Sabtu, 29 Desember 2018

RONALD NASH: ANTARA ARMINIANISME DAN CALVINISME

Oleh: Join Kristian Zendrato 

Saya telah menghabiskan cukup banyak waktu untuk membaca mengenai pertentangan teologis antara Calvinisme (Reformed) dan Arminianisme, dan dengan senang hati saya memproklamasikan diri saya sebagai seorang penganut Calvinisme (Reformed). Satu hal yang sangat mendasar, yang membuat saya menolak Arminianisme adalah perendahan mereka terhadap Allah.

Misalnya dalam persoalan predestinasi. Calvinisme mempercayai unconditional election (pemilihan tanpa syarat). Artinya, ketika Allah memilih seseorang untuk diselamatkan dalam kekekalan, maka dasar pemilihan-Nya itu didasarkan pada kehendak dan kedaulatan-Nya sendiri, bukan pada apa pun yang akan ada pada diri orang yang dipilih-Nya. Tetapi bagi Arminianisme, pemilihan Allah bukan seperti itu. Allah memang memilih seseorang untuk diselamatkan, tetapi pemilihan itu bukan didasarkan pada kerelaan kehendak-Nya semata-mata, tetapi pada apa yang telah lebih dulu Allah lihat dalam diri orang yang dipilih-Nya. Misalnya, Allah memilih si A karena Allah telah tahu bahwa si A akan percaya kepada Kristus dan akan bertobat dari dosa-dosa-Nya. Jadi, tindakan Allah untuk memilih ditentukan oleh apa yang Allah lihat dalam diri orang yang dipilih-Nya. Maka dari sini saya menyimpulkan bahwa dalam sistem Arminianisme, Allah betul-betul direndahkan, sehingga Allah memilih karena manusia memang pantas dipilih. 

Saya juga dicengangkan dengan penemuan-penemuan dari bacaan-bacaan saya bahwa dalam sistem teologi Arminianisme, kehendak atau rencana Allah sering bisa dihalangi oleh kehendak bebas manusia. Saya tidak tahu, Allah macam apa yang kehendak-Nya bisa digagalkan oleh kehendak bebas manusia? Tapi itulah Allah Arminianisme. Maka, seperti yang saya katakan sebelumnya, sistem teologi Arminianisme ini betul-betul merendahkan Allah dan meninggikan otonomi manusia.
  
Dalam berargumentasi, Arminianisme juga sering terlalu menggunakan logika manusia yang terbatas, tanpa tunduk kepada ajaran Alkitab yang jelas. Dan lagi-lagi ini jelas merupakan perendahan terhadap Allah. Merendahkan firman-Nya berarti merendahkan-Nya.
  
Kesimpulan saya ini diteguhkan oleh kesaksian singkat dari Profesor Ronald H. Nash. Nash adalah profesor teologi dan filsafat dari Reformed Theological Seminary, di Orlando, Florida. Nash pada awalnya adalah seorang teolog yang berhaluan Arminianisme, tetapi pada akhirnya ia meninggalkan sistem teologi tersebut dan menganut Calvinisme (Reformed).

Dalam sebuah bukunya yang berjudul When a Baby Dies[1] Nash menuliskan kesaksian singkatnya mengenai bagaimana ia pada akhirnya meninggalkan Arminianisme dan menganut Calvinisme. Nash meringkas 4 alasan utamanya sebagai berikut:
  
Alasan No. 1: Saya berhenti melawan pengertian Alkitab yang jelas. Anda harus ingat bahwa saya telah menjadi guru besar filsafat selama lebih dari empat puluh tahun. Dalam karier saya, saya telah mengamati perlunya keterbukaan dan pemikiran yang mendalam sebelum mengambil satu posisi. Namun, perlawanan saya terhadap Calvinisme merupakan perkecualian. Seingat saya, hanya satu kali sebelum tahun 1970, saya membuka sebuah buku yang memihak pandangan Reformed. Ketika saya membaca buku itu sepintas lalu, paradigma Arminian yang membelenggu saya belum dapat diruntuhkan. Masalah serupa muncul setiap kali saya sampai pada ayat atau bagian “Calvinis” dalam Alkitab; saya menemukan cara yang cerdik untuk menyingkirkan sengatan Reformed dari ayat itu. Saya meyakinkan diri bahwa Calvinisme tidak mungkin benar, dan tak satu pun yang dapat mengubah pikiran saya, bahwa kesaksian Alkitabiah yang berlimpah tentang kasih karunia Allah sekalipun. Akhirnya tiba saatnya saya berhenti melarikan diri dari pasal-pasal seperti Yohanes 6, Roma 8, dan Efesus 1-2. Saya memang belum menerimanya, tetapi pikiran saya tidak lagi tertutup bagi subjek-subjek tersebut.
  
