Senin, 22 April 2019

APAKAH KITA TIDAK BOLEH BERSIKAP EKSKLUSIF?

Oleh: Join Kristian Zendrato
 
Dalam dunia yang serba pluralistik ini, di mana beragam agama hadir dan bersemangat menyerukan ajaran-ajaran yang mereka anggap benar, banyak kalangan yang tidak menyetujui jika sebuah agama memproklamasikan klaim-klaim yang bersifat absolut dan ekslusif. Berbagai macam alasan telah diberikan untuk meneguhkan ketidaksetujuan ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama. Ada yang menganggap bahwa semua agama sama-sama benar. Oleh karena itu, klaim-klaim absolut dan eksklusif tidak bisa dibenarkan.

Kedua. Ada yang menganggap bahwa setiap agama hanya melihat sebagian dari kebenaran rohani, tidak ada orang yang dapat melihat seluruh kebenaran. Oleh karena itu, klaim absolut dan eksklusif tidak bisa dibenarkan.

Ketiga. Ada yang menganggap bahwa kepercayaan agamawi dikondisikan oleh budaya dan sejarah, sehingga kepercayaan agamawi tertentu hanya benar bagi agama itu sendiri, dan karena itu tidak absolut.

Keempat. Konklusi akhir dari semua ini adalah jika seseorang menganggap bahwa agamanya yang benar dan berusaha mempertobatkan orang lain untuk masuk ke agamanya, maka hal itu dicap sebagai kesombongan.

Keberatan-keberatan di atas sering memusingkan orang percaya, dan bahkan mungkin ada yang mulai meragukan imannya kepada Kristus. Tetapi tidak harus demikian. Timothy Keller dalam bukunya The Reason for God[1] telah menunjukkan dengan sangat baik kecacatan dari beberapa argumen keberatan di atas. Saya akan meringkaskan beberapa argumentasi Keller tersebut.

Pertama. Untuk keberatan pertama, Keller menganggap bahwa itu sama sekali tidak masuk akal karena semua agama tidak sama-sama benar. Tentunya, kita tidak setuju dengan, misalnya agama-agama primitif yang dalam upacara keagamaan mereka mengorbankan anak mereka, dan sebagainya.

Selanjutnya, Keller juga mengamati bahwa sebenarnya, orang yang menyerukan keberatan pertama di atas sedang mendirikan ‘agama baru.’ Agamanya adalah agama yang mengakui bahwa semua agama sama-sama benar, dan secara implisit memproklamasikan bahwa pandangannyalah yang paling benar. Sehingga, tidak bisa tidak, dia jatuh ke dalam eksklusivisme yang sebelumnya ingin ia hindari. Keller mengatakan, “Jadi para pendukung pandangan ini melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka larangkan kepada orang lain.”[2]

Kedua. Untuk keberatan kedua, Keller mengatakan bahwa keberatan ini seringkali diilustrasikan dengan kisah orang buta dan gajah. Keller menjelaskannya: “beberapa orang buta sedang berjalan dan menjumpai seekor gajah, kemudian mereka menyentuhnya. Orang pertama berkata sambil memegang belai gajah, ‘Makhluk ini panjang dan fleksibel seperti ular.’ Orang buta kedua memegang kaki gajah dan berkata, ‘Tidak sama sekali – ia besar dan bulat seperti batang pohon.’ Orang buta ketiga memegang badan gajah dan berkata, ‘Tidak, ia besar dan datar.’”[3]
 
Jadi, inti dari perumpamaan di atas adalah sama seperti orang buta yang hanya memegang sebagian badan gajah, demikian juga setiap agama hanya memegang sebagian kebenaran mengenai realitas. Orang-orang buta itu tidak melihat seluruh gajah, maka setiap agama juga tidak ada yang memiliki pemahaman yang menyeluruh mengenai kebenaran.

Dengan demikian, klaim-klaim absolut tidak bisa dibenarkan, karena setiap agama hanya memiliki sebagian kebenaran.

