Selasa, 25 September 2018

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato

A. PENDAHULUAN

Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan salah satu doktrin khas Reformed atau Calvinisme. Tujuan saya menulis mengenai topik ini tidak lain yakni supaya pembaca yang belum pernah mempelajari doktrin ini dapat mempelajarinya melalui tulisan ini. Tulisan ini juga ditujukan kepada mereka yang tidak setuju atau telah salah paham mengenai doktrin ini, supaya mereka bisa memahami secara benar doktrin ini, melihat argumentasi dan dasar-dasar Alkitabnya. Satu-satunya ujian terakhir dari sebuah ajaran adalah Alkitab, yang saya yakini dengan sepenuh hati sebagai firman Allah. Jadi, saya siap dikritik oleh siapa pun, saya juga bersedia melakukan debat dengan siapapun yang merasa doktrin ini salah dan tidak Alkitabiah.

B. PENGERTIAN PREDESTINASI

Predestinasi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai tindakan Allah dalam kekekalan di mana Dia dengan kehendak-Nya yang kudus telah menetapkan sebagian manusia untuk diselamatkan (masuk surga) dan sebagian lainnya ditetapkan-Nya untuk binasa (masuk neraka). Yang pertama biasanya disebut sebagai election, sedangkan yang terakhir biasanya disebut reprobation. Herman Bavinck menyebut predestinasi sebagai “pendeterminasian keadaan kekal semua ciptaan rasional.”[1]

C. PERNYATAAN DOKTRIN INI DAN DASAR-DASAR ALKITABNYA

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai doktrin ini, yakni: pertama, tindakan penetapan Allah ini terjadi dalam kekekalan sebelum segala sesuatu ada. Kedua, penetapan ini semata-mata di dasarkan pada kehendak Allah sendiri, bukan pada pra-pengetahuan Allah mengenai iman atau pertobatan manusia. Jadi, penetapan ini sepenuhnya unconditional (tidak bersyarat). Ketiga, Predestinasi tidak bisa gagal, artinya orang pilihan akan percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh, sedangkan orang bukan pilihan tidak pernah akan percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh sampai Ia mati. Keempat, dalam penentuan ini, Allah tidak bersikap tidak adil. Saya akan menunjukkan dasar Alkitab mengenai keempat hal di atas. 

       1.      Penetapan Allah Terjadi Dalam Kekekalan

Mungkin bagian Alkitab yang paling eksplisit mengenai hal ini adalah Efesus 1. Dalam ayat 4-5 Paulus menyatakan, “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Perhatikan kata-kata “telah memilih kita sebelum dunia dijadikan” (ay. 4) dan juga “Ia telah menentukan kita dari semula” (ay. 5). Kata-kata ini menunjukkan bahwa tindakan pemilihan itu dilakukan dalam kekekalan.

