Senin, 22 April 2019

APAKAH KITA TIDAK BOLEH BERSIKAP EKSKLUSIF?

Oleh: Join Kristian Zendrato
 
Dalam dunia yang serba pluralistik ini, di mana beragam agama hadir dan bersemangat menyerukan ajaran-ajaran yang mereka anggap benar, banyak kalangan yang tidak menyetujui jika sebuah agama memproklamasikan klaim-klaim yang bersifat absolut dan ekslusif. Berbagai macam alasan telah diberikan untuk meneguhkan ketidaksetujuan ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama. Ada yang menganggap bahwa semua agama sama-sama benar. Oleh karena itu, klaim-klaim absolut dan eksklusif tidak bisa dibenarkan.

Kedua. Ada yang menganggap bahwa setiap agama hanya melihat sebagian dari kebenaran rohani, tidak ada orang yang dapat melihat seluruh kebenaran. Oleh karena itu, klaim absolut dan eksklusif tidak bisa dibenarkan.

Ketiga. Ada yang menganggap bahwa kepercayaan agamawi dikondisikan oleh budaya dan sejarah, sehingga kepercayaan agamawi tertentu hanya benar bagi agama itu sendiri, dan karena itu tidak absolut.

Keempat. Konklusi akhir dari semua ini adalah jika seseorang menganggap bahwa agamanya yang benar dan berusaha mempertobatkan orang lain untuk masuk ke agamanya, maka hal itu dicap sebagai kesombongan.

Keberatan-keberatan di atas sering memusingkan orang percaya, dan bahkan mungkin ada yang mulai meragukan imannya kepada Kristus. Tetapi tidak harus demikian. Timothy Keller dalam bukunya The Reason for God[1] telah menunjukkan dengan sangat baik kecacatan dari beberapa argumen keberatan di atas. Saya akan meringkaskan beberapa argumentasi Keller tersebut.

Pertama. Untuk keberatan pertama, Keller menganggap bahwa itu sama sekali tidak masuk akal karena semua agama tidak sama-sama benar. Tentunya, kita tidak setuju dengan, misalnya agama-agama primitif yang dalam upacara keagamaan mereka mengorbankan anak mereka, dan sebagainya.

Selanjutnya, Keller juga mengamati bahwa sebenarnya, orang yang menyerukan keberatan pertama di atas sedang mendirikan ‘agama baru.’ Agamanya adalah agama yang mengakui bahwa semua agama sama-sama benar, dan secara implisit memproklamasikan bahwa pandangannyalah yang paling benar. Sehingga, tidak bisa tidak, dia jatuh ke dalam eksklusivisme yang sebelumnya ingin ia hindari. Keller mengatakan, “Jadi para pendukung pandangan ini melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka larangkan kepada orang lain.”[2]

Kedua. Untuk keberatan kedua, Keller mengatakan bahwa keberatan ini seringkali diilustrasikan dengan kisah orang buta dan gajah. Keller menjelaskannya: “beberapa orang buta sedang berjalan dan menjumpai seekor gajah, kemudian mereka menyentuhnya. Orang pertama berkata sambil memegang belai gajah, ‘Makhluk ini panjang dan fleksibel seperti ular.’ Orang buta kedua memegang kaki gajah dan berkata, ‘Tidak sama sekali – ia besar dan bulat seperti batang pohon.’ Orang buta ketiga memegang badan gajah dan berkata, ‘Tidak, ia besar dan datar.’”[3]
 
Jadi, inti dari perumpamaan di atas adalah sama seperti orang buta yang hanya memegang sebagian badan gajah, demikian juga setiap agama hanya memegang sebagian kebenaran mengenai realitas. Orang-orang buta itu tidak melihat seluruh gajah, maka setiap agama juga tidak ada yang memiliki pemahaman yang menyeluruh mengenai kebenaran.

Dengan demikian, klaim-klaim absolut tidak bisa dibenarkan, karena setiap agama hanya memiliki sebagian kebenaran.

