tidak menyelamatkan. Yesus yang menyelamatkan adalah Yesus yang Ilahi dan Manusia. Yesus yang menyelamatkan adalah Yesus yang menanggung semua hukuman dosa kita di atas kayu salib. Yesus yang menyelamatkan adalah Yesus yang tujuan kematian-Nya adalah untuk menggantikan posisi kita sebagai orang terhukum. Dan yang kemudian bangkit untuk meneguhkan bahwa misi-Nya telah selesai.

Sayangnya Gandhi, tak mempercayai hal-hal itu. Jadi, pada analisis terakhir, jika Gandi diharapkan masuk surga seperti khayalan pemimpin perkumpulan kami yang saya ceritakan sebelumnya, maka yang membuatnya masuk surga adalah perbuatan baik dan bukan karna karya penebusan Yesus. Dan ini jelas bertentangan dengan seluruh Alkitab yang menegaskan bahwa hanya melalui korban penggantian Kristuslah kita diselamatkan. "Satu-satunya" kata William Temple, "yang aku sumbangkan dalam penebusanku adalah dosa yang darinya aku perlu ditebus."

Jika Kristus hanya sekadar dianggap teladan moral yang baik tetapi bukan Juruselamat, maka Kristus yang seperti itu tidak berguna sama sekali. Dan itu bukan Kristus dalam Alkitab.

Saya ingat pernah membaca sebuah cerita dalam buku yang berjudul The Supremacy of Christ (Supremasi Kristus) karya Ajith Fernando, seorang teolog Injili dari Srilanka. Ia menceritakan tentang seorang ibu yang sedang sekarat dan waktunya tidak akan lama lagi. Ia akan segera meninggal. Anaknya, pergi kepada seorang pendeta untuk meminta tolong.

Dalam penggambaran Ajith Fernando, pendeta tersebut adalah seorang penganut teologi liberal yang tidak mempercayai eksistensi mujizat, tidak mempercayai kematian Yesus sebagai korban pengganti (substitute) untuk penebusan dosa manusia, dan doktrin-doktrin esensial Kekristenan lainnya. Mengenai Yesus, pendeta tersebut hanya menganggapnya sebagai guru moral yang baik. Tak lebih dari itu.

Saat pendeta itu sampai di rumah, ia melihat ibu itu sedang sekarat. Dengan sisa tenaga, ibu itu berbicara kepada pendeta tersebut bahwa mungkin sebentar lagi dia akan meninggal. Ia meminta pendeta tersebut menceritakan kepadanya penghiburan dan jalan keselamatan. Karna waktunya tak lama lagi.

Pada saat yang genting seperti itu, apakah Anda tahu yang diceritakan pendeta itu? Ia menceritakan tentang Yesus yang agung yang memberikan teladan bagi manusia untuk hidup dalam kasih dan kebaikan. Hanya itu.

Menyadari bahwa kata-kata pendeta itu tidak berguna, ibu itu berkata bahwa hal itu tidak berguna baginya, sebab ia tidak bisa lagi melakukan kebaikan dan meneladani Kristus. Waktunya hampir habis. Ia tak membutuhkan Kristus yang hanya menjadi teladan. Ia mendesak bahwa ia ingin diselamatkan dari api neraka.

Pada saat itu, pendeta itu akhirnya menceritakan iman masa kecilnya yang diajarkan oleh ibunya, bahwa Kristus adalah jalan keselamatan itu. Dia mati menggantikan kita di atas kayu salib. Dan jika kita percaya kepada-Nya, kita akan diselamatkan.

Setelah mendengar itu, ibu yang sekarat itu merasa terhibur dalam menghadapi kematian. Pendeta tersebut menangis, karna ia baru saja membawa ibu itu dalam jalan keselamatan. Dan bukan hanya itu, ia juga membawa dirinya kembali dalam iman yang dulu diajarkan oleh ibunya, tetapi yang sempat ia lupakan.

Kristus yang hanya sekadar guru moral tidak berguna bagi seorang ibu yang sekarat. Demikian juga bagi kita. Ibu itu, dan kita semua membutuhkan Kristus sang Juruselamat Penebus dosa.

Sekarang, jujur saja, jika pemimpin perkumpulan kami yang saya ceritakan di awal berkata bahwa ia " tidak heran" jika Mahatma Gandhi masuk surga, maka saya sebaliknya "amat heran" jika itu terjadi.

JUST THE WAY YOU ARE (KAMU APA ADANYA)

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya suka dengar lagu-lagu Bruno Mars. Salah satu lagunya yang sangat terkenal berjudul Just the Way You Are. Lagu ini menceritakan tentang seseorang yang memuji kekasihnya yang cantik parasnya, senyumnya yang menawan, dan lain sebagainya.

Semua itu tanpa polesan, semua itu apa adanya. Sesuai dengan judulnya Just the Way You Are (Kamu Apa Adanya).

Bruno Mars benar, wanita itu cantik ketika ia tanpa dandanan - apa adanya (anda bisa berbeda pendapat dengan Saya dalam hal ini).

Hidup juga lebih indah jika apa adanya, tanpa topeng yang kerap menipu banyak mata. Terkadang hidup banyak orang kerap dibungkus oleh topeng berlapis. Entah itu karena malu atau gengsi, atau ingin "diakui."

Kita kadang-kadang diatur oleh orang lain secara tidak langsung. Melalui pakaian kita. Melalui hobby kita. Keuangan kita. Makanan kita. Dan lain sebagainya. Kita membeli pakaian tertentu supaya orang tahu kita mampu. Atau apalah. Kita makan makanan tertentu supaya orang mengagumi gaya hidup kita. Dan kadang kita terpaksa melakukannya, untuk menjaga muka. Menjaga status quo kita.

Saat kita terperangkap dalam situasi seperti itu, kita sebenarnya sedang melayani keinginan orang lain. Kita diatur oleh orang lain. Dan saat itu juga kita tidak menjadi diri kita apa adanya. Kita sedang bertopeng.

Ini tak berarti kita tak pernah boleh mewah sedikitpun. Bukan itu maksudnya. Yang salah adalah adalah ketika kita terpaksa menjalankan hidup dalam hal tertentu demi 'mata' orang lain.

Hidup adalah anugerah yang perlu kita syukuri. Dan Allah tak ingin kita hidup dalam topeng keterpaksaan, demi kemormatan, demi pujian, dan lain sebagainya.

Allah ingin kita hidup apa adanya sesuai dengan kemampuan dan karunia yang Ia berikan. Sebagaimana tertuang dalam sebuah doa yang indah berikut ini: "Berikanku kebijaksanaan untuk mengubah yang dapat diubah, berikanku kepekaan untuk mensyukuri apa yang tak dapat diubah, dan berikanku kearifan untuk membedakan keduanya!"

Just the way you are. Itu lebih indah.

GELAR DAN KUALITAS: KRITIK TERHADAP KALIAN YANG BANYAK GELAR TETAPI TAK BERKUALITAS (SOK BERKUALITAS)

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya mengingat tentang Charles Haddon Spurgeon. Saya mengingat tentang Charles Hodge. Mereka berdua adalah raksasa-raksasa teologi Reformed. Bedanya Hodge menempuh pendidikan Teologi Akademis yang formal yang membawanya pada kursi profesor Teologi Sistematika. Sedangkan Spurgeon tidak menempuh pendidikan Teologi formal. Spurgeon belajar sendiri di perpustakaannya yang memiliki ribuan koleksi buku. Tetapi baik kualitas Hodge dan Spurgeon tidak pernah diragukan dalam dunia teologi.

Berbeda dengan kedua tokoh di atas, saat ini, banyak orang yang tidak memiliki kualitas apapun dalam dunia teologi. Entah orang itu bergelar ataupun tidak. Saat ini gelar-gelar yang panjang tidak pernah bisa menjadi jaminan tentang kualitas seseorang. Meskipun mereka berkoar-koar kayak harimau.

Saya mengenal beberapa orang yang mengajar di STT, mempunyai gelar yang cukup banyak, tapi kualitasnya di bawah standar. Bahkan otaknya gak nyambung sama sekali dengan dunia teologi. Mereka lebih nyambung kalau berbicara masalah politik dan hukum.

Ada yang kelihatan pinter karna sok-sok-an padahal sebenarnya goblok juga. Tapi karna bergelar banyak, dan mungkin karena ngomongnya "lucu-lucu" maka dianggap pinter.

