Rabu, 28 November 2018

APAKAH ‘MEMENANGKAN JIWA’ ADALAH BUKTI PEMBERITAAN INJIL YANG BENAR?

Oleh: Join Kristian Zendrato

Sewaktu saya masih mengenyam pendidikan teologia di bangku kuliah, saya sering mendengar orang-orang yang berkata kepada kami, “Kamu harus memenangkan jiwa dalam pelayananmu. Jangan merasa sudah memberitakan Injil jika kamu belum memenangkan jiwa.” Mereka memaksudkan memenangkan jiwa sebagai mempertobatkan seseorang menjadi pengikut Kristus. Jadi, pemberitaan Injil yang benar mereka hubungkan dengan memenangkan jiwa.

Dulu saya mengaminkan kata-kata seperti itu. Tetapi, pada akhirnya saya menemukan bahwa konsep semacam demikian tidaklah Alkitabiah. Ada beberapa alasan mengapa konsep seperti itu tidak Alkitabiah:

Pertama. Menganggap bahwa seseorang telah memberitakan Injil dengan benar hanya jika pemberita Injil itu berhasil mempertobatkan orang lain adalah anggapan yang bertentengan dengan Alkitab.

Saya mengakui bahwa Tuhan bisa saja mempertobatkan orang berdosa melalui pemberita Injil. Tetapi kita perlu mengingat juga bahwa tak selamanya itu terjadi. Kita tetap bisa yakin telah memberitakan Injil dengan benar walaupun pendengar kita tidak percaya, asalkan kita memang benar-benar memberitakan Injil yang Alkitabiah. Ketika Injil itu diberitakan maka yang terjadi hanya dua hal, pertama, ada yang percaya, dan kedua, ada yang tidak percaya. Paulus mengatakan bahwa ketika ia memberitakan Injil,di satu sisi, ia adalah bau harum bagi orang percaya, tetapi di satu sisi dia adalah bau kematian bagi orang yang tidak percaya. Dalam 2 Korintus 2:14-17, Paulus menulis: 
Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan. Tetapi siapakah yang sanggup menunaikan tugas yang demikian? Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.
Jadi, jika kita telah memberitakan Injil dengan benar, maka bisa saja orang yang mendengarnya menjadi percaya. Tetapi juga, jika kita telah memberitakan Injil dengan benar, tetapi orang yang mendengarnya tetap tidak percaya, kita harus yakin bahwa kita telah memberitakan Injil. Bukan hasil yang meyakinkan kita telah memberitakan Injil, tetapi apakah Injil yang kita sampaikan itu sesuai dengan Alkitab atau tidak, itulah yang meyakinkan kita telah memberitakan Injil.

Jadi, menurut saya, adalah salah untuk mengukur apakah seseorang sudah memberitakan Injil dengan benar atau tidak dari hasil penginjilan itu.

Kedua. Pertobatan seseorang kepada Injil, sama sekali bukan karena usaha pemberita Injil. Itu sepenuhnya karya Allah dari awal sampai akhir. Contoh yang paling terkenal untuk hal ini adalah Lidia. Dalam  Kisah Para Rasul 16:14, kita membaca “Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus.” Dalam teks di atas, yang berinisiatif pertama-tama adalah Allah “Tuhan membuka hatinya.” Lalu hasil dari tindakan Allah itu adalah “ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus.” Dan di Kisah Para Rasul 16:40, kita melihat bahwa Lidia sudah menjadi orang percaya. Jadi, menurut saya, percayanya Lidia kepada Kristus yang diberitakan Paulus adalah karya Allah sendiri.

Ini semakin jelas ketika kita mengetahui bahwa ‘iman’ itu sendiri dianugerahkan oleh Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya Ia berikan. Dalam Filipi 1:29, kita membaca, “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia.” Teks di atas jelas mengatakan bahwa kepercayaan kepada Kristus pun adalah karunia. Seseorang tidak bisa percaya tanpa dikaruniakan kepada-Nya oleh Allah.

Kemudian dalam Ibrani 12:2, kita membaca, “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” Dalam hal ini, kalimat yang diterjemahkan oleh LAI sebagai “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” merupakan terjemahan yang kurang tepat. Beberapa versi bahasa Inggris lebih baik dalam penterjemahannya atas kalimat ini. KJV menterjemahkannya “Jesus the author and finisher of our faith” (Yesus pencipta dan penyelesai dari iman kita). NIV menterjemahkannya, “Jesus, the author and perfecter of our faith” (Yesus, pencipta dan penyempurna dari iman kita). NASB juga menterjemahkannya sebagai, “Jesus, the author and perfecter of faith” (Yesus, pencipta dan penyempurna dari iman). Jadi, baik KJV, NIV dan NASB menginformasikan secara eksplisit bahwa Yesus adalah pencipta (author) iman itu sendiri.

