Minggu, 25 November 2018

DOKTRIN ITU TIDAK PENTING? SEBUAH TANGGAPAN TERHADAP ORANG KRISTEN DAN HAMBA TUHAN YANG ANTI DOKTRIN

Oleh: Join Kristian Zendrato
  
Will Metzger menggambarkan respons banyak orang kepadanya ketika ia mengajarkan doktrin sebagai berikut: “‘akademis,’ ‘tidak praktis,’ ‘perbantahan,’ ‘abad pertengahan,’ ‘kata-kata yang kering,’ ‘intelektual,’ ‘membosankan,’ ‘memecah belah.’”[1] Kemudian Arhtur Walkington Pink, seorang penulis Calvinis (Reformed) mengeluh dengan berkata, “Menyedihkan sekali mendengar berbagai komentar yang menyebut doktrin sebagai ‘tidak praktis.’”[2] 

Saya kira, respons seperti di atas terhadap Metzger dan Pink ketika mereka mengajarkan doktrin masih merupakan respons kebanyakan orang Kristen masa kini. Para pengkhotbah dan orang-orang Kristen masa kini lebih suka yang praktis daripada apapun yang bersifat doktrinal. Joel Oesteen misalnya pernah berkata demikian, “Saya tidak dipanggil untuk menjelaskan setiap faset yang terperinci dari Kitab Suci atau untuk memaparkan doktrin-doktrin atau perdebatan-perdebatan theologis yang tidak menyentuh bidang kehidupan yang riil. Karunia saya adalah untuk mendorong, untuk menantang, dan untuk memberikan inspirasi.”[3]
  
Terhadap hal-hal ini, ada beberapa tanggapan kritis dari saya:
  
Pertama, saya justru menganggap bahwa doktrin itu sangat penting untuk dipelajari. Jika kita membaca fungsi dari Kitab Suci sebagaimana dituliskan oleh Paulus kepada Timotius, maka kita tahu bahwa “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar,...” (2 Tim. 3:16). Jadi pertama-tama, fungsi Kitab Suci adalah berkenaan dengan pengajaran. Bagi Arthur W. Pink, hal ini menunjuk pada doktrin, karena “‘Doktrin’ berarti ‘pengajaran.’”[4] 

Kedua, yang membedakan agama Kristen dengan bidat-bidat dan agama lain secara hakiki adalah hal-hal yang bersifat doktrinal. Keilahian Yesus, Allah Tritunggal, Keselamatan melalui iman saja, dan sebagainya adalah contoh doktrin-doktrin yang secara khas merupakan milik Kekristenan yang Alkitabiah sendiri. Jadi, menurut saya, jika orang Kristen atau bahkan hamba Tuhan malas belajar doktrin, maka ia tidak usah menjadi Kristen. Tidak belajar doktrin membuat orang Kristen mudah disesatkan, sehingga tak perlu heran jika banyak ‘orang Kristen’ yang pindah agama. Semua hal itu disebabkan karena ketidakberesan doktrin. Pink mengingatkan kita: 
Pengabaian terhadap doktrinlah yang telah menjadikan orang percaya tidak berdaya menghadapi gejala kekafiran. Pengabaian terhadap doktrin jugalah yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya orang-orang yang mengaku Kristen ke dalam berbagai “isme” zaman ini. Karena telah tiba saatnya sekarang bagi gereja untuk “tidak dapat lagi menerima ajaran sehat” (2 Tim. 4:3), maka mereka menjadi sedemikian mudah terjebak ke dalam berbagai ajaran sesat.[5] 
Ketiga, banyak orang yang menganggap bahwa doktrin itu tidak penting karena tidak praktis, sehingga mereka lebih suka mengatakan kepada banyak orang ‘firman Tuhan itu untuk dilakukan,’ bukan hanya sekumpulan teori yang rumit seperti doktrin. Tetapi menurut saya hal ini tidak benar. Saya justru menganggap bahwa doktrin itu justru sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Bahwa pengertian doktrinal sangat mempengaruhi kehidupan praktis terlihat misalnya dalam 1 Kor. 15:32, “Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja aku telah berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku? Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka “marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Jadi dari sini kita bisa mengerti bahwa, jika seseorang tidak percaya doktrin kebangkitan maka orang itu bisa saja hidup ‘semau gue.’ Pikirkan kata-kata Paulus yang saya garis bawahi.
  