Intinya banyak yang bergelar dalam dunia teologi tidak berkualitas sama sekali.

Sebaliknya, banyak orang yang baru tamat dari sekolah teologi mempunyai kualitas yang luar biasa. Tetapi orang-orang ini biasanya tak dianggap. Meskipun mereka pintar dan berkualitas, mereka tidak diperhitungkan karena tak bergelar banyak.

Apa yang dilihat orang sekarang adalah kulit bukan isi. Gelar bukan kualitas. Dan banyak orang yang tertipu oleh hal itu.

Saya pernah menulis mengenai hal ini di Facebook beberapa waktu yang lalu. Tulisan itu saya tulis setelah menonton kuliah klasik dari R.C. Sproul berjudul "Contradiction vs. Mystery: The Mystery of the Trinity."

Sproul dalam kuliah itu menceritakan tentang seorang profesor yang suatu kali dalam kelas yang diikuti oleh Sproul membuat pernyataan demikian, "God is absolutely immutable in His essence, and God is absolutely mutable in His essence" (Allah secara absolut tidak berubah dalam esensi-Nya, dan Allah secara absolut berubah dalam esensi-Nya).

Sproul berkata bahwa di antara para mahasiswa yang mendengar hal itu, banyak yang menganggap bahwa pernyataan profesor tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa. "That's deep" (Itu mendalam), kata para mahasiswa tersebut.

Tetapi bagi Sproul sendiri, kata-kata profesor tersebut adalah kata-kata yang berkontradiksi, tidak benar dan nonsense. Sproul berkata, "That's nuts. That's whacky" (Itu gila. Itu sinting).

Sproul benar. Karena Allah tidak mungkin absolutely immutable in His essence (secara absolut tidak berubah dalam esensi-Nya) dan absolutely mutable in His essence (secara absolut berubah dalam esensi-Nya) pada saat yang sama.

Pernyataan profesor itu jelas melanggar hukum non-kontradiksi yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: A bukan A dan Non-A pada saat yang sama dan dalam relasi yang sama. Demikian juga, Allah tidak bisa memiliki sifat yang tidak berubah dan sifat yang berubah pada saat yang sama dan dalam relasi yang sama. Itu adalah kontradiksi.

Lalu kenapa tetap saja ada orang yang menganggap bahwa pernyataan profesor itu sebagai sesuatu yang luar biasa dan mendalam, padahal itu jelas pernyataan yang kontradiksi?

Sproul mengatakan bahwa, "...if you have enough education and a position of authority in the academic world, you can make nonsense statements and have people walk away impressed by how profound you are."

Terjemahannya sebagai berikut, "...jika Anda memiliki pendidikan yang cukup dan posisi yang berotoritas dalam dunia akademik, Anda dapat membuat pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal [omong kosong] dan membuat orang-orang terkesan oleh betapa dalamnya [pemikiran] Anda."

Kata-kata Sproul ini memang tidak bisa dimutlakkan. Tetapi bagaimana pun, kejadian seperti ini banyak terjadi. Orang-orang yang memiliki kedudukan tertentu, jabatan tertentu seringkali menyatakan banyak omong kosong dan bahkan menyatakan hal-hal yang kontradiksi dan tak masuk akal (absurd), tetapi tetap saja banyak orang yang menyanjung mereka.

Ini jelas bahaya. Dan dalam dunia teologi orang-orang seperti itu banyak.

Saran saya, jangan hanya gara-gara kedudukan akademis, gelar yang mentereng, maka kita menganggap bahwa kata-kata seseorang itu pasti benar.

Gelar akademik, kedudukan akademik tidak menjamin seseorang mengajarkan hal yang benar. Ujilah segala sesuatu dengan Alkitab, dan jangan lupa juga gunakan selalu akal sehat.

"Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik" (1 Tesalonika 5:21).

HIDUP: DATANG SEPOTONG DEMI SEPOTONG

Oleh: Join Kristian Zendrato

Pernah nonton film action atau perang produksi Hollywood? Apapun filmnya, kita sering melihat segala sesuatu terbalik pada akhirnya. Yang awalnya menangis, di akhir bahagia. Yang awalnya diremehkan, di akhir menjadi pahlawan. Kadang-kadang kita kaget ketika melihat akhirnya. Endingnya kadang "out of our mind."

Kehidupan yang kita jalani juga demikian, kita kadang kaget dengan segala sesuatu yang kita alami. Itulah hidup. Tak bisa ditebak. Dan kadang-kadang semua bisa terjadi berbeda dari apa yang kita harapkan.

Hidup itu seperti film yang endingnya bisa terbalik. Seperti film, apa yang kita lihat saat ini belum tentu akhirnya. Bisa saja ini baru menit pertama dalam sebuah film.

Kita baru melihat sebuah potongan. Dan kita tidak boleh menyimpulkan segala sesuatu berdasarkan satu potongan itu. Hari ini hidup menampilkan satu potongan, dan besok potongan yang lain. Potongan selanjutnya tak ada yang tau. Itulah sebabnya Amsal kuno berkata, "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu" (Amsal 27:1).

Hidup itu datang sepotong demi sepotong. Hari ini mungkin kelihatan menang, dipuja, disanjung, ditinggikan, bahagia. Tapi ingatlah, itu hanya potongan kecil dari seluruh rangkaian kehidupan. Itu belum akhirnya.

Demikian juga, hari ini mungkin direndahkan, tak diacuhkan, tak dihargai, kalah, dan sebagainya. Tapi ingatlah juga, ini baru sepotong cerita kehidupan.

Semua bisa terbalik pada akhirnya. Seperti film-film Hollywood.

Selamat menikmati hidup yang datang sepotong demi sepotong. Selamat menikmati hari-hari yang menakjubkan, dan kadang penuh misteri.

Hanya Allah Tritunggal yang tahu akhir dari segala sesuatu, sedangkan kita - untuk hari ini - hanya mengetahui sepotong cerita kehidupan kita.

Selamat sore. Jangan lupa minum air putih!

YESUS ABAD PERTAMA VS ISA ABAD KETUJUH

Oleh: Join Kristian Zendrato

Isa merupakan potret alternatif mengenai Yesus. Isa digambarkan berbeda secara radikal dengan Yesus dalam Alkitab.

Misalnya, Isa digambarkan sebagai nabi atau utusan Allah. Sedangkan Yesus dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru digambarkan sebagai sosok Ilahi yang berinkarnasi menjadi manusia (bdk. Yoh. 1:14).

Dan karena dua penggambaran itu berbeda secara radikal, maka sesuai dengan hukum non kontradiksi, tidak mungkin kedua gambaran itu sama-sama benar.

Mana yang lebih bisa dipercaya? Pertimbangkan dua hal berikut ini:

Pertama. Seluruh dokumen-dokumen PB ditulis dan selesai pada abad pertama. Jadi, PB ditulis dekat TKP, ditulis oleh saksi mata atau orang yang masih bisa bertemu dengan saksi mata.

Kedua. Berbeda dengan itu, Isa diceritakan dan dikisahkan jauh sesudah dokumen-dokumen PB (abad ke 7). Jauh dari TKP (di padang gurun tergersang di dunia). Dan tidak berhubungan dengan saksi mata mana pun.

Sekarang pikirkan, yang mana yang lebih bisa dipercaya mengenai potret Yesus? Perjanjian Baru atau dokumen abad ke 7?

Gue sih lebih percaya dokumen-dokumen Perjanjian Baru. Loe gimana?

Rabu, 13 Maret 2024

CATATAN SINGKAT TENTANG KONSEP "TAK ADA YANG MUSTAHIL BAGI TUHAN."

Oleh: Join Kristian Zendrato

Kita tentunya sering mendengar istilah "tidak ada yang mustahil bagi Tuhan." Alkitab sendiri mengakui hal ini (Lukas 1:37).

Dan ketika orang-orang Kristen mengatakan hal ini, mereka sering memaksudkan bahwa Allah bisa melakukan apapun.

Tetapi, hal ini sebenarnya bisa menyesatkan jika tidak dipahami dengan baik. Sebab banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh Tuhan: Dia tak bisa berdusta, tak bisa menjadi terbatas, dsb.

Maka dalam hal ini, ketika kita berbicara mengenai "tidak ada yang mustahil bagi Tuhan" maka ini harus dibatasi oleh sifat-sifat Allah. Artinya Allah mustahil melawan Sifat-sifat-Nya. Dia tidak bisa melakukan sesuatu bertentangan dengan sifat-Nya.