       2.      Penetapan Itu Bersifat Unconditional (Tidak Bersyarat)

Kaum Arminian bersikeras bahwa Penetapan Allah di dasarkan pada apa yang telah dilihat Allah sebelumnya dalam diri orang tersebut. Misalnya bahwa orang itu akan percaya, akan taat kepada Tuhan, dan sebagainya, maka hal-hal itulah yang membuat Allah menetapkan mereka untuk diselamatkan. Contoh untuk pandangan seperti ini adalah J. Wesley Brill. Brill dalam sebuah bukunya yang berujudul Dasar yang Teguh menulis,
Sejak permulaan dunia ini, karena kemahatahuan-Nya, Allah telah memilih orang-orang yang akan bertobat dan percaya kepada-Nya. Melalui kemahatahuan-Nya Tuhan Allah telah mentakdirkan untuk menyelamatkan mereka yang akan bertobat dan percaya kepada-Nya. Jemaat Kristus telah dipilih dan ditakdirkan untuk memperoleh keselamatan. Akan tetapi pilihan dan takdir di dasarkan pada kemahatahuan Allah yang sudah mengetahui lebih dulu. Orang-orang pilihan itu telah dipilih sebab Tuhan tahu bahwa mereka akan melaksanakan segala tuntutan panggilan Allah, yaitu bertobat dan percaya. Tuhan telah mengetahui lebih dulu siapa yang akan menuruti panggilan itu.[2]
Terhadap pandangan seperti ini, saya mau memberikan beberapa bantahan. Pertama, tindakan Allah untuk menetapkan seseorang untuk diselamatkan karena Allah telah melihat sebelumnya bahwa orang tersebut akan percaya adalah tindakan konyol. Jika Allah telah mengetahui sebelumnya bahwa orang tertentu akan percaya, maka untuk apa Allah memilih lagi? Ingat bahwa pengetahuan Allah itu pasti. Jika dalam pengetahuan Tuhan sebelumnya, orang itu akan percaya, dan dengan demikian diselamatkan, maka orang itu pasti percaya dan diselamatkan! Lalu jika itu diketahui oleh Allah sebelumnya dengan pasti, untuk apa Dia memilih orang itu untuk diselamatkan lagi? Loraine Boettner benar ketika ia menyimpulkan, “jika dilihat dari sisi orang pilihan, apa artinya bagi Allah untuk memilih orang-orang yang Ia ketahui akan memilih diri-Nya sendiri?” Kemudian Boettner berkata, “Ini hanyalah kata-kata kosong.”[3]
Kedua, jika skema Arminian konsisten pada premis awalnya, maka pada analisis terakhir, bukan Allah yang menyelamatkan manusia sepenuhnya, tetapi setidaknya manusia mempunyai sebagian andil dalam keselamatannya sendiri. Jika Allah memilih manusia berdasarkan pra-pengetahuan-Nya, maka itu mensyaratkan kelayakan manusia sebelum ia dipilih, dan berdasarkan kelayakannya itu manusia kemudian dipilih, dan bukankah, jika Arminianisme konsisten, maka setidaknya, manusia mempunyai andil dalam keselamatannya? Tidak butuh IQ yang terlalu tinggi untuk mengerti kesalahan konsep seperti ini.  
Ketiga, banyak ayat Alkitab yang menunjukkan bahwa penetapan Allah itu bersifat unconditional (tidak bersyarat). Misalnya dalam Efesus 1:4, Paulus menulis, “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Perhatikan bahwa “kudus dan tak bercacat” adalah hasil dari pemilihan, bukan syaratnya. Ini jelas sangat bertentangan dengan kata-kata J. Wesley Brill yang telah saya kutipkan di atas.
Kemudian dalam Efesus 1:5 dikatakan bahwa “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Perhatikan kalimat terakhir dari ayat di atas yang menyatakan, “sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” yang menunjukkan bahwa pemilihan itu tidak bersyarat, dalam arti, pemilihan itu tidak di dasarkan pada pra-pengetahuan Allah terhadap apa yang ada dalam diri orang itu, tetapi sepenuhnya berdasarkan kehendak Allah sendiri.
Teks lain yang paling sering dikutip untuk mendukung poin ini adalah Roma 9, khususnya ayat 10-11.
Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, -- supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya.
Perhatikan bahwa Paulus sedang membicarakan Esau dan Yakub, yang merupakan anak kembar dari Ishak dan Ribka. Jelas bahwa Tuhan membedakan kedua anak ini. Esau jelas bukan orang percaya, sedangkan Yakub orang percaya. Tetapi mengapa yang satu bisa percaya, sedangkan yang lain tidak? Apakah karena Yakub lebih baik dari Esau? Tentu Anda akan berkesimpulan “tidak sama sekali,” jika Anda telah mengenal cerita mereka dalam Perjanjian Lama. Paulus bahkan berargumen bahwa sebelum anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, Allah telah melakukan pembedaan di antara mereka (ay. 11). Jadi, Arthur W. Pink benar ketika ia menegaskan, “Dengan demikian penyebab terjadinya pemilihan oleh Allah tersebut semata-mata terletak dalam diri-Nya sendiri dan bukan pada objek pilihan-Nya. Dia memilih orang-orang yang dikehendaki-Nya, semata-mata karena Dia berkehendak untuk memilih mereka.”[4] Saya kira, ini sudah cukup menunjukkan bahwa pemilihan dan penolakan Allah bersifat unconditional (tidak bersyarat), dan benar-benar berdasarkan kedaulatan kehedak-Nya.

       3.      Predestinasi Tidak Bisa Gagal

Predestinasi tidak bisa gagal berarti bahwa siapa pun yang telah ditetapkan oleh Allah untuk selamat (masuk surga) pasti akan datang dan percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh. Perhatikan misalnya Kisah Para Rasul 13:48, “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya.” Dalam ayat ini, jelas bahwa yang “menjadi percaya” adalah “semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal.” Jika Allah telah menetapkan seseorang dari semula untuk diselamatkan, maka “menjadi percaya” tidak bisa tidak terjadi. Mengenai ayat ini Arthur W. Pink menulis:
Di sini kita dapat belajar empat hal. Pertama, bahwa percaya itu merupakan akibat dan bukan sebab dari ketetapan Allah. Kedua, bahwa hanya sebagian orang yang “ditentukan Allah untuk hidup yang kekal,” sebab bila semua ditentukan Allah untuk memperoleh hidup yang kekal, maka ungkapan “semua yang ditentukan Allah” akan kehilangan maknanya. Ketiga, bahwa “penentuan” dari Allah ini bukan untuk suatu hak istimewa eksternal, melainkan bagi “hidup yang kekal,” bukan sekedar untuk melayani, melainkan juga untuk keselamatan itu sendiri. Keempat, bahwa semua orang yang ditentukan Allah – tak kurang satu orang pun – untuk hidup yang kekal pasti akan percaya.[5]
Pink juga mengutip komentar Charles Haddon Spurgeon sebagai berikut:
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membuktikan bahwa ayat tersebut bukan mengajarkan tentang predestinasi, namun semua upaya tersebut telah melakukan manipulasi bahasa sedemikian rupa, dan saya pun tidak akan membuang waktu untuk membahasnya… Saya membaca: ‘Dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya,’ dan saya tidak akan mencoba membelokkan teks tersebut, sebaliknya saya akan memuliakan anugerah Allah yang menjadi sumber dari iman yang dimiliki oleh setiap orang… Bukankah Allah yang mengaruniakan kecondongan hati untuk percaya? Bila manusia telah telah ditentukan untuk memperoleh hidup yang kekal, tidakkah dalam semua hal Dia yang mengaturnya bagi mereka? Salahkah tindakan Allah yang memberikan anugerah-Nya kepada manusia? Bila Dia dibenarkan untuk memberikannya, maka salahkah bila Dia merencanakan pemberian itu? Akankah Anda merasa bahwa pemberian-Nya bersifat kebetulan belaka? Bila Dia dibenarkan untuk merencanakan pemberian anugerah-Nya hari ini, maka Dia tentu juga dibenarkan untuk merencanakannya sebelum hari penganugerahan tersebut tiba – karena Dia tidak pernah berubah – sejak dari kekekalan.[6]
Jadi dari sini, kita melihat bahwa dalam ayat di atas terlihat bahwa sebelumnya, Allah telah menetapkan orang-orang tertentu untuk diselamatkan. Kemudian, Allah menetapkan bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga jalan untuk mencapai tujuan akhir itu telah ditetapkan-Nya. Hal ini bisa terjadi karena rencana Allah itu tidak bisa gagal (Ayub 42:2). Kegagalan adalah bagian dari makhluk yang terbatas, sedangkan Allah tidak terbatas.