Alasan No. 2: Suatu hari, tatkala merenungkan permasalahan ini dengan sungguh-sungguh, saya mulai menyadari natur perjuangan saya yang sebenarnya. Saya terbelah di antara posisi yang meninggikan manusia dan posisi lain yang meninggikan Allah. Akhirnya saya memutuskan – karena saya harus memilih di antara kedua sistem ini – bahwa saya harus memilih untuk berpihak pada Allah. Keputusan itu masih terasa masuk akal bagi saya sampai saat ini.
  
Alasan No. 3: Segera setelah saya dengan serius mulai membaca buku-buku Calvinis, tulisan dua orang pemikir Reformed mulai mengoyak pertahanan saya. Salah satunya adalah esai Roger Nicole yang berjudul “The ‘Five Points’ and God’s Sovereignty.” Satu lagi ditulis oleh seorang teolog dan penulis Inggris terkenal, J.I Packer. Ironisnya, tulisan Packer yang menolong saya dalam hal ini merupakan esai singkat yang hanya dibaca oleh sedikit orang. Esai itu diterbitkan sebagai pendahuluan bagi sebuah buku klasik karya penulis Puritan abad ke-17, John Owen, yang sekarang diterbitkan kembali. Buku tersebut berjudul The Death of Death in the Death of Christ. Begitu selesai membaca esai pengantar Packer, saya melanjutkan membaca karya Owen dan ketika selesai, saya mendapati diri saya berada dalam dunia yang sama sekali baru, dunia yang di dalamnya saya bukan lagi seorang Arminian.
  
Alasan No. 4: Setelah lama menolak Arminianisme, saya menemukan peneguhan atas keputusan saya di dalam tindakan para pemikir Arminian zaman sekarang. Ingatlah bahwa salah satu alasan saya meninggalkan Arminianisme adalah karena saya menyadari bahwa Arminianisme meninggikan otonomi manusia dan mengurangi peran Allah berkembang sedemikian sembrono sehingga, saya percaya, hal ini mengharuskan kita meragukan ortodoksi [ajaran] sebagian pemimpin ini.[2] 

Lalu Nash memberikan contoh pandangan tertentu yang menolak kematahuan Allah yang sempurna. Mereka menolak kemahatahuan Allah karena mereka tidak bisa menyelaraskannya dengan kehendak bebas manusia. Nash meratapi bahwa Allah digambarkan sedemikian terbatas oleh orang-orang ini sehingga “saya,” kata Nash, “sering merasa tergerak berdoa bagi-Nya, bukan kepada-Nya.”[3] 

Itulah beberapa alasan Nash meninggalkan Arminianisme. Pertama, karena ajaran yang jelas dari Alkitab menentang Arminianisme. Kedua. Karena Arminianisme merendahkan Allah dan meninggikan manusia. Ketiga. Karena Nash membaca argumentasi Calvinisme dari Roger Nicole dan J.I Packer dan John Owen. Keempat, karena ortodoksi sebagian pemimpin Arminianisme jelas cacat. 

Tetapi Anda mungkin berkata, “Apa gunanya menarik kesimpulan tanpa bukti?” Untuk hal ini, saya mau menjawab dengan dua hal. 

Pertama, saya telah menulis dua topik mengenai pertentangan Arminianisme dan Calvinisme sebelumnya, yakni mengenai Predestinasi dan Penebusan Terbatas. (Untuk membaca tulisan saya tersebut, klik di sini, klik juga di sini, klik lagi di sini, dan di sini). Nah, untuk menguji apakah kesimpulan diatas benar atau tidak, silahkan baca tulisan saya itu, kemudian bandingkan apakah memang benar bahwa Arminianisme itu merendahkan Allah atau tidak? 

Kedua, Kesimpulan di atas juga bisa mendorong Anda untuk lebih dalam mempelajari pertentangan kedua sistem teologi itu. Setelah anda belajar, silahkan simpulkan sendiri apakah kesimpulan saya di atas benar atau salah. 

Selamat belajar bro!

[1]Edisi bahasa Indonesia berjudul Keselamatan di Balik Kematian Bayi: Jawaban Penghiburan Bagi Orangtua yang Berduka, terj. Ellen Hanafi, cet. Ke-3 (Surabaya: Momentum, 2011).
[2]Nash
[3]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, hal. 82.