Allah mustahil berbuat dosa, karena Dia kudus. Allah mustahil terkejut, karena Ia mahatahu, dlsb.

POSTMODERNISME: SEBUAH WORLD VIEW (WAWASAN DUNIA) GOBLOK YANG ABSURD TAPI POPULER

Oleh: Join Kristian Zendrato

Inti dari wawasan dunia (world view) Postmodernisme yang sedang menjamur saat ini, meminjam istilah yang dipopulerkan oleh filsuf asal Perancis Jean-Francois Lyotard adalah, "hilangnya metanarasi." Metanarasi berarti kebenaran objektif, mutlak, dan universal. Dan itulah yang hilang dalam dunia Postmodern.

Implikasinya jelas sangat berbahaya. Jika kebenaran tidak lagi objektif dan universal, maka Anda tidak mempunyai hak untuk mengatakan sesuatu sebagai salah. Semua relatif. Termasuk klaim-klaim teologis.

Setiap klaim-klaim teologis dianggap hanya berlaku pada tempat dan konteks dimana klaim itu diajarkan. Klaim teologis Anda hanya berlaku untuk Anda. Dan setiap klaim teologis sama-sama sah, tidak ada yang salah. Klaim teologis Anda benar untuk Anda, dan klaim teologis Saya benar untuk Saya.

Itulah implikasi yang tak terhindarkan dari relativisme postmodern. Dan suka tidak suka, wawasan dunia seperti ini telah meracuni pemikiran banyak orang Kristen.

Karena itu, tidak heran jika kita sering melihat orang berkata, "Sudahlah, jangan saling menyalahkan ajaran orang lain. Semua ajaran sama-sama benar kok."

Semula, kata-kata seperti di atas kelihatan saleh, tetapi saya akan menunjukkan bahwa kata-kata seperti itu persis menolak dirinya sendiri.

Pertama-tama, mengenai wawasan dunia Postmodern yang menolak kebenaran absolut, saya melihat bahwa wawasan dunia seperti itu tidak bisa berdiri. Sebab, wawasan dunia Postmodern itu sendiri mengusung sesuatu yang mutlak. Postmodern jelas menganggap bahwa pandangan postmodernlah yang seharusnya diikuti oleh semua orang. Dan dengan demikian, Postmodernisme sebenarnya mempresuposisikan sesuatu yang ditolaknya: kebenaran yang objektif, mutlak, dan universal.

Kedua. Jika segala sesuatu relatif maka, pernyataan yang menegaskan hal itu juga harus relatif. Dan jika relatif diartikan sebagai sesuatu yang tidak berlaku mutlak dan universal, tetapi hanya berlaku dalam konteks tertentu, maka klaim itu sendiri harus dianggap hanya berlaku dalam konteks di mana pernyataan itu muncul. Dan dengan demikian tidak berlaku bagi semua orang.

Ketiga. Jika semua klaim dianggap sama-sama benar (misalnya klaim-klaim teologis), maka konsekuensinya adalah pandangan yang menganggap bahwa "semua klaim itu sama-sama benar" harus menganggap pandangan yang menentang pandangan itu sebagai klaim yang benar. Dan ini jelas goblok.

Untuk lebih jelas, saya akan berikan contoh percakapan imajiner berikut:

Si A: "Semua ajaran sama-sama benar kok."

Join: "Gak ah, kamu salah."

Si A: "Kamu yang salah."

Join: "Lah, kan kamu bilang SEMUA ajaran sama-sama benar. Jadi, kalau saya mengatakan bahwa kamu salah, maka itu juga benar kan? Ingat kamu bilang SEMUA ajaran itu benar. Lalu kenapa gak terima kalau saya mengatakan Anda salah?"

Si A: "?"

Jadi, Anda bisa melihat bahwa jika kebenaran objektif tidak ada, dan semua ajaran sama-sama benar, maka dunia ini penuh dengan kegoblokkan yang masif.

Jaga terus akal sehat, jauhi relativisme Postmodern.

MEDIA SOSIAL SEBAGAI RING TINJU

Oleh: Join Kristian Zendrato

Media sosial telah menjadi sumber informasi yang menguntungkan pada saat ini. Bukan hanya itu, media sosial juga bisa menjadi wadah bagi setiap orang untuk mengekspresikan dirinya dan ide-idenya dalam beragam bentuk: gambar, video, tulisan, dsb.

Hal ini tidak mengecualikan bidang yang saya tekuni: bidang teologi. Anda akan melihat tulisan-tulisan, video-video tentang dunia teologi bertebaran di media sosial. Kita tentunya tidak bisa berharap bahwa semua tulisan dan video tentang teologi di media sosial akan mengusung satu paham teologi yang sama. It is imposible.

Konten-konten dengan paham teologi yang benar dan menyimpang menghiasi media sosial kita. Pengaruhnya bagi banyak orang tentu sangat besar. Kritis adalah pedang yang sangat dibutuhkan dalam menilai setiap konten ini.

Dalam hal ini, media sosial bisa diibaratkan seperti ring tinju yang berfungsi sebagai tempat para petinju bertarung. Bedanya, di ring tinju orang bertarung dengan fisik. Di media sosial orang bertarung dengan gagasan. Di media sosial, kita mempromosikan, dan mempertahankan apa yang kita anggap benar.

Sebagai seorang yang peduli dan menekuni bidang teologi, saya melihat bahwa media sosial merupakan wadah pertarungan antara teologi yang benar dengan teologi yang salah. Antara kebenaran dan kesesatan.

Jika paham-paham teologi yang salah disebarkan dengan masif oleh banyak orang di media sosial, maka tidak bisa tidak, paham teologi yang benar juga harus disebarkan dengan masif. Di mana kesesatan ditaburkan, maka cangkul kebenaran harus disiapkan untuk mencabutnya.

Masalahnya, adakah yang mau bertarung di atas "ring tinju" ini? Jelas, sudah banyak petarung, tetapi rasanya terus kelihatan tidak cukup, sebab lawannya semakin banyak pula.

Ini akan berlangsung lama, dan bibit-bibit baru dibutuhkan untuk bertarung, sebab tak selamanya "para senior" tetap ada.

Semoga Tuhan mengaruniakan petarung-petarung tangguh lebih banyak lagi, dan mengobarkan banyak hati untuk mempertahankan kebenaran Kristus.

EVALUASI TERHADAP UNGKAPAN NIAS "Lö FöKHö NALö HORö"

Oleh: Join Kristian Zendrato

Sebagai orang Nias, entah berapa kali saya mendengar ungkapan "Lö FöKHö NALö HORö" diucapkan, diajarkan, dan diterima sebagai sebuah aksioma oleh hamba Tuhan, mahasiswa teologi, dan orang awam. Ungkapan itu artinya kira-kira begini: "Tak ada penyakit tanpa ada dosa."

Ungkapan di atas sering diungkapkan ketika mereka melihat seseorang sedang mengalami penyakit tertentu. Mereka mengucapkan ungkapan itu dengan anggapan bahwa penyakit yang dialami oleh seseorang adalah akibat langsung dari dosa yang telah dilakukan oleh orang sakit itu. Apalagi kalau penyakit seseorang itu parah, maka mereka menganggap bahwa seseorang itu pasti telah melalukan dosa yang sangat serius.

Apakah anggapan ini benar? Apakah ini sesuai dengan Alkitab?

Pertama-tama, harus diakui bahwa ada penyakit yang memang merupakan hukuman langsung dari Tuhan karena dosa tertentu yang dilakukan oleh seseorang. Salah satu contoh mengenai hal ini adalah Miryam, saudari Harun dan Musa. Dalam Bilangan 12:10 kita membaca tentang Miryam, "Dan ketika awan telah naik dari atas kemah, maka tampaklah Miryam kena kusta, putih seperti salju; ketika Harun berpaling kepada Miryam, maka dilihatnya, bahwa dia kena kusta!"

Kusta adalah salah satu penyakit yang sangat sering muncul dalam Alkitab dan mengerikan. Dan biasanya orang yang mengalami kusta akan dikucilkan (bdk. Bilangan 12:15). Itulah penyakit yang dialami Miryam. Dalam konteks ini, Miryam menderita penyakit ini sebagai hukuman langsung dari Allah akibat tindakannya yang menganggap rendah Musa sebagai hamba Tuhan (lih. Bilangan 12:1-15).