Sekarang dari beberapa data Perjanjian Baru di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa jika seseorang percaya kepada Kristus, maka yang membuat dia percaya kepada Kristus adalah Allah sendiri, bukan manusia. Allah memang memakai kita untuk menyampaikan Injil itu, tetapi hasil akhirnya, entah pendengar kita menjadi percaya atau tidak merupakan urusan Tuhan sendiri.

Jadi bagi saya, tuntutan yang mengharuskan seorang penginjil untuk mempertobatkan orang lain, dan dengan demikian penginjil itu baru dianggap sudah memberitakan Injil adalah omong kosong yang bertentangan dengan Alkitab. Pertobatan adalah karya Allah bukan karya penginjil.

Selasa, 27 November 2018

JURANG YANG TAK BERJEMBATAN

Oleh: Join Kristian Zendrato
  
Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan semakin membuat dunia ini menjadi kecil. Artinya, sekarang seseorang bisa saja pergi dengan cepat ke tempat lain tanpa repot. Dan tentunya, hal ini masih terus dikembangkan sehebat mungkin oleh manusia. Bulan Lalu (tepatmya 23 Oktober 2018), China meresmikan jembatan baru mereka dengan panjang 55 KM. Menurut salah satu sumber yang saya baca, jembatan itu menghubungkan tiga kota di pantai China Selatan, yakni Hong Kong, Macau, dan Zhuai.[1] 

Saya masih ingat tahun 2016 yang lalu ketika saya pergi ke Kalimantan Barat untuk melaksanakan tugas praktek selama satu tahun. Itu adalah pertama kali saya ke sana. Ketika kami sampai di Tayan, kami melihat sungai Kapuas yang lebar merintangi perjalan kami. Bagaimana menyeberanginya? Ternyata, untuk sampai ke sebelah, kami harus naik sebuah kapal penyeberangan. Tetapi pada tahun 2017 ketika saya kembali ke Jakarta, kami tidak melihat kapal penyeberangan itu lagi. Sekarang, kapal itu tidak diperlukan. Dia telah digantikan oleh sebuah jembatan yang megah dan indah. Itulah jembatan Tayan.

Manusia dengan kecerdasannya, telah membuat kita terheran-heran. Sekarang ini kita melihat bahwa apa yang dulu hanya bisa dilewati oleh burung-burung yang bersayap, telah bisa dilewati oleh manusia. Seakan-akan tak ada lagi yang mustahil bagi manusia. Hampir tidak ada sungai dan jurang yang tidak bisa dilewati atau diseberangi oleh manusia. 

Tetapi ada satu jurang yang tidak pernah bisa diseberangi oleh manusia dengan segala kecerdasan dan kemajuan teknologinya. Jurang itu adalah jurang yang memisahkan antara si orang kaya dan Lazarus yang miskin, “jurang yang tak terseberangi” (Luk. 16:26). Itu adalah jurang yang memisahkan antara kemuliaan surgawi dengan kengerian murka Allah dalam neraka. Lazarus berada di surga sedangkan orang kaya berada di neraka, dan ada jurang pemisah mereka. Yang satu tidak bisa ke tempat yang lain.
  
Tetapi adalah mengerikan kalau Anda berada di neraka. Di sana adalah tempat pembalasan ultimat Yehowa kepada orang-orang jahat yang tidak bertobat. Oh astaga! Di sana hanya ada tangisan dan jerit kesakitan dan sengsara yang mahadahsyat (bdk. Luk. 16:23, 24). Murka Allah, murka Allah, dan murka Allah akan engkau temui sepanjang kekekalan di sana. Tak ada harapan untuk bebas dari sana. Itu benar-benar permanen. Anda tidak bisa kembali. Tidak ada jembatan untuk kembali. Untuk itu, Anda harus memutuskan sekarang, apakah Anda ingin menghabiskan masa kekekalan Anda di sana atau tidak? 

Alkitab memberitahu saya bahwa hanya ada satu cara supaya tidak pergi ke sana, dan itu adalah iman di dalam Kristus Yesus. Dia telah mati menggantikan orang berdosa. Dia telah mati untuk menebus manusia yang berdosa dari murka Allah, sehingga barangsiapa percaya kepada-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, maka orang itu akan diselamatkan (Yoh. 3:16; Rm. 8:1)! Saya berharap Anda mau memikirkan hal ini, dan mengambil keputusan sekarang juga. Jangan tunggu esok hari, karena besok mungkin sudah terlambat.
Tuhan memberkati!   