Minggu, 16 Desember 2018

RASA MALU DAN KEHORMATAN YANG SEJATI

Oleh: Join Kristian Zendrato
  
Dalam pengalaman sehari-hari, manusia sering merasa malu dan merasa kurang terhormat karena mereka tidak memiliki barang tertentu, jabatan tertentu, posisi tertentu, bentuk tubuh ‘ideal,’ dan sebagainya. Anda mungkin sering mendengar seorang anak yang mengancam orang tuanya tidak mau melanjutkan sekolah jika tidak dibelikan sebuah handphone, sepeda motor, mobil, dan sebagainya. Atau seorang artis yang malu karena rumahnya kurang besar atau mewah. Rasa malu dikaitkan dengan ketidakpunyaan barang-barang itu. Anda juga pasti sering mendengar orang-orang tertentu yang bertengkar untuk memperebutkan jabatan atau posisi tertentu. Hal itu dikarenakan, dalam pikiran mereka, kehormatan itu datang dari status mempunyai jabatan atau posisi tertentu. Sebaliknya, bagi mereka, ketika seseorang tidak mempunyai jabatan, maka orang itu pasti tidak terhormat.
  
Tetapi ironisnya, orang-orang yang berusaha menutupi rasa malu mereka dengan barang-barang tertentu seringkali kita dengar telah berlaku menyimpang dari tatanan moral. Tetapi anehnya, mereka tidak merasa malu dengan penyimpangan moral tersebut. Mereka merasa malu kalau mereka tidak memiliki mobil mewah atau rumah mewah, ketimbang merasa malu karena penyimpangan moral. Aneh tapi nyata. Demikian juga dengan orang-orang yang menganggap kehormatan berasal dari kepemilikan atas jabatan tertentu sering kedapatan tak bermoral. Anda pasti sering mendengar tentang wakil rakyat yang melakukan penyimpangan moral. Tetapi mereka tetap merasa terhormat, terlepas dari penyimpangan moral itu, asal mereka masih menduduki jabatan tertentu. Inilah dunia kita. 

Tetapi bertentangan dengan standar rasa malu dan kehormatan dunia ini, Alkitab berdiri sendirian, dengan standarnya yang mungkin bagi dunia sangat tidak masuk akal. Tetapi, saya yakin, Firman Allah tidak berdusta.
  
Alkitab menempatkan manusia langsung berhadapan dengan Allah yang Kudus dan Adil. Dan jika ini dipahami dengan baik, maka manusia itu adalah objek murka Allah. Hal itu terjadi karena manusia itu berdosa di hadapan Allah yang Kudus dan Adil. Maka dari poin ini saja, kita bisa melihat bahwa rasa malu yang sesungguhnya adalah rasa malu yang timbul dalam hati manusia yang menyadari bahwa ia adalah manusia berdosa, yang berdiri di hadapan Allah yang Kudus dan Adil, yang berarti menyadari bahwa karena dosa, ia berada di bawah murka Allah, akan dihukum oleh Allah, dan pada akhirnya akan dilemparkan ke dalam neraka untuk dihukum selama-lamanya oleh Allah. Seharusnya, inilah yang membuat kita malu. Inilah rasa malu yang saya sebut sebagai rasa malu yang sejati.
  