Jadi, dari cerita ini kita memang bisa menyimpulkan bahwa penyakit bisa jadi adalah hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang.

Bahkan Allah bisa menghukum dosa tertentu dengan kematian. Contoh yang terkenal untuk hal ini dalam Perjanjian Lama adalah Korah, Datan, dan Abiram dalam Bilangan 16. Sedangkan contoh dalam Perjanjian Baru adalah Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:1-11).

Tetapi, penyakit tidak boleh dipandang uscue et uscue (selalu dan terus menerus) sebagai hukuman langsung dari Allah atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang. Karena kadang-kadang Allah mengizinkan penyakit terjadi pada anak-anak-Nya bukan sebagai hukuman langsung terhadap dosa. Contohnya Ayub. Ayub digambarkan sebagai seorang yang saleh (Ayub 1:1, 8, 22; 2:3, 10), tetapi Ayub diizinkan Allah mengalami penyakit yang sangat mengerikan (Ayub 2:7) sehingga ia harus "mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu" (Ayub 2:8).

Bahkan kematian yang paling tragis pun tidak serta merta merupakan hukuman Tuhan. Contoh kasus ini adalah Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis adalah hamba Tuhan yang luar biasa setia dalam pelayanan. Tetapi Tuhan mengizinkkan dia masuk penjara (Matius 11:2, Lukas 3:19-20) hingga akhirnya kepalanya dipenggal oleh Herodes (lih. Matius 14:1-12; Markus 6:14-29; Lukas 9:9).

Demikian juga dengan kematian Stefanus yang dirajam batu. Kematian Stefanus bukan merupakan hukuman Tuhan. Stefanus mati sebagai martir yang mempertahankan kebenaran (baca Kisah Rasul pasal 6:8 - pasal 7:60).

Hal ini jelas bertentangan dengan anggapan orang bahwa orang yang mati secara mengenaskan (misalnya dibunuh, kecelakaan, dsb) adalah pasti merupakan orang yang telah melalukan dosa yang sangat serius. Ini jelas tidak selalu benar. Bahkan kadang-kadang orang-orang jahat yang tak bertobat mati secara "baik-baik."

Cara kematian seseorang yang mengerikan tidak selalu mengharuskan bahwa orang itu pasti telah melakukan dosa yang sangat besar. Ada orang-orang yang mati secara mengerikan tetapi akan masuk surga. Dan ada orang-orang yang mati "baik-baik" tetapi akan masuk neraka

Dari semua ini, setidaknya kita bisa menyimpulkan beberapa hal berikut ini. (Anda bisa memikirkan implikasi-implikasi lainnya).

Pertama. Penyakit dan kematian memang kadang-kadang merupakan hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang (contohnya Miryam, Korah, Datan, dan Abiram, Ananias dan Safira).

Kedua. Allah justru kadang-kadang sepertinya membiarkan orang-orang jahat yang tidak bertobat tanpa mendapat hukuman dalam hidup ini. Ingat bahwa orang jahat yang makmur, sukses, hidup enak, dan mati dengan "baik-baik" begitu banyak di dunia ini. Tetapi meskipun demikian, orang-orang ini pasti menghadapi penghakiman Allah dalam neraka, tidak peduli mereka makmur, sukses, kaya pada saat hidup dan mati secara "baik-baik." Saya ulangi sekali lagi kata-kata saya sebelumnya: "Ada orang-orang yang mati secara mengerikan tetapi akan masuk surga. Dan ada orang-orang yang mati "baik-baik" tetapi akan masuk neraka."

Ketiga. Penyakit dan kematian kadang-kadang BUKAN merupakan hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang, melainkan sebagai tindakan kedaulatan Allah di mana Ia mengizinkannya terjadi dengan tujuan yang baik dalam pandangan-Nya (contohnya Ayub, Yohanes Pembaptis, dan Stefanus).

Jadi, kita kembali kepada pertanyaan dibagian awal tulisan ini, "Apakah ungkapan 'Lö FöKHö NALö HORö' (yang artinya 'tak ada penyakit tanpa ada dosa') merupakan ungkapan yang benar?"

Jawabannya: "Ungkapan itu tidak selalu benar." Jadi, jangan sembarangan mengucapkan kalimat itu.

SEBUAH EVALUASI TERHADAP UCAPAN REST IN PEACE (R.I.P)

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya sudah lama ingin menulis mengenai hal ini, tapi baru terealisasi saat ini. Saya menulis ini karena saya melihat di Facebook, banyak orang Kristen yang setiap ada orang meninggal, apapun kepercayaannya, akan menuliskan "Rest In Peace (R.I.P)" sebagai tanda turut berdukacita.

Saya tak masalah kalau kita turut berduka atas kepergian seseorang. Tapi, kenapa perasaan berduka itu harus diungkapkan dengan tulisan "R.I.P"

Rest In Peace artinya adalah Beristirahat Dalam Damai. Damai setelah kematian adalah memasuki surga dan bertemu dengan Tuhan Yesus.

Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa tak semua orang akan pergi ke surga? Orang-orang yang akan pergi ke surga setelah kematian hanyalah orang-orang yang percaya kepada Yesus (Yohanes 3:16).

Sebaliknya orang-orang yang tak percaya kepada Yesus akan ke neraka selama-lamanya. Dan dalam Kitab Wahyu, keadaan ini digambarkan sebagai berikut: "Maka asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas sampai selama-lamanya, dan siang malam mereka tidak henti-hentinya disiksa, yaitu mereka yang menyembah binatang serta patungnya itu, dan barangsiapa yang telah menerima tanda namanya." (Wahyu 14:11).

Perhatikan bahwa dalam teks di atas orang-orang yang akan ke neraka dikatakan mengalami siksaan. Dan "siang malam mereka tidak henti-hentinya disiksa." Ini adalah gambaran yang keras mengenai nasib akhir orang-orang tak percaya kepada Yesus. Gambaran ini tidak menyiratkan peristirahatan dalam damai seperti yang terindikasi dalam ucapan R.I.P.

Dalam cerita yang sangat terkenal mengenai Lazarus dan Orang kaya, kita mendapati orang kaya itu setelah kematiannya masuk ke neraka. Dan mengenai hal itu, Lukas menulis: "Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan... ia menderita sengsara di alam maut." (Lukas 16:23). Gambaran ini juga jelas jauh dari suasana peristirahatan dalam damai.

Semua penjelasan ini seharusnya membuat kita tidak sembarangan menuliskan R.I.P. Orang yang tak mempercayai Yesus sebagai Juruselamatnya satu-satunya(Yohanes 14:6; Kisah Rasul 4:12) tidak akan beristirahat dalam damai setelah ia mati. Ia justru akan menghadapi murka dan hukuman Allah yang membuatnya tak bisa beristirahat selama-lamanya.

Berbahagialah orang yang menaruh pengharapan jiwanya kepada Yesus. Karena hanya mereka yang akan mendapatkan peristirahatan yang damai ketika mereka mati. Alkitab berkata, "Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini." "Sungguh," kata Roh, "supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka." (Wahyu 14:13).

Minggu, 10 Maret 2024

APAKAH ARTINYA DISELAMATKAN MELALUI IMAN, DAN BUKAN MELALUI PERBUATAN BAIK?

Oleh: Join Kristian Zendrato

Kita sering mengasumsikan bahwa orang-orang Kristen telah mengetahui dasar-dasar Kekristenan. Tapi asumsi itu tidak selalu benar. Faktanya banyak sekali orang Kristen yang tak mengerti dasar-dasar iman Kristen. Contohnya adalah kepercayaan bahwa kita diselamatkan hanya melalui iman saja.

Saya sering melihat ucapan-ucapan orang Kristen di Facebook saat melihat seseorang meninggal, tidak jarang saya melihat mereka mengatakan, "Semoga amal ibadah beliau diterima Tuhan," dan ucapan-ucapan yang sejenis. Saya semakin kaget ketika melihat bahwa ucapan inipun dituliskan oleh aktivis-aktivis gereja di Facebook mereka.

Pertanyaannya, apakah ada yang salah dengan ucapan itu? Bagi saya ada. Kata-kata itu mengasumsikan bahwa perbuatan baik (amal ibadah) menjadi jalan supaya seseorang itu diterima Tuhan. Itu asumsi dari ucapan semacam itu. Dengan kata lain mereka berharap supaya perbuatan baik (amal ibadah) seseorang yang baru saja meninggal itu membuatnya diterima Tuhan.

