Selasa, 01 Januari 2019

DOKTRIN TOTAL DEPRAVITY (KERUSAKAN TOTAL)

DEFENISI 
 
Merendahkan! Barangkali kata itulah yang cocok untuk menggambarkan reaksi kita ketika kita mempelajari doktrin total depravity (kerusakan total) – merendahkan manusia yang sombong dan congkak. Doktrin total depravity (kerusakan total) mengajarkan bahwa manusia di luar Kristus hanya bisa semata-mata dan selalu berbuat dosa, tanpa sedikitpun bisa berbuat baik. Jadi dalam doktrin kerusakan total, kita melihat dua hal. Hal yang pertama bersifat positif (manusia di luar Kristus hanya bisa semata-mata dan selalu berbuat dosa). Hal yang kedua bersifat negatif (manusia di luar Kristus sedikitpun tidak bisa berbuat baik).[1] Ronald H. Nash mengutip pendapat Roger Nicole yang menjelaskan bahwa doktrin kerusakan total berarti: 
Kejahatan terdapat pada inti dan akar keberadaan manusia. Kejahatan berada di tempat paling dasar, ditingkat terdalam dari hidup manusia. Kejahatan tidak hanya merusak satu atau dua atau bagian-bagian tertentu dari kehidupan manusia, tetapi menembus dan menyebar ke dalam seluruh aspek hidupnya. Kejahatan menggelapkan pikiran, merusak perasaannya, menyesatkan kehendaknya, menyimpangkan hasratnya, membutakan hati nuraninya, membebani kesadarannya, menyiksa tubuhnya. Tidak ada dimensi yang di dalamnya karakter jahat tidak menyatakan diri. Kejahatan bagaikan akar kanker yang menyebar ke seluruh arah dan meninggalkan akibat yang menghancurkan.[2] 
Ini menunjukkan bahwa natur manusia itu sudah begitu rusak karena dosa. Setiap inci dari kehidupannya sudah ditembus oleh dosa. Merendahkan bukan? Tetapi itulah fakta Alkitabiahnya (bdk. Kej. 6:5; 8:21b; Maz. 58:4; Yes. 64:6; Yer. 4:22; 13:23; Yoh. 8:34; Ro. 6:20).
  
Tetapi bukankah defenisi di atas bertentangan dengan fakta sehari-hari? Bukankah kita sering melihat orang-orang di luar Kristus melakukan kebaikan-kebaikan tertentu? Ya benar, tetapi apakah itu kebaikan? Lebih khusus, apakah itu kebaikan dalam pandangan Allah? Barangkali defenisi kebaikan yang tercantum dalam Kateskismus Heidelberg akan membantu kita memahami kebaikan dari sudut pandang Allah. Dalam menjawab pertanyaan, “Tetapi apakah perbuatan-perbuatan baik itu?” Kateskismus itu menyatakan: “Hanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dari iman yang sejati, sesuai dengan hukum Allah, dan bagi kemuliaan-Nya.”[3] Jadi, setidaknya ada tiga hal yang perlu ada untuk menyatakan bahwa sebuah perbuatan itu baik dalam pandangan Tuhan, yakni: iman yang sejati, sesuai hukum Allah, dan tujuannya adalah untuk kemuliaan Allah. Untuk yang pertama kita dapat mengutip Ibrani 11:6 sebagai pendukungnya, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” Untuk yang kedua, kita dapat membadingkannya dari seluruh hukum moral yang diberikan Allah dalam Alkitab. Dan untuk dasar yang ketiga, kita dapat mengutip 1 Korintus 10:31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Sekarang, dengan standar-standar di atas, ujilah setiap kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang diluar Kristus! Tanpa ketiga unsur di atas, maka apa pun perbuatannya adalah dosa di mata Tuhan. Betapa pun baiknya hal itu di mata manusia, tetapi tanpa ketiga unsur di atas, maka perbuatan itu adalah dosa dalam pandangan Allah Tritunggal.
  
Fakta bahwa manusia di luar Kristus itu sudah rusak total dan betul-betul tidak bisa berbuat baik membuat Alkitab mendeskripsikan manusia di luar Kristus itu “sebagai orang yang sudah mati (Ef. 2:1,5; Rm. 5:12), terikat (2 Tim. 2:25-26), buta dan tuli (Mrk. 4:11-12), tidak dapat diajar (1 Kor. 2:14), dan penuh dosa, baik dalam natur kita (Mzm. 51:7) maupun dalam perbuatan kita (Kej. 6:5).”[4]
  
IMPLIKASI-IMPLIKASI
  
Setelah memberikan defenisi sederhana mengenai doktrin total depravity (kerusakan total), maka saya akan memberikan beberapa implikasi dari ajaran tersebut.
  
