Rabu, 17 Juli 2019

NILAI DARI INKOMPREHENSIBILITAS ALLAH

Oleh: Join Kristian Zendrato

Orang-orang Kristen mempercayai bahwa Allah ada melalui penyataan (wahyu) Allah sendiri dalam alam semesta, Kitab Suci dan Yesus Kristus. Penyataan Allah dalam alam semesta biasanya disebut sebagai  general revelation (penyataan/wahyu umum), sedangkan penyataan Allah dalam Kitab Suci dan Yesus Kristus biasanya disebut dengan istilah special revelation (penyataan/wahyu khusus). 

Semua hal ini menegaskan bahwa Allah bisa dikenal. Tetapi hal ini juga menegaskan hal lain, yakni bahwa pengenalan kita akan Allah dibatasi oleh penyataan Allah sendiri. Maksudnya, kita hanya bisa mengenal Allah sejauh Ia menyatakan diri-Nya kepada kita. 

Hal ini menghasilkan implikasi logis: pengetahuan kita tentang Allah pasti bersifat tidak tuntas (inkomprehensif).

Hal lain yang membuat kita tidak bisa mengenal Allah secara tuntas adalah fakta bahwa kita adalah makhluk yang fana dan terbatas. Louis Berkhof dengan jelas menulis: "Finitum non possit capere infinitum" (yang fana tak mungkin memahami yang kekal).[1] Jika kita memaksakan untuk mengenal Allah secara tuntas, itu ibarat kita sedang menampung seluruh air dari samudera atlantik ke dalam sebuah gelas. Itu jelas absurd.

Bahkan Allah sendiri tidak bisa menyatakan diri-Nya secara tuntas kepada manusia. Alasannya adalah seperti yang dikemukakan oleh Herman Bavinck, “Agar itu mungkin terjadi, ciptaan sendiri haruslah ilahi.”[2] Tentunya kemungkinan ini mustahil sama sekali.

Dengan demikian Allah tidak bisa dipahami secara tuntas. Ia bisa dikenal namun pengenalan kita itu sendiiri bersifat tidak tuntas (inkomprehensif). Augustinus memperingati dengan berkata, “Sebab jika Anda memahami Dia secara tuntas, itu bukanlah Allah yang Anda pahami.”[3]

Sekarang, saya mau menarik satu pelajaran atau nilai dari doktrin inkomprehensibilitas Allah ini. Nilai dari doktrin ini jelas sangat besar. Misalnya, ketika kita membaca dan menyelidiki Kitab Suci, mungkin kita akan menemukan banyak hal yang tidak mudah kita mengerti, maka akan lebih aman untuk kembali kepada fakta bahwa Allah itu tidak bisa dimengerti sepenuhnya. Banyak orang yang menuntut orang Kristen untuk menjelaskan doktrin (ajaran) tertentu secara tuntas sampai ke akar-akarnya, misalnya doktrin Allah Tritunggal, hubungan antara penetapan Allah atas segala sesuatu termasuk dosa dengan kebebasan manusia, dan doktrin-doktrin lainnya, tetapi mereka lupa bahwa Allah itu tidak mungkin bisa dimengerti sepenuhnya. Menurut saya, dalam urusan doktrin-doktrin seperti yang saya sebutkan di atas, kita harus selalu mengingat bahwa kita tidak bisa memahami Allah sepenuhnya, dan dengan demikian penjelasan yang tuntas tidak dimungkinkan.

[1]Louis Berkhof, Teologi Sistematika I: Doktrin Allah (Surabaya: Momentum, 2013), hal. 29-30.
[2]Herman Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jld. 2 (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 30.
[3]Dikutip Bavinck, Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan, jld. 2, hal. 32.  

APAKAH ADA PERISTIWA YANG TERJADI OLEH KARENA KEBETULAN?

Oleh: Join Kristian Zendrato

A. Konsep Kebetulan Sebagai Penyebab dan Evaluasi Terhadapnya
  
Bertahun-tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kami sering bermain tebak-tebakkan hasil lemparan koin. “Sisi yang manakah yang muncul?” adalah pertanyaan kunci untuk permainan itu. Satu hal yang masih saya ingat adalah kepercayaan saya bahwa hasil dari lemparan koin itu terjadi karena kebetulan semata. Jadi, apapun hasilnya, itu hanya merupakan sebuah kebetulan. Jika saya bisa menebak, maka itu hanya keberuntungan semata.