Demikian juga dengan perihal kehormatan. Alkitab menjungkirbalikkan standar dunia. Jika bagi dunia, kehormatan di dapatkan dari jabatan, posisi atau dengan memiliki barang-barang tertentu, maka dari sudut pandang Alkitab, manusia justru mendapatkan kehormatannya dari fakta bahwa ia telah dibebaskan dari hukuman dosa melalui kematian dan kebangkitan Kristus, sehingga ia tidak dihukum selama-lamanya dalam neraka, dan Allah mengadopsinya menjadi anak-Nya. Inilah yang saya sebut sebagai kehormatan yang sejati. Dr. David F. Wells seorang Professor of Historical and Systematic Theology di Gordon Conwell Theological Seminary, dalam bukunya yang penting Losing Our Virtue: Why the Church Must Recover Its Moral Vision[1] menyatakan: 
Namun dalam dunia Allah yang merupakan kebalikannya, kehormatan justru datang melalui kelahiran – kelahiran baru. Melalui pengangkatan kita sebagai anak, perubahan status kita dikerjakan dalam kematian Kristus, kita telah menerima segala hak untuk menjadi bagian dari keluarga Allah (Rm. 8:5). Kita sekarang memperoleh bagian dari warisan ilahi (Rm. 8:17). Inilah kehormatan yang sesungguhnya. Dan rasa malu, yang telah dipikul mati di atas salib, juga dipahami dengan cara yang ultimat. Jika rasa malu adalah pengalaman mengenal bahwa diri kita ternyata bukan seperti orang-orang yang seharusnya, atau pengalaman yang terungkap, maka bukankah rasa malu yang terdalam akan kita alami di hadapan Allah? Dan bukankah penutup rasa malu seperti sudah diulurkan kepada kita dalam kematian Kristus? Doktrin Perjanjian Baru tentang pembenaran menyatakan bahwa melalui percaya dalam Kristus kita dapat diselubungi dan berpakaian bukan dengan kebenaran kita sendiri, melainkan dengan kebenaran yang diberikan oleh Kristus melalui anugerah saja kepada mereka yang percaya, bukan dalam psikologi mereka sendiri atau dalam citra diri mereka, atau keluarga atau kota, melainkan hanya dalam kematian-Nya sebagai ganti mereka di atas salib. Itu adalah berita yang sangat berkuasa bagi mereka yang malu tentang diri mereka sendiri! [malu yang dimaksud adalah malu dalam arti Alkitabiah seperti yang saya paparkan di atas].[2] 
Sebaliknya, menurut Dr. Wells, orang yang tidak mengalami hal inilah (kelahiran baru, pengangkatan sebagai Anak Allah, kepercayaan kepada Kristus, pembebasan dari hukuman neraka) yang pada akhirnya akan malu dan tidak terhormat. Dr. Wells berkata: 
Penghukuman Allah akan menjadi pengalaman yang paling memalukan, dan itu akan ditanggung, bukan oleh Kristus, tetapi oleh mereka yang telah menolak untuk menyembah di hadapan-Nya dan menerima kematian-Nya sebagai ganti mereka. Rasa malu mereka akan menjadi kekal.[3] 
Standar rasa malu dan kehormatan dunia hendaknya membuat kita tidak goyah. Entah karena kita tidak mempunyai harta yang banyak, fisik yang kurang menarik, kulit yang gelap, suku yang diabaikan, atau entah kita tidak mempunyai jabatan tertentu, kita harus selalu mengingat bahwa standar rasa malu atau kehormatan dalam Firman Allah tidak ditentukan oleh hal-hal itu. Jemaat Laodikia secara fisik kaya dan terhormat, tetapi dalam pandangan Kristus “engkau melarat, dan malang, miskin, buta, dan telanjang” (Why. 3:17). Untuk menyimpulkan hal ini, saya rasa kata-kata Dr. Wells berikut ini sangat baik untuk dikutip: 
Posisi dalam dunia ini tidak menghasilkan posisi dalam Allah, tidak peduli latar keluarga, kekayaan, atau koneksi-koneksinya. Kita dapat memperoleh sejumlah besar barang-barang, bermandikan kehormatan dan martabat, tetapi meskipun segala jaminan duniawi dapat kita beli atau usahakan, akan tiba hari ketika kita kehilangan jiwa kita sendiri, sebab apa yang meninggikan orang dalam kehidupan ini bisa menjadi penyebab rasa malu mereka dalam kehidupan berikutnya (Luk. 18:18-25).[4] 
Sekarang, apakah Anda sedang merasa malu atau terhormat? Anda merasa malu atau terhormat dalam hal apa? Apakah Anda merasa malu karena tidak memiliki barang tertentu, atau karena memiliki bentuk tubuh yang kurang menarik? Atau apakah Anda merasa malu karena Anda sadar Anda adalah manusia berdosa yang pantas dihukum dalam neraka? Juga, apakah Anda merasa terhormat karena jabatan Anda? Atau apakah Anda merasa terhormat karena Anda telah percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat Anda, sehingga Anda sadar bahwa Anda sekarang adalah Anak Allah yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus, dan telah terbebas dari hukuman neraka? 

Tuhan memberkati!


[1]David F. Wells, Losing Our Virtue: Why the Chruch Must Recover Its Moral Vision (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1998). Edisi bahasa Indonesia telah diterbitkan oleh Penerbit Momentum di bawah judul Hilangnya Kebajikan Kita: Mengapa Gereja Harus Menemukan Kembali Visi Moralnya, terj. Peter Suwadi Wong (Surabaya: Momentum, 2005).
[2]Wells, Hilangnya Kebajikan Kita, hal. 238-239. 
[3]Wells, Hilangnya Kebajikan Kita, hal. 239. 
[4]Wells, Hilangnya Kebajikan Kita, hal. 237. 

Senin, 10 Desember 2018

WILL METZGER DAN TOLERANSI

Oleh: Join Kristian Zendrato 

Will Metzger adalah pendeta kampus di University of Delaware sejak 1965. Pelayanan penginjilannya membawanya ke setiap benua, dan dia telah bersaksi kepada orang-orang dari beragam kebangsaan, baik di kampus maupun melalui gereja yang digembalakannya. Metzger adalah penulis buku Tell the Truth: The Whole Gospel Wholly by Grace Communicated Truthfully and Lovingly.[1] Buku ini merupakan buku yang membahas penginjilan dengan sangat baik. 