Juga misalnya jika Anda seorang Arminian yang mempercayai bahwa orang Kristen sejati bisa kehilangan keselamatannya, maka jika Anda waras maka seharusnya Anda khawatir setiap waktu akan keselamatan Anda. Sedangkan jika Anda seorang Reformed yang mempercayai doktrin Perseverence of the Saints yakni bahwa orang Kristen sejati tidak bisa kehilangan keselamatannya, maka tentunya Anda tidak pernah khawatir akan keselamatan Anda.
  
Poin yang saya tekankan di sini adalah bahwa doktrin sangat mempengaruhi kehidupan praktis seseorang. Bahkan dasar dari kehidupan praktis itu adalah doktrin yang benar. Bacalah surat Roma atau Surat Efesus dan surat-surat Paulus yang lain, maka Anda akan melihat bahwa sebelum memberikan nasihat-nasihat praktis, Paulus justru menegaskan doktrin yang benar terlebih dahulu. Arthur W. Pink mengatakan: 
Menyedihkan sekali mendengar berbagai komentar yang menyebut doktrin sebagai “tidak praktis,” padahal sebenarnya doktrin justru menjadi prinsip yang paling mendasar dari suatu kehidupan praktis. Terdapat suatu hubungan yang tak terpisahkan antara iman dan praktik hidup, seperti ada tertulis “Seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia” (Ams. 23:7). Terdapat suatu hubungan sebab akibat antara kebenaran ilahi dan karakter Kristen – “Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32) – bebas dari kebodohan, dari prasangka, kekeliruan, kelicikan iblis, kuasa kejahatan; dan jika kebenaran tersebut tidak “diketahui,” maka kebebasan tersebut juga tidak mungkin dinikmati. Perhatikan dengan seksama urutan penyebutan dalam bagian Kitab Suci yang kita kutip di atas. Semua bagian Kitab Suci [2 Tim. 3:16] bermanfaat pertama-tama untuk mengajar, artinya untuk “doktrin”! Urutan demikian terlihat dalam setiap surat yang ditulis oleh Rasul Paulus. Bacalah Surat Roma dan perhatikanlah betapa di dalam lima pasal pertama dari surat tersebut tak terdapat satu pun kalimat nasihat. Dalam surat Efesus, setelah melewati pasal keempat, barulah terlihat adanya kalimat nasihat. Urutan pertama adalah eksposisi doktrinal, dan selanjutnya barulah muncul teguran atau nasihat bagi kehidupan sehari-hari.[6] 
Will Metzger juga menulis: 
Bagaimana kata doktrin digunakan di Perjanjian Baru? Kata Yunaninya berarti “pengajaran.” Ada pengajaran yang baik dan yang buruk. Terkadang adjektiva benar/sehat dan dusta/palsu menunjukkan yang mana yang dimaksudkan. Seringkali konteksnya menjelaskan akibat dari suatu pengajaran, entah sebagai kesalehan atau kefasikan. Pengajaran yang salah (kesaksian dusta) adalah omong kosong tak bertuhan, memimpin mereka yang menyukainya kepada hidup yang semakin tidak saleh.[7] 
Pink mengingatkan Gereja bahwa justru pengabaian doktrinlah yang menyebabkan berbagai macam penyimpangan dalam kehidupan orang percaya. Pink memperingatkan: 
Penggantian eksposisi doktrinal dengan hal-hal yang disebut “khotbah praktis” merupakan akar penyebab dari berbagai bencana yang sekarang melanda gereja Allah. Alasan terjadinya kedangkalan pemikiran, sedikitnya hikmat, kurangnya pemahaman akan prinsip-prinsip kebenaran Kristen adalah karena begitu sedikit orang yang percaya yang berakar di dalam iman melalui mendengar doktrin-doktrin anugerah dan studi pribadi mereka tentang doktrin-doktrin itu.[8] 
Lalu Pink memberikan beberapa contoh: 
Ketika seseorang tidak berakar di dalam doktrin Inspirasi Kitab Suci – inspirasi verbal dan seutuhnya – maka ia takkan memiliki dasar yang kokoh sebagai sandaran imannya. Ketika seseorang tidak memiliki pengetahuan mengenai doktrin Pembenaran, maka takkan ada pula keyakinan yang nyata dan berdasar mengenai penerimaan atas dirinya oleh Dia yang terkasih. Ketika seseorang tidak memahami pengajaran firman Tuhan mengenai Pengudusan, maka ia memiliki kecenderungan untuk terjebak ke dalam perfeksionisme ataupun ajaran sesat lainnya.[9] 
Jadi, ada sebab akibat antara doktrin yang benar atau salah terhadap kehidupan yang benar atau salah pula. Saya harus akui bahwa banyak orang yang ‘hebat’ secara doktrinal tetapi hal itu sering tidak membuat kehidupan rohani mereka membaik. Tetapi siapa pula yang bisa menjamin hal sebaliknya bahwa orang yang tidak belajar doktrin kehidupan rohaninya semakin baik? Untuk itu, saya menganggap bahwa dua-duanya – doktrin dan kehidupan rohani – harus dipegang dengan teguh oleh orang Kristen. Simaklah kata-kata Bernard Ramm berikut ini: 