Bukankah ini aneh? Aneh karena orang Kristen sejatinya mengetahui bahwa seseorang diselamatkan melalui iman saja (sola fide) dan bukan melalui perbuatan baik.

Saya menduga bahwa meskipun banyak orang yang mengaku diri Kristen tetapi mereka sama sekali tidak mengerti apa artinya diselamatkan melalui iman saja dan bukan melalui perbuatan baik. Saya pun dulu begitu. Dan untuk orang-orang seperti itulah saya menulis hal ini.

Jadi, apa artinya diselamatkan melalui iman saja?

Untuk menjawab hal ini, kita harus mengetahui kondisi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dalam kitab Roma dinyatakan bahwa, "semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (Roma 3:23).

Kita harus selalu mengingat bahwa dosa mempunyai konsekuensi yaitu murka dan hukuman Allah. Jika seseorang berdosa, maka kekudusan Allah bereaksi terhadap hal itu. Orang berdosa itu harus dihukum Allah, dan hukuman ultimat adalah neraka yang kekal. Itu adalah keadilan Allah.

Jika Allah mau menyelamatkan seseorang, dalam arti tidak menghukumnya dalam neraka karena dosa-dosanya, maka Allah bisa melakukan hal itu hanya setelah Ia menghukum dosa-dosa itu. Masalahnya kalau Ia menghukum dosa-dosa itu, maka tidak ada keselamatan, karena penghukuman terhadap dosa-dosa berlangsung kekal dalam neraka.

Maka Allah telah menetapkan dengan kasih Satu Pengganti yang akan menggantikan posisi orang-orang tertentu untuk menanggung hukuman mereka yaitu hukuman yang jika mereka sendiri yang menanggung akan berlangsung kekal. Dan Alkitab berkata bahwa Pengganti itu adalah Yesus yang adalah Allah sendiri, dan yang kemudian menjadi manusia (Yohanes 1:14) untuk melaksanakan misi penyelamatan melalui penggantian.

Itulah sebabnya dalam Yesaya 53:5 dinyatakan bahwa: "Tetapi dia (Yesus) tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia (Yesus) diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya (Yesus), dan oleh bilur-bilurnya (Yesus) kita menjadi sembuh."

Jadi Yesus tertikam dan diremukkan bukan karena dosa-Nya sendiri, tetapi karena dosa kita. Ia menggantikan kita. Kita yang seharusnya ditikam dan diremukkan, tetapi karena kasih-Nya Ia menggantikan kita mengalami hal itu.

Itulah arti dari kata-kata Yesus bahwa Ia "memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Markus 10:45).

John Stott dalam bukunya yang sangat bagus mengenai karya Kristus The Cross of Christ menyatakan dengan mengutip F. Buchsel bahwa kata-kata "tebusan bagi banyak orang" dalam Markus 10:45 secara harfiah seharusnya "suatu tebusan untuk menggantikan demi banyak orang" (Yunani: antilytron hyper pollen). Jadi, seperti kesimpulan Stott, "Kematian Yesus berarti bahwa pada diri-Nya terjadi apa yang seharusnya terjadi pada diri banyak orang. Karena itu menggantikan mereka" (John Stott, Salib Kristus - The Cross of Christ [Surabaya: Momentum, 2015], hal. 223).

Itulah yang Yesus lakukan bagi kita umat-Nya. Ia menggantikan kita untuk menanggung hukuman yang seharusnya kita tanggung. Penulis surat Ibrani menuliskan sebagai berikut:

"... dan Ia telah masuk satu kali untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri. Dan dengan itu Ia telah mendapat kelepasan yang kekal. ... Dan Ia bukan masuk untuk berulang-ulang mempersembahkan diri-Nya sendiri, sebagaimana Imam Besar setiap tahun masuk ke dalam tempat kudus dengan darah yang bukan darahnya sendiri. Sebab jika demikian Ia harus berulang-ulang menderita sejak dunia ini dijadikan. Tetapi sekarang Ia hanya satu kali saja menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya. ... Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia" ( Ibrani 9:12, 25, 26, 28).

Mungkin dipertanyakan bagaimana mungkin Yesus bisa menanggung hukuman kita dalam neraka hanya beberapa jam di atas salib? Jawaban saya: karena kebesaran Kristus. Ini bisa diilustrasikan seperti seorang ayah yang menggantikan anaknya yang berumur 10 tahun untuk memindahkan karung-karung berisi pasir dari tepi laut ke rumah mereka. Jika anak itu misalnya diharuskan memindahkan 20 karung, maka itu bisa memakan waktu berminggu-minggu jika anak itu yang melakukannya. Tetapi jika ayahnya menggantikannya, pekerjaan itu bisa saja selesai hanya dalam beberapa jam saja. Itu dikarenakan "kebesaran" ayahnya. Demikian juga Kristus yang adalah Allah dan Manusia, dengan kebesaran-Nya mampu menanggung semua hukuman dosa umat-Nya tanpa tersisa sedikitpun melalui kematian-Nya di atas salib.

Ya, Dia menanggung semua hukuman dosa umat-Nya tanpa tersisa sedikitpun. Jika sampai ada sisa hukuman yang tak ditanggung-Nya maka Ia bukan Juruselamat yang sempurna. Tetapi puji Tuhan, Dia telah menanggung semua hukuman itu tanpa tersisa sedikitpun. Sehingga, "Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus" (Roma 8:1).

Inilah fondasi dan satu-satunya sumber keselamatan. Inilah yang membuat keselamatan hanya bisa didapatkan berdasarkan karya Yesus, tidak ada dasar yang lain (Yohanes 14:6; Kisah Para Rasul 4:12).

Pada hari yang ketiga, Yesus bangkit dari kematian untuk meneguhkan bahwa misi penyelamatannya itu berhasil.

Nah jika kita percaya (beriman) kepada Yesus yang telah menggantikan kita seperti yang telah saya jelaskan di atas, maka kita diselamatkan. Itulah artinya diselamatkan melalui iman saja bukan karena perbuatan baik kita (Yohanes 3:16). Paulus menulis: "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri" (Efesus 2:8-9).

Jadi, perbuatan baik kita sama sekali tidak mempunyai sumbangsih dalam keselamatan kita. Semua telah digenapi oleh Yesus di kayu salib yang kasar, dan diteguhkan oleh kebangkitan-Nya dari kematian.

Jika kita masih mengandalkan perbuatan baik kita untuk keselamatan kita, maka itu adalah penghinaan, penghujatan terhadap karya Kristus yang sempurna. Tidak, perbuatan baik tidak pernah punya andil secuilpun dalam pemerolehan keselamatan kita.

"Satu-satunya" kata William Temple, "yang aku sumbangkan dalam penebusanku adalah dosa yang darinya aku perlu ditebus."

Jadi, jika Anda mau diselamatkan segeralah datang dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagi Juruselamat satu-satunya, jangan tunggu besok, karena besok mungkin sudah terlambat. "Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan" (Roma 10:9-10).

Anda mungkin bertanya, "Lalu apakah guna perbuatan baik?" Singkat saja, perbuatan baik adalah hasil dari keselamatan, bukan penyebab keselamatan. Jadi perbuatan baik berguna sebagai tanda bahwa kita telah diselamatkan, bukan untuk menyelamatkan kita.

Di awal tulisan ini, saya telah menyinggung mengenai ucapan kebanyakan orang Kristen di Facebook saat seseorang meninggal: "Semoga amal ibadah beliau diterima Tuhan." Nah, setelah menjelaskan banyak hal di atas, maka ucapan itu adalah ucapan yang sesat dan tidak Alkitabiah, karena mengasumsikan perbuatan baik sebagai jalan atau cara supaya seseorang diterima Tuhan.

Jadi, Anda tidak perlu mengucapkan atau menulis seperti itu lagi. Anda cukup berkata, "Turut berdukacita."

Soli Deo Gloria

APAKAH YEREMIA 7:31 BERTENTANGAN DENGAN DOKTRIN CALVINISME MENGENAI PENETAPAN ALLAH ATAS TERJADINYA DOSA? SEBUAH JAWABAN TERHADAP ARMINIANISME DAN GBIA GRAPHE!