Senin, 26 November 2018

SUKSES DI MATA TUHAN

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya beberapa kali mendengar pengkhotbah dan orang Kristen yang menyatakan kira-kira seperti ini, “Kalau ikut Kristus dengan sungguh-sungguh engkau pasti sukses, hidupmu tak akan miskin dan susah…” dan daftar janji yang muluk-muluk itu terus berlanjut. Kita hidup di masa yang penuh dengan optimisme kesuksesan. Saya semakin kaget, jika orang Kristen dan hamba Tuhan mendasarkan pandangan mereka ini pada kenyataan bahwa mereka mengikut Kristus. 

Tetapi bertentangan dengan semua itu, mengikut Kristus itu tidak menjamin kita akan hidup sukses, kaya, dan sebagainya. Saya akui bahwa bisa saja seorang pengikut Kristus itu sukses dan kaya, tetapi berharap bahwa semua pengikut Kristus atau menjanjikan kepada seseorang kalau ia mengikut Kristus maka ia akan sukses dan kaya adalah kesalahan yang fatal. Kita percaya dan mengikut Yesus supaya kita diselamatkan dari murka Allah karena dosa-dosa kita, bukan supaya kita kaya dan sukses di dunia ini. Renungkanlah kata-kata J. C. Ryle yang saya kutipkan berikut ini:
Kita mengerti bahwa mengikut Kristus tidak akan dengan sendirinya melindungi kita dari masalah hidup sehari-hari. Para murid merasa sangat gelisah. Meskipun mereka adalah sekelompok kecil murid pilihan-Nya – saat imam-imam, ahli-ahli Taurat, dan orang-orang Farisi tidak mau percaya kepada-Nya – Yesus mengizinkan mereka mengalami ketakutan. Barangkali mereka berpikir bahwa dengan melayani Kristus mereka akan terhindar dari kesukaran-kesukaran yang biasa mewarnai kehidupan ini. Jika Yesus dapat menyembuhkan orang sakit, memberi makan orang banyak dengan beberapa ketul roti, membangkitkan orang mati, dan mengusir setan-setan, tentunya Ia tidak akan pernah membolehkan murid-murid-Nya menderita. Tetapi jika mereka berpikir sedemikian, mereka keliru. Melayani Kristus tidak melindungi orang percaya dari masalah-masalah kehidupan ini. Ada baiknya kita mengerti hal ini dengan jelas. Saya mendapat hak istimewa untuk menjadi pendeta Kristen yang dapat berbicara tentang karunia hidup kekal yang diberikan kepada siapapun, pria, wanita, anak-anak, yang mau menerima-Nya. Tetapi saya tidak berani menawarkan kepada mereka kemakmuran duniawi sebagai bagian dari berita Injil; saya tidak berani berbicara tentang umur panjang, bebas dari kepedihan, atau kekayaan yang bertambah. Saya tahu bahwa banyak orang suka mempunyai Kristus dan kesehatan prima, Kristus dan uang yang banyak, Kristus dan kebebasan dari segala kekhawatiran. Jika Anda berpikir seperti itu, Anda sangat keliru.[1] 
Sukses di mata dunia itu belum tentu sukses di mata Allah. Dan sebaliknya, sukses di mata Allah belum tentu sukses di mata dunia. Kisah Stefanus adalah contoh yang riil untuk ini. Stefanus dikatakan sebagai seorang yang penuh Roh Kudus (Kis. 7:55). Tetapi kematiannya yang mengenaskan pada saat ia selesai berbicara di depan orang Yahudi mengesahkan satu hal di mata dunia: dia tidak sukses, dia gagal. Tetapi jika kita memandang ke atas, ke surga, maka kita akan melihat kebalikan yang sangat luar biasa: Kristus sang Raja menerima rohnya (Kis. 7:54-60). Ya, di mata Kristus dia sukses. Kesetiaan kepada Kristuslah yang justru membuatnya sukses di mata Kristus. Sebab Kristus Tuhan kita memang tidak pernah memanggil kita untuk sukses di dunia ini, Ia memanggil kita untuk setia.

Ketika seorang mengikut Kristus, hendaklah ia mengingat hal ini, bahwa menjadi orang Kristen tak akan selalu sukses di mata dunia. Ia bisa gagal dalam karir karena mengikut Kristus. Dan hal ini bisa saja ditertawakan oleh dunia.
  
Juga, ketika kita menyampaikan kebenaran Firman Tuhan dan Injil dengan sarana apa pun, kita perlu selalu mengingat hal ini, yakni bahwa kesukesan kita tidak diukur oleh hasilnya (entah dapat uang, dapat petobat baru, dapat sanjungan, dan sebagainya). Hasilnya bisa saja mengecewakan seperti Stefanus. Kesetiaan kita kepada kebenaranlah yang perlu kita lihat, bukan pada hasil yang memuaskan mata.
  