Bagaimana caranya untuk menggabungkan theologi dan kehidupan rohani adalah salah satu perhatian utama dalam hidup saya. Theologi semestinya memimpin kepada kedalaman pengalaman rohani. Hal ini benar-benar terjadi dalam diri Paulus. Pengalaman-pengalaman rohani semestinya menciptakan rasa lapar yang menyiksa di dalam jiwa akan kebenaran Allah. Tetapi betapa cacatnya kita! Para theolog sering kali secara rohani sok tahu dan sok pintar. Dan orang yang menekankah kehidupan rohani dapat saja naif secara theologis dan buta akan Alkitab. Theologi dan pengalaman rohani yang luar biasa semestinya berjalan bersama-sama.
            Yohanes berkata agar kita menguji roh-roh. Ini berarti tidak ada pengalaman yang berada di luar lingkup pengujian dan evaluasi. Akan bertolak belakang dengan Perjanjian Baru bila orang melepaskan pengalamannya dari terang yang menyoroti dari Perjanjian Baru. Singkatnya, tidak ada pengalaman yang dapat mengklaim sebagai pengalaman Kristen bila orang yang mengalaminya menolak untuk menundukkannya kepada isi yang dinyatakan dan diilhami dari Perjanjian Baru. Perjanjian Baru memberitahu saya bahwa bagian dari tanggung jawab saya adalah untuk menguji roh-roh, karena ada banyak roh di dunia. Saya mengabaikan kewajiban saya jika saya menerima begitu saja semua pengalaman rohani yang dilaporkan kepada saya dan tidak menguji semua pengalaman itu menurut Firman Allah sebagaimana diungkapkan di dalam Perjanjian Baru kanonis.
            Misalnya, dengan memeriksa Perjanjian Baru mengenai tema kebenaran, kita mendapati sesuatu yang sangat menarik. Allah adalah Allah kebenaran dan tidak dapat berbohong (Rm. 3:4). Roh Kudus adalah Roh Kebenaran dan memimpin kepada kebenaran yang lebih lagi (Yoh. 16:13). Sang Anak berkata, “Akulah ... kebenaran” (Yoh. 14:6). Dan banyak lagi bukti yang dapat dikutip, adalah kesaksian yang berkuasa mengenai perhatian dari iman Kristen akan kebenaran.
            Hal ini langsung memimpin kepada pengamatan lain, yaitu prioritas kebenaran di atas semua pengalaman rohani. Jika Bapa, Anak, Roh, dan Injil adalah Kebenaran, maka orang-orang Kristen harus berapi-api terhadap kebenaran. Dan semangat bagi kebenaran ini haruslah berapi-api sedemikian rupa sehingga orang Kristen bersedia untuk menundukkan semua yang mereka percayai, praktikkan, dan alami kepada pengujian kebenaran. Roh yang sejati akan memberikan pengalaman sejati kepada mereka yang sungguh-sungguh mencari Allah Bapa dan Anak berdasarkan Firman Kebenaran. Dengan demikian, seorang Kristen mana pun yang memisahkan pengalaman rohani mereka dari pencermatan kebenaran berlaku dalam semangat dan sikap yang bertolak belakang dengan keseluruhan Perjanjian Baru. Kurva Perjanjian Baru adalah dari kebenaran kepada pengalaman, bukan dari pengalaman kepada kebenaran. Kebenaranlah yang menghasilkan pengalaman sejati. Jika orang membalikkan urutannya, dia melakukannya dengan mengorbankan kebenaran... Pengalaman riil dan benar dan sahih karena pengalaman itu sesuai dengan kebenaran Allah, dan bukan karena pengalaman itu merupakan pengalaman yang sedemikian luar biasa... Kita tidak dapat beroberasi dengan “kebenaran Perjanjian Baru.” Kebenaran ini harus dipecah-pecah menjadi pernyataan-pernyataan yang dapat dicerna... Pecahan yang dapat dicerna ini disebut theologi atau doktrin.
            Di dalam Roma 6:17, Paulus berbicara mengenai orang-orang Kristen di Roma yang menaati suatu standar atau bentuk atau tipe doktrin. Ini berarti: Pengalaman rohani dari orang-orang Kristen ini diilhami, dibentuk, dan dibimbing oleh pola doktrin yang benar. Di sini kita memiliki fungsi yang sepatutnya dari doktrin dan relasinya kepada kehidupan rohani dan pengalaman Kristen. Orang Kristen yang berharap untuk setia kepada Perjanjian Baru, dan yang berharap untuk mendapatkan yang paling banyak dan paling baik dari Roh Kudus, harus mencari pengalaman-pengalaman yang dianjurkan oleh pola-pola doktrinal dari Perjanjian Baru. Dia harus membentuk dan membimbing hidupnya sendiri dengan pola-pola doktrinal seperti itu.
            Sewaktu dia menulis surat-surat pastoral, Paulus sedang mendekati ajalnya. Dia percaya bahwa dia akan dihukum mati dalam waktu dekat (2 Tim. 4:6)... Apa yang akan terjadi kepada jemaat-jemaat itu ketika tangan tegas sang rasul tidak dapat lagi membimbing mereka? Di dalam situasi inilah Paulus dengan bersemangat mengajukan doktrin sebagai satu-satunya harapan agar jemaat Kristen bertahan melalui pertikaian rohani dan theologis yang akan terjadi setelah kematiannya. Ini adalah fenomena yang sungguh luar biasa! Panggilan yang paling luar biasa kepada doktrin dan pengajaran yang sehat di dalam seluruh Alkitab ditemukan di dalam surat-surat pastoral ini.