Dalam sebuah bab dalam bukunya itu, Metzger membahas sebuah topik menarik mengenai toleransi. Menurut Metzger toleransi telah mengalami perubahan makna. Hasilnya, orang-orang Kristen dituntut untuk tidak mengklaim ke-ekslusiv-an Kristus, karena hal itu dianggap tidak toleran.
  
Dalam pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Metzger, ia kerapkali mendapat respons negatif khususnya ketika ia berbicara mengenai keunikan Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan kepada Allah. Pembicaraan seperti ini sering dianggap orang sebagai ‘tidak toleran’ karena saat ini, kata mereka, kita sedang berada dalam suasana pluralisme (keanekaragaman kepercayaan atau agama).

Metzger mendapati bahwa arti toleransi pada masa kini telah berubah. Metzger menulis, “Makna baru dari toleransi telah meluas sehingga mencakup keharusan menyetujui semua kepercayaan, pendapat, norma, gaya hidup” (Metzger, hal. 218). Metzger juga mengutip penjelasan Josh McDowell dan Bob Hostetler mengenai toleransi dengan makna baru ini: “Benar-benar toleran ... artinya Anda harus sepakat bahwa posisi orang lain sama kuatnya dengan Anda sendiri... Anda harus memberikan persetujuan Anda, peneguhan Anda, dukungan Anda yang tulus pada kepercayaan dan tingkah laku mereka” (Metzger, hal. 218). 

Dengan defenisi toleransi seperti ini, Metzger menyatakan bahwa hal ini “telah mengakibatkan penginjilan menjadi kata yang negatif dalam benak banyak orang” (Metzger, hal. 218).
  
Untuk menyikapi pandangan yang meluas tentang toleransi ini, Metzger menyatakan bahwa perlu pembedaan antara tiga macam pluralisme. Mengenai pembedaan ini, Metzger mengutip Dr. Philip Ryken yang telah merangkum pandangan Donald A. Carson sebagai berikut: 
Yang pertama dinamakannya pluralisme empiris, maksudnya adalah fakta bahwa kita hidup dalam masyarakat yang beraneka ragam. Amerika adalah negara dengan berbagai bahasa, ras, agama, pandangan dunia... Yang kedua oleh Carson dinamakan pluralisme yang dihargai. Pluralisme yang dihargai ini melampaui fakta empiris dari pluralisme dan mencakup penilaiannya. Menghargai pluralisme berarti menerimanya dengan senang hati, menyambutnya, menjunjungnya, dan menyetujuinya. Carson melanjutkan dengan menjelaskan betapa pentingnya untuk menjunjung tinggi berbagai warisan etnis dan budaya. Jenis ketiga dari pluralisme adalah pluralisme filosofis. Kita ulang: pluralisme empiris adalah fakta, pluralisme yang dihargai menghormati fakta itu. Pluralisme filosofis melangkah lebih jauh  dan menuntutnya... Pluralisme filosofis mengubah fakta dari pluralisme menjadi suatu gagasan tetap. Ini adalah ideologi yang menolak adanya satu agama ataupun pandangan yang mengklaim memiliki kebenaran yang ekslusif. Pluralisme filosofis memungkiri keberadaan apa pun yang mutlak. Pluralisme filosofis memaksakan agar semua agama dan pandangan duniawi diperlakukan sama... Nama lain bagi pluralisme filosofis adalah relativisme (Metzger, hal. 219). 
Untuk pluralisme yang pertama dan kedua, orang Kristen mengakuinya. Orang Kristen mengakui bahwa ada beragam macam suku, bahasa, dan sebagainya (pluralisme dalam arti pertama), dan bahwa orang Kristen harus menghargai itu (pluralisme dalam arti kedua). Tetapi mengenai pluralisme filosofis, menurut Metzger, orang-orang Kristen tidak dapat menyetujuinya. Tetapi perlu diperhatikan bahwa tidak menyetujui agama orang lain tidak berarti kita tidak bertoleransi. Walaupun kita – orang-orang Kristen – tidak menyetujui pandangan orang lain, kita tetap harus bertoleransi. Untuk menjelaskan hal ini, Metzger mengutip kata-kata Dr. Ryken sebagai berikut: 
Menghargai hal itu [pluralisme filosofis] berarti membawa kematian bagi Kekristenan. Kekristenan yang kehilangan pegangannya  pada pernyataan Kristus yang ekslusif, bukan lagi Kekristenan. Namun, walaupun orang-orang Kristen tidak dapat menghargai pluralisme agama, mereka harus menoleransinya... Keristenan menuntut toleransi beragama. Maksud saya dengan toleransi adalah mengizinkan orang-orang lain memeluk dan mempertahankan keyakinan agama mereka masing-masing. Toleransi tidak berarti bahwa setiap orang harus setuju dengan setiap orang lain. itu sama sekali bukan toleransi. Kata toleransi sendiri mengasumsikan ketidaksepakatan, bahwa ada sesuatu yang harus ditoleransi. Jadi toleransi diterapkan pada orang-orang, dan bukannya pada kekeliruan-kekeliruan mereka... Pluralisme, bila dipahami dengan benar, menghormati keyakinan orang-orang lain. Ia menyadari bahwa ada isu-isu agamawi vital yang perlu didiskusikan dan bahkan mungkin diperdebatkan. Namun perdebatan ini harus dilakukan dengan kerendahan hati dan sikap saling menghormati... Kekristenan yang tidak toleran tidak dapat dibela. Ini bukan Kekristenan yang tulus sama sekali... Yesus berkata, “Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu... Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:39, 44-45).[2] Jika seperti itulah kasih yang harus dimiliki orang-orang Kristen bagi musuh-musuhnya yang ganas, betapa lebih lagi mereka harus mengasihi orang-orang yang hanya berbeda pendapat dan menganut filsafat kehidupan yang berbeda. Toleransi adalah suatu kebajikan, terutama bagi orang Kristen. Jadi, Kekristenan sejati mempertahankan suatu kombinasi yang amat kuat yang tidak dijumpai di mana pun: toleransi dan kebenaran. Beberapa agama dan kebanyakan filsafat politik mengklaim mempunyai kebenaran tetapi mereka tidak toleran dan bertindak kejam terhadap orang-orang yang tidak sepakat dengannya. Mereka menawarkan kebenaran tanpa toleransi. Sebaliknya, pluralisme filosofis, tidak mengindahkan kebenaran. Pluralisme filosofis menyediakan satu pon toleransi tanpa satu gram pun kebenaran... Pluralisme filosofis memuji toleransi namun mencampakkan kebenaran, namun anehnya, pluralisme filosofis juga cenderung tidak toleran terhadap orang-orang yang memiliki keyakinan agamawi yang kuat, seperti misalnya orang-orang Kristen. Pada akhirnya, orang-orang Kristen menolak tuntutan pluralisme filosofis karena mereka [orang-orang Kristen] menghargai baik toleransi maupun kebenaran (Metzger, hal. 219-220). 
Saya mau menekankan satu hal dalam kutipan di atas, yakni bahwa toleransi itu ditujukan kepada orangnya bukan pada pandangan-pandangan mereka yang keliru. Jadi, saya bisa saja berdebat dan tidak menyetujui pandangan atau kepercayaan seseorang, tetapi saya tetap harus toleransi terhadap orang tersebut dengan memperlakukannya dengan sopan, dan sebagainya. Hal ini jelas bertentangan dengan defenisi toleransi yang diusulkan oleh pluralisme filosofis, karena bagi mereka, setiap pandangan orang itu benar, tidak ada yang mutlak. Dan sebenarnya, pandangan pluralisme filosofis bertentangan dengan defenisi toleransi versi mereka sendiri. Bagaimana tidak, pluralisme filosofis sendiri tidak setuju dengan pandangan yang bertentangan dengan mereka.
  