Mengikut Kristus juga tak menjamin bahwa kita akan baik-baik saja di dunia. Kita harus sering  memikul salib karena Kristus. Kadang kita merasa bahwa keadaan kita yang baik menunjukkan bahwa kita berkenan kepada Allah. Tetapi perlu diingat bahwa ini tidak selalu. Keadaan baik-baik saja tak selalu menunjukkan perkenan Allah, sebab ketika Yunus melarikan diri dari panggilan Tuhan, kita membaca, “Awak kapal menjadi takut, masing-masing berteriak-teriak kepada allahnya, dan mereka membuang ke dalam laut segala muatan kapal itu untuk meringankannya. Tetapi Yunus telah turun ke dalam ruang kapal yang paling bawah dan berbaring di situ, lalu tertidur dengan nyenyak” (Yunus 1:5). Perhatikan bahwa Yunus tertidur nyenyak, yang menunjukkan bahwa bahkan dalam keadaan sedang melarikan diri dari panggilan Tuhan, seseorang masih bisa 'tidur nyenyak.' Sebaliknya dukacita tak selalu jadi pertanda ketidak-berkenannya Tuhan kepada kita, sebab Ayub diizinkan untuk menderita oleh Allah, bahkan ketika ia disebut “saleh” oleh Allah (Ayub 1:1, 8; 2:3).   

[1]J. C. Ryle, Aspek-aspek Kekudusan (Surabaya: Momentum), hal. 96.  

Minggu, 25 November 2018

DOKTRIN ITU TIDAK PENTING? SEBUAH TANGGAPAN TERHADAP ORANG KRISTEN DAN HAMBA TUHAN YANG ANTI DOKTRIN

Oleh: Join Kristian Zendrato
  
Will Metzger menggambarkan respons banyak orang kepadanya ketika ia mengajarkan doktrin sebagai berikut: “‘akademis,’ ‘tidak praktis,’ ‘perbantahan,’ ‘abad pertengahan,’ ‘kata-kata yang kering,’ ‘intelektual,’ ‘membosankan,’ ‘memecah belah.’”[1] Kemudian Arhtur Walkington Pink, seorang penulis Calvinis (Reformed) mengeluh dengan berkata, “Menyedihkan sekali mendengar berbagai komentar yang menyebut doktrin sebagai ‘tidak praktis.’”[2] 

Saya kira, respons seperti di atas terhadap Metzger dan Pink ketika mereka mengajarkan doktrin masih merupakan respons kebanyakan orang Kristen masa kini. Para pengkhotbah dan orang-orang Kristen masa kini lebih suka yang praktis daripada apapun yang bersifat doktrinal. Joel Oesteen misalnya pernah berkata demikian, “Saya tidak dipanggil untuk menjelaskan setiap faset yang terperinci dari Kitab Suci atau untuk memaparkan doktrin-doktrin atau perdebatan-perdebatan theologis yang tidak menyentuh bidang kehidupan yang riil. Karunia saya adalah untuk mendorong, untuk menantang, dan untuk memberikan inspirasi.”[3]
  
Terhadap hal-hal ini, ada beberapa tanggapan kritis dari saya:
  
Pertama, saya justru menganggap bahwa doktrin itu sangat penting untuk dipelajari. Jika kita membaca fungsi dari Kitab Suci sebagaimana dituliskan oleh Paulus kepada Timotius, maka kita tahu bahwa “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar,...” (2 Tim. 3:16). Jadi pertama-tama, fungsi Kitab Suci adalah berkenaan dengan pengajaran. Bagi Arthur W. Pink, hal ini menunjuk pada doktrin, karena “‘Doktrin’ berarti ‘pengajaran.’”[4] 