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya melihat di Facebook banyak orang Arminian yang tidak menyetujui salah satu ajaran Calvinisme (Reformed) yakni tentang penetapan Allah atas segala sesuatu termasuk dosa, terus menerus menggunakan Yeremia 7:31 untuk menolak ajaran Calvinisme tersebut. Bahkan seseorang dari GBIA Graphe menyebut ayat ini sebagai ayat yang ditakuti oleh Calvinisme.

Yeremia 7:31 tersebut berbunyi demikian: "Mereka telah mendirikan bukit pengorbanan yang bernama Tofet di Lembah Ben-Hinom untuk membakar anak-anaknya lelaki dan perempuan, suatu hal yang tidak pernah Kuperintahkan dan yang tidak pernah timbul dalam hati-Ku."

Nah, berdasarkan ayat ini, orang-orang Arminian berkata bahwa karna tindakan pembakaran anak-anak sebagai korban (yang adalah dosa) tidak pernah diperintahkan Tuhan dan tidak pernah timbul dalam hati Tuhan, maka Tuhan pasti tidak menetapkan terjadinya dosa seperti ajaran Calvinisme.

Apakah benar demikian? Apakah benar bahwa Yeremia 7:31 ini bertentangan dengan ajaran Calvinisme tentang penetapan Allah atas segala sesuatu termasuk dosa?

Sebelum menjawab hal ini, ada baiknya saya menjelaskan sedikit mengenai ajaran bahwa Allah menetapkan segala sesuatu termasuk dosa.

Calvinisme memang mengajarkan bahwa dalam kekekalan, sebelum segala sesuatu ada, Allah telah menetapkan apapun yang terjadi termasuk dosa. Penetapan ini semata-mata didasarkan pada kehendak Allah sendiri. Jadi, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik yang sudah, sedang, dan yang akan terjadi merupakan realisasi dari ketetapan Allah dalam kekekalan.

Ajaran Calvinisme ini timbul karena fakta bahwa dalam Alkitab Allah digambarkan sebagai Dia yang "di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya" (Efesus 1:11). Ini jugalah yang membuat Yesus sendiri mengajarkan bahwa burung pipit tidak akan jatuh ke bumi tanpa dikehendaki oleh Allah (Matius 10:29-30).

Jika ada satu saja yang terjadi diluar ketetapan Allah maka hal itu berada diluar kontrol Allah. Dan jika ada sesuatu yang berada di luar kontrol Allah maka sesuatu itu melebihi kuasa Allah. Dan jika ada yang melebihi kuasa Allah hal itu membuat Allah tidak sempurna. Kalau Dia tidak sempurna maka Dia terbatas. Kalau Dia terbatas maka Dia bukan Allah. Dan dengan demikian kita harus mempercayai ateisme.

Berkenaan dengan dosa, Alkitab juga menyatakan bahwa itu adalah ketetapan Allah. Contoh yang paling terang mengenai penetapan Allah atas dosa adalah penyaliban Yesus. Penyaliban Yesus merupakan kejahatan atau dosa terbesar. Tetapi bagaimanapun, penyaliban Kristus merupakan rencana dan ketetapan Allah sejak semula. Petrus berkata dalam khotbahnya bahwa "Dia [Yesus] diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya" (Kis. 2:23).

Dalam kasus pengkhianatan Yudas Iskariot kita menemukan kasus yang sama. Pengkhianatan Yudas jelas merupakan dosa besar. Tetapi apa kata Firman Allah? Perhatikan: "Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan" (Lukas 22:22). Jelas bahwa pengkhianatan Yudas sudah ditetapkan oleh Allah.

Jadi dari penjelasan singkat ini kita mengerti bahwa Allah memang menetapkan segala sesuatu termasuk dosa.

Meskipun demikian, Calvinisme tetap mengajarkan bahwa walaupun Allah telah menetapkan segala sesuatu tetapi manusia tetap bertanggungjawab.

Dalam kasus penyaliban Yesus, meskipun penyaliban itu telah ditetapkan tetapi semua manusia yang terlibat dalam penyaliban itu tetap dianggap bersalah. Logika mengajar kita bahwa seharusnya jika demikian maka Allahlah yang salah. Tetapi Firman Tuhan berkata, "Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka" (Kisah Para Rasul 2:23). Perhatikan bahwa kata-kata "Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya" menunjuk pada penetapan Allah. Sedangkan kata-kata "telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka" menunjukkan bahwa manusia tetap dianggap bersalah dan dengan demikian mereka bertanggungjawab.

Penggambaran ini mirip dengan Kisah Para Rasul 4:27-28, "Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi,

untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu."

Pada awal ayat di atas penekanannya adalah tanggungjawab manusia (Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi). Tetapi hal ini segera disusul dengan fakta bahwa semua itu adalah ketetapan Allah (untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu).

Penempatan yang berdampingan antara penetapan Allah dan tanggungjawab manusia juga terlihat dalam kasus Yudas yang telah disinggung di atas. Mari kita perhatikan ayatnya secara menyeluruh: "Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!" (Lukas 22:22). Jadi meskipun pengkhianatan Yudas telah ditetapkan (Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan), hal itu tidak membebaskan Yudas dari tanggungjawab (akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!).

Jadi dalam kasus dosa, disatu sisi Allah memang membenci dosa (itu sangat jelas dalam Alkitab) sehingga Ia memerintahkan manusia untuk menjauhi dosa, tetapi disisi lain Allah juga telah menetapkan terjadinya dosa (seperti yang telah saya jelaskan di atas). Ini tidak sengaja dibuat-dibuat. Tetapi ini adalah kesimpulan dari penyelidikan Firman Allah.

Hal inilah yang menuntun Calvinisme untuk membedakan dua kehendak Allah. Ada kehendak-Nya yang dinyatakan dalam Alkitab (perintah-perintah-Nya seperti jangan membunuh, jangan berzinah, dsb) dan ada kehendak-Nya yang tersembunyi (ketetapan kekal-Nya). Kehendak Allah dalam arti yang pertama bisa saja dilanggar tetapi kehendak Allah dalam arti kedua tidak bisa gagal atau dilanggar (Ayub 42:2).

Contohnya. Allah jelas melarang perzinahan (Keluaran 20:14). Ini adalah kehendak-Nya yang dinyatakan. Tetapi dalam kasus tertentu, Allah menetapkan dosa perzinahan. Perhatikan 2 Samuel 12:11-12, "Beginilah firman TUHAN: Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil isteri-isterimu di depan matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan isteri-isterimu di siang hari. Sebab engkau telah melakukannya secara tersembunyi, tetapi Aku akan melakukan hal itu di depan seluruh Israel secara terang-terangan." Kata-kata keras ini merupakan hukuman kepada Daud setelah ia berzinah kepada Batsyeba. Dan ketika firman ini tergenapi, kita membaca: "Maka dibentangkanlah kemah bagi Absalom di atas sotoh, lalu Absalom menghampiri gundik-gundik ayahnya di depan mata seluruh Israel" (2 Samuel 16:22). Jadi, Absalomlah, anak Daud sendiri, yang menggenapi hukuman Tuhan itu. Dia meniduri istri-istri Daud, dan itu jelas merupakan perzinahan.

Jadi, Allah melarang dan membenci perzinahan (kehendak-Nya yang dinyatakan), tetapi Ia menetapkan perzinahan Absalom dengan istri-istri ayahnya (kehendak-Nya yang tersembunyi).

Jadi memang Alkitab mengajarkan bahwa ada dua kehendak pada Allah. Jadi jika kita membaca Alkitab, kita harus bisa membedakan dua kehendak Allah ini. Pembedaan ini penting demi menampung semua data Alkitab. Arminianisme boleh saja mencemoohnya, tetapi mereka jelas tidak jujur terhadap data-data Alkitab. Mereka hanya mau menyinggung ayat-ayat yang menekankan tanggungjawab manusia tetapi mengabaikan ayat-ayat yang lain (mereka mirip apologet-apologet Islam yang mengambil ayat-ayat tertentu dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa Yesus adalah manusia untuk membuktikan bahwa Yesus bukan Allah).

Jadi singkatnya, Calvinisme mengajarkan bahwa Allah menetapkan segala sesuatu termasuk dosa dan manusia bertanggungjawab. Ajaran ini memang kelihatannya tidak masuk akal dan bermasalah dan bertentangan. Calvinisme menyadari itu dan tidak sok-sok-an menganggap bahwa mereka telah memberikan jalan keluar yang sempurna dari masalah itu. Tidak! Calvinisme hanya mengaminkan apa yang diajarkan Alkitab.