Kemudian Dr. Ramm menyimpulkan:

Tidak ada yang namanya “ortodoksi mati.” Orang boleh saja marah bila mereka direndahkan karena pengalaman-pengalaman rohani mereka oleh mereka yang memiliki banyak ortodoksi namun tanpa kehidupan rohani. Doktrin yang sehat mungkin diajarkan, dan tafsiran yang benar dari Alkitab mungkin saja diberikan dalam sikap yang tidak hidup ... Mari berpegang kepada sintesis Perjanjian Baru terhadap kebenaran Kristen yang mengilhami, membentuk, dan mengarahkan pengalaman-pengalaman Kristen yang luar biasa. Maka Gereja dapat berdiri teguh.[10]

Dengan alur yang sama Pink juga mengatakan:

Tentu saja benar bahwa doktrin, seperti juga hal-hal lain di dalam Kitab Suci, dapat dipelajari melalui pendekatan intelektual semata, dan dengan pendekatan demikian, pengajaran maupun pemahaman doktrinal tersebut tidak akan menyentuh hati, dan dengan sendirinya akan menjadi “kering” dan tidak berbuah. Sebaliknya, doktrin yang diterima dengan benar, doktrin yang dipahami dengan hati yang dilatih, akan senantiasa membawa pada suatu pemahaman yang lebih mendalam akan Allah dan kemuliaan Kristus yang tiada terukur.[11]

Keempat. Ketidakpraktisan doktrin bagi kebanyakan orang Kristen masa kini juga mungkin timbul karena biasanya ajaran yang bersifat doktrinal itu sukar. Saya harus akui bahwa memang ada hal-hal yang sulit ketika belajar doktrin. Kitab Suci sendiri juga mengakui bahwa ada makanan yang seperti susu, tetapi ada juga makanan keras (1 Kor. 3:2; Ibr. 5:12, 14). Untuk hal ini tentunya orang Kristen dituntut harus mau dan tekun untuk belajar. Dalam Alkitab, orang percaya sendiri digambarkan sebagai “murid” yang mengimplikasikan kesediaan untuk diajar dan tekun belajar.