Kedua, yang membedakan agama Kristen dengan bidat-bidat dan agama lain secara hakiki adalah hal-hal yang bersifat doktrinal. Keilahian Yesus, Allah Tritunggal, Keselamatan melalui iman saja, dan sebagainya adalah contoh doktrin-doktrin yang secara khas merupakan milik Kekristenan yang Alkitabiah sendiri. Jadi, menurut saya, jika orang Kristen atau bahkan hamba Tuhan malas belajar doktrin, maka ia tidak usah menjadi Kristen. Tidak belajar doktrin membuat orang Kristen mudah disesatkan, sehingga tak perlu heran jika banyak ‘orang Kristen’ yang pindah agama. Semua hal itu disebabkan karena ketidakberesan doktrin. Pink mengingatkan kita: 
Pengabaian terhadap doktrinlah yang telah menjadikan orang percaya tidak berdaya menghadapi gejala kekafiran. Pengabaian terhadap doktrin jugalah yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya orang-orang yang mengaku Kristen ke dalam berbagai “isme” zaman ini. Karena telah tiba saatnya sekarang bagi gereja untuk “tidak dapat lagi menerima ajaran sehat” (2 Tim. 4:3), maka mereka menjadi sedemikian mudah terjebak ke dalam berbagai ajaran sesat.[5] 
Ketiga, banyak orang yang menganggap bahwa doktrin itu tidak penting karena tidak praktis, sehingga mereka lebih suka mengatakan kepada banyak orang ‘firman Tuhan itu untuk dilakukan,’ bukan hanya sekumpulan teori yang rumit seperti doktrin. Tetapi menurut saya hal ini tidak benar. Saya justru menganggap bahwa doktrin itu justru sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Bahwa pengertian doktrinal sangat mempengaruhi kehidupan praktis terlihat misalnya dalam 1 Kor. 15:32, “Kalau hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan manusia saja aku telah berjuang melawan binatang buas di Efesus, apakah gunanya hal itu bagiku? Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka “marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Jadi dari sini kita bisa mengerti bahwa, jika seseorang tidak percaya doktrin kebangkitan maka orang itu bisa saja hidup ‘semau gue.’ Pikirkan kata-kata Paulus yang saya garis bawahi.
  
Juga misalnya jika Anda seorang Arminian yang mempercayai bahwa orang Kristen sejati bisa kehilangan keselamatannya, maka jika Anda waras maka seharusnya Anda khawatir setiap waktu akan keselamatan Anda. Sedangkan jika Anda seorang Reformed yang mempercayai doktrin Perseverence of the Saints yakni bahwa orang Kristen sejati tidak bisa kehilangan keselamatannya, maka tentunya Anda tidak pernah khawatir akan keselamatan Anda.
  