Tetapi argumentasi ini sebenarnya bersifat absolut dan eksklusif, karena si pencerita pasti mengetahui seluruh gajah. Sehingga ia bisa memberitahukan bahwa orang-orang buta hanya memegang sebagian tubuh gajah.[4]
 
Jadi, secara tidak langsung, pemegang pandangan ini menganggap dirinyalah yang lebih tahu, dan menganggap pandangannya inilah yang paling benar. Jadi, tidak bisa tidak, ia jatuh dalam ekslusivisme.

Ketiga. Untuk keberatan yang ketiga, Keller mengatakan bahwa keberatan ini tidak konsisten. Jika orang yang mengajukan keberatan ketiga di atas konsisten, maka pandangannya sendiri juga dikondisikan oleh budaya dan sejarah. Dan jika pandangan yang dikondisikan oleh budaya dan sejarah itu bersifat relatif, maka keberatan ketiga di atas juga relatif.

Untuk menunjukkan hal ini lebih lanjut, Keller memakai pemikiran seorang Sosiolog, Peter L. Berger dalam bukunya A Rumor of Angel. Keller mengatakan bahwa, 

Berger menunjukkan bahwa relativisme hanya dapat ada jika kaum relativis mengecualikan diri dari relativisme. Jika semua kepercayaan dikondisikan secara sosial, dan dari situ Anda menyimpulkan bahwa ‘tidak ada agama yang dapat dianggap sebagai kebenaran yang universal bagi setiap orang,’ maka pernyataan yang komprehensif mengenai setiap orang itu sendiri adalah produk yang dikondisikan secara sosial – sehingga pernyataan itu, pada dirinya sendiri, tidak mungkin benar. Berger berkata, ‘relativitas merelatifkan dirinya sendiri,’ sehingga kita tidak bisa membuat relativisme sebagai fondasi.[5] 
Jadi, singkatnya, pernyataan yang mengatakan bahwa “semua kepercayaan agamawi dikondisikan oleh budaya dan sejarah, sehingga kepercayaan itu hanya benar bagi kelompok tertentu,” adalah pernyataan yang dikondisikan oleh budaya dan sejarah juga, dan dengan demikian hanya benar bagi si pembuat keberatan. Jika demikian untuk apa mempercayai mereka?

Keempat. Untuk keberatan keempat, Keller berpendapat keberatan ini berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Ingat bahwa, keberatan di atas juga merupakan sebuah pandangan ‘agama baru,’ yang berbeda dengan pandangan-pandangan agama lain. Jika klaim eksklusif dianggap sombong, maka orang yang menganggap klaim eksklusif itu sombong sedang berlaku sombong juga, karena mereka memutlakkan pandangan ‘agama baru’ mereka. Bukankah secara tidak langsung, orang-orang yang menyerukan keberatan keempat di atas sedang memproklamasikan bahwa pandangan ‘agama baru’ merekalah yang benar? Maka lagi-lagi, terlihat jelas bahwa mereka juga jatuh pada klaim eksklusif. Dan jika klaim eksklusif dianggap sombong, maka bukankah mereka sedang berlaku sombong juga? He he he.

Jadi, apa yang mereka berlakukan terhadap klaim-klaim eksklusif juga harus diberlakukan bagi pandangan mereka. Jadi, seperti yang Keller tegaskan, “Jika semua pandangan ‘eksklusif’ seperti itu harus disingkirkan, maka pandangan mereka juga termasuk. Jika memegang pandangan ini tidak berarti berpikiran sempit, maka memegang iman tradisional juga bukan merupakan sebuah pikiran yang sempit.”[6]

Demikian juga dengan tindakan mempertobatkan orang ke agama kita. Jika itu salah dan dianggap sombong, bukankah lucu jika pemegang pandangan keberatan di atas menginginkan kita supaya “bertobat” dan memeluk pandangan mereka?       

[1]Timothy Keller, The Reason for God: Belief in an Age of Skepticism (New York: Penguin Group, 2008). Edisi bahasa Indonesia Rasio Bagi Allah: Kepercayaan dalam Zaman Skeptisisme, terj. Junedy Lee; ed. Stevy Tillar (Surabaya: Momentum, 2013).
[2]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 24. 
[3]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 24. 
[4]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 25. 
[5]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 26. 
[6]Keller, Rasio Bagi Allah, hal. 29. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...