Jumat, 28 September 2018

OUK ENKAKOUMEN

Oleh: Join Kristian Zendrato
 
Saya baru saja membaca Problems of Christian Leadership (Literatur Perkantas, 2014) karya John Stott. Banyak hal yang dinyatakan oleh Stott dalam bukunya tersebut, salah satunya adalah tentang bagaimana seorang pelayan Tuhan bertahan dalam keputusasaan atau tekanan! John Stott berpendapat bahwa penyebab keputusasaan dalam pelayanan hanya dua, yakni: pertama, masalah selubung yang menunjuk pada kebutaan yang dialami oleh orang-orang yang menjadi tujuan pemberitaan kita. Kedua, masalah tubuh yang menunjuk pada kelemahan dan kefanaan tubuh kita sendiri. Stott menyebut yang pertama sebagai masalah rohani, sedangkan yang kedua adalah masalah fisik.
 
Untuk masalah yang pertama, Stott pertama-tama merujuk 2 Kor. 3 (khususnya ay. 12, 13, 14, 15). Dalam teks itu Paulus dua kali mengatakan kalyma (selubung) sebagai penekanan bahwa orang Yahudi mempunyai selubung yang menutupi pikiran dan hati mereka. Bukan hanya orang Yahudi saja, dalam 2 Kor. 4, orang non Yahudi pun juga mengalami “kebutaan,” sehingga dalam 2 Kor. 4:4 Paulus menyatakan bahwa orang yang tidak percaya itu, “pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini.”

Para hamba Tuhan, tentu sering mengalami masalah seperti ini. Kita menyampaikan kebenaran Injil sedemikian rupa, dan menurut kita, anak SD pun pasti mengerti. Tetapi faktanya, kita sering mendapati bahwa mereka tetap “buta” dan selubung itu tetap menyelimuti pikiran mereka. Ini jelas sering membuat kita putus asa bukan?

Masalah Kedua. Kelemahan Tubuh. Paulus adalah pemberita Injil yang gigih. Bagi Paulus, dan bagi semua orang percaya sejati, Injil adalah harta yang tak ternilai harganya. Tetapi perhatikan bahwa Paulus dalam 2 Kor. 4:7 menyatakan, “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat.” Ya, harta (Injil) itu diberitakan melalui sebuah wadah bejana tanah liat. Ini pasti menunjuk pada kelemahan fisik pelayan Tuhan, dan secara khusus Paulus jelas sedang merujuk pada penganiayaan yang dihadapinya dalam ayat 8 dan 9 (lihat juga 1 Kor. 2:3; 2 Kor. 12:7, 9). Stott menyatakan: “Sebagaimana teplok model lama, demikian juga para pekerja Kristen, ada kontras antara isi dan wadah. Tidak diragukan lagi, Paulus mengacu kepada fisik kita yang lemah, yang dengannya kita mempertahankan Injil. Kalau tubuh manusia dimasukkan dalam kardus untuk dikirim, maka di bagian luar akan diberi label bertuliskan, ‘Mudah pecah. Harap hati-hati” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 14-15). Kelemahan kita bisa terwujud dalam berbagai bentuk seperti penyakit, cacat anggota tubuh, sikap kita yang pemalu, dan kita dapat menambahkan kelemahan-kelamahan kita yang lain. 

Dua masalah ini merupakan masalah yang sering dihadapi oleh setiap pelayan Tuhan. Tetapi menariknya, meskipun kedua masalah itu tampaknya tidak bisa diatasi, Paulus tetap mengatakan ouk enkakoumen.Kata Yunani ini muncul dua kali dalam 2 Kor. 4, yakni dalam ayat 1 dan 16. Dalam ayat 1, kita membaca: “Oleh kemurahan Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu kami tidak tawar hati.” Kemudian dalam ayat 16, “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.” Anda pasti bisa menebak kata-kata apa yang menjadi terjemahan ouk enkakoumen dalam dua ayat di atas! Iya, tepat: “Kami tidak tawar hati.” Stott menyatakan bahwa kata itu bisa diterjemahkan seperti terjemahan LAI: “we do not lose heart” (Kami tidak tawar hati). Atau, “we refuse to become dispirited” (Kami menolak untuk putus asa), atau “nothing can bug us” (tidak ada yang dapat mengusik kami). Stott menambahkan bahwa ada satu ungkapan yang serupa dengan ungkapan di atas dari 2 Kor. 5: 6, “Karena itu, hati kami senantiasa tabah,” dan ayat 8, “tetap hati kami tabah.” Semua ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi permasalahan yang telah saya sebutkan sebelumnya, Paulus tidak tawar hati, ia tabah. Ouk enkakoumen.

Pertanyaannya, kenapa Paulus tetap bisa menyerukan ouk enkakoumen dalam menghadapi masalah pelayanannya? Apa penangkal keputusasaan itu bagi Paulus?