Poin yang saya tekankan di sini adalah bahwa doktrin sangat mempengaruhi kehidupan praktis seseorang. Bahkan dasar dari kehidupan praktis itu adalah doktrin yang benar. Bacalah surat Roma atau Surat Efesus dan surat-surat Paulus yang lain, maka Anda akan melihat bahwa sebelum memberikan nasihat-nasihat praktis, Paulus justru menegaskan doktrin yang benar terlebih dahulu. Arthur W. Pink mengatakan: 
Menyedihkan sekali mendengar berbagai komentar yang menyebut doktrin sebagai “tidak praktis,” padahal sebenarnya doktrin justru menjadi prinsip yang paling mendasar dari suatu kehidupan praktis. Terdapat suatu hubungan yang tak terpisahkan antara iman dan praktik hidup, seperti ada tertulis “Seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia” (Ams. 23:7). Terdapat suatu hubungan sebab akibat antara kebenaran ilahi dan karakter Kristen – “Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32) – bebas dari kebodohan, dari prasangka, kekeliruan, kelicikan iblis, kuasa kejahatan; dan jika kebenaran tersebut tidak “diketahui,” maka kebebasan tersebut juga tidak mungkin dinikmati. Perhatikan dengan seksama urutan penyebutan dalam bagian Kitab Suci yang kita kutip di atas. Semua bagian Kitab Suci [2 Tim. 3:16] bermanfaat pertama-tama untuk mengajar, artinya untuk “doktrin”! Urutan demikian terlihat dalam setiap surat yang ditulis oleh Rasul Paulus. Bacalah Surat Roma dan perhatikanlah betapa di dalam lima pasal pertama dari surat tersebut tak terdapat satu pun kalimat nasihat. Dalam surat Efesus, setelah melewati pasal keempat, barulah terlihat adanya kalimat nasihat. Urutan pertama adalah eksposisi doktrinal, dan selanjutnya barulah muncul teguran atau nasihat bagi kehidupan sehari-hari.[6] 
Will Metzger juga menulis: 
Bagaimana kata doktrin digunakan di Perjanjian Baru? Kata Yunaninya berarti “pengajaran.” Ada pengajaran yang baik dan yang buruk. Terkadang adjektiva benar/sehat dan dusta/palsu menunjukkan yang mana yang dimaksudkan. Seringkali konteksnya menjelaskan akibat dari suatu pengajaran, entah sebagai kesalehan atau kefasikan. Pengajaran yang salah (kesaksian dusta) adalah omong kosong tak bertuhan, memimpin mereka yang menyukainya kepada hidup yang semakin tidak saleh.[7] 
Pink mengingatkan Gereja bahwa justru pengabaian doktrinlah yang menyebabkan berbagai macam penyimpangan dalam kehidupan orang percaya. Pink memperingatkan: 
Penggantian eksposisi doktrinal dengan hal-hal yang disebut “khotbah praktis” merupakan akar penyebab dari berbagai bencana yang sekarang melanda gereja Allah. Alasan terjadinya kedangkalan pemikiran, sedikitnya hikmat, kurangnya pemahaman akan prinsip-prinsip kebenaran Kristen adalah karena begitu sedikit orang yang percaya yang berakar di dalam iman melalui mendengar doktrin-doktrin anugerah dan studi pribadi mereka tentang doktrin-doktrin itu.[8] 
Lalu Pink memberikan beberapa contoh: 
Ketika seseorang tidak berakar di dalam doktrin Inspirasi Kitab Suci – inspirasi verbal dan seutuhnya – maka ia takkan memiliki dasar yang kokoh sebagai sandaran imannya. Ketika seseorang tidak memiliki pengetahuan mengenai doktrin Pembenaran, maka takkan ada pula keyakinan yang nyata dan berdasar mengenai penerimaan atas dirinya oleh Dia yang terkasih. Ketika seseorang tidak memahami pengajaran firman Tuhan mengenai Pengudusan, maka ia memiliki kecenderungan untuk terjebak ke dalam perfeksionisme ataupun ajaran sesat lainnya.[9] 
Jadi, ada sebab akibat antara doktrin yang benar atau salah terhadap kehidupan yang benar atau salah pula. Saya harus akui bahwa banyak orang yang ‘hebat’ secara doktrinal tetapi hal itu sering tidak membuat kehidupan rohani mereka membaik. Tetapi siapa pula yang bisa menjamin hal sebaliknya bahwa orang yang tidak belajar doktrin kehidupan rohaninya semakin baik? Untuk itu, saya menganggap bahwa dua-duanya – doktrin dan kehidupan rohani – harus dipegang dengan teguh oleh orang Kristen. Simaklah kata-kata Bernard Ramm berikut ini: 
Bagaimana caranya untuk menggabungkan theologi dan kehidupan rohani adalah salah satu perhatian utama dalam hidup saya. Theologi semestinya memimpin kepada kedalaman pengalaman rohani. Hal ini benar-benar terjadi dalam diri Paulus. Pengalaman-pengalaman rohani semestinya menciptakan rasa lapar yang menyiksa di dalam jiwa akan kebenaran Allah. Tetapi betapa cacatnya kita! Para theolog sering kali secara rohani sok tahu dan sok pintar. Dan orang yang menekankah kehidupan rohani dapat saja naif secara theologis dan buta akan Alkitab. Theologi dan pengalaman rohani yang luar biasa semestinya berjalan bersama-sama.
            Yohanes berkata agar kita menguji roh-roh. Ini berarti tidak ada pengalaman yang berada di luar lingkup pengujian dan evaluasi. Akan bertolak belakang dengan Perjanjian Baru bila orang melepaskan pengalamannya dari terang yang menyoroti dari Perjanjian Baru. Singkatnya, tidak ada pengalaman yang dapat mengklaim sebagai pengalaman Kristen bila orang yang mengalaminya menolak untuk menundukkannya kepada isi yang dinyatakan dan diilhami dari Perjanjian Baru. Perjanjian Baru memberitahu saya bahwa bagian dari tanggung jawab saya adalah untuk menguji roh-roh, karena ada banyak roh di dunia. Saya mengabaikan kewajiban saya jika saya menerima begitu saja semua pengalaman rohani yang dilaporkan kepada saya dan tidak menguji semua pengalaman itu menurut Firman Allah sebagaimana diungkapkan di dalam Perjanjian Baru kanonis.
            Misalnya, dengan memeriksa Perjanjian Baru mengenai tema kebenaran, kita mendapati sesuatu yang sangat menarik. Allah adalah Allah kebenaran dan tidak dapat berbohong (Rm. 3:4). Roh Kudus adalah Roh Kebenaran dan memimpin kepada kebenaran yang lebih lagi (Yoh. 16:13). Sang Anak berkata, “Akulah ... kebenaran” (Yoh. 14:6). Dan banyak lagi bukti yang dapat dikutip, adalah kesaksian yang berkuasa mengenai perhatian dari iman Kristen akan kebenaran.
            Hal ini langsung memimpin kepada pengamatan lain, yaitu prioritas kebenaran di atas semua pengalaman rohani. Jika Bapa, Anak, Roh, dan Injil adalah Kebenaran, maka orang-orang Kristen harus berapi-api terhadap kebenaran. Dan semangat bagi kebenaran ini haruslah berapi-api sedemikian rupa sehingga orang Kristen bersedia untuk menundukkan semua yang mereka percayai, praktikkan, dan alami kepada pengujian kebenaran. Roh yang sejati akan memberikan pengalaman sejati kepada mereka yang sungguh-sungguh mencari Allah Bapa dan Anak berdasarkan Firman Kebenaran. Dengan demikian, seorang Kristen mana pun yang memisahkan pengalaman rohani mereka dari pencermatan kebenaran berlaku dalam semangat dan sikap yang bertolak belakang dengan keseluruhan Perjanjian Baru. Kurva Perjanjian Baru adalah dari kebenaran kepada pengalaman, bukan dari pengalaman kepada kebenaran. Kebenaranlah yang menghasilkan pengalaman sejati. Jika orang membalikkan urutannya, dia melakukannya dengan mengorbankan kebenaran... Pengalaman riil dan benar dan sahih karena pengalaman itu sesuai dengan kebenaran Allah, dan bukan karena pengalaman itu merupakan pengalaman yang sedemikian luar biasa... Kita tidak dapat beroberasi dengan “kebenaran Perjanjian Baru.” Kebenaran ini harus dipecah-pecah menjadi pernyataan-pernyataan yang dapat dicerna... Pecahan yang dapat dicerna ini disebut theologi atau doktrin.
            Di dalam Roma 6:17, Paulus berbicara mengenai orang-orang Kristen di Roma yang menaati suatu standar atau bentuk atau tipe doktrin. Ini berarti: Pengalaman rohani dari orang-orang Kristen ini diilhami, dibentuk, dan dibimbing oleh pola doktrin yang benar. Di sini kita memiliki fungsi yang sepatutnya dari doktrin dan relasinya kepada kehidupan rohani dan pengalaman Kristen. Orang Kristen yang berharap untuk setia kepada Perjanjian Baru, dan yang berharap untuk mendapatkan yang paling banyak dan paling baik dari Roh Kudus, harus mencari pengalaman-pengalaman yang dianjurkan oleh pola-pola doktrinal dari Perjanjian Baru. Dia harus membentuk dan membimbing hidupnya sendiri dengan pola-pola doktrinal seperti itu.
            Sewaktu dia menulis surat-surat pastoral, Paulus sedang mendekati ajalnya. Dia percaya bahwa dia akan dihukum mati dalam waktu dekat (2 Tim. 4:6)... Apa yang akan terjadi kepada jemaat-jemaat itu ketika tangan tegas sang rasul tidak dapat lagi membimbing mereka? Di dalam situasi inilah Paulus dengan bersemangat mengajukan doktrin sebagai satu-satunya harapan agar jemaat Kristen bertahan melalui pertikaian rohani dan theologis yang akan terjadi setelah kematiannya. Ini adalah fenomena yang sungguh luar biasa! Panggilan yang paling luar biasa kepada doktrin dan pengajaran yang sehat di dalam seluruh Alkitab ditemukan di dalam surat-surat pastoral ini.