Tetapi argumentasi ini sebenarnya bersifat absolut dan eksklusif, karena si pencerita pasti mengetahui seluruh gajah. Sehingga ia bisa memberitahukan bahwa orang-orang buta hanya memegang sebagian tubuh gajah.[4]
 
Jadi, secara tidak langsung, pemegang pandangan ini menganggap dirinyalah yang lebih tahu, dan menganggap pandangannya inilah yang paling benar. Jadi, tidak bisa tidak, ia jatuh dalam ekslusivisme.

Ketiga. Untuk keberatan yang ketiga, Keller mengatakan bahwa keberatan ini tidak konsisten. Jika orang yang mengajukan keberatan ketiga di atas konsisten, maka pandangannya sendiri juga dikondisikan oleh budaya dan sejarah. Dan jika pandangan yang dikondisikan oleh budaya dan sejarah itu bersifat relatif, maka keberatan ketiga di atas juga relatif.

Untuk menunjukkan hal ini lebih lanjut, Keller memakai pemikiran seorang Sosiolog, Peter L. Berger dalam bukunya A Rumor of Angel. Keller mengatakan bahwa, 

Berger menunjukkan bahwa relativisme hanya dapat ada jika kaum relativis mengecualikan diri dari relativisme. Jika semua kepercayaan dikondisikan secara sosial, dan dari situ Anda menyimpulkan bahwa ‘tidak ada agama yang dapat dianggap sebagai kebenaran yang universal bagi setiap orang,’ maka pernyataan yang komprehensif mengenai setiap orang itu sendiri adalah produk yang dikondisikan secara sosial – sehingga pernyataan itu, pada dirinya sendiri, tidak mungkin benar. Berger berkata, ‘relativitas merelatifkan dirinya sendiri,’ sehingga kita tidak bisa membuat relativisme sebagai fondasi.[5] 
Jadi, singkatnya, pernyataan yang mengatakan bahwa “semua kepercayaan agamawi dikondisikan oleh budaya dan sejarah, sehingga kepercayaan itu hanya benar bagi kelompok tertentu,” adalah pernyataan yang dikondisikan oleh budaya dan sejarah juga, dan dengan demikian hanya benar bagi si pembuat keberatan. Jika demikian untuk apa mempercayai mereka?

Keempat. Untuk keberatan keempat, Keller berpendapat keberatan ini berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Ingat bahwa, keberatan di atas juga merupakan sebuah pandangan ‘agama baru,’ yang berbeda dengan pandangan-pandangan agama lain. Jika klaim eksklusif dianggap sombong, maka orang yang menganggap klaim eksklusif itu sombong sedang berlaku sombong juga, karena mereka memutlakkan pandangan ‘agama baru’ mereka. Bukankah secara tidak langsung, orang-orang yang menyerukan keberatan keempat di atas sedang memproklamasikan bahwa pandangan ‘agama baru’ merekalah yang benar? Maka lagi-lagi, terlihat jelas bahwa mereka juga jatuh pada klaim eksklusif. Dan jika klaim eksklusif dianggap sombong, maka bukankah mereka sedang berlaku sombong juga? He he he.

Jadi, apa yang mereka berlakukan terhadap klaim-klaim eksklusif juga harus diberlakukan bagi pandangan mereka. Jadi, seperti yang Keller tegaskan, “Jika semua pandangan ‘eksklusif’ seperti itu harus disingkirkan, maka pandangan mereka juga termasuk. Jika memegang pandangan ini tidak berarti berpikiran sempit, maka memegang iman tradisional juga bukan merupakan sebuah pikiran yang sempit.”[6]

Demikian juga dengan tindakan mempertobatkan orang ke agama kita. Jika itu salah dan dianggap sombong, bukankah lucu jika pemegang pandangan keberatan di atas menginginkan kita supaya “bertobat” dan memeluk pandangan mereka?       

[1]Timothy Keller, The Reason for God: Belief in an Age of Skepticism (New York: Penguin Group, 2008). Edisi bahasa Indonesia Rasio Bagi Allah: Kepercayaan dalam Zaman Skeptisisme, terj. Junedy Lee; ed. Stevy Tillar (Surabaya: Momentum, 2013).
[2]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 24. 
[3]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 24. 
[4]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 25. 
[5]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 26. 
[6]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 29. 