Konsep mengenai kebetulan tidak hanya dipercaya dalam pengundian koin. Banyak orang yang terus menerus mengatakan ‘kebetulan’, jika sesuatu terjadi dalam kehidupan mereka.

Tetapi benarkah ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan? Untuk menjawab hal ini, saya terlebih dahulu akan menjelaskan mengapa seseorang itu menggunakan kata ‘kebetulan.’

Kita menggunakan kata ‘kebetulan’ ketika kita sedang berhadapan dengan sebuah kejadian yang pada saat itu tidak kita ketahui akan jadi apa atau seperti apa hasil, dan bagaimana suatu kejadian itu terjadi. Maka untuk ‘mengisi’ penyebab yang tidak kita ketahui itu, kita menyebutkan ‘kebetulan’ sebagai penggantinya. Itu sebabnya kita menyebut penyebab hasil dari lemparan koin sebagai ‘kebetulan.’ R.C. Sproul mengatakan:
Kita memakai kata kebetulan untuk melukiskan kemungkinan-kemungkinan secara matematik. Contohnya, tatkala kita melemparkan sebuah koin, kita katakan bahwa ia mempunyai kesempatan fifty-fifty untuk menunjukkan gambar dari sisi yang mana. Jikalau kita mengharap satu sisi tertentu yang muncul, namun yang sebaliknya yang muncul, maka kita akan berkata bahwa kita sedang sial dan kehilangan keberuntungan itu.”[1]

Tetapi sebenarnya, kalau kita memikirkan lebih dalam, kita tidak harus menyebut hasil dari lemparan koin itu sebagai kebetulan. Mengapa? Sproul menjelaskannya sebagai berikut:
Apakah sebenarnya yang menyebabkan koin itu menunjukkan gambar sisi yang satu daripada sisi yang lain? Sebenarnya bukan merupakan suatu kebetulan lagi apabila kita tahu mulai dari sisi yang mana, seberapa banyak tekanan pada waktu koin itu dilemparkan, bagaimana keadaan udara pada waktu itu, dan berapa kali koin itu berputar di udara, akan menentukan sisi mana yang akan ada di permukaan nantinya.[2]

Jadi, maksud Sproul adalah hasil dari lemparan koin itu sebenarnya ditentukan oleh keadaan pada saat koin itu dilempar (mulainya dari sisi mana, seberapa banyak tekanan waktu koin itu dilempar, keadaan udaranya bagaimana, berapa kali koin itu berputar, dan sebagainya). Seandainya kita tahu semua hal itu, maka kemungkinan besar, kita akan mengetahui hasil dari lemparan koin itu. Tetapi faktanya, kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengukur semua faktor-faktor ini (ingat bahwa manusia itu terbatas), atau seperti yang dinyatakan oleh Sproul bahwa pada saat kita melempar koin, “Tangan bergerak lebih cepat dari mata.”[3] Oleh karena itu, kita secara cepat menganggap bahwa itu terjadi karena ‘kebetulan.’ Kita mengganti penyebab-penyebab yang tidak kita ketahui itu sebagai ‘kebetulan.’

Hal ini tentunya berlaku juga untuk peristiwa-peristiwa lainnya yang penyebabnya sering kita sebut sebagai ‘kebetulan.’ Kita mengatakan sesuatu terjadi karena ‘kebetulan’ sebenarnya diakibatkan oleh ke-tidak-dapatan kita memahami semua kekuatan-kekuatan, dan kuasa-kuasa yang menyebabkan terjadinya sesuatu itu. Sproul menulis:
Sama halnya dengan fakta bahwa kita tidak dapat melihat dengan mata telanjang kita semua yang terjadi pada waktu kita melemparkan sebuah koin, demikian pula kekompleksan di dalam kehidupan kita ini yang kenyataannya di luar jangkauan kita untuk mengerti secara tuntas. Oleh sebab itu, kita memunculkan kata ‘kebetulan’ untuk menjelaskan hal tersebut. ‘Kebetulan’ sungguh tidak dapat menjelaskan apa-apa, ia hanya sekedar sebuah kata yang kita pakai sebagai jalan pintas oleh karena ketidaktahuan kita.[4]