Pertama. Karena manusia itu begitu berdosa, bukan hanya sebagian tetapi seluruh naturnya, maka adalah omong kosong untuk berbicara dan mempercayai mengenai keselamatan karena perbuatan baik. Asumsi dari keselamatan berdasarkan perbuatan baik adalah manusia bisa berbuat baik, tetapi saya telah menunjukkan di atas bahwa asumsi itu salah besar. 

Kedua. Satu-satunya kemungkinan bahwa manusia memperoleh keselamatan adalah berdasarkan karya Kristus semata yang bisa kita terima melalui – dan hanya melalui iman.
  
Ketiga. Berdasarkan doktrin kerusakan total ini, saya betul-betul jijik terhadap doktrin kehendak bebas ala Arminianisme yang mengatakan bahwa, manusia dengan kehendaknya sendiri bisa menerima dan menolak Kristus. Saya justru percaya sebaliknya bahwa yang membuat manusia akhirnya mau dan bisa percaya kepada Kristus adalah Allah sendiri. Dan sebaliknya orang lain tidak bisa percaya, karena Allah memang tidak mengaruniakan kepadanya iman untuk datang kepada Kristus. Seseorang tidak bisa percaya jika Allah tidak membuat dia percaya. Jika kita mengakui bahwa manusia itu betul-betul sudah mati secara rohani (Ef. 2:1,5; Rm. 5:12), terikat secara rohani (2 Tim. 2:25-26), buta dan tuli secara rohani (Mrk. 4:11-12), tidak dapat diajar secara rohani (1 Kor. 2:14), dan penuh dosa, baik dalam natur kita (Mzm. 51:7) maupun dalam perbuatan kita (Kej. 6:5), maka apakah ia bisa datang kepada Kristus dengan kehendaknya sendiri? Jelas tidak! Seorang bernama W.J Seaton menuliskan begini: 
Dapatkah ORANG MATI membangkitkan dirinya sendiri? Dapatkah ORANG TERIKAT melepaskan dirinya sendiri? Dapatkah ORANG BUTA memberi diri mereka sendiri mata untuk melihat? Dapatkah BUDAK menebus diri mereka sendiri? Dapatkah ORANG YANG TAK DAPAT DIAJAR mengajar diri mereka sendiri? Dapatkah ORANG YANG BERDOSA DALAM NATURNYA mengubah diri mereka sendiri?[5] 
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas jelas adalah “tidak sama sekali.” Jadi harus ada “orang luar” yang menolong orang berdosa supaya dapat percaya kepada Kristus, dan itu adalah Allah sendiri. Seaton menyatakan bahwa: 
Kita seperti Lazarus di dalam kuburnya; tangan dan kaki kita terikat; kebusukan telah menguasai kita. Seperti halnya tidak ada cahaya kehidupan sedikit pun pada tubuh Lazarus yang sudah mati, demikian pula tidak ada “percikan penerimaan” dalam hati kita. Akan tetapi Tuhan melakukan mujizat, baik pada kematian fisik maupun rohani.[6] 
Keempat. Jadi, jika sekarang Anda bisa percaya kepada Kristus, bersyukurlah jungkir balik. Karena Allah sendirilah yang membuat Anda percaya bukan Anda dengan kehendak Anda yang berdosa.
  
Kelima. Hal ini jelas meruntuhkan kesombongan banyak hamba Tuhan yang berpikir bahwa merekalah yang membuat seseorang menjadi percaya kepada Kristus. Itu sama sekali gila dan tidak Alkitabiah. Yang membuat seseorang itu menjadi percaya kepada Kristus bukan hamba Tuhan atau siapapun tetapi hanya Allah semata. Allah kadang-kadang memang bisa memakai kita untuk mempertobatkan seseorang, tetapi kita hanyalah alat, sedangkan hasil akhirnya betul-betul tergantung kepada Allah sendiri.
  
Segala kemuliaan hanya bagi Allah Tritunggal!

[1]Lihat pembahasan menarik mengenai hal ini dalam Edwin Palmer, Lima Pokok Calvinisme, hal. 8-19.  
[2]Roger Nicole, “The ‘Five Points’ and God’s Sovereignty,” dalam Our Sovereign God, ed. James M. Boice (Grand Rapids: Baker, 1977), 30, dikutip Ronald H. Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi (Surabaya: Momentum, 2011), hal. 65-66. 
[3]Dalam Palmer, Lima Pokok Calvinisme, hal. 4. 
[4]Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, hal. 66. 
[5]W. J Seaton, The Five Points of Calvinism (London: Banner of Truth, 1970), 6, dikutip Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, hal. 66. 
[6]Seaton, The Five Points of Calvinism, 7, dikutip Nash, Keselamatan di Balik Kematian Bayi, hal. 67.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DOKTRIN PREDESTINASI REFORMED (CALVINISME)

Oleh: Join Kristian Zendrato A. PENDAHULUAN Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas doktrin predestinasi yang merupakan sala...