Metzger memberikan contoh bagaimana orang Kristen bisa toleransi di satu sisi tetapi di sisi lain tetap berpegang pada kebenaran. Ia menulis: 
Kita mengekspresikan kebenaran dan kasih melalui kata-kata seperti ini: ‘Kami mengasihimu, tetapi kami berpendapat bahwa engkau melakukan (atau mempercayai) sesuatu yang salah. Kami mengatakan ini bukan karena kami lebih baik, melainkan karena kami berpendapat bahwa kita semua diciptakan oleh Allah untuk tujuan-Nya. Ia telah mengungkapkan bagaimana kita harus hidup agar membawa kemuliaan bagi-Nya dan memberi kebebasan bagi mereka.’ (Metzger, hal. 221). 
Jadi, kita tetap bisa tetap tidak setuju dengan seseorang, tetapi kita tetap bisa menunjukkan kasih dan bertoleran kepada orang tersebut. Palus bahkan dalam 1 Kor. 13 menyebutkan bahwa salah satu ciri-ciri dari kasih Kristen adalah “bersukacita karena kebenaran” (ay. 6). Ini berarti kasih tidak menyetujui yang salah dan jahat. Jadi, pluralisme agama yang menganggap bahwa semua agama itu sama, dan sebagainya, sesungguhnya bertentangan dengan ciri kasih di atas. Jika kita mengatakan kita mengasihi seseorang, tetapi tidak peduli apakah orang itu benar atau salah, maka kita sebenarnya tidak mengasihi sama sekali. Anda tidak mengasihi seseorang jika anda tidak menegurnya atau memperingatkannya ketika ia mempercayai atau berbuat salah. Kadang-kadang kita bahkan harus ‘menyinggung perasaan’ seseorang untuk menyadarkan bahwa ia salah, tetapi kita tetap mengasihi dia. Akhirnya, Metzger mengutip Josh McDowell dan Bob Hostetler sebagai berikut: 
Bila Anda mengasihi seseorang, Anda tidak akan bersikap tidak peduli pada kepercayaan atau perilaku yang berbahaya atau merusak, hanya karena Anda tidak mau menyinggung perasaannya. Namun toleransi yang baru justru menuntut ketidakpedulian seperti itu. Toleransi berkata, “Engkau harus setuju dengan saya.” Kasih menanggapi, “Saya harus berusaha lebih keras lagi; saya akan menceritakan kebenaran kepadamu sebab saya yakin bahwa ‘kebenaran akan memerdekakan kamu’ [Yoh. 8:32].” Toleransi berkata, “Engkau harus menyetujui apa yang saya lakukan.” Kasih menanggapi, “Saya harus berusaha lebih keras lagi; saya akan memohon kepadamu untuk mengikuti jalan yang benar, karena saya percaya engkau layak diperjuangkan.” Toleransi berupaya agar tidak menyinggung; kasih mengambil risiko. Toleransi tidak peduli, kasih aktif. Toleransi tidak membayar apa-apa; kasih membayar harga yang tertinggi. Sekali lagi, Yesus adalah teladan yang tertinggi dari kasih Kristen sejati, yang kadang-kadang merupakan antitesis dari toleransi. Kasih-Nya mendorong Dia menuju kematian yang mengerikan di atas kayu salib. Ia tidak pernah bersikap tidak peduli terhadap “pilihan jalan hidup” orang-orang lain, sebaliknya Ia membayar harga dan pilihan-pilihan itu dengan nyawa-Nya sendiri, dan dengan kasih, melicinkan jalan bagi setiap orang untuk “pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi” (Yoh. 8:11) [Metzger, hal. 221-222]. 
Implikasi-implikasi dari mempelajari hal ini adalah: (1) bahwa orang Kristen, hamba Tuhan, penginjil, dan sebagainya, harus berpegang teguh pada kebenaran (doktrin-doktrin Kristen, etika Kristen); (2) bahwa orang Kristen tidak boleh kompromi terhadap kebenaran dan dengan bodoh mengakui bahwa semua agama sama-sama benar, dan bahwa Yesus bukan satu-satunya jalan menuju Allah. Itu tidak boleh dilakukan oleh orang-orang Kristen; (3) bahwa meskipun tidak berkompromi, orang Kristen tetap harus mengasihi dan toleran terhadap orang yang berbeda keyakinan; (4) karena orang Kristen mengasihi, maka justru orang Kristen harus menyadarkan orang lain dari kesalahan mereka (dari segi doktrinal, etika Kristen, dan sebagainya); (5) bahwa teladan tertinggi orang Kristen dalam hal ini adalah Yesus Kristus. Yesus penuh dengan kasih dan toleran, tetapi tidak pernah berkompromi dengan kesalahan ajaran atau praktik hidup orang-orang sezaman-Nya. 

