Rabu, 13 Maret 2024

EVALUASI TERHADAP UNGKAPAN NIAS "Lö FöKHö NALö HORö"

Oleh: Join Kristian Zendrato

Sebagai orang Nias, entah berapa kali saya mendengar ungkapan "Lö FöKHö NALö HORö" diucapkan, diajarkan, dan diterima sebagai sebuah aksioma oleh hamba Tuhan, mahasiswa teologi, dan orang awam. Ungkapan itu artinya kira-kira begini: "Tak ada penyakit tanpa ada dosa."

Ungkapan di atas sering diungkapkan ketika mereka melihat seseorang sedang mengalami penyakit tertentu. Mereka mengucapkan ungkapan itu dengan anggapan bahwa penyakit yang dialami oleh seseorang adalah akibat langsung dari dosa yang telah dilakukan oleh orang sakit itu. Apalagi kalau penyakit seseorang itu parah, maka mereka menganggap bahwa seseorang itu pasti telah melalukan dosa yang sangat serius.

Apakah anggapan ini benar? Apakah ini sesuai dengan Alkitab?

Pertama-tama, harus diakui bahwa ada penyakit yang memang merupakan hukuman langsung dari Tuhan karena dosa tertentu yang dilakukan oleh seseorang. Salah satu contoh mengenai hal ini adalah Miryam, saudari Harun dan Musa. Dalam Bilangan 12:10 kita membaca tentang Miryam, "Dan ketika awan telah naik dari atas kemah, maka tampaklah Miryam kena kusta, putih seperti salju; ketika Harun berpaling kepada Miryam, maka dilihatnya, bahwa dia kena kusta!"

Kusta adalah salah satu penyakit yang sangat sering muncul dalam Alkitab dan mengerikan. Dan biasanya orang yang mengalami kusta akan dikucilkan (bdk. Bilangan 12:15). Itulah penyakit yang dialami Miryam. Dalam konteks ini, Miryam menderita penyakit ini sebagai hukuman langsung dari Allah akibat tindakannya yang menganggap rendah Musa sebagai hamba Tuhan (lih. Bilangan 12:1-15).

Jadi, dari cerita ini kita memang bisa menyimpulkan bahwa penyakit bisa jadi adalah hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang.

Bahkan Allah bisa menghukum dosa tertentu dengan kematian. Contoh yang terkenal untuk hal ini dalam Perjanjian Lama adalah Korah, Datan, dan Abiram dalam Bilangan 16. Sedangkan contoh dalam Perjanjian Baru adalah Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:1-11).

Tetapi, penyakit tidak boleh dipandang uscue et uscue (selalu dan terus menerus) sebagai hukuman langsung dari Allah atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang. Karena kadang-kadang Allah mengizinkan penyakit terjadi pada anak-anak-Nya bukan sebagai hukuman langsung terhadap dosa. Contohnya Ayub. Ayub digambarkan sebagai seorang yang saleh (Ayub 1:1, 8, 22; 2:3, 10), tetapi Ayub diizinkan Allah mengalami penyakit yang sangat mengerikan (Ayub 2:7) sehingga ia harus "mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu" (Ayub 2:8).

Bahkan kematian yang paling tragis pun tidak serta merta merupakan hukuman Tuhan. Contoh kasus ini adalah Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis adalah hamba Tuhan yang luar biasa setia dalam pelayanan. Tetapi Tuhan mengizinkkan dia masuk penjara (Matius 11:2, Lukas 3:19-20) hingga akhirnya kepalanya dipenggal oleh Herodes (lih. Matius 14:1-12; Markus 6:14-29; Lukas 9:9).

Demikian juga dengan kematian Stefanus yang dirajam batu. Kematian Stefanus bukan merupakan hukuman Tuhan. Stefanus mati sebagai martir yang mempertahankan kebenaran (baca Kisah Rasul pasal 6:8 - pasal 7:60).

Hal ini jelas bertentangan dengan anggapan orang bahwa orang yang mati secara mengenaskan (misalnya dibunuh, kecelakaan, dsb) adalah pasti merupakan orang yang telah melalukan dosa yang sangat serius. Ini jelas tidak selalu benar. Bahkan kadang-kadang orang-orang jahat yang tak bertobat mati secara "baik-baik."

Cara kematian seseorang yang mengerikan tidak selalu mengharuskan bahwa orang itu pasti telah melakukan dosa yang sangat besar. Ada orang-orang yang mati secara mengerikan tetapi akan masuk surga. Dan ada orang-orang yang mati "baik-baik" tetapi akan masuk neraka

Dari semua ini, setidaknya kita bisa menyimpulkan beberapa hal berikut ini. (Anda bisa memikirkan implikasi-implikasi lainnya).

Pertama. Penyakit dan kematian memang kadang-kadang merupakan hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang (contohnya Miryam, Korah, Datan, dan Abiram, Ananias dan Safira).

Kedua. Allah justru kadang-kadang sepertinya membiarkan orang-orang jahat yang tidak bertobat tanpa mendapat hukuman dalam hidup ini. Ingat bahwa orang jahat yang makmur, sukses, hidup enak, dan mati dengan "baik-baik" begitu banyak di dunia ini. Tetapi meskipun demikian, orang-orang ini pasti menghadapi penghakiman Allah dalam neraka, tidak peduli mereka makmur, sukses, kaya pada saat hidup dan mati secara "baik-baik." Saya ulangi sekali lagi kata-kata saya sebelumnya: "Ada orang-orang yang mati secara mengerikan tetapi akan masuk surga. Dan ada orang-orang yang mati "baik-baik" tetapi akan masuk neraka."

Ketiga. Penyakit dan kematian kadang-kadang BUKAN merupakan hukuman langsung dari Tuhan atas dosa tertentu yang dilakukan seseorang, melainkan sebagai tindakan kedaulatan Allah di mana Ia mengizinkannya terjadi dengan tujuan yang baik dalam pandangan-Nya (contohnya Ayub, Yohanes Pembaptis, dan Stefanus).

Jadi, kita kembali kepada pertanyaan dibagian awal tulisan ini, "Apakah ungkapan 'Lö FöKHö NALö HORö' (yang artinya 'tak ada penyakit tanpa ada dosa') merupakan ungkapan yang benar?"

Jawabannya: "Ungkapan itu tidak selalu benar." Jadi, jangan sembarangan mengucapkan kalimat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...