Sabtu, 06 April 2019

JOHN PIPER: APAKAH ALLAH TELADAN KITA DALAM MENGAMBIL RISIKO?

Oleh: Join Kristian Zendrato

Sebagai orang Kristen, terkadang kita sering mengucapkan kata-kata dengan sikap acuh tak acuh. Kita jarang memikirkan apakah kata-kata itu Alkitabiah atau tidak. Contoh dekat tentang hal ini adalah pernyataan bahwa “Allah mengambil risiko.” Kata-kata itu mungkin kelihatan tidak terlalu ‘berbahaya.’ Tetapi itu terjadi karena kita jarang memikirkan implikasi logis dari kata-kata kita secara Alkitabiah. Padahal kalau kita memikirkan kata-kata itu secara seksama dan Alkitabiah, maka kata-kata itu sebenarnya menyesatkan.

Untuk menunjukkan bahwa kata-kata “Allah mengambil risiko” itu bersifat menyesatkan, saya akan mengutip sebuah surat yang ditulis oleh John Piper. Tetapi sebelumnya, saya akan menceritakan secara singkat latar belakang dari penulisan surat oleh Piper tersebut.

Ceritanya bermula ketika John Piper yang adalah pendeta di Betlehem Baptist Church di Minneapolis menghadiri sebuah konferensi untuk para pemimpin muda yang disponsori oleh Lausanne Committee for World Evangelization (Komite Lausanne untuk Penginjilan Sedunia) yang dinamakan “Singapore ’87” pada musim panas 1987.

Dalam konferensi tersebut, salah seorang pembicaranya mengembangkan apa yang disebut Piper sebagai suatu “visi tentang Allah sebagai teladan kita dalam mengambil risiko.” Lebih lanjut, pembicara itu “menggambarkan Allah sebagai pribadi yang mengambil risiko-risiko besar, dan berkata bahwa inilah sebabnya kita harus rela untuk mengambil risiko-risiko yang sangat besar dalam melaksanakan penginjilan sedunia.”

Jadi, dari deskripsi singkat di atas, kita bisa menarik dua kesimpulan: (1) kita harus berani mengambil risiko dalam penginjilan sedunia; (2) teladan kita dalam hal ini adalah Allah yang juga berani mengambil risiko-risiko besar.

Untuk hal ini, kita harus mengaminkan bahwa memang, kita sebagai manusia Kristen harus berani mengambil risiko dalam penginjilan sedunia. Tetapi apakah benar bahwa Allah juga Seorang yang berani mengambil risiko, sebagaimana dipercaya oleh salah seorang pembicara dalam konferensi yang dihadiri Piper?