      4.      Apakah Allah Tidak Adil?

Mungkin pertanyaan pertama yang muncul di benak Anda, ketika mempelajari doktrin ini adalah bukankah Allah sepertinya tidak adil? Sepintas, keberatan ini terlihat benar. Tetapi, saya kira, hal itu terjadi karena kita berusaha memahami Allah dengan rasio kita yang begitu terbatas dan berdosa. Apakah kita lupa bahwa Paulus pernah berseru dalam kekaguman, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Rm. 11:33).  Jika keberatan ini muncul karena Allah tidak memperlakukan orang-orang secara sama rata, atau karena Allah berbuat sesuatu yang sebelumnya belum “dibicarakan” kepada manusia, maka jelas keberatan ini adalah penghujatan. Mengenai yang pertama, saya bertanya, atas dasar apa kita berkata bahwa Allah harus berbuat secara sama rata? Apakah engkau diciptakan sebagai manusia? Ya tentu. Tetapi pernahkah Anda bertanya, kenapa saya tidak diciptakan sebagai sapi atau binatang lainnya? Mengenai yang kedua, saya hanya mau mengatakan bahwa Allah tidak perlu minta izin untuk melakukan sesuatu.
Kemudian, ketika membicarakan mengenai doktrin ini dalam Roma 9, Paulus tidak menganggap bahwa Allah tidak adil sama sekali. Setelah Ia membicarakan mengenai pemilihan Yakub dan penolakan terhadap Esau, yang telah Ia lakukan bahkan sebelum mereka lahir, serta belum berbuat baik dan jahat (ay. 10-11), Paulus mengajukan pertanyaan yang wajar ketika mempelajari doktrin ini, “Apakah Allah tidak adil?” (ay. 14). Paulus tidak berusaha memberikan jawaban untuk pertanyaan itu, ia hanya menyatakan, “Mustahil!” (ay. 14), kemudian melanjutkan dengan pernyataan yang berintikan bahwa Allah berhak untuk bertindak sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Perhatikan dengan seksama kata-kata Paulus berikut ini:
Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, -- supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya -- dikatakan kepada Ribka: "Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda," seperti ada tertulis: "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau." Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil! Sebab Ia berfirman kepada Musa: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati." Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya. Sekarang kamu akan berkata kepadaku: "Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?" Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?" Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa? Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan -- justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain” (Rm. 9:10-24).
      5.      Catatan Tambahan

Sejauh ini, Anda mungkin melihat bahwa ayat-ayat yang saya gunakan, kebanyakan mendukung pemilihan, kecuali dalam Roma 9 di atas. Lalu bagaimana dengan penolakan (reprobation)? Ini pertanyaan yang mudah di jawab. Pertama, Roma 9 sudah menunjukkan adanya reprobation. Kedua, penolakan (reprobation) merupakan konsekuensi logis dari pemilihan (election). Jika election berlaku bagi sebagian orang, maka tidak bisa tidak, reprobation berlaku bagi sisanya. Ketiga, banyak ayat Kitab Suci yang mendukung reprobation, misalnya: Amsal 16:4; Matius 11:20-24; Yohanes 17:12; Roma 9:13,17,18,21-22; Yudas 1:4; dan sebagainya. Maka berdasarkan semua penjelasan ini, saya menganut Double Predestination (Predestinasi Ganda) yang berarti mempercayai election maupun reprobation.

Soli Deo Gloria!

[1]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jld II (Surabaya: Momentum, 2012), 470. 
[2]J. Wesley Brill, Dasar yang Teguh (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1998), 208-209. 
[3]Loraine Boettner, Iman Reformed (Surabaya: Momentum, 2000), 40. 
[4]Arthur W. Pink, Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2005), 64. 
[5]Pink, Kedaulatan Allah, 54-55. 
[6]Pink, Kedaulatan Allah, 55. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...