Profesor Louis Berkhof menegaskan bahwa "... Alkitab sesungguhnya tidaklah berdasarkan anggapan bahwa ketetapan Allah tidak konsisten dengan keadaan manusia sebagai pelaku bebas. Alkitab jelas mengungkapkan bahwa Allah telah menetapkan tindakan bebas manusia, akan tetapi juga bahwa manusia sebagai pelaku juga bebas dan dengan demikian bertanggungjawab atas tindakan mereka sendiri, Kej. 50:19, 20; Kis. 2:23; 4:27, 28. Telah ditentukan bahwa orang Ibrani harus menyerahkan Yesus; akan tetapi mereka benar-benar bebas dalam tindakan mereka yang jahat, dan memegang tanggungjawab atas perbuatan jahat mereka ini. Tidak ada satu indikasipun dalam Alkitab bahwa para penulis yang mendapat inspirasi Roh Kudus menyadari adanya kontradiksi dalam hubungan dengan hal-hal ini, para penulis tersebut tak pernah berusaha untuk mengharmoniskan keduanya. Kenyataan ini jelas dapat mencegah kita untuk menganggap bahwa hal ini saling berkontradiksi, kendatipun kita tidak dapat menyatukan kedua kebenaran ini" (Prof. Louis Berkhof, Teologi Sistematika 1 [2013], hal. 191-192).

Sekarang, mari kita kembali ke Yeremia 7:31. Berdasarkan ayat-ayat lain dalam Kitab Suci, kita menegaskan bahwa segala sesuatu termasuk dosa pembakaran anak-anak yang diceritakan dalam Yeremia 7:31 telah ditetapkan dalam kekekalan (ingat kehendak yang kedua), tetapi fakta bahwa ayat itu menyatakan bahwa dosa itu "tidak pernah Kuperintahkan" menunjukkan bahwa ayat itu sedang berbicara mengenai kehendak Allah dalam arti yang pertama seperti yang telah saya jelaskan di atas.

Sama seperti dalam kasus perzinahan Absalom yang telah saya singgung di atas. Allah melarang perzinahan dan tidak memerintahkannya (kehendak Allah yang pertama), tetapi Allah juga menetapkan dosa perzinahan Absalom (kehendak Allah yang kedua). Demikian juga, Yeremia 7:31 hanya berbicara mengenai kehendak Allah dalam arti yang pertama. Ia melarang dosa pembakaran anak-anak itu seperti Dia melarang perzinahan. Tetapi dalam kehendak-Nya yang lain Dia sebenarnya telah menentukan terjadinya dosa, termasuk dosa pembakaran anak-anak itu sama seperti Ia telah menentukan dosa perzinahan Absalom dengan istri-istri Daud.

Jika ada yang keberatan dengan penjelasan ini, lalu bagaimana ia mengharmoniskan Yeremia 7:31 itu dengan Hakim-hakim 9:22-23, "Setelah tiga tahun lamanya Abimelekh memerintah atas orang Israel, maka Allah membangkitkan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem, sehingga warga kota Sikhem itu menjadi tidak setia kepada Abimelekh." Dalam ayat di atas dikatakan bahwa "Allah membangkitkan semangat jahat."

Juga dalam Yesaya 10:5-6 dikatakan, "Celakalah Asyur, yang menjadi cambuk murka-Ku dan yang menjadi tongkat amarah-Ku! Aku akan menyuruhnya terhadap bangsa yang murtad, dan Aku akan memerintahkannya melawan umat sasaran murka-Ku, untuk melakukan perampasan dan penjarahan, dan untuk menginjak-injak mereka seperti lumpur di jalan." Dalam ayat ini dikatakan bahwa Allah "menyuruh" dan "memerintahkan" Asyur untuk melawan Israel.

Bahkan dalam Yeremia 25:9 dinyatakan, "sesungguhnya, Aku akan mengerahkan semua kaum dari utara — demikianlah firman TUHAN — menyuruh memanggil Nebukadnezar, raja Babel, hamba-Ku itu; Aku akan mendatangkan mereka melawan negeri ini, melawan penduduknya dan melawan bangsa-bangsa sekeliling ini, yang akan Kutumpas dan Kubuat menjadi kengerian, menjadi sasaran suitan dan menjadi ketandusan untuk selama-lamanya." Dalam ayat ini Allah dikatakan "mengerahkan kaum dari utara" untuk melawan bangsa Yehuda.

Jadi, tiga ayat di atas secara positif mengatakan bahwa "Allah membangkitkan semangat jahat" (Hakim-hakim 9:22-23), Allah "menyuruh" dan "memerintahkan" Asyur untuk melawan Israel (Yesaya 10:5-6), dan Allah "mengerahkan kaum dari utara" untuk melawan bangsa Yehuda (Yeremia 25:9).

Sekarang, bukankah ketiga ayat diatas seolah-olah bertentangan dengan Yeremia 7:31 yang justru secara negatif berkata bahwa Allah tidak memerintahkan dosa itu? Bukankah tiga ayat di atas (Hakim-hakim 9:22-23; Yesaya 10:5-6; Yeremia 25:9) menegaskan bahwa Allah "membangkitkan," "menyuruh," "memerintahkan," "mengerahkan" tindakan berdosa, dan sedangkan Yeremia 7:31 menegaskan bahwa Allah tidak memerintahkan tindakan dosa?

Bagi Calvinisme, di sini tidak ada masalah, karena Calvinisme mengajarkan bahwa memang ada dua kehendak pada Allah. Untuk Hakim-hakim 9:22-23; Yesaya 10:5-6; Yeremia 25:9 berlaku kehendak Allah yang kekal (ketetapan Allah atas dosa) sedangkan dalam Yeremia 7:31 berlaku kehendak Allah yang dinyatakan.

Jadi Calvinisme tidak mengada-ngada dalam hal ini. Calvinisme jelas memperhitungkan semua data Alkitab baru mengambil kesimpulan.

Silakan orang Arminian yang menolak dua kehendak pada Allah memikirkan hal ini. Dan saya kepengen tau bagaimana mereka mengharmoniskan ayat-ayat seperti Hakim-hakim 9:22-23; Yesaya 10:5-6; Yeremia 25:9 dengan Yeremia 7:31.

Lalu sekarang, bagaimana dengan kata-kata selanjutnya dalam Yeremia 7:31 yang berbunyi, "tidak pernah timbul dalam hati-Ku." Saya menduga bahwa orang Arminian mengartikan ayat ini bahwa dosa pengorbanan anak-anak itu tidak pernah terpikirkan oleh Tuhan sebelumnya. Jika ini adalah artinya maka ini ngawur karena Allah itu mahatahu sehingga Ia tidak pernah terkejut, dan karena Ia mahatahu maka segala sesuatu sebenarnya telah terpikirkan oleh-Nya. Jika ada satu saja yang tidak terpikirkan oleh-Nya maka Allah kehilangan kemahatahuan-Nya.

Jadi tidak mungkin kata-kata "tidak pernah timbul dalam hati-Ku" diartikan "tidak pernah terpikirkan oleh Tuhan sebelumnya." Menurut saya arti kata-kata itu adalah bahwa Allah tidak senang dengan dosa pengorbanan anak-anak itu dalam api. Jika itu artinya, lalu apakah tidak bertentangan dengan ajaran Calvinisme yang mengajarkan bahwa Allah menetapkan dosa? Jika Allah telah menetapkan dosa, kenapa Ia tidak senang dengan ketetapan-Nya sendiri?

Ingat bahwa meskipun Allah menetapkan dosa itu, tetapi pada saat dosa itu terjadi Allah tidak senang terhadap dosa itu. Allah menetapkan Yudas untuk menyerahkan Yesus, tapi Allah sendiri tidak senang dengan dosa Yudas tersebut (Lukas 22:22). Allah menetapkan Yesus disalib oleh Pilatus, pemimpin Yahudi, dsb., tetapi Allah jelas tidak senang dengan dosa tersebut (Kisah Rasul 2:23; 4:27-28).

Lagi-lagi, ini semua kelihatannya bertentangan, tetapi Alkitab mengajarkan dua hal yang kelihatan bertentangan itu. Calvinisme jujur dalam menghadapi data-data Alkitab, sedangkan Arminianisme tidak.