Untuk hamba-hamba Tuhan, kita harus meminta hikmat dari Tuhan supaya bisa belajar dan mengajar doktrin dengan baik dan benar. Sulit tidak berarti tidak usah diajarkan, karena bagaimana pun tugas hamba Tuhan adalah seperti Paulus yang “tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu” (Kis. 20:27). Gresham Machen mengatakan, “Agama Kristen berkembang bukan di dalam kegelapan, melainkan di dalam terang. Kemalasan intelektual hanyalah obat palsu bagi ketidakpercayaan; obat sejatinya adalah pengudusan kemampuan intelektual untuk melayani Tuhan Yesus Kristus.”[12]

Kelima. Saya juga pernah membaca (saya lupa di mana dan kapan) mengenai seseorang yang lebih mengutamakan penginjilan daripada doktrin. Menurutnya, pergi menginjili orang lebih penting dari pada belajar atau mengajar doktrin. Penginjilan adalah segala-galanya, sehingga doktrin dianggap tidak penting. Mereka lebih suka ‘memenangkan jiwa’ dari pada mengajar doktrin.

Saya kira ini adalah kegilaan. Karena apa? Karena Injil itu sendiri bersifat doktrinal. Apa itu Injil? Injil itu dapat diringkas seperti ini: manusia itu berdosa dan pantas dihukum oleh Allah yang kudus dan adil. Tetapi karena Allah mengasihi manusia, Ia menjadi manusia dalam pribadi Yesus Kristus, yang kemudian mati untuk menanggung murka Allah yang seharusnya ditanggung oleh manusia, Ia menggantikan kita umat pilihan-Nya, kemudian bangkit dan naik ke surga, serta Ia berjanji Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya. Jadi dalam Injil pun setidaknya ada berbagai macam doktrin yang semestinya kita tahu, baru kita bisa memberitakan Injil, seperti doktrin Manusia, Dosa, Inkarnasi, Keilahian dan Kemanusiaan Yesus, Kematian Yesus sebagai korban, kebangkitan Kristus, kenaikan-Nya ke surga, pengharapan kedatangan-Nya yang kedua kali, dan sebagainya.

Jadi menurut saya, adalah omong kosong kalau seseorang menekankan pemberitaan Injil tetapi menganggap doktrin tidak penting.

Keenam. Ada juga yang menganggap bahwa doktrin itu tidak baik untuk orang percaya, karena bisa menimbulkan pertentangan. Untuk hal ini, saya mau mengatakan bahwa orang percaya harus lebih cinta kebenaran daripada kedamaian palsu. R.C. Sproul mengatakan, “We’re living in a time where theological conflict is considered politically incorrect, but to declare peace when there is no peace is to betray the heart and soul of the gospel” (Terjemahan: Kita hidup di masa di mana konflik teologis dianggap tidak benar secara politik, tetapi untuk menyatakan perdamaian ketika tidak ada kedamaian berarti mengkhianati hati dan jiwa Injil).[13]

Dari semua hal ini, saya menganggap bahwa orang yang tidak senang terhadap doktrin adalah orang-orang Kristen yang perlu dipertanyakan kerohaniannya. Bahkan Sproul menyebut gereja yang tidak mempedulikan dan tidak mengajarkan doktrin sebagai “a dead church.” Juga saya tekankan bahwa orang-orang yang bersemangat untuk melayani Tuhan tetapi membenci doktrin adalah orang-orang yang berilusi sedang melayani Tuhan, padahal mereka melayani kamauan mereka sendiri. Mereka seperti orang-orang digambarkan Paulus dalam Roma 10:2, “Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.”

Jangan lupa bahwa kita harus mengasihi Allah dengan segenap “akal budi” kita. Amsal 19:2 mengatakan, “Tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah.”

[1]Will Metzger, Beritakan Kebenaran: Injil yang Seutuhnya, Sepenuhnya melalui Anugerah, Dikomunikasikan dengan Penuh Kebenaran dan Kasih (Surabaya: Momentum, 2013), hal. 2. 
[2]Arthur W. Pink, Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2005), hal. 181. 
[3]Dalam Michael Horton, Kekristenan Tanpa Kristus (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 92.
[4]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 181. 
[5]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 182. 
[6]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 181-182. 
[7]Metzger, Beritakan Kebenaran, hal. 12. 
[8]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 182.
[9]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 182-183.
[10]Bernard Ramm, “Hand in Hand,” His, November 1965, hal. 4-7, dikutip Metzger, Beritakan Kebenaran, hal. 17-18. 
[11]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 183. 
[12]Dikutip oleh Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran: Membela Kebenaran Terhadap Tantangan Postmodernisme (Surabaya: Momentum, 2003), hal. 273.
[13]R.C. Sproul, “Is the Reformation Over?” diakses dari https://www.ligonier.org/blog/is-the-reformation-over/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...