Rabu, 07 November 2018

KEBUDAYAAN DAN KEKRISTENAN

Oleh: Join Kristian Zendrato

Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman saya Lilis Anastasia, yang kemarin meminta saya untuk membuat artikel mengenai bagaimana hubungan kebudayaan dengan agama Kristen. Tulisan ini jauh dari sempurna, tetapi kiranya bisa membuka wawasan dan dapat memicu keinginan untuk melakukan penelitian lebih dalam dan lebih kompleks mengenai topik ini. Selamat membaca!
 
===
Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan kata “kebudayaan.” Kata itu akan muncul di benak anda ketika menyaksikan pergelaran tarian daerah tertentu, atau ketika anda melihat sebuah patung tua yang dibentuk dari batu dengan ukiran yang menakjubkan. Tetapi apakah persisnya kebudayaan itu? Profesor untuk Studi Theologi di Wheaton College Graduate School, Kevin J. Vanhoozer mendefinisikannya sebagai 
usaha roh manusia untuk mengekspresikan diri dengan cara mewujudkan kepercayaan dan nilai-nilai dalam bentuk nyata (seperti katedral, koloseum, kuburan, teater, universitas, bank, dsb). ... Kebudayaan adalah ekspresi kebebasan manusia dalam alam dan atas alam.[1] 
Jadi, kita bisa menyatakan bahwa kebudayaan adalah tata cara hidup manusia di bumi ini, apa yang dilakukannya dan apa yang dipercayainya. Sedangkan wujud dari kebudayaan itu bisa kita lihat dalam katedral, koloseum, kuburan, teater, dan sebagainya. Sekali lagi, Vanhoozer menyatakannya dengan baik, “Jika dunia adalah panggung, kebudayaan adalah perkakas yang memenuhi panggung itu.”[2]

Sekarang, setelah kita mendefinisikan kebudayaan, maka bagaimana kebudayaan itu dipahami dalam kerangka pemikiran Kristen? Pertama-tama, saya mau menekankan satu hal ketika saya berbicara mengenai Kekristenan yakni mengenai otoritasnya. Otoritas tertinggi Kekristenan yang sejati adalah Alkitab. Jadi, saya menganggap bahwa kebudayaan (sebagaimana defenisi di atas) harus di hakimi oleh Alkitab sendiri. Jadi, saya setuju dengan Kevin J. Vanhoozer ketika ia berkata, “Teologi adalah usaha mengevaluasi pertunjukkan dunia [kebudayaan] berdasarkan kriteria Firman Tuhan.”[3]

Mungkin akan lebih mengena jika saya memberikan beberapa contoh. Misalnya mengenai cara berpakaian. Ini saya anggap sebagai salah satu perwujudan kebudayaan. Tentunya kita tidak usah merepotkan diri untuk mencari dasar Alkitab mengenai bahan, warna, atau pola pakaian yang harus dipakai oleh seorang Kristen. Menurut saya itu tidak di atur oleh bagian Alkitab manapun. Tetapi kita harus berpikir apakah dengan memakai pakaian tertentu kita akan melanggar hukum Allah dalam Alkitab. Jika kita memakai pakaian yang bisa menimbulkan gairah seksual atau nafsu birahi, maka jelas budaya berpakaian tersebut tidak sesuai dengan Alkitab. Tarian jelas tidak bermasalah sama sekali, tetapi ketika penari telah menunjukkan auratnya, atau menggunakan kuasa gelap dalam aksinya (seperti kuda lumping), maka budaya seperti itu jelas tidak sesuai dengan Alkitab. Tidak salah untuk menangisi seseorang yang meninggal, tetapi adalah salah untuk memberikan sesajen dikuburannya untuk menenangkannya. Membuat patung jelas tidak dilarang (bdk. Kel. 25:18), tetapi ketika patung itu disembah, maka itu jelas salah.