Jadi, bagi saya pribadi, Yeremia 7:31 tidak bertentangan dengan doktrin penetapa Allah atas segala sesuatu termasuk dosa.

Sebagai penutup, saya memberi penegasan bahwa meskipun saya dan Calvinisme percaya bahwa Allah menetapkan segala sesuatu termasuk dosa, tetapi pada saat dosa itu terjadi Allah tidak bersalah sama sekali. Sedangkan manusia harus dipersalahkan dan bertanggungjawab atas dosanya. Demikian kata Firman Allah.

Juga, Arminianisme tidak boleh hanya mengambil satu ayat seperti Yeremia 7:31 dan menutup mata terhadap semua ayat-ayat lain dari Alkitab yang menegaskan bahwa Allah menetapkan dosa (seperti Hakim-hakim 9:22-23; Yesaya 10:5-6; Yeremia 25:9; Lukas 22:22, Kisah Rasul 2:23; 4:27-28; dsb). Sebenarnya, inilah yang dilakukan Arminianisme selama ini uscue et uscue (selalu dan terus menerus). Mereka benar-benar tidak jujur dalam menangani keseluruhan data Alkitab. Mereka tidak terlalu berbeda dengan apologet-apologet Islam yang hanya memperhatikan teks-teks Alkitab yang menunjukkan kemanusiaan Yesus, dan kemudian bersorak kegirangan seolah-olah dengan ayat-ayat yang sebagian itu mereka telah membuktikan bahwa Yesus bukan Tuhan. Baik Arminianisme dalam persoalan penetapan dosa dan apologet-apologet Islam dalam persoalan ketuhanan Yesus melakukan hal yang sama: menekankan teks tertentu, dan menutup mata mereka terhadap teks lain. Anehnya, orang Arminian tidak setuju dengan apologet-apologet Muslim dalam persoalan ketuhanan Yesus, tetapi lebih aneh lagi, mereka juga menerapkan standar yang sama dalam persoalan penetapan dosa. Mungkin inilah yang disebut dengan "benci-benci tapi rindu."

SALAH SATU CONTOH ARGUMENTASI BUNUH DIRI

Oleh: Join Kristian Zendrato.

Saya pernah debat kecil-kecilan terhadap seseorang bernama Dama Laia di salah satu kolom komentar di status seseorang tentang Penebusan Terbatas (Limited Atonement).

Berikut cuplikan debat singkat itu, dan anda akan melihat bahwa argumen yang diusung oleh orang ini adalah argumen yang persis menentang dirinya sendiri. Selamat menyimak!

Dama Laia: Kenapa penebusan harus terbatas?

Join Cr: Astaga dek. Gini yah. Apakah anda percaya bahwa kematian Yesus itu bersifat menggantikan dalam arti bahwa Dia memikul SELURUH hukuman dosa? Gak usah lari kemana-mana. Jawab ini dulu.

Dama Laia: Dia mengganti dosa seluruh isi dunia ini. 1 Yoh 2:2. Barangsiapa yang PERCAYA akan diselamatkan Yoh 3:16.

Join Cr: Oke kamu percaya Dia menanggung seluruh dosa manusia ya. Sekarang kalau Dia telah melakukan itu, kenapa masih ada yang masuk neraka? Bukankah semua hukuman dosa manusia telah ditanggung Yesus?

Dama Laia: Makanya baca baik-baik tulisan saya. Saya percaya bahwa Yesus mati untuk seluruh isi dunia, 1 Yoh 2:2 tapi bagi mereka yang menerima atau Percaya akan diselamatkan Yoh 3:16, Rom 10:9. Mengapa semuanya tidak masuk sorga? Jawabannya : karena mereka tidak merespon kasih karunia Allah.

Join Cr: Oke. Sabar. Jadi mereka masuk neraka karna gak percaya [tidak merespon kasih karunia Allah]? Oke. Apakah "ketidakpercayaan" itu dosa? Jawab yah.

Dama Laia: Pasti. Manusia masuk neraka bukan karena Tuhan tapi karena manusia itu sendiri tidak mau menerima tawaran Keselamatan dari Tuhan.

Join Cr: Oke berarti "ketidakpercayaan" itu dosa. Oke. Bukankah Yesus mati untuk semua dosa? Dan jika ketidakpercayaan adalah dosa, bukankah Yesus juga menebus dosa yang satu itu? Lalu kok tau-taunya masih tidak percaya? Gimana tuh Dama Laia?

Catatan: Anda bisa melihat bahwa orang ini gak ngerti apa-apa. Dan argumennya menabrak dirinya sendiri. 

YESUS TIDAK BANGKIT? TUNJUKKAN MAYATNYA!

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya percaya bahwa Yesus bangkit dari kematian secara fisik. Jika Yesus tidak bangkit maka Kekristenan tidak mungkin ada. Justru karena kebangkitan Yesus, maka murid-murid Yesus berani memberitakannya kepada orang banyak.

Khotbah dan pengajaran mula-mula para rasul dipenuhi dengan konfirmasi bahwa Yesus bangkit dari kematian secara fisik. Misalnya dalam khotbahnya, Petrus berkata, "Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami semua adalah saksi" (Kisah Para Rasul 2:32).

Akibat pemberitaan itu, akhirnya banyak orang yang percaya dan menyerahkan diri untuk dibaptis (bdk. Kisah Para Rasul 2:41). Melihat situasi ini, para pemimpin agama Yahudi menjadi jengkel karena mungkin banyak dari rakyat mereka yang meninggalkan mereka dan memeluk kepercayaan baru yakni Injil tentang kematian dan kebangkitan Yesus.

Kejengkelan para pemuka agama Yahudi berujung pada penangkapan Petrus dan Yohanes (Kisah Para Rasul 4:1-3). Mereka ditangkap karena memberitakan bahwa Yesus yang telah mati itu telah bangkit dari kematian secara fisik.

Apakah mungkin para murid yang memberitakan kebangkitan Yesus itu salah atau berbohong mengenai berita mereka? Saya yakin tidak. Jika mereka ternyata berbohong maka gampang sekali membuktikan kebohongan mereka. Ingat bahwa mereka mula-mula berkhotbah di Yerusalem, maka seandainya mereka berbohong mengenai kebangkitan Yesus, maka para pemimpin agama Yahudi yang membenci mereka tinggal mengambil mayat Yesus dari kuburan dan menunjukkannya kepada masyarakat. Perkara selesai.

Tetapi para pemimpin agama Yahudi tidak melakukan hal itu, dan tidak bisa melakukannya, karena mayat Yesus tidak ada dalam kuburan. Faktanya: kubur itu kosong (bdk. Matius 28:5-7; Markus 16:6; Lukas 24:1-12;Yohanes 20:1-10).

Mungkin ada yang berkata, "Oh pasti murid-murid Yesus telah mencuri mayat Yesus!" Tetapi ini pun keliru. Pertimbangkanlah beberapa hal ini:

Pertama. Jika memang murid-murid Yesus mencuri mayat Yesus dan memberiitakan kabar bohong kepada banyak orang bahwa Yesus telah bangkit dari kematian, maka bukankah aneh jika mereka mau menderita bahkan mau mati demi kebohongan itu. Apakah mungkin mereka rela mati dan menderita demi mempertahankan sesuatu yang mereka sendiri tahu bahwa itu adalah kebohongan mereka sendiri? Tidak mungkin.

Kedua. Jika memang murid-murid Yesus mencuri mayat Yesus bukankah aneh jika dalam kuburan Yesus tertinggal kain kafan pembungkus mayat Yesus (Yohanes 20:5)? Apakah pencuri mayat mau berlambat-lambat dengan membuka kain kafan pembungkus mayat terlebih dahulu kemudian baru mengambil mayatnya? Jelas itu sangat tidak masuk akal.

Dari semua ini, saya yakin dengan mutlak bahwa Yesus memang benar-benar bangkit dari kematian secara fisik. Jika Yesus tidak bangkit maka Kekristenan salah. Dan seperti kata Paulus, "Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu. Lebih dari pada itu kami ternyata berdusta terhadap Allah, karena tentang Dia kami katakan, bahwa Ia telah membangkitkan Kristus — padahal Ia tidak membangkitkan-Nya, kalau andaikata benar, bahwa orang mati tidak dibangkitkan. ... Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus" (1 Korintus 15:14-15; 17-18).

Setiap orang yang tidak mengakui bahwa Yesus bangkit dari kematian adalah pemfitnah Yesus Kristus.

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...