Pertama. Untuk masalah selubung. Paulus tidak memanipulasi Injil untuk menyenangkan pendengarnya. Ia tetap memberitakan kebenaran Injil secara utuh, tanpa kompromi sedikit pun. Dalam 2 Kor. 4:2 tertera, “Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah.” Bandingkan sikap Paulus ini dengan sikap banyak pendeta zaman sekarang yang banyak memalsukan Injil demi mencapai tujuan tertentu, misalnya demi kerukunan umat beragama di Indonesia, untuk menghargai orang yang beragama lain, dan sebagainya. Ini jelas bertentangan dengan sikap Paulus (bdk. Gal 1:6-9).

Bagi Paulus, Injil yang diberitakan ini adalah penyembuh “kebutaan” orang yang tidak percaya itu sendiri. Dalam 2 Kor. 4, Paulus menggambarkan bahwa ada dua kekuatan yang sedang berkonflik. Pada ayat 4 Setan disebut sebagai “ilah zaman ini,” sedangkan pada ayat 6, Paulus berbicara tentang Allah Pencipta. Yang pertama membutakan, sedangkan yang Kedua menyinari hati manusia. Menariknya, Injil itulah yang digunakan oleh Allah untuk menyinari hati manusia (baca ay. 4-6). Stott menyatakan, “Jadi, Injil adalah cahaya. Injil adalah piranti yang digunakan Allah untuk mengalahkan kegelapan dan menyinari hati umat manusia” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 18). Maka jika Injil adalah cahaya, maka konsekuensinya, memberitakan Injil adalah cara yang ditetapkan Allah untuk menggulingkan penguasa kegelapan. Stott menyimpulkan, “Karena itu, ouk enkakuomen. Kami tidak tawar hati. Selubung itu memang menutupi pikiran manusia. Kita tidak dapat menghancurkannya dengan kekuatan kita sendiri, namun selubung itu dapat dibuang oleh kuasa Tuhan ketika Injil diberitakan” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 18).

Pertanyaannya, apakah Anda telah memberitakan Injil? Maukah Anda memberitakannya? Atau, izinkan saya bertanya, apakah Anda sudah mengerti Injil itu?

Kedua, untuk masalah tubuh atau kelemahan. Stott mengutip beberapa ayat mulai dari 2 Kor. 4:7, 12; 1 Kor. 2:3-5; 2 Kor. 12:7b. Dalam ayat-ayat ini, kita melihat bahwa justru dalam kelemahan kita, kuasa Tuhan semakin nyata dalam diri kita. Kita bisa saja meminta kepada Dia untuk membebaskan kita dari kelemahan kita (apa pun itu), seperti yang pernah Paulus lakukan (2 Kor. 12:8). Tetapi kita harus selalu mengingat, sebagaimana dinyatakan Stott, “bisa jadi, semua itu tidak akan terjadi. Saya percaya bahwa firman Allah dan pengalaman mengajarkan pelajaran yang agak tidak enak ini: bahwa Allah sering sengaja membuat kita berada dalam kelemahan agar kuasa-Nya turun menaungi kita” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 20).

Stott sendiri menyertakan kesaksian pribadinya mengenai hal ini. Pada tahun 1958, diadakanlah konferensi misi di Sydney, Australia, dan John Stott adalah pembicara dalam konferensi tersebut. Pada saat konferensi tersebut sedang berlangsung, Stott mengalami gangguan kesehatan. Ia harus berbicara dengan suara keras dan parau, dan khotbahnya berjalan dengan monoton, dan ia berkata, “Saya tidak bisa mengekspresikan siapa sesungguhnya diri saya melalui khotbah” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 21). Tetapi, Anda tahu, lama setelah peristiwa itu, ketika ia kembali mengunjungi Australia, dia ditanyai, “Apakah Bapak masih ingat ketika malam itu Bapak berkhotbah di aula universitas pada hal suara Bapak tidak ada?” Stott menjawab, “Bagaimana mungkin saya bisa melupakannya?” dan orang itu merespons, “Saya bertobat malam itu.” Stott menyimpulkan, “kuasa Tuhan diperlihatkan di dalam kelemahan manusia” (Stott, Problems of Christian Leadership, hal. 21).

Saya mau menambahkan satu hal, yakni: untuk menangkal penderitaan yang timbul dalam diri kita karena pelayanan kepada Kristus Tuhan kita, kita harus terus melihat dengan iman kemuliaan kekal yang akan kita dapatkan nantinya. Dengan membandingkan penderitaan kita pada saat ini dengan kemuliaan kekal yang akan kita nikmati kelak bersama Kristus, kita akan bisa dengan tabah menanggung penderitaan. Ini adalah salah satu alasan Paulus mengapa ia bisa tidak tawar hati dalam penderitaan dan kelemahannya. Paulus menulis: “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Kor. 4:16-18).

Pembaca, ouk enkakoumen!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...