Lagi pula, natur ‘kebetulan’ itu sendiri menegaskan kemustahilan ‘kebetulan’ untuk menjadi penyebab dari sesuatu. Ingat bahwa, syarat mendasar dari suatu penyebab adalah ia harus ada. Jika ia tidak ada maka ia tidak bisa menjadi penyebab. Sproul menegaskan hal ini dengan kejelasannya yang khas:
Sebelum sesuatu dapat memberikan suatu pengaruh, maka ia harus merupakan sesuatu terlebih dahulu. Ia harus merupakan suatu keberadaan terlebih dahulu, baik secara fisik maupun non-fisik.[5]

Menurut saya, argumentasi Sproul ini sangat bagus dan logis. Jika kebetulan mau dijadikan sebagai penyebab, maka kebetulan itu harus mempunyai keberadaan (fisik atau non-fisik). Tetapi, dalam faktanya, ‘kebetulan’ itu sebenarnya tidak mempunyai ekistensi atau keberadaan. Seperti yang ditandaskan oleh Sproul, “Suatu kebetulan bukan suatu keberadaan yang fisik dan non-fisik. Ia hanyalah suatu konstruksi mental. Ia bukan apa-apa.”[6] Maka oleh karena kebetulan itu non-eksisten atau non-ada, ia tidak bisa mempengaruhi apapun yang memiliki eksisitensi atau keberadaan.

Dari semua pembahasan ini, sangat jelas bahwa kebetulan tidak bisa diklaim sebagai suatu penyebab.

B. Allah Sebagai Sang Penyebab Pertama (The First Cause)

Saya telah menjelaskan bahwa kebetulan tidak bisa dijadikan sebagai penyebab sesuatu. Dalam kasus hasil lemparan koin, saya sudah menjelaskan bahwa bukan kebetulanlah penyebabnya, tetapi faktor-faktor lain seperti banyaknya tekanan pada koin, keadaan udara pada saat koin itu dilempar, dan sebagainya.

Tetapi meskipun saya mengakui faktor-faktor itu menentukan hasil dari lemparan koin, faktor-faktor itu sendiri hanyalah second cause (penyebab kedua). Alkitab menjelaskan bahwa faktor-faktor itu sendiri diarahkan, diatur, dan dikuasai oleh The First Cause (Sang Penyebab Pertama) yaitu Allah Alkitab.

Dalam kasus lemparan koin misalnya, faktor-faktor yang saya sebut sebagai second cause seperti: tekanan pada koin, keadaan udara pada saat itu, posisi tangan si pelempar koin, banyaknya putaran koin, dan sebagainya, semuanya itu diarahkan, diatur, dan dikuasai oleh Allah, karena Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa segala sesuatu diarahkan, diatur dan dikuasai oleh Allah (baca misalnya: Ulangan 2:30; Yosua 11:20; 1 Samuel 2:6-7; Mazmur 37:23; 75:7-8; 135:6-7; Amsal 16:1,4,9,33; 19:21; 20:24; 21:1; Pengkhotbah 7:14; Yesaya 45:6b-7; Amos 3:6; 4:7; Yunus 1:4; Matius 10:29-30; Lukas 12:6-7; 21:18; Roma 13:1; Efesus 1:11).

Jadi, pada waktu sesuatu terjadi, kita bisa menyatakan bahwa entah udara, badai, api, dan sebagainya sebagai second cause (penyebab kedua) dari suatu peristiwa, tetapi kita juga harus tetap mengingat bahwa bahkan semua second cause itu diarahkan, diatur dan dikuasai oleh Allah yang adalah The First Cause of Everything (Sang Penyebab Pertama dari Segala Sesuatu).

Untuk argumentasi yang lebih lengkap mengenai hal ini, baca tulisan saya [klik linknya] di sini dan di sini. Mengenai masalah hubungan kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia, saya juga telah menulis sebuah artikel untuk itu. Untuk membacanya klik di sini.

[1]R.C. Sproul, Umat Pilihan Allah, cetakan ke-5 (Malang: Literatur SAAT, 2001), hal. 185-186.  
[2]Sproul, Umat Pilihan Allah, hal. 186.
[3]Sproul, Umat Pilihan Allah, hal. 186.
[4]Sproul, Umat Pilihan Allah, hal. 187.
[5]Sproul, Umat Pilihan Allah, hal. 186.
[6]Sproul, Umat Pilihan Allah, hal. 186. 

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...