Contoh lain misalnya mengenai penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan. Ini tentunya merupakan salah satu contoh perwujudan kebudayaan. Penelitian tentunya tidak dilarang dalam Alkitab, karena Lukas sendiri melakukan penelitian untuk menuliskan Kitab Injilnya (bdk. Luk. 1:1-4). Tetapi, kita tentunya harus menghindari dan tidak boleh ikut dengan para ilmuan yang berusaha untuk mencari tulang Yesus, sebab Alkitab menyatakan bahwa Yesus telah bangkit (bdk. 1 Kor. 15). Simaklah kata-kata Cornelius Van Til berikut ini: 
tidak bisa diungkapkan dengan cukup tepat dengan hanya mengatakan bahwa di dalam theologi kita langsung merujuk kepada Alkitab sementara di dalam ilmu-ilmu pengetahuan lain kita mencari di tempat lain. Memang benar bahwa kita lebih langsung berhubungan dengan Alkitab ketika kita berhadapan dengan theologi daripada ketika berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain, tetapi tidak benar bahwa di dalam ilmu-ilmu pengetahuan lain, kita sama sekali tidak berhubungan dengan Alkitab. Bahkan di dalam zoologi atau botani, Alkitab terlibat. Alkitab memberikan terang yang tidak bisa diabaikan di dalam setiap hal yang kita pelajari sebagai orang-orang Kristen. Ada satu filsafat fakta di dalam Alkitab yang kita pergunakan untuk menginterpretasikan setiap fakta kehidupan kita. Seorang Kristen tidak pernah bisa pergi di dalam ekspedisi bersama arkeolog-arkeolog yang dengan tulus mencari tubuh Yesus. Seorang Kristen tidak bisa pergi di dalam satu ekspedisi bersama kaum evolusionis yang berharap untuk menemukan “mata rantai yang hilang” antara manusia dan binatang. Akan tetapi, memang benar bahwa di dalam studi tentang hal-hal yang dipelajari di dalam laboratorium dan lapangan, Alkitab hanya dilibatkan secara tidak langsung. Kita tidak mencari fakta-fakta yang kita hadapi itu di dalam Alkitab. Sebaliknya, memang benar bahwa theologi mendapatkan fakta-fakta tentang Allah hampir secara ekslusif dari Alkitab. Kita berkata hampir ekslusif karena kita juga belajar tentang Allah dari alam. Maka kita harus berkata bahwa ini hanyalah masalah penekanan. Kita tidak membatasi diri kita sepenuhnya kepada Alkitab ketika kita mempelajari hal lain.[4] 
Saya perlu memperjelas satu hal dari kutipan di atas. Ketika Van Til menyatakan, “Kita tidak membatasi diri kita sepenuhnya kepada Alkitab ketika kita mempelajari hal lain,” dia memaksudkan bahwa banyak hal yang tidak akan kita temukan dalam Alkitab, maka untuk hal-hal itu, kita tidak mungkin mencarinya dari Alkitab. Contoh untuk hal ini misalnya bagaimana metamorfosis kupu-kupu, dan sebagainya. Itu jelas tidak ada dalam Alkitab. Tetapi jika kita berbicara mengenai asal-usul ultimat dari semua binatang, kita harus mempercayai doktrin penciptaan, meskipun Alkitab tidak memberitahu kita tentang metamorfosis kupu-kupu. Juga jika seseorang menyembah ciptaan, misalnya katakanlah kupu-kupu, maka itu jelas bertentangan dengan Alkitab, karena objek penyembahan kita adalah Yahweh. Contoh lain adalah tidak ada petunjuk secuil pun dalam Alkitab untuk membuat blog, tetapi jika dalam blog itu kita membuat tulisan yang menghujat Kristus, maka itu jelas bertentangan dengan Alkitab.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Tidak lain adalah tekun belajar Firman Tuhan karena, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim. 3:16). Dengan tekun belajar Firman Tuhan, kita akan mendapatkan hikmat dari Tuhan yang menolong kita untuk menjalani hidup di bumi ini, serta kita dimampukan untuk memilah-milah apa pun yang kita perbuat, apakah benar atau salah. “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman” (Mzm. 19:8). Untuk menutup artikel ini, saya akan mengutip kata-kata dari Kevin J. Vanhoozer, “Kaum beriman ‘membaca’ dunia ini dalam terang Firman Tuhan. Dengan kata lain gereja menafsirkan dunia dan kebudayaan sekitarnya melalui kaca mata Allah.”[5]

Semoga Tuhan menolong kita!

[1]Kevin J. Vanhoozer,“Dunia Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika,” dalam D. A. Carson dan John D. Woodbridge, Allah dan Kebudayaan, terj. Helda Siahaan dan Irwan Tjulianto(Surabaya: Momentum, 2002), hal. 6, 7.
[2]Vanhoozer, “Dunia Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika,” hal. 3. 
[3]Vanhoozer, “Dunia Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika,” hal. 1. 
[4]Cornelius Van Til, Pengantar Theologi Sistematika: Prolegomena dan Doktrin Wahyu, Alkitab, dan Allah, editor: William Edgar (Surabaya: Momentum, 2015), hal. 41-42. 
[5]Vanhoozer, “Dunia Dipentaskan Dengan Baik? Teologi, Kebudayaan dan Hermeneutika,” hal. 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...