John Piper melihat konsep Allah yang mengambil risiko itu sebagai sesuatu yang menyesatkan, sehingga Ia menuliskan sebuah surat yang berisikan respons ketidaksetujuannya terhadap konsep tersebut. Surat Piper tersebut tertanggal 6 Juli 1987, dan isinya adalah sebagai berikut:
Yang terhormat [sahabat],
Alasan utama saya menulis ini adalah untuk memberikan sebuah perspektif mengenai salah satu ceramah singkat yang Anda sampaikan mengenai Allah sebagai teladan kita dalam mengambil risiko. Saya ingin berbicara kepada Anda secara pribadi mengenai hal ini, sebab di dalamnya dijelaskan pandangan tentang Allah yang sangat berbeda dengan padangan yang saya miliki. Bagi saya tampaknya dari apa yang dikatakan oleh rekan-rekan yang lain dalam kelompok kecil kami, seperti halnya pada saat makan siang, pandangan Anda tentang Allah sebagai pengambil risiko sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh rekan-rekan yang lain.
Saya sangat terbuka untuk mengakui bahwa mungkin saya terlalu jauh menafsirkan istilah “pengambil risiko” dan bahwa perbedaan-perbedaan yang saya lihat semata-mata merupakan soal semantik. Tetapi seandainya saja tidak demikian keadaannya, izinkan saya mengemukakan respons saya....
Bagi saya tampaknya dimensi karakter Allah yang membebaskan saya untuk menjadi pengambil risiko bagi kemuliaan-Nya secara spesifik adalah kebenaran bahwa Allah tidak dan tidak bisa mengambil risiko apa pun. Dalam kehidupan saya sendiri, hambatan terbesar untuk mengambil risiko adalah ketidakpercayaan-ketidakpercayaan pada janji-janji dan kasih dan kuasa dan hikmat Allah; atau dengan kata lain, bahwa Allah memiliki kuasa, otoritas, hikmat, dan kesediaan untuk menjadikan kita “lebih dari pemenang” melalui luka-luka dan kekalahan kita. Inilah keyakinan yang membebaskan saya untuk mengambil risiko bagi Kristus.
Tetapi Allah yang Anda gambarkan sebagai pengambil-risiko tidak membangkitkan keyakinan semacam itu. Menggambarkan Allah sebagai pengambil risiko dan pribadi yang bertaruh, seperti yang Anda lakukan, menunjukkan 1) bahwa Ia tidak bisa melihat sebelumnya apa yang akan dihasilkan oleh keputusan-keputusan-Nya; dan 2) bahwa Ia tidak memegang kendali atas segala sesuatu untuk membuat keputusan-Nya tetap terlaksana. Tetapi bagi saya tampaknya Alkitab menampilkan lukisan yang sangat berbeda tentang Allah.
Izinkan saya mengambil beberapa contoh yang Anda gunakan untuk mengilustrasikan Allah sebagai pengambil risiko.
1. Apakah Allah mengambil risiko saat mempercayakan Amanat Agung di tangan kita? Saya rasa tidak. Ia tidak mempercayakannya di tangan kita sedemikian rupa sehingga hal itu tidak lagi berada di tangan-Nya. Yohanes 10:16 berkata bahwa Yesus harus dan akan mengumpulkan domba-domba-Nya yang belum berada di dalam kandang itu! (“Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga, dan mereka akan mendengarkan suara-Ku.”) Dialah yang membuka hati manusia (Kisah Para Rasul 16:14). Ia menarik manusia kepada Anak, mematahkan perlawanan mereka terhadap anugerah-Nya yang berdaulat (Yohanes 6:44, 45). Ia memanggil para utusan-Nya, dan mereka menggenapi misi mereka hanya dengan kuasa-Nya (Roma 15:15-18; 1 Korintus 15:10).
Amanat Agung itu tidak diragukan. “Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia dan menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya” (Matius 24:14). “Segala ujung bumi akan mengingatnya dan berbalik kepada TUHAN; dan segala kaum dari bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya. Sebab TUHANlah yang empunya kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa” (Mazmur 22:28-29). Jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain akan masuk (Roma 11:25). “Bumi akan dipenuhi dengan kemuliaan TUHAN” (Bilangan 14:21). Seluruh Kitab Suci meneguhkan kemenangan Allah dalam misi-misi sedunia. Hal itu tidak diragukan. Allah sudah berjanji. Allah berdaulat! Karena Ia memerintah atas hati manusia dan adalah Tuhan dari gereja-Nya, rencana-Nya tidak mungkin gagal! Karena itu, menyerahkan Amanat Agung kepada gereja bukanlah sebuah risiko.