Catatan: sebelumnya, saya juga telah menulis mengenai masalah toleransi ini. Untuk pembaca yang mau baca, klik disini.   

[1]Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Lana Asali dan Jessy Siswanto dan diterbitkan oleh Penerbit Momentum di bawah judul Beritakan Kebenaran: Injil yang Seutuhnya, Sepenuhnya melalui Anugerah, Dikomunikasikan dengan Penuh Kesabaran dan Kasih (2013). 
[2]Memberikan pipi kiri setelah pipi kanan ditampar tidak boleh ditafsirkan secara hurufiah. Menurut saya artinya adalah bahwa kita tidak boleh membalas perbuatan jahat yang dilakukan terhadap kita.

Minggu, 09 Desember 2018

BAYI YANG MENGGANGGU HERODES

Oleh: Join Kristian Zendrato 

Saya rasa, adalah sesuatu yang luar biasa bahwa orang-orang Majus dari Timur bisa bertemu dan menyembah Yesus. Dengan petunjuk Tuhan (menggunakan bintang), orang-orang Majus berusaha mencari Yesus. Mereka tentunya harus melakukan perjalanan yang jauh dan mungkin berbahaya, tetapi hal itu tidak membuat niat mereka untuk mencari “Raja” itu kian redup. Dengan suplai kebenaran yang “serba sedikit” itu, mereka pada akhirnya bisa menemukan Yesus Sang Raja.
  
Tetapi kontras dengan orang-orang Majus itu adalah Herodes, dan imam-imam kepala, serta ahli-ahli Taurat Yahudi. Mereka justru tidak tahu menahu tentang kelahiran Raja itu. Ini merupakan kontras yang menggelikan. Bagaimana tidak, orang-orang Majus yang jauh justru lebih tahu dari pada orang-orang yang dekat secara fisik seperti Herodes, imam-imam kepala, serta ahli Taurat Yahudi.
  