Kemudian Dr. Ramm menyimpulkan:

Tidak ada yang namanya “ortodoksi mati.” Orang boleh saja marah bila mereka direndahkan karena pengalaman-pengalaman rohani mereka oleh mereka yang memiliki banyak ortodoksi namun tanpa kehidupan rohani. Doktrin yang sehat mungkin diajarkan, dan tafsiran yang benar dari Alkitab mungkin saja diberikan dalam sikap yang tidak hidup ... Mari berpegang kepada sintesis Perjanjian Baru terhadap kebenaran Kristen yang mengilhami, membentuk, dan mengarahkan pengalaman-pengalaman Kristen yang luar biasa. Maka Gereja dapat berdiri teguh.[10]

Dengan alur yang sama Pink juga mengatakan:

Tentu saja benar bahwa doktrin, seperti juga hal-hal lain di dalam Kitab Suci, dapat dipelajari melalui pendekatan intelektual semata, dan dengan pendekatan demikian, pengajaran maupun pemahaman doktrinal tersebut tidak akan menyentuh hati, dan dengan sendirinya akan menjadi “kering” dan tidak berbuah. Sebaliknya, doktrin yang diterima dengan benar, doktrin yang dipahami dengan hati yang dilatih, akan senantiasa membawa pada suatu pemahaman yang lebih mendalam akan Allah dan kemuliaan Kristus yang tiada terukur.[11]

Keempat. Ketidakpraktisan doktrin bagi kebanyakan orang Kristen masa kini juga mungkin timbul karena biasanya ajaran yang bersifat doktrinal itu sukar. Saya harus akui bahwa memang ada hal-hal yang sulit ketika belajar doktrin. Kitab Suci sendiri juga mengakui bahwa ada makanan yang seperti susu, tetapi ada juga makanan keras (1 Kor. 3:2; Ibr. 5:12, 14). Untuk hal ini tentunya orang Kristen dituntut harus mau dan tekun untuk belajar. Dalam Alkitab, orang percaya sendiri digambarkan sebagai “murid” yang mengimplikasikan kesediaan untuk diajar dan tekun belajar.