Mungkin sebelum membahas poin-poin lain yang Anda jelaskan, saya harus mencoba mendefinisikan “risiko.” Saya ingin mendefinisikannya seperti ini: Seseorang mengambil risiko ketika ia melakukan suatu tindakan yang menghadapkannya pada kemungkinan kecelakaan atau kehilangan yang tidak pasti. Ini berarti bahwa jika Anda tahu bahwa sebuah tindakan akan melukai Anda dan bagaimanapun juga Anda tetap memilihnya, Anda tidak menyebutnya risiko. Anda bisa menyebutnya kebodohan. Anda bisa menyebutnya pengorbanan. Atau Anda bisa menyebutnya kasih. Tetapi risiko menyiratkan ketidakpastian: mungkin saya akan kalah, dan mungkin juga tidak; saya tidak yakin.
Hal yang sama juga berlaku dalam taruhan. Jika Anda mengetahui hasil yang akan ditunjukkan oleh dadu itu ketika Anda menggulingkannya, itu bukanlah taruhan. Itu adalah kekalahan yang pasti atau kemenangan yang pasti. Ketidakpastian menjadi inti dari risiko atau taruhan. Tetapi tidak ada hal yang tidak pasti bagi Allah! “Akulah Allah, dan tidak ada yang seperti Aku, yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana” (Yesaya 46:9-10).  Allah mengetahui sejak zaman purbakala hal-hal yang akan terjadi di masa depan. “Lihat, nubuat-nubuat yang dahulu sekarang sudah menjadi kenyataan, dan kini Aku hendak memberitahukan hal-hal yang baru. Sebelum hal-hal itu muncul, Aku mengabarkannya kepadamu” (Yesaya 42:9). Allah mengetahui bagaimana segala rencana-Nya itu akan terlaksana. Lalu, dalam pengertian apakah kita bisa mengatakan bahwa Dia mengambil risiko, yaitu, bertindak dengan ketidakpastian tentang hasil akhir yang akan dicapai?
2. Anda berkata bahwa Allah mengambil risiko dalam inkarnasi ketika Ia mengutus Yesus Kristus ke dalam dunia. Anda mengilustrasikan hal ini dengan kemungkinan bahwa Yesus bisa saja dibunuh oleh para tentara Herodes ketika Ia masih bayi di Betlehem.
Tetapi apakah Anda sungguh-sungguh percaya bahwa Allah telah menyerahkan kendali atas situasi sehingga semua janji Perjanjian Lama tentang penyaliban dan pengajaran dan kebangkitan Kristus mungkin digagalkan? Apakah janji Allah, yang digenapi dalam kehidupan dan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, benar-benar sedemikian tidak pasti?
Bagaimana dengan Kisah Para Rasul 2:23 – bahwa Yesus diserahkan untuk disalibkan (bukan dengan risiko, tetapi) “menurut rencana yang pasti dan pengetahuan sebelumnya dari Allah?” Bagaimana inkarnasi dapat disebut sebagai sebuah risiko jika hal itu merupakan maksud dan kehendak Allah yang pasti (setidaknya tujuh ratus tahun sebelum hal itu terjadi) untuk meremukkan Anak-Nya (Yesaya 53:10)? Bagaimana mungkin tindakan Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia dianggap sebagai risiko padahal Ia memang merencanakan agar Anak-Nya itu disalibkan (Kisah Para Rasul 4:28)? Bagi saya tampaknya kita tidak boleh menyebut inkarnasi sebagai risiko, tetapi sebagai suatu pengorbanan yang pasti dan terencana dari Anak.
3. Hal yang sama sepertinya juga berlaku bagi pertobatan pribadi kita. Kisah Para Rasul 13:48 mengatakan, “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya.” Allah bahkan tidak mempercayakan isu pertobatan secara final ke tangan manusia – seolah-olah struktur dan ukuran dari komunitas penyembah Allah yang kekal akan dirancang oleh pikiran-pikiran manusia berdosa dan bukan oleh hikmat Allah yang tidak terbatas. Tuhan mengenal milik kepunyaan-Nya (2 Timotius 2:19). Dialah yang mengaruniakan pertobatan (2 Timotius 2:25-26). Ia akan memanggil domba-domba-Nya masing-masing menurut namanya dan mereka akan mendengar dan mengikuti Dia (Yohanes 10:3-4).