Ini adalah peringatan untuk kita. Bisa saja kita terlihat dekat, tetapi sebenarnya jauh dari Kristus. Kita sering pergi ke Gereja, melayani Tuhan, dan sebagainya. Tetapi itu tidak menjamin bahwa kita dekat dengan Kristus. Bahkan imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat yang mengenal nubuatan tentang Kristus itu (bdk. Mat. 2:4-6) tetap jauh dari Kristus. Saya rasa, banyak orang yang juga merayakan Natal pada saat ini, tetapi sesungguhnya mereka jauh dari Kristus. Apakah itu termasuk Anda?

Maka ketika orang-orang Majus mengunjungi Herodes dan bertanya kepadanya, “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya dari Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Mat. 2:2), respons dari Herodes adalah sebagai berikut: “Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem” (Mat. 2:3).
  
Dalam KJV, RSV, dan NASB, kata “terkejutlah” diterjemahkan sebagai was troubled (terganggu), dan NIV menterjemahkannya dengan was disturbed (terganggu). Maka kesimpulannya adalah ketika Herodes mendengar bahwa ada “Raja” baru yang lahir, maka ia terganggu. Mungkin saja Herodes terganggu karena takut kehilangan status quo gara-gara Raja baru itu. Tetapi yang mengherankan adalah orang-orang Majus itu secara eksplisit menyatakan bahwa Raja itu baru dilahirkan (Mat. 2:2), dan dengan demikian Raja baru itu masih Bayi, dan belum bisa berbuat apa-apa. Tetapi inilah yang terjadi: kelahiran seorang Bayi ini mengganggu Herodes. Sehingga Ia berusaha mencari tahu keberadaan Bayi itu supaya bisa membunuh-Nya.

Selanjutnya, bukan hanya Herodes yang merasa teranggu. Matius mencatat juga bahwa “seluruh Yerusalem” ikut terganggu. Mengapa mereka terganggu? Mungkin karena mereka takut akan reaksi Herodes yang kejam gara-gara kelahiran Raja baru itu. Dan ini memang terbukti nantinya ketika Herodes membunuh semua anak-anak di Betlehem dan sekitarnya yang berumur dua tahun ke bawah (Mat. 2:16-18).
  
Saya bisa mengatakan bahwa terganggunya Herodes karena kedatangan Kristus terjadi karena kebodohan teologis. Jika ia sadar dan mengetahui bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan manusia berdosa (bukan untuk menghancurkan kerajaan Herodes) maka tentunya ia tidak akan terganggu. Tetapi karena kebodohan inilah ia justru terganggu. Kebodohan ini membuat ia salah paham dengan Kristus, sehingga ia berniat membunuh-Nya.
  
Jika dulu Herodes terganggu karena kedatangan Kristus, maka rasa terganggu ini terus-menerus ada sepanjang masa ketika Kristus diberitakan. Orang-orang yang sering terganggu karena pemberitaan Injil adalah saudara-saudara Herodes yang bodoh “zaman now.” Anda akan menemukan orang-orang seperti Friedrich Nietszche (meninggal 1900) ketika Anda memberitakan Kristus. Nietszche dalam bukunya The Anti-Christ (1895) mengecam segala sesuatu yang buruk dan dekaden. Dan ia berkomentar bahwa tidak ada yang lebih dekaden daripada Kekristenan itu sendiri. Mengenai Allah Kristen, John Stott menyatakan bahwa
Nietszche menyimpan segala caci makinya yang paling kasar untuk “konsepsi Kristen tentang Alah” sebagai “Allah orang sakit, Allah sebagai laba-laba, Allah sebagai roh [dengan nada ejekan],” dan untuk Mesias Kristen yang dengan penuh penghinaan ditolaknya sebagai “Allah di atas Salib.”[1]
Apakah Anda merasa diganggu juga oleh Kristus? Bukankah Anda merasa diganggu karena Dia melarang Anda bekerja pada hari Minggu? Bukankah Anda merasa diganggu karena Dia melarang Anda berzinah? Bukankah Anda merasa diganggu karena Dia menuntut Anda untuk jujur dalam usaha apa pun? Jika Anda terganggu karena Firman Kristus, maka saya harus menyatakan bahwa Anda tidak berbeda dengan Herodes.

[1]John Stott, Salib Kristus, terj. Grace Purnama Sari (Surabaya: Momentum, 2015), hal. 52. Judul asli The Cross of Christ, 20th anniversary edition (with study guide) (Surabaya: Momentum, 1986).

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...