Untuk hamba-hamba Tuhan, kita harus meminta hikmat dari Tuhan supaya bisa belajar dan mengajar doktrin dengan baik dan benar. Sulit tidak berarti tidak usah diajarkan, karena bagaimana pun tugas hamba Tuhan adalah seperti Paulus yang “tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu” (Kis. 20:27). Gresham Machen mengatakan, “Agama Kristen berkembang bukan di dalam kegelapan, melainkan di dalam terang. Kemalasan intelektual hanyalah obat palsu bagi ketidakpercayaan; obat sejatinya adalah pengudusan kemampuan intelektual untuk melayani Tuhan Yesus Kristus.”[12]

Kelima. Saya juga pernah membaca (saya lupa di mana dan kapan) mengenai seseorang yang lebih mengutamakan penginjilan daripada doktrin. Menurutnya, pergi menginjili orang lebih penting dari pada belajar atau mengajar doktrin. Penginjilan adalah segala-galanya, sehingga doktrin dianggap tidak penting. Mereka lebih suka ‘memenangkan jiwa’ dari pada mengajar doktrin.

Saya kira ini adalah kegilaan. Karena apa? Karena Injil itu sendiri bersifat doktrinal. Apa itu Injil? Injil itu dapat diringkas seperti ini: manusia itu berdosa dan pantas dihukum oleh Allah yang kudus dan adil. Tetapi karena Allah mengasihi manusia, Ia menjadi manusia dalam pribadi Yesus Kristus, yang kemudian mati untuk menanggung murka Allah yang seharusnya ditanggung oleh manusia, Ia menggantikan kita umat pilihan-Nya, kemudian bangkit dan naik ke surga, serta Ia berjanji Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya. Jadi dalam Injil pun setidaknya ada berbagai macam doktrin yang semestinya kita tahu, baru kita bisa memberitakan Injil, seperti doktrin Manusia, Dosa, Inkarnasi, Keilahian dan Kemanusiaan Yesus, Kematian Yesus sebagai korban, kebangkitan Kristus, kenaikan-Nya ke surga, pengharapan kedatangan-Nya yang kedua kali, dan sebagainya.

Jadi menurut saya, adalah omong kosong kalau seseorang menekankan pemberitaan Injil tetapi menganggap doktrin tidak penting.

Keenam. Ada juga yang menganggap bahwa doktrin itu tidak baik untuk orang percaya, karena bisa menimbulkan pertentangan. Untuk hal ini, saya mau mengatakan bahwa orang percaya harus lebih cinta kebenaran daripada kedamaian palsu. R.C. Sproul mengatakan, “We’re living in a time where theological conflict is considered politically incorrect, but to declare peace when there is no peace is to betray the heart and soul of the gospel” (Terjemahan: Kita hidup di masa di mana konflik teologis dianggap tidak benar secara politik, tetapi untuk menyatakan perdamaian ketika tidak ada kedamaian berarti mengkhianati hati dan jiwa Injil).[13]

Dari semua hal ini, saya menganggap bahwa orang yang tidak senang terhadap doktrin adalah orang-orang Kristen yang perlu dipertanyakan kerohaniannya. Bahkan Sproul menyebut gereja yang tidak mempedulikan dan tidak mengajarkan doktrin sebagai “a dead church.” Juga saya tekankan bahwa orang-orang yang bersemangat untuk melayani Tuhan tetapi membenci doktrin adalah orang-orang yang berilusi sedang melayani Tuhan, padahal mereka melayani kamauan mereka sendiri. Mereka seperti orang-orang digambarkan Paulus dalam Roma 10:2, “Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.”

Jangan lupa bahwa kita harus mengasihi Allah dengan segenap “akal budi” kita. Amsal 19:2 mengatakan, “Tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah.”

[1]Will Metzger, Beritakan Kebenaran: Injil yang Seutuhnya, Sepenuhnya melalui Anugerah, Dikomunikasikan dengan Penuh Kebenaran dan Kasih (Surabaya: Momentum, 2013), hal. 2. 
[2]Arthur W. Pink, Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2005), hal. 181. 
[3]Dalam Michael Horton, Kekristenan Tanpa Kristus (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 92.
[4]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 181. 
[5]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 182. 
[6]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 181-182. 
[7]Metzger, Beritakan Kebenaran, hal. 12. 
[8]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 182.
[9]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 182-183.
[10]Bernard Ramm, “Hand in Hand,” His, November 1965, hal. 4-7, dikutip Metzger, Beritakan Kebenaran, hal. 17-18. 
[11]Pink, Kedaulatan Allah, hal. 183. 
[12]Dikutip oleh Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran: Membela Kebenaran Terhadap Tantangan Postmodernisme (Surabaya: Momentum, 2003), hal. 273.
[13]R.C. Sproul, “Is the Reformation Over?” diakses dari https://www.ligonier.org/blog/is-the-reformation-over/

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...