Allah juga tidak mempercayakan pertumbuhan dan ketekunan kita di dalam kekudusan kepada risiko yang tidak pasti. Sebaliknya, Ia berkata, “Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya” (Yehezkiel 36:27). Tuhan sendirilah yang mengerjakan di dalam kita kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan kehendak-Nya (Filipi 2:12-13; Ibrani 13:21). Ini tidak bersifat mekanis atau paksaan. Tetapi hal ini pasti bagi umat Allah yang sejati. Festo Kivengere, yang melayani bersama African Enterprise, menggambarkan karya Roh yang berdaulat dan mustahil dihindari dalam hidup kita seperti ini:
Ia terus bergumul dengan keengganan-keengganan dan keraguan-keraguan kita. Ia datang dan menginsyafkan saya akan sesuatu, dan saya mulai gelisah. Kita benar-benar sulit dikendalikan, bukan? Roh Kudus yang penuh rahmat tidak mendesak. Ia hanya mendorong dengan lembut.
Ketika Anda gelisah dan menjadi resah, Ia berhenti sejenak dan membiarkan Anda. Kemudian Ia datang kembali dan menangkap Anda di sebuah sudut di mana Anda tidak akan terlalu gelisah. Di dalam sudut itu, Ia mengerjakan karya-Nya yang indah untuk membalikkan Anda. Dan apakah yang Anda lihat? Anak Domba Allah.
Batu itu sudah selesai dipahat dan Anda teleh menerima bentuk yang tepat! Begitulah cara Ia menangani kita, batu-batu dari segala ras dan latar belakang, dan menyatukan kita bersama ke dalam suatu tempat kediaman Allah yang indah. [dikutip Piper dari Outlook, xv, 1 (January 1978): 1].
Kesimpulan saya dari refleksi-refleksi ini adalah bahwa kita memang harus mengambil risiko untuk memberitakan Kristus. Bahkan, sebelum tiba di Singapura, saya telah mempersiapkan diri saya dengan mengkhotbahkan tiga khotbah dengan tema, “Risk and the Cause of God (Risiko dan Alasan Allah).” Tetapi alasan yang membuat kita sebagai manusia bisa mengambil risiko adalah karena kita tidak memahami masa depan kita di bumi. Kita tidak tahu pasti tentang apa yang akan terjadi di sini. Tetapi Allah ada di sorga dan melakukan segala yang berkenan kepada-Nya (Mazmur 115:3). Keputusan-Nya tidak pernah berubah dan segala kehendak-Nya pasti terlaksana (Yesaya 46:9-10). Ia mengetahui akhirnya sejak permulaan, dan karena itu tidak dapat mengambil risiko. Ia bisa mengorbankan diri-Nya, dan Ia bisa mengasihi. Tetapi Ia tidak pernah menggulingkan dadu. Ia tidak pernah bertaruh dalam melakukan sesuatu.
Demi maksud-maksud pribadi-Nya yang bijaksana, Ia bisa mengizinkan pekerjaan-Nya untuk mengalami kemunduran sementara (baik secara individual maupun secara global). Ia bisa mengasihi dengan mengorbankan nyawa Anak-Nya. Tetapi untuk melukiskan-Nya sebagai seorang pengambil risiko berarti mempertanyakan kemahatahuan dan kedaulatan-Nya, dan dengan demikian merampas landasan yang nyata dari keyakinan kita, dan juga kuasa yang memampukan kita untuk mengambil risiko bagi Allah.
Saya sangat berterima kasih untuk waktu yang Anda sediakan untuk membaca surat ini. Ketahuilah bahwa surat ini ditulis dengan harapan yang besar bahwa saya telah salah memahami pandangan Anda tentang Allah. Surat ini dikirim dengan harapan yang sangat besar bahwa perbedaan pendapat apa pun yang tersisa di antara kita sesudah surat ini diterima, tidak akan menghambat pengabdian kita kepada Yesus Kristus dan kerelaan kita untuk menyerahkan nyawa kita demi kemuliaan-Nya.
Sahabat dan rekan Anda dalam Karya yang Agung,
John Piper[1]  


[1]Surat John Piper ini dicantumkan dalam bukunya Kesukaan Allah: Meditasi Mengenai Kegemaran Allah di dalam Keberadaan-Nya sebagai Allah, terj. Grace Purnamasari, cetakan ke-2 (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